18 | Last Breath
Kapal berlabuh di pulau Kirian di keesokan harinya.
Meskipun Giselle sudah menetapkan pilihannya, Shanks tetap meminta kru kapal untuk berlabuh sejenak di pulau tempat wanita itu lahir dan tumbuh. Giselle sebenarnya sedikit takut. Bagaimana jika orang-orang mengenal dirinya? Melihatnya turun dari kapal bajak laut, sedangkan kabar terakhir darinya adalah dia diculik dan dijual oleh bajak laut. Kemungkinan buruk berita tentangnya adalah negatif.
Shanks memakaikannya sebuah topi. Membetulkan rambutnya agar penampilannya sedikit berbeda. "Maaf membuatmu tidak nyaman. Persediaan makanan hampir habis. Kita harus singgah untuk mengisi perbekalan."
Giselle menarik pendapatnya barusan. Dia tidak masalah apabila harus singgah ke pulau Kirian. Asal bersama Shanks, dia akan selalu merasa aman di dekatnya.
Beberapa kru berbagi tugas, sedangkan Shanks dan Giselle pergi melihat-lihat isi pulau. Di tengah perjalanan, sesekali Giselle menjelaskan tempat yang mereka lewati. Mulai dari sekolahnya, kedai teh favoritnya, hingga tempat penjual makanan yang selalu Giselle kunjungi dulu. Tapi mereka tidak mengunjungi satupun tempat yang mereka lewati. Sebab Giselle langsung membawa Shanks ke suatu rumah di tengah hutan. Rumah itu tidak berpenghuni, sudah reot dimakan usia.
"Ini rumahku dulu sebelum akhirnya tinggal bersama Bibi," jelasnya.
Shanks menatap sebuah lukisan kusam termakan usia yang terpajang di dinding ruang utama. Ada anak kecil berambut hitam bersama seorang wanita yang juga memiliki wajah, mata, dan rambut mirip dengan sang anak.
"Dia ... Ibumu?" tanya Shanks.
Sarah hanya mengangguk. Shanks paham, akhirnya membawa wanita itu keluar dari rumah tua itu. Kini mereka lanjut menuju padang rumput yang tempatnya sedikit terjal. Giselle melepas genggaman tangannya pada pria itu dan berlari menuju padang yang memiliki topografi menurun dengan memanfaatkan gaya kelembaman. Wanita itu tertawa dengan sangat lepas. Shanks ikut tersenyum melihat tingkah wanita itu. Sesuatu yang baru, sebab dia bisa melihat mata jelaganya bersinar di bawah pancaran matahari senja. Shanks pun ikut turun ke bawah.
"Nostalgia, hm?" tanyanya.
Giselle mengangguk. "Dulu aku sering main di sini."
Shanks mengusap rambut hitamnya, membersihkan dedaunan yang menempel di sana. Mereka pun duduk bersebelahan di atas rumput.
"Sekarang giliranmu, Kapten!"
"Giliran apa? Aku harus kembali naik dan berlari turun?" tebaknya.
Giselle menggeleng. "Cerita tentangmu. Aku sudah menceritakan banyak tentangku. Bagaimana denganmu?"
Shanks tertawa. "Cerita masa kecilku tidak jauh dari bajak laut. Kalau bisa dikatakan aku besar di kapal bajak laut dan hidup sebagai bajak laut!"
Giselle memperhatikan pria itu dengan sangat antusias. Shanks berdeham. Rada gugup saat wanita itu menatapnya lekat-lekat.
"Jadi ... Orang tuamu bajak laut juga rupanya?" tebak Giselle.
"Tidak. Kau kurang tepat. Aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku. Aku ditemukan oleh kapten Roger di sebuah peti harta karun. Semua kru kapal merawatku dan membesarkanku bersama temanku. Namanya Buggy."
"Terdengar seru sekali."
"Yeah. Seru sekali." Shanks mengangguk.
Giselle kembali bertanya. Kali ini tatapannya seperti penasaran akan sesuatu. "Katakan padaku, apakah kau menemukan harta karun legendaris yang dikatakan kaptenmu itu? One Piece!"
"Well, aku tidak melihatnya secara langsung. Sebab Buggy saat itu sakit. Aku tidak bisa meninggalkannya. Jadi, aku hanya diceritakan oleh kapten dan yang lain."
"Apa kata mereka?" Wajah Giselle semakin mendekat. Membuat Shanks kehilangan fokusnya.
"Mereka bilang ..." Shanks tidak melanjutkan kalