01. First
DISCLAIMER TADATOSHI FUJIMAKI
(Karakter lelaki hanya milik Tadatoshi Fujimaki. Untuk OC, kembali kepada pemilik nama masing-masing. Dan alur cerita, sepenuhnya milik saya.)
Warning : Ini hanyalah sebuah fanfiction gaje, kemungkinan (semuanya) OOC, typo bertebaran, bahasa planet, dan merupakan sebuah 'permainan'. Dan, arigatou gozaimasu untuk para sukarelawan yang bersedia menjadi OC di fanfict ini.
.
.
.
Tidak ada yang tahu apa dan bagaimana permulaan itu diadakan. Begitu juga dengan penutup yang sangat misteri untuk didendangkan. Namun walau demikian, tak menutup kemungkinan tengah dapat diatur seperti dekorasi taman.
Kehidupan laiknya sebuah labirin. Rumit dan memusingkan bila sudah dimasuki. Namun siapa sangka cara termudah untuk menuntaskannya hanyalah dengan segulung benang?
(Aruka Kugori)
.
.
Tokyo. 05:30.
Luas kamar laiknya sebuah lapangan sepak bola. Namun hanya diisi oleh seonggok daging bernyawa yang sudah di ambang batas. Percayalah. Ia tidak ingin seperti itu. Apalagi setengah jiwanya sudah tertawa manis di nirwana sana semenjak tujuh belas tahun lalu.
Akashi Masaomi baru saja menaruh rangkaian bunga pada rekaan sang istri -Akashi Shiori- yang terpampang lebar di samping tempat tidur mereka –anggap saja begitu-. Ia baru akan memasang dupa kala ponselnya memekik. Tak tahan dengan gempuran sinyal yang merengsek masuk ke dalam benda itu.
Alisnya bertaut heran. Dua patah nama terpampang di sana. Hanya sepersekian detik ia butuhkan untuk mencerna segala kemungkinan mengapa nama itu menghubunginya di pagi buta seperti ini. Jemarinya menggeser tanda hijau. Mempersilahkan suara di seberang laut membanjiri pendengarannya.
"Mulaikan saja."
Setelah itu ponselnya meredup. Menandakan kepentingan telah usai. Sang Tuan Besar mendelik heran. Sebelum akhirnya mengembuskan napas dengan semringah terjejak di wajahnya yang sudah meretak. Sekilat sendu terbit di matanya. Kemudian tergantikan oleh sekelebat rasa yang tak dapat diartikan.
"Shiori, bunga yang kau simpan akan segera layu di tanganku." Matanya menatap senyum abadi sang istri dengan sinis. Entah apa yang ia pikirkan hingga berani mengusik kedamaian permaisurinya itu. Yang jelas, itu akan menjadi mimpi buruk bagi Shiori di nirwana sana.
*****
Osaka. 08:30.
Lalu lalang siswi dengan seragam berwarna pink cerah memenuhi setengah sekolah. Semuanya terlihat indah. Namun mubazir karena tak ada yang mengimbanginya. Dan bagi SMA Yobushina, tidak ada lelaki bukan berarti para siswi di sana bebas layaknya di surga. Justru kehilangan sosok berjakun membuat warna mereka tidak secerah seragam yang mereka kenakan.
SMA berbasis asrama khusus putri itu adalah salah satu sekolah swasta yang cukup elit di kawasan sekitarnya. Didedikasikan untuk menampung para kupu-kupu yang berterbangan di luar sana. Menjamin mereka aman dari jaring para pemburu serangga.
Aruka Kugori memandangi kerja kerasnya dari gedung utama. Menyaksikan para kupu-kupu itu dengan senyum yang ia ukir bangga. Walau terkadang, sesak menghampiri dadanya yang sudah terlalu rapuh.
"Aru-jisama, ada surat untuk Anda."
Suara agak berat membuatnya menoleh. Di ambang pintu yang terbuka lebar, sesosok perempuan berdiri tegak. Seragamnya yang cerah sedikit tertutup oleh rambut hitamnya yang sudah sepinggang itu.
"Yousuka, apa dirimu selalu mendapat nilai rendah di pelajaran Etika hingga mengetuk pintu pun kau tak bisa?" ucapnya begitu melihat senyum di wajah perempuan itu. Cukup menusuk untuk kategori suara dingin khas orang tua.
