22 | Latibule

Sarah terbangun dari tidur panjangnya setelah seharian tidak sadarkan diri.

Gadis itu mendapati dirinya berada di suatu ruangan yang sangat asing. Bangunan itu terbuat dari kayu, terdapat perapian, meja makan dan juga bunga lili yang dipajang dengan vas di atas nakas. Sarah kembali mengedarkan pandangannya. Kali ini dia tertuju pada jendela di dekatnya. Setelah melihat dia berada di mana, kini dia yakin, sedang tidak berada di lautan. Tubuhnya hampir ingin bangkit untuk melihat jendela, namun tiba-tiba terhenti saat pintu rumah tersebut tersebut terbuka.

Shanks datang membawa sebuah brankas kecil dan tas jinjing di pundaknya. Dia tersenyum sumringahnya saat melihat Sarah yang sudah terbangun. Melihat kedatangan pria itu membuat Sarah terdiam, dia menundukkan kepalanya seraya meremas selimut yang tengah dia kenakan. Ingatan kemarin masih teringat sangat jelas, sehingga membuatnya tidak bisa menatap Shanks lama-lama.

"Hey, kau lapar?"

Shanks menaruh brankas tersebut di pinggir ranjang dan menarik kursi untuk duduk di menghadap dirinya.

"Ayah ... Kita ada di mana?"

"Desa Rotten. Pulau Grassland. Salah satu wilayah yang berada di bawah perlindungan bajak laut Akagami. Kita aman di sini."

Sarah mengernyit. Merasa familiar dengan nama tempatnya. "Ini pulau yang pernah kita datangi itu, bukan? Tempat aku beli pembalut bersama Ayah beberapa hari yang lalu."

Shanks mengangguk. Pria itu memberikan tas jinjing tersebut kepadanya. Sarah langsung melihat isinya, yang ternyata terdapat sebuah kotak makan. Aroma ayam goreng langsung tercium, membuat perut Sarah jadi semakin lapar.

"Makanlah. Matilda yang masak. Dia yang mengurusmu seperti menggantikan pakaian basahmu. Beruntung kau tidak sampai demam."

Sarah belum melakukan apa-apa. Dia terdiam, perlahan menatap ayahnya. "Ayah." Gadis itu memanggil.

Shanks kembali tersenyum. "Iya, kenapa?"

"Maaf, dan ... Terima kasih."

"..."

"Aku tidak tahu harus bilang apa. Yang jelas aku memang benar-benar bodoh. Aku marah, dan aku tidak bisa berpikir jernih saat itu. Aku minta maaf telah pergi tanpa pamit dengan kalian. Bahkan aku tega menghajar Ayah, membenci Ayah, bahkan mengatakan Ayah yang tidak-tidak. Aku ..."

"Tidak apa-apa, Sarah. Ayah paham bagaimana perasaanmu. Ayah akan selalu memaafkanmu."

"..."

"Yang terpenting sekarang kru bajak laut Akagami telah kembali lengkap. Anak ayah sudah kembali." Shanks mengelus kepalanya Sarah lembut.

Tapi, senyum Sarah tiba-tiba luntur. Dia teringat dengan sesuatu, alhasil dia menatap Ayahnya dengan ragu. "Tapi Ayah, aku tidak mungkin meninggalkan Dressrosa."

Shanks terdiam, dia menatap anak semata wayangnya itu selama beberapa detik. Namun pria itu tidak merasa keberatan. Dia paham bahwa kini putrinya bukan lagi anak 14 tahun yang tidak punya arah akan kemana membawa hidupnya pergi. Kini Sarah sudah memiliki kehidupannya sendiri.

"Sarah. Kau tidak perlu merasa terbebani. Kau putri Ayah. Kau juga adalah anggota bajak laut Akagami. Tapi kau juga memiliki kehidupanmu sendiri. Ayah sama sekali tidak keberatan jika kau ingin kembali ke Dressrosa. Selama hubungan kita kembali membaik, itu sudah lebih dari cukup."

