19 | Caught Up

Masa kini.

Shanks melewatkan waktu makan malamnya. Dia menghabiskan malam itu memandangi foto mendiang istrinya seraya menandaskan 3 botol sake di ruangannya. Dia terus meracau di tengah mabuknya, sesekali menangis akan penderitaannya yang dia pikul sendirian. Andai ... Andai Giselle tidak pergi dan selamat setelah melahirkan, pasti tidak akan terasa sesakit ini. Dia telah ditinggal oleh istrinya ke tempat yang begitu jauh. Kini, anaknya pun sangat membencinya dan pergi meninggalkan dirinya.

Sekarang, semuanya begitu hancur.

Pintu terbuka setelah didobrak oleh Benn dan Hongou. Shanks terjatuh dari ranjangnya. Kepalanya terasa sangat pusing. Rasa mual di perutnya sudah tidak membendung. Pria itu perlahan merangkak, mengeluarkan muntahnya di ember yang terletak tak jauh dari posisinya. Hongou dengan sigap menghampirinya, mengurut leher sang kapten. Namun beberapa detik kemudian Shanks menepis tangan pria itu.

"Keluar! Aku sedang tidak ingin diganggu!" katanya setelah mengeluarkan isi perutnya.

Benn mendekat. Mencari keberadaan Sarah, yang dia kira berada di ruangan sang Kapten. "Di mana Sarah? Dia menghilang!"

Shanks kembali muntah, kali ini sampai terbatuk-batuk. Benn yang sudah cemas dan kehilangan kesabarannya, menarik kerah baju Shanks.

"Dasar sialan! Sarah menghilang, brengsek! Dan kau hanya asik-asikkan seperti ini?!" tanya Benn.

Shanks mendorong pria itu hingga tangannya terlepas darinya. "Sarah tidak ingin bersama kita! Berhenti bersikap seakan-akan di sini aku yang salah!" ujar Shanks.

"Apa maksudmu?"

"Dia membenciku! Dia sudah tidak menganggapku ayahnya lagi! Apa lagi yang harus dijelaskan?!" Shanks mengusap wajahnya kasar. Perlahan dia berdiri, berjalan sempoyongan hendak keluar ruangan.

Benn yang merasa masalah ini belum jelas, menahan kaptennya itu dan menutup pintu. "Jelaskan apa yang terjadi di antara kalian! Jelaskan kejadian yang terjadi 5 tahun yang lalu di pulau Kirian! Apa yang telah membuat anakmu pergi setelah mengunjungi kampung halaman ibunya?! JAWAB, SHANKS!!"

"..."

"Shanks! Anakmu kabur di saat orang-orang tengah memburunya untuk mengincar dirimu!"

"LALU APA?!!" Shanks berteriak. "Aku sudah melakukan apa yang aku bisa! Aku melakukan apa yang Giselle inginkan! Aku ... Aku gagal, Benn!"

"..."

"Aku gagal!" katanya sekali lagi. Shanks gagal menjadi suami, dia pun kini gagal menjadi ayah. "Persetan bajak laut, persetan gelar Yonko! Itu semua tidak ada apa-apanya saat aku saja gagal menjadi seorang pria!"

Benn menatap pria itu yang terlihat begitu menyedihkan.

"Apa kau sudah tidak mencintai Giselle?" Benn tiba-tiba bertanya

Tatapan Shanks tiba-tiba berubah. "Bicara apa kau ini?"

"Aku bertanya, apa kau masih mencintainya atau tidak, brengsek?!"

Shanks maju mendekati Benn. Rahangnya mengeras. "Sampai dunia berhenti berputar, aku akan tetap mencintainya!"

"Jika kau mencintainya, kau tidak mungkin menyerah terhadap anakmu begitu saja, dasar bodoh!"

Shanks terdiam. Bibirnya bergetar. Seketika dia teringat akan permohonan Giselle yang berusaha untuk mempertahankan bayinya. Memperjuangkan hidup Sarah hingga bisa terlahir ke dunia meskipun nyawa taruhannya. Sial! Apa yang dia pikirkan?!

Shanks mundur beberapa langkah. Menampar dirinya berkali-kali dan menarik rambutnya seraya terisak. "Sarah ..."

"Aku tidak tahu apa permasalahanmu dengan Sarah, hingga anak itu membencimu. Tapi aku yakin kau tidak mau anak itu mati di tangan musuhmu!"

Shanks jatuh terduduk. Pikirannya benar-benar kacau. Dia merindukan Giselle dan dia juga ingin Sarah kembali ke pelukannya.

"Dunia mulai tahu siapa identitasnya. Jika dia terlihat di publik, ada kemungkinan dia akan diculik untuk memancingmu keluar. Kita harus segera bertindak!"