Gadis itu segera melunturkan senyum dan wajahnya menghadap bumi. Kakinya diseret perlahan. Seolah ada balok yang terikat di kedua tungkai itu. Setelah sampai di depan meja berkayu mahoni, ia meletakkan sebuah kertas persegi panjang.
"Gomen nasai, Aru-jisama. Sa-saya hanya tak ingin mengganggu waktu senggang Anda. Dan juga kebetulan pintunya terbuka sedikit tadi," ucap gadis bernama lengkap Yousuka Ainawa itu. Kepalanya nyaris membentur meja ketika memaksa tubuh kecilnya untuk membungkuk. Sebuah permintaan maaf yang kurang tulus. Dan Aruka mengetahuinya.
Sebagai pemilik sekaligus pemimpin di sekolah itu, Aruka sudah terbiasa dipanggil Tuan oleh semua kalangan. Termasuk para murid yang sesekali ia ajar. Namun, sudah menjadi rahasia umum jika hanya ada segelintir orang yang bisa memanggilnya dengan nama lain. Dan Yousuka adalah salah satunya.
Tak ada jawaban atas permintaan maafnya. Namun, adakalanya perintah itu bukanlah sebuah gelombang suara. Dan Yousuka mengerti akan hal itu.
"Kalau begitu, saya permisi." Yousuka segera berbalik. Membuat rambutnya yang diikat tinggi terkibas di bagian ujung.
"Rain ..."
Kosa kata asing itu cukup untuk membekukan Yousuka. Langkahnya terhenti dengan sempurna di ambang pintu yang hendak ia tutup. Matanya menatap awas pada lelaki tua di depannya. Bukan pertanda baik jika dia mendengar kata yang merupakan nama lainnya itu.
"Ya?" cicitnya.
"Berapa umurmu sekarang?"
Kepala Yousuka menyentuh bahu. Benar-benar di luar prediksinya karena pamannya itu menyalahgunakan nickname tersebut.
"Eh? Tujuh belas tahun?" jawab Yousuka ragu. Kebingungan terhadap sikap Aruka membuatnya sedikit meragukan tahun yang sudah ia habiskan.
Aruka mengembuskan napas. Kemudian kembali menatap luar sana. Menghapus eksistensi Yousuka yang masih membatu di belakangnya.
"Kumpulkan semua Straight ketika pulang sekolah. Ada yang ingin aku bicarakan dengan kalian."
Seketika aliran darah meninggalkan wajah Yousuka. Membuat wajahnya itu tak lebih dari kulit mayat yang sudah mendingin. Ia hanya menelan ludah sebelum akhirnya menyanggupi permintaan yang membuatnya melemas itu.
"Yes, Mr. Storm," desisnya perlahan.
*****
Osaka. 12:45.
"Bagi yang disebut namanya, harap menuju ruang Direktur Utama."
Suara yang bergaung dari speaker di setiap sudut ruangan itu seolah membekukan waktu. Seluruh aktifitas di sekolah lumpuh sementara. Setiap orang memasang telinga. Tidak ada yang bisa menjamin apa yang terjadi jika nama mereka disebutkan oleh si penyiar itu.
"Dari kelas 3-1, Asakura Haruka-san dan Yuka Yoshioka-san."
Di kelas paling ujung, dua orang segera mengangkat muka. Mengacuhkan soal Matematika yang terjejak pada lembaran-lembaran yang seharusnya mereka tuntaskan. Segera meminta izin kepada sensei yang bertugas untuk memenuhi panggilan itu.
"Dari kelas 2-1, Naimiya Hanaru-san dan Yousuka Ainawa-san."
Seorang gadis yang tengah mengulum permennya segera mendongak ke atas. Memandangi speaker yang ada di sudut perpustakaan. Seolah meminta kepastian bahwa ia tidak salah dengar. Tak ada jawaban. Ia mendengus. Sekali hentak, ia segera menutup buku –sekaligus pintu perpustakaan- di depannya dengan keras.
"Dan dari kelas 1-1, Kuruka Akari-san, Akio Karaniya-san, Narahashi Akemi-san, Hoshitsuki Icha-san, Yuuki Arisa-san, dan Fukuda Mika-san."
Jeritan orang-orang di kantin segera terdengar kala beberapa mangkuk dan piring berjatuhan. Sekelompok gadis yang merupakan tersangka kejadian tak memedulikan hal itu. Derap langkah kaki mereka yang menginjak bumi justru membungkam isi kantin. Berisyarat mereka harus segera menjauhi tempat itu.