Sarah tersenyum dengan haru. Gadis itu mendekat dan memeluk Shanks. Keduanya sangat merindukan satu sama lain. Pelukan tersebut terlepas setelah semenit kemudian. Sarah membuka kotak makanan pemberian Matilda, sedangkan Shanks membukakan brankas kecil yang barusan dia bawa.

"Sarah. Ini adalah kumpulan surat yang dibuat oleh ibumu menjelang hari persalinannya. Ibumu sudah tahu apa yang akan terjadi, makanya dia membuat banyak surat. Dia titipkan ini ke Ayah dan meminta untuk memberikannya kepadamu saat kau berusia 17 tahun. Mungkin ini agak telat, sebab kau tidak bersama kami saat itu. Tapi itu bukan lagi masalah. Kau bisa membacanya."

Rasa lapar Sarah seketika hilang. Dia menatap brankas tersebut, melihat banyak tumpukan surat dari kertas berwarna-warni. Gadis itu menatap Shanks yang sedari tadi juga menatapnya.

"Ayah kenapa tidak memberikannya sejak awal aku datang? Mungkin aku tidak akan memberontak dan menyakiti hati Ay—"

"Sarah ... Semuanya sudah berakhir. Jika Ayah memberikannya lebih awal, kau tidak mungkin bisa melihat kemampuan bertarung Ayah yang mengalahkan kapten bajak laut Squirrel dengan sekali serang! Hahaha!"

Sarah mendengkus. Bisa-bisanya dia mengatakannya dengan sombong, sebab bisa menjatuhkan lawannya semudah itu, sedangkan dia saja mati-matian untuk sekedar melayangkan serangan. Dia tidak bisa membayangkan pertempuran antar bajak laut di New World ini. Pengalaman dan usia memang tidak pernah bohong.

"Ya sudah, habiskan makananmu. Setelah itu kau boleh berkeliling dan menyapa kru kapal yang lain."

Sarah mengangguk. Shanks bangkit dari duduknya dan hendak meninggalkan dirinya. Tapi sebelum pria itu pergi, gadis itu kembali memanggilnya.

"Ayah! Terima kasih!"

Shanks tersenyum. Lalu mengacungkan jempolnya.

* * *

Sarah tidak pernah tahu jika ternyata di desa Rotten adalah tempat di mana Giselle dimakamkan. Sebelum Sarah dan yang lain melanjutkan perjalanan, mereka menyempatkan diri untuk berkunjung. Sarah dan Shanks membersihkan makam Giselle dari rerumputan dan tanaman-tanaman belukar yang menutupi nisannya. Tak lupa memanjatkan doa dan menaruh sebuket bunga lili putih di sana. Sarah yang memilih sendiri bunganya. Dia tahu, arti bunga lili sendiri melambangkan kemurnian. Sama seperti perasaan Ayah dan Ibu yang murni saling mencintai tanpa syarat. Melambangkan simbol kemurnian hubungan antara anak dan orang tua, sama seperti hubungannya dengan Shanks.

Setelah ziarah ke makam Giselle, mereka kembali menuju dermaga. Red Force sudah siap untuk kembali berlayar mengantar Sarah ke Dressrosa. Benar, Sarah memutuskan untuk kembali ke kehidupannya yang dia bangun sendiri. Menjadi barista, penjaga toko, sekaligus instruktur senam. Dia merindukan semuanya. Bahkan dia juga merindukan Alexis.

"Sarah! Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu!" teriak Lime.

Shanks maupun Sarah terlihat bingung. Terlebih saat mereka melihat sosok pria tengah berdiri memunggungi mereka. Pakaian serta topi yang dia kenakan terlihat familiar bagi Sarah. Namun sebaliknya bagi Shanks. Pria itu justru menahan tangan Sarah agar tidak menghampiri pria itu.

"Sabo!" panggil Sarah.