Shanks terdiam. Mengatur napasnya. Meskipun kepalanya terasa ingin pecah, dia harus melakukannya sekali lagi. Pria itu masih memiliki satu kesempatan untuk memperbaiki segalanya.

"Ke Dressrosa sekarang juga. Kita akan jemput Sarah."

* * *

Sarah sedari tadi tidak bisa menahan senyum senangnya saat dirinya berhasil sampai dengan selamat ke Dressrosa, setelah menyusuri lautan selama 2 hari. Dia menempatkan kapal kincir yang dia gunakan di salah satu blok dermaga milik kenalannya. Tidak ada lambang bajak laut Akagami yang dapat membuat orang curiga. Setelah merasa kapalnya aman, dia melanjutkan langkah menuju apartemen nya. Selama perjalanan, entah kenapa rasa senang Sarah beringsut menjadi waspada. Memang orang-orang di sekitarnya tidak ada yang aneh. Toko-toko buka seperti biasanya, penampilan musik di pinggir jalan pun digelar begitu ramai ditonton oleh penduduk maupun turis.

Sarah membetulkan posisi tas ranselnya, dan melanjutkan langkahnya. Selang beberapa detik dia berjalan, seseorang menariknya menuju gang sempit dan membawanya bersembunyi di balik tumpukan kotak kayu tak terpakai. Sarah hendak berteriak, namun mulutnya segera ditutup dan terlihat wajah familiar orang tersebut.

"Alexis?!"

"Sssh!" Dia kembali menutup mulut Sarah. "Diam! Jangan berisik!"

Sarah langsung mengangguk mengerti. Alexis pun perlahan melepaskan tangannya. "Hey, kenapa harus sembunyi seperti ini? Apakah terjadi sesuatu?" tanya Sarah pelan.

Alexis menghela napas. "Kau kemana saja selama ini?! Kau bilang hanya 5 hari! Ini sudah lebih dari seminggu!" ujarnya kesal.

"Aku ... Banyak sekali kejadian yang terjadi. Aku tidak mungkin menjelaskannya satu-satu."

"Identitasmu bocor. Kau banyak dicari di kalangan para bandit dan bajak laut. Dengan kata lain, kau bodoh datang ke sini sendirian!"

Sarah terkejut. "Tapi ... Bagaimana bisa?"

Alexis melotot. "Mana kutahu! Semua orang yang mencarimu telah mengepung Dressrosa. Pihak kerajaan memperbolehkan mereka selama tidak mengacaukan kota. Artinya mereka datang ke sini hanya untuk dirimu!"

Penjelasan Alexis membuat Sarah membeo. Gadis itu mengusap kepalanya kasar. Sial! Semua tidak ada yang berjalan sesuai keinginannya.

"Dengar, tato di punggungku sempat terekspos di bar pulau Vista. Tapi mereka hanya menganggap aku anggota bajak laut Akagami! Bukan anaknya!"

Alexis menjitak kepala Sarah kesal. "Kau bodoh! Bagaimana bisa kau sampai kecolongan seperti itu!"

"Itu kecelakaan! Sungguh!" ucap Sarah. Dia super bingung sekarang. "Tapi bagaimana bisa mereka tahu aku tinggal di sini?!"

"Kau mantan kriminal. Jangan remehkan koneksi para kriminal, Merah!"

Sarah mendengkus. Bisa-bisanya wanita itu memanggilnya demikian saat situasi sedang genting seperti ini. Sarah bangkit dari posisi duduknya. Tetap akan kembali ke apartemennya.

"Kau mau ke mana? Apartemenmu sudah dikepung oleh mereka! Aku saja sudah 3 hari tidak pulang ke apartemenku!"

Gadis itu berdecak. "Terus aku harus ke mana?? Harus kembali ke Ayahku? Aku sudah susah payah kabur darinya lusa kemarin, sialan!"

Alexis ikut berdiri. Menatap terkejut sahabatnya itu. "Kau—apa?! Kau sempat menemui Shanks Akagami?!"

"Ssshh!"

Alexis mengerjapkan matanya. "Kau menemui ayahmu??" tanyanya sekali lagi dengan suara yang lebih pelan.

"Bukan menemui! Tapi ditemukan!"

"Bodoh! Harusnya kau tetap bersama mereka hingga situasi membaik!" Alexis kembali memukul kepala gadis itu. Kali ini lebih keras.

"Aw! Ayolah, Lexi! Kau tidak membantu!"

Alexis menghela napas panjang. Menatap ke ujung gang yang terlihat cukup ramai. "Sembunyikan rambutmu dan terus menunduk selama berjalan. Pastikan wajahmu tidak terlihat!"