Dan kini, Yobushina seolah mengalami gempa lokal. Sayap para kupu-kupu itu terlalu dikepak kencang. Seolah ada pemburu serangga yang menyeringai di belakang mereka. Dan satu-satunya tempat yang aman ialah ruangan di balik pintu raksasa itu; Kantor Direktur Utama.
Yousuka yang sudah menunggu dari tadi akhirnya menarik napas lega. Segerombolan gadis seusianya yang datang dari berbagai penjuru itu tak ubahnya oase di padang pasir. Benar-benar membuatnya merasa lebih segar.
"Minna, mengapa kalian lama sekali? Ayolah. Ini bukan negara Ibu yang di mana semua jamnya adalah karet!" sindir Yousuka begitu melihat "saudara-saudara"-nya itu.
"Memang! Ini adalah Jepang. Tapi tetap saja tidak ada orang yang bisa mengambil langkah seribu di tengah ulangan matematika Yoona-sensei!" tukas Asakura seraya merampok oksigen sebanyak yang ia bisa. Sementara Yuka di belakangnya hanya bisa meniru.
"Dan entah berapa yang harus kami keluarkan untuk mengganti mangkuk dan piring kantin karena panggilan mendadak itu ..." kini, giliran Narahashi yang mengeluarkan argument. Para pengikutnya hanya bisa mengangguk. Membenarkan orang yang notabene paling depan ketika berlari itu.
Yousuka segera memandang Naimiya. Gadis itu masih mengulum permennya. Tak ada bantahan atau protes yang terbit dari gadis dengan tinggi 170 cm itu. Membuat Yousuka merasa jengkel karena ia terpaksa mendongak demi menatap teman sebangkunya itu.
"Kira-kira ada apa Aru-jisama memanggil kita semua?"
Entah celetukan siapa yang terdengar kali ini. Tak ada yang menjawab karena semuanya juga tidak ada yang tahu. Yang pasti ini adalah sesuatu yang genting. Mengingat yang dipanggil semua adalah keponakan dari Aruka. Atau jika merujuk pada istilah si Tuan Besar, Straight.
Mewakili sepuluh orang termasuk dirinya yang masih tertahan di depan sebuah pintu besar, Yuka akan mengetuk pintu. Namun belum saja engselnya bergerak, sendi pintu itu sudah lebih dahulu mengambil langkah. Memberikan mereka akses untuk menemui sang empunya ruangan.
"Aru-jisama ..." sapa Asakura perlahan. Takut menaikkan darah paman mereka yang terus saja mematung di depan kaca. Mungkin sedang mendengar kicauan burung yang berdendang di luar sana.
"Ooh ... Straight rupanya." Tubuh setinggi 185 cm itu berbalik. Kembali mematung dengan pandangan kosong yang membuat Straight menautkan alis mereka.
"Ada apa Aru-jiisama memanggil kami semua?" tanya Yuuki memberanikan dirinya. Semua menelan ludah. Khawatir jika pertanyaan itu berbalas sesuatu di luar dugaan.
"Tugas utama kalian telah datang ..."
Seketika, malaikat kematian datang. Menyabit seluruh jiwa di dalam tubuh para gadis itu. Membiarkan tubuh mereka menjadi patung mahakarya hanya karena satu kalimat yang terlontar pelan dari pita suara di depannya. Dan seringai Aruka pun seolah menutup waktu.
.
.
Benang mulai terulur perlahan. Jiwa pun memasuki labirin gelap nan menyeramkan. Tidak ada yang tahu apa yang menunggu mereka di setiap kelokan. Mungkin saja Penyabit Bertudung Kegelapan atau malah Vampire yang haus akan kehidupan.
Tidak ada yang bisa mereka bawa. Hanya segulung benang di genggaman sebagai bekal. Misteri masa depan mereka masih dirahasiakan. Dan itu tergantung dari cara mereka menarik-ulur bayang benang yang mereka pintal.
Dan denting lonceng permainan pun terdengar.
.
.
Huft ...
Akhirnya aku bisa update juga! Etto... Gomen nasai jika kalian merasa chapter ini kurang daripada sebelumnya. Soalnya aku membuat ini di tengah konflik berkepanjangan di rumahku. //curhat dikit gpp kan?
Yosh! Mungkin sampai 2-3 chapter ke depan, para Kiseki no Sedai belum terlalu mengambil bagian. Untuk sementara, para OC alias Straight yang akan menemani kalian. Btw, Semoga kalian senang dengan ceritaku ini! See ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top