Pria bernama Sabo itu menoleh dan berbalik badan. Senyumnya merekah saat melihat gadis berambut merah yang dia temui di pulau Channia kemarin. Dengan sopan Sabo menghampiri, membungkukkan tubuhnya seraya melepas topinya untuk menyapa Sarah dan Shanks yang sedari tadi melempar tatapan bengisnya. Shanks juga tidak tahu kenapa tiba-tiba perasaannya jadi tidak enak. Instingnya sebagai ayah tiba-tiba aktif saat kehadiran pria berambut pirang dengan bekas luka bakar di mata kirinya.

"Sabo? Bagaimana bisa kau tahu aku ada di sini?" tanya Sarah, kini tangannya sudah dia lepaskan dari tangan ayahnya.

Sabo tersenyum. "Aku melacakmu dengan burung gagak peliharaan rekanku."

"Lancang sekali kau!" Shanks tidak tahan untuk mengomelinya.

"Ah, maaf atas kelancangan saya, Tuan Akagami. Aku ke sini juga ingin menemuimu."

Shanks menaikkan salah satu alisnya. Tatapan bengisnya masih belum bisa dia hilangkan. "Menemuiku? Ada urusan apa bocah ingusan seperti kau ingin menemuiku?!"

"Ayah!" Sarah memukul lengan ayahnya yang menyambut Sabo tidak ramah.

"Ah, begini. Namaku Sabo. Aku ingin berterima kasih karena kau telah menyelamatkan adikku saat berada di Desa Foosha. Aku kakaknya. Sekaligus saudara Ace."

Mendengar nama Luffy dan Ace disebut, ekspresi Shanks langsung berubah. Wajahnya tiba-tiba langsung cerah. "Kau ternyata kakaknya Luffy? Tapi Ace bilang kalau kau sudah tewas tenggelam!" kata Shanks mengingat-ingat cerita yang pernah dia dengar dari Ace.

Entahlah Sarah tidak kenal. Sepertinya ini terjadi saat dia sedang pergi.

"Ceritanya cukup panjang. Aku diselamatkan oleh Tuan Dragon, dan mengalami amnesia. Ingatanku berhasil pulih seratus persen saat melihat kabar kematian Ace."

Shanks terdiam sejenak. Kini Sarah mulai agak paham. Ternyata Ace yang dimaksud adalah Portgas D. Ace, sang kapten divisi 2 dari bajak laut Whitebeard. Dia dihukum mati dua tahun yang lalu dan proses eksekusinya itu disiarkan secara langsung di seluruh dunia. Sarah sempat menontonnya, meski tidak sampai akhir karena sibuk mengurus toko.

"Tuan Dragon kau bilang? Sang pemimpin pasukan revolusi?"

"Benar."

Shanks lagi-lagi tersenyum, sedikit tertarik dengan latar belakangnya. Pria itu mengambil sesuatu dari sakunya. Memberikan secarik kertas Vivecard miliknya pada Sabo. "Maaf, Sabo. Biasanya aku selalu menyambut tamuku dengan pesta. Tapi kami harus segera mengantar Sarah pulang. Lain kali mampirlah temui aku. Kita akan menyambutmu dengan lebih layak."

Sabo meraih kertas tersebut lalu membungkuk, mengucapkan terima kasih. Pria itu kembali menatap Sarah. Dia mendekat seraya memberikan sesuatu yang dia ambil dari saku jasnya. Sebuah kalung berliontin oval yang terdapat batu ruby di tengahnya. Sarah dan Shanks sedikit terkejut.

"Dari mana kau menemukannya?" tanya Sarah, menerima kalung tersebut.

"Aku menemukannya di sekitar pulau Channia. Saat aku mengecek isinya, foto itu mirip kau dan ayahmu."

Sarah menatap pria itu dengan penuh binar di matanya. "Terima kasih, Sabo!"

"Sama-sama. Kau juga membantuku waktu itu. Kau ingat?" Sabo membalasnya dengan senyuman tak kalah manis. Membuat Sarah jadi merasa segan untuk kembali menatap wajahnya.