Sarah pun mengangguk. Menggulung rambutnya dan menutupnya dengan kupluk di jaketnya. "Kita mau ke mana?" tanya Sarah.

"Rumah Nenek Rene. Tundukkan kepalamu!"

"Iya, iya!"

Sarah pun menurut, membiarkan tangannya ditarik oleh Alexis menuju jalan yang lumayan Sarah kenal. Tapi saat dia berbelok, tubuh Sarah tidak sengaja menabrak seorang pria hingga kupluk di kepalanya terlepas. Gadis itu panik, dan tanpa dia sadari dia mendongak.

"Putri Akagami!"

Dang it!

Baik Sarah maupun Alexis terkejut. Wanita itu segera memacu kakinya untuk berlari dengan tangan yang masih menarik Sarah. Sarah juga ikut berlari. Aksi kejar-kejaran pun terjadi. Rambut Sarah yang digulung pun kembali terurai, membuat orang-orang yang mencarinya langsung tersadar akan keberadaannya. Sarah kembali mengutuk situasi ini. Melepaskan tangannya dari sahabatnya itu dan berhenti. Dia menghadap ke arah para gerombolan orang-orang yang mengejar mereka.

"Sarah, apa yang kau lakukan?!"

Sarah menatap tajam ke depan, tidak menghiraukan Alexis yang berseru marah di belakang. Gadis itu memusatkan energinya, dan mengatur detak jantungnya.

"Aku masih bisa melakukannya!"

Energi Haki penakluk aktif, memancar begitu jauh hingga menyambar tubuh semua orang yang mengejarnya. Alexis yang melihat hal tersebut terkejut, dia tidak pernah tahu jika sahabatnya menguasai Haki penakluk begitu sempurna.

"Sarah ..."

Sarah berbalik, menutup kembali rambutnya dan menarik tangan Alexis untuk kembali berlari.

"Sejak kapan kau bisa melakukan teknik itu?!"

"Sejak usia 7 tahun."

"APA?? KAU GILA?!"

DOR!

Mereka terkejut, info tentang keberadaannya mulai tersebar begitu cepat. Pegangan tangan mereka terlepas, Alexis terjatuh, Sarah menoleh saat sebuah peluru ditembak ke arahnya. Secepat mungkin, Sarah memusatkan Haki senjata di tangan kanannya dan menepis peluru tersebut hingga salah sasaran. Orang-orang itu berhenti berlari, kini mereka berjalan beriringan—sekitar 7 orang—menghampirinya.

"Sarah—"

Sarah tersentak saat mendapati Alexis yang dibekuk oleh pria berbadan besar, dengan sebuah pedang diarahkan ke lehernya.

Sarah terbelalak. "Alexis!" ucapnya, hendak mendekat namun pria itu semakin mengancam dengan mengeratkan sentuhan pedangnya pada leher wanita itu.

"Ekspektasi yang sesuai dari anak kandung Shanks."

Sarah berbalik badan lagi, salah satu orang itu bertepuk tangan, menatap dirinya dengan tatapan penuh ketertarikan.

"Apakah pemerintah dunia tahu keberadaanmu? Waahh, jika mereka sudah tahu, kau akan menjadi anak yang memiliki banyak hak istimewa!"

"..."

"Sama seperti ayahmu!"

"Ngomong apa kau ini?! Lepaskan sahabatku!" ucap Sarah dengan galak.

Gadis itu sudah siap dengan ancang-ancang untuk menyerang pria itu, namun rencananya terhenti saat terdengar pekikan Alexis yang kesakitan. Sarah terkejut, dia takut sahabatnya kenapa-kenapa. "Lepaskan dia!"

"Atau apa? Kau tidak bisa mengalahkanku dengan mudah, Nona."

Sial. Mata pedang itu semakin menekan kulit Alexis, hingga tergores mengeluarkan darah. Alexis terus memekik tertahan.

"FINE!! Lepaskan Alexis dan kalian bisa tangkap aku!"

Alexis terbelalak. "Tidak! Sarah, kau Bodoh!" Wanita itu dilepaskan dari kurungan pedang di leher, tubuhnya didorong menjauh dari posisi. Kini Sarah dikepung dari dua sisi.

"It's okay, Lexi! Aku tidak selemah itu." Aku pernah menghancurkan 5 kapal angkatan laut!

Dalam sekejap ledakan Haki penakluk terpancarkan. Sarah mengeluarkan belati dari tasnya mengalirkan energi Haki senjata dan melesat menyerang orang-orang tersebut. Beberapa ada yang bisa dikalahkan dalam sekali serang, namun beberapa ada juga yang bisa menangkis, dan melayangkan serangan padanya. Gerakan Sarah cukup kaku, begitupun kecepatannya yang benar-benar mudah dibaca oleh musuh. Dari sini sudah sangat jelas bahwa kemampuan bertarungnya sudah sangat menumpul. Selama menjadi bandit, dia jarang menggunakan Hakinya, namun sekarang, musuh yang dia hadapi begitu kuat, dia mungkin akan gampang diringkus jika tidak menggunakan Haki.

