Babak iii: Tanda Tanya
Padma mendapati wujud Adhara berubah-ubah dalam mimpinya.
Pada satu malam, pria itu adalah sosok manusia yang sering Padma lihat. Tetapi, entah kenapa, tubuhnya terlihat begitu kecil, sampai-sampai Padma harus memasukkannya ke dalam bajunya dan membawa pria itu berkeliling hutan; berpikir bahwa Adhara tidak akan baik-baik saja kalau Padma meninggalkannya sendirian.
Pada malam berikutnya, Adhara menjelma seekor ular raksasa, yang begitu panjang sehingga mampu membelit sekujur tubuh Padma dan gigi-giginya menghunjam kulit Padma dan membuatnya terbang ke langit ketujuh.
Pada malam berikutnya lagi, Padma mendapati Adhara dalam wujud seekor ikan kecil, yang masuk ke dalam tubuhnya dan berenang-renang mengitari perutnya dengan cara yang membuat Padma menggeliat nikmat.
Dan ketika Padma terbangun, hal pertama yang muncul di dalam kepalanya adalah: kenapa Adhara selalu hadir dalam wujud binatang pada mimpi-mimpinya?
Padahal, selama ini, Padma selalu percaya bahwa dirinyalah yang lebih mirip binatang di antara mereka berdua. Bahwa setiap kali mereka bertemu, sisi binatang dalam dirinya selalu bangkit dan mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan oleh manusia bermartabat—atau setidaknya, itulah yang dikatakan oleh kebanyakan orang dan tertanam di dalam kepalanya.
Adhara, sementara itu, adalah penjaga hutan. Penguasa alam. Agak aneh rasanya ketika ia menyaksikan pria itu menjelma binatang; sebab Padma selalu memandang Adhara sebagai perwujudan dari sebuah dunia yang ingin ia tinggali.
Pertanyaan itu menjelma teka-teki yang bersarang di dalam kepala Padma, yang senantiasa mengikutinya bersama kerinduannya untuk bertemu dengan Adhara.
Maka, setiap kali mimpi itu muncul, Padma akan mencatatnya, dan membacanya kembali setiap kali ia memiliki waktu senggang; sembari menebak-nebak—apa kiranya makna dari mimpi-mimpi itu.
Sadar bahwa ia tidak bisa bertanya pada teman-temannya soal hal ini—termasuk juga pada Irina; sekalipun sahabatnya itu adalah seorang pendengar yang sangat baik—Padma memilih untuk memecahkannya sendirian, sembari ia mengunjungi Adhara dan berharap bahwa berada di dekatnya bisa memberinya jawaban cepat atau lambat.
.
.
"Kamu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu, Padma."
Padma mengangkat wajahnya dari buku yang tengah dibacanya dan mengulas senyum tipis. "Hanya beberapa hal konyol," katanya. "Tidak penting."
"Hal konyol seperti apa?"
Padma menggeleng, sementara bibirnya masih membentuk senyum. "Aku tidak perlu menceritakan semuanya padamu, kan, Adhara?" Lagi pula, rasanya amat konyol jika ia bercerita soal mimpi itu pada Adhara. Ia bahkan tidak yakin jika penjaga hutan sepertinya akan memahami konsep mimpi seperti halnya manusia biasa.
"Tidak, tapi kau akan membuatku sangat penasaran." Bola mata dengan perpaduan warna hijau-biru milik pria itu menatapnya lekat-lekat, dan Padma langsung teringat pada sungai panjang yang hanya beberapa langkah jauhnya dari tempat mereka duduk.
Dan pertanyaan itu kembali membayanginya. Bagaimana mungkin aku memimpikan Adhara sebagai ikan dan bukan sebagai sungai?
Selama beberapa menit lamanya pikirannya berkelana, sampai suara Adhara mengembalikannya pada realitas. "Kau melamun lagi," katanya, dan Padma baru menyadari bahwa telapak tangannya yang besar mendarat pada pipinya. "Kau jadi membuatku ingin tahu soal apa yang ada di dalam pikiranmu."
Ujung bibir Padma tertarik naik. "Kurasa ini bukan jenis pemikiran yang bisa kusampaikan dengan kata-kata."
"Lantas dengan apa?" tanya Adhara. "Apakah kau akan melekatkan bibirmu dengan bibirku lagi?"
Senyum Padma menyusut, sementara panas mulai merambati kedua pipinya ketika ia mengingat ciuman pertama mereka yang terjadi beberapa waktu silam. "Apa?"
"Aku tidak bisa melupakan hari itu," kata Adhara sungguh-sungguh. "Kau adalah manusia pertama yang melakukan hal itu padaku, dan aku bertanya-tanya apakah bibir seorang manusia sekuat ini."
"Kuat?" ulang Padma heran. "Apa maksudmu? Apa aku sudah membuatmu terluka?"
Adhara menggeleng. "Tidak," katanya. "Aku bilang kalau bibirmu amat kuat, sebab ... rasanya seperti ada sesuatu yang baru muncul di hutan ini."
Padma masih menatap Adhara dengan bingung. Apakah makhluk sepertinya suka bicara dengan berputar-putar seperti ini? Ataukah otak Padma sedang tidak terpasang dengan benar di dalam kepalanya?
"Bisa jelaskan padaku soal sesuatu yang muncul itu?" tanyanya.
Adhara tersenyum. "Hanya kalau kau melakukan hal yang sama seperti waktu itu?"
Padma tergelak. "Apa? Menciummu?"
"Ah, jadi itu istilah yang kau gunakan ketika dua pasang bibir saling bersatu," Adhara mengerjap kagum.
"Kau belum pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya?"
"Tentu saja pernah," kata Adhara dengan kekeh yang menciptakan gema pada dinding rusuk Padma. "Tapi selama ini aku berpikir kalau ketika kamu mencium sesuatu, maka sesuatu itu tidak lebih dari bebauan. Tidak pernah di dalam pikiranku bahwa mencium bisa mendekatkan dua orang seperti itu."
Padma tergelak lagi. Dengan berani, tangannya terulur ke arah Adhara dan mendarat pada dada bidangnya yang naik-turun dengan lembut, dan perlahan-lahan ia mengikuti ritme napas pria itu.
"Kalau begitu, bagaimana kalau kita sama-sama belajar?" usul Padma. Dengan demikian, Adhara bisa memuaskan rasa penasarannya pada Padma, begitu pula Padma mampu menemukan jawaban atas apa yang selama ini membuntutinya; baik dalam dunia nyata maupun dalam mimpinya.
Senyum Adhara melebar. "Kurasa itu ide yang bagus sekali."
Padma membalas senyumnya, sebelum mempertemukan bibir mereka kembali.
Kali ini, seperti seorang anak kecil yang mampu belajar dengan cepat, Adhara membalasnya dengan cara yang membuat jiwa Padma seolah melambung.
Tetapi, entah kenapa, kenyataan bahwa Adhara merengkuhnya saat itu menumbuhkan sesuatu yang berbeda di dalam dadanya.
Bahwa ia tidak terperangkap di dalam tubuh Adhara.
Adhara-lah yang terperangkap di dalam tubuhnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top