"Hey! I think that's enough!" Shanks menarik kerah pakaian Sabo agar menjauh dari putrinya. Insting ayahnya kembali aktif. "Jangan macam-macam dengan putriku, pirang!"

"Maaf. Maaf. Kalau begitu aku izin pamit pergi."

"Ya, sana pergilah!" usir Shanks.

Tapi Sarah cepat-cepat menahan Sabo. Mereka kembali bertatapan. "Hey, tunggu. Kau pernah bilang. 'Tak semua anak bahagia hidup dengan orang tuanya', bukan?"

"Iya. Ada apa?"

Sarah tersenyum. "Kau memang benar. Tapi aku akan menambahkan, bahwa; 'Tidak semua anak bahagia tidak tinggal dengan orang tuanya'. Aku bahagia selama tinggal dengan ayahku."

Sabo menyentuh kepala Sarah, mengusapnya sejenak. "Sudah aku bilang bukan. Kau memang merindukan ayahmu."

Shanks yang mendengar tidak jadi marah saat melihat pria pirang itu menyentuh kepala anaknya. Dia justru dibuat terdiam saat mendengar fakta kalau Sarah selama ini merindukan dirinya.

"Baiklah. Aku pergi dulu, Merah! Sampai jumpa!"

"Ya, sampai jumpa!"

* * *

Mereka tiba di Dressrosa sejak 15 menit yang lalu. Kapal sengaja berlabuh di luar dermaga agar tidak mencolok perhatian orang-orang. Yang ikut mengantar Sarah hanya Benn, Hongo dan Shanks. Tapi sang kapten meminta dua rekannya itu untuk menunggu di dermaga saja, sebab Shanks hanya ingin dia seorang yang mengantar Sarah ke apartemennya. Sekalian, pria itu ingin melihat seperti apa tempat tinggal putrinya selama merantau.

"Dulu pertama kali datang, aku dan Alexis tinggal di losmen itu, Ayah. Hanya sebulan sebelum akhirnya kami diberi bantuan oleh Nenek Rene untuk bekerja di toko dan kafenya." Sarah menunjuk ke arah bangunan losmen sederhana yang kebetulan mereka lewati.

"Renezme?" tanya Shanks.

Sarah mendongak. "Ayah kenal Nenek Rene?" tanyanya.

Shanks menggaruk belakang kepalanya. "Dia salah satu kenalan Benn. Dia yang selalu memberikan informasi tentang kamu selama dua tahun terakhir."

Sarah terkejut. Menarik tangan Shanks. "Jadi selama ini Ayah tahu aku ada di mana? Kenapa Ayah diam saja?!"

Shanks berdeham. "Ayah masih takut. Kejadian 5 tahun lalu selalu menghantui Ayah! Kau tahu, selama 5 tahun ini Ayah tidak bisa tidur dengan tenang karena mengingat terus perkataanmu!"

Sarah menghela napas. Percuma juga pria itu dapat gelar kaisar laut, dan menjadi orang yang paling ditakuti di lautan, tapi dirinya saja takut oleh ucapan putrinya? Benar-benar tidak masuk akal! Tapi tidak masalah. Toh, semuanya sudah baik-baik saja sekarang. Sarah berjalan sambil memeluk lengan ayahnya. "Maaf ya, Ayah."

Shanks pun hanya tersenyum. Dia ingin mengusap kepala gadis itu, tapi tangannya hanya tinggal satu. Akhirnya mereka terus berjalan selama 3 menit, hingga sampai di bangunan apartemennya. Bentuknya sangat sederhana. Mereka naik ke lantai dua, menuju pintu unit nomor 5. Baru saja Sarah ingin mengambil kunci di tasnya, pintu unit nomor 16, di seberangnya terbuka. Alexis tiba-tiba keluar seraya memanggilnya dengan berteriak.

"SARAH!! YOU'RE ALIVE!"