"Perhatikan seranganmu!"

Pria yang menjadi satu-satunya orang yang masih berdiri berhasil meninjunya. Haki miliknya sama besarnya, bahkan lebih besar dari miliknya. Keseimbangan Sarah menghilang, dia tercekat kala tubuhnya kelimpungan dan terjatuh ke tanah. Sebelum dia melihat apa yang terjadi, tinju besar itu mengenai wajahnya dengan telak. Kegelapan pun menguasainya, hanya terdengar suara Alexis dari kejauhan yang meneriakkan namanya.

"SARAAH!!"

* * *

Sarah tidak tahu apakah dia berada di dunia mimpi, atau memang dia dibawa ke tempat yang di sekelilingnya hanya ada warna putih. Sarah mencoba untuk memperjelas pandangannya, dan ternyata warna putih berangsur-angsur berubah menjadi langit biru penuh awan. Sarah mengernyit, terlebih merasa bahwa ini bukanlah dunia aslinya. Ini pasti mimpi.

"Sarah."

Seseorang memanggil namanya. Suaranya terdengar tidak familiar. Gadis itu bangkit dari posisi tidurnya. Sedikit tersadar jika kini dia sedang berada di padang rumput yang begitu luas. Di hadapannya terdapat seorang wanita berpakaian gaun putih terang yang terlihat kontras dengan rambut panjangnya yang berwarna hitam gelap. Sarah mengernyit. Apakah dia sedang bermimpi buruk, dan di hadapannya ini adalah sosok hantu yang suka dia lihat di film?

"Kau sudah besar ya, Sarah."

Takut-takut Sarah mencoba untuk menatap wajah wanita itu. Memastikan jika memang sosok di hadapannya ini bukanlah penampakan hantu, melainkan sosok wanita yang fotonya terpajang di kamar ayahnya. Dia ...

"Ibu senang sekali bisa melihatmu, Sarah."

Sarah terkejut dalam diam. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa saat melihat wanita itu tersenyum ke arahnya. Perasaan aneh bergumul di dadanya, membuatnya refleks menggigit bibirnya, matanya pun terasa panas, dadanya begitu berdebar. Tanpa berpikir panjang, gadis itu merangkak dan terjatuh pada pelukan sang ibu.

"Hiks ... Ibu ..."

Wanita itu balas memeluknya. Mengusap kepala serta punggung anaknya. Membiarkan gadis di pelukannya menangis dan mengeluarkan segala unek-uneknya yang membendung selama bertahun-tahun.

"Tidak apa-apa, Sarah."

"Ibu ... Ibu kenapa pergi?" tanya Sarah di tengah tangisnya. "Aku—aku minta maaf ... Hiks—aku minta maaf! Gara-gara aku ibu ... Hiks—gara-gara aku ..."

"Gara-gara kamu, ibu bisa bahagia, Sayang." Wanita itu tiba-tiba melanjutkan kalimatnya.

Sarah terdiam. Dia menggeleng cepat. "Tidak! Itu tidak benar! Gara-gara aku ibu pergi! Gara-gara pria itu kau menderita!"

"Shanks tidak seperti itu, Sarah."

"Tapi ... dia sudah menghancurkan hidupmu! Dia yang sudah menculikmu dan menjadikanmu budak! Kemudian ... Kemudian aku lahir! Aku ... Aku ada karena dosa dia!"

"Shhh! Sarah, tidak ada satupun anak yang terlahir karena dosa!"

Wanita itu menyentuh wajah Sarah dengan kedua tangannya. Sarah otomatis mendongak, menatap wajah ibunya yang begitu sejuk, serta menikmati rasa nyaman akan sentuhan di wajahnya.

"Shanks ... Pria itu justru menyelamatkan hidupku."

Sarah kembali menangis kejer. Dia ingin sekali membantah, tapi saat melihat mata gelap milik sang ibu, membuat keyakinan Sarah yang kokoh perlahan retak.

"Dengarkan apa yang ingin ayahmu jelaskan. Dia mencintaimu lebih dari apapun di dunia ini."

"Tapi! Orang-orang di kampung halaman Ibu—"

"Mereka hanya segelintir orang asing, yang suka mengurusi urusan orang lain, Sarah. Mereka tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya."

Giselle, sang ibu menunduk, mengecup kening Sarah dengan lembut. "Pulanglah, Sarah. Ayahmu menunggumu."

"..."

"Pulanglah."

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top