Wanita itu langsung memeluk Sarah erat-erat sampai gadis itu tidak bisa bernapas. Kemudian Alexis menatap sahabatnya itu dari ujung kaki sampai ujung kepala, mencari bekas luka atau memar takut sahabatnya itu kenapa-kenapa. "Kau terluka? Kau tidak apa-apa, kan?! Kau sudah makan?! Aku masak banyak banget dan kau harus menghabiskannya! Dan siapa pria tua ini?! Kau masih muda, tapi seleramu benar-benar payah!"

Sarah langsung melepas rengkuhan Alexis, dan menggerutu kesal. "Aku baik-baik saja! Dan dia ayahku! Jangan asal berbicara kau! Aku ini masih normal!"

Shanks tertawa kecil. Menatap mereka yang terlihat sangat akrab. Alexis yang baru sadar jika pria bertubuh tinggi besar itu adalah ayah sahabatnya, membuat wanita itu langsung canggung di tempat. Dia berdeham, dan membungkukkan tubuhnya ke arah Shanks.

"Maaf atas sikapku, Paman."

"Hahaha! Tidak apa-apa, santai saja! Kau pasti Alexis, kan? Sarah banyak cerita tentangmu. Terima kasih sudah menjaga putriku. Aku berhutang banyak padamu."

Alexis sebenarnya agak takut berhadapan langsung dengan seorang kaisar laut. Selama mengenal Sarah, dia selalu membayangkan ayah sahabatnya itu dingin, tanpa ekspresi, kejam dan akan membunuh siapapun yang dilihat. Tapi saat bertemu langsung, meskipun wajahnya seram dengan 3 luka cakar di matanya, namun dia terlihat ramah.

"Alexis, kau tunggu di unitmu saja. Nanti aku datang." Sarah membuka pintu unitnya.

Merasa paham, wanita itu pun pamit dan kembali masuk ke dalam unitnya. Menyisakan Sarah dan Shanks yang masuk ke dalam unit nomor 5 itu. Ruangannya cukup luas, meskipun tidak bisa dikatakan besar. Cukup untuk ditinggali maksimal oleh 2 orang. Ada dapur mini, sofa, tempat tidur dan kamar mandi. Di depan ada balkon kecil untuk menjemur pakaian. Sarah menaruh tas ransel dan barang bawaannya. Dia membuka jendela dan pintu balkon. Tak lupa merapikan beberapa lipatan baju di sofa agar bisa diduduki oleh ayahnya. Mungkin bagi Sarah atau Alexis kamar ini cukup luas. Tapi bagi Shanks ini sangat sempit. Beruntung yang datang hanya dia seorang. Bagaimana jika kru kapal semuanya datang?

Shanks sedari tadi meneliti setiap barang yang tertata. Foto-foto yang kebanyakannya adalah fotonya dan Alexis yang mengunjungi pantai, museum, konser, dan pameran seni, lalu beberapa piala lomba melukis yang Sarah pajang di atas meja.

"Aku dijebak Alexis untuk ikut lomba melukis, dan ternyata aku berhasil menang."

Sarah menjelaskan seraya membuka kulkas dan mengeluarkan dua kaleng soda. Shanks terdiam, andai dia berada di sana saat anak itu lomba. Pasti acara itu akan ramai karena semua kru kapal ikut menonton dan memberikan jargon penyemangat untuk anak perempuan satu-satunya di kapal. Pria itu pun duduk di sofa. Kembali menatap ke sekeliling.

"Kau nyaman tinggal di sini? Tidak ada yang mengganggumu, kan?" tanya Shanks.

Sarah menggeleng. "Tidak ada kok, aku suka tinggal di sini."

Shanks mengangguk-angguk. "Syukurlah. Berarti Ayah tidak perlu khawatir lagi." Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah kain hitam yang dilipat serta denden mushi. Sarah menerimanya, dan melihat kain tersebut. Sebuah lambang Jolly Roger milik bajak laut Akagami.

"Sejauh apapun kita berpisah, kau akan tetap menjadi anak ayah. Bajak laut Akagami selalu menerimamu untuk pulang. Ayah akan selalu selalu siap menjadi tempat kamu berpulang, Sarah." Shanks menatap Sarah lembut.

Sarah tidak tahu harus mengatakan apa. Namun gadis itu mendekat, dan memeluk pria itu. Aroma alkohol bercampur garam dan sedikit musk menyapa indra penciumannya. Sejak dulu, Sarah selalu suka aroma ini. Aroma rumah yang menjadi ciri khas baginya sejak kecil. Sarah memang pernah menjadi anak yang pembangkang dulunya, tapi dia tidak akan pernah menemukan rumah senyaman pelukan ayahnya.

This hug ... It feels just like ... home.

"Aku sayang Ayah."

Shanks membalas pelukan putrinya dengan mengusap kepalanya. Mencium rambutnya dan membiarkan mereka berada di posisi itu lebih lama lagi. "Ayah juga selalu menyayangimu."

Sarah pun melepas pelukannya. Matanya sedikit berair karena terbawa suasana. "Titip salam buat yang lain ya, Ayah! Makasih juga, mereka sudah memberikan aku banyak hadiah." Sarah menatap kantung besar yang berisi barang-barang hadiah pemberian dari para kru kapal bajak laut Akagami.

Shanks mengangguk. Dia membuka kaleng soda dan meneguknya dengan terpaksa sebab tenggorokannya terasa kering. Shanks tidak terlalu suka minuman bersoda. "Kau tidak punya bir atau sake?"

"Aku payah soal minum alkohol. Biasanya ditraktir Alexis."

"Kapan-kapan minumlah bersama Ayah!"

Sarah memutar bola mata jengah.

Akhirnya 5 menit kemudian, Shanks pun pamit. Dia kembali memeluk anaknya, tak lupa mengecup keningnya sebagai perpisahan. Kemudian pria itu mengatakan sesuatu sebelum dia meninggalkan unit apartemen.

"Jika kamu ingin kembali berlayar, hubungi Ayah Saja. 3 bulan lagi kamu ulang tahun. Ayah akan usahakan datang dan mencari penginapan di sini. Kita semua akan merayakan hari ulang tahunmu yang ke 19."

"..."

"Sarah?" panggil Shanks.

Sarah menatap ayahnya. Dia teringat sesuatu. Alhasil dia mengambil sesuatu dari rak buku dekat meja belajarnya. Sebuah buku bersampul kulit berwarna merah maroon yang sudah sedikit berdebu karena sudah jarang dibuka. Sarah memberikan buku itu kepada Shanks. "Aku pergi selama 5 tahun lamanya. Ayah tidak pernah mengetahui apa saja yang telah aku alami. Buku ini berisi foto-foto yang aku potret sejak usia 15 tahun. Aku berhasil membeli kamera dengan uangku sendiri saat itu. Aku harap dengan ini bisa mengobati luka di hati Ayah."

Shanks tersenyum penuh makna. Menerima buku itu, dan berjalan pergi meninggalkannya.

"Sarah, hati-hati dengan pria! Ayah mengawasimu!" ucap Shanks seraya melangkah menuju tangga. Pria itu berhenti sejenak dan menoleh ke arah anaknya itu. "Kau belum Ayah izinkan untuk berpacaran!"

Sarah bersedekap. "Aku ini sudah hampir 19 tahun!"

Shanks memicingkan matanya. "Bagiku kau akan selalu berusia 5 tahun!"

Setelah mengatakan hal tersebut, dia tertawa dan menuruni tangga. Meninggalkan dirinya sendirian. Tak lama dari itu, pintu unit apartemen milik Alexis terbuka.

"Jadi tadi itu Shanks Akagami?! Ayahmu?! Kau kembali akur?! What the heck?!!"

Sarah memutar bola matanya. Dan menutup pintunya dengan kencang. Gadis itu menatap kain Jolly Roger pemberian ayahnya. Senyum merekah di sudut bibirnya. Mungkin suatu saat aku akan kembali berlayar.

* * *

Latibule (n.) a hiding place; a place of safety and comfort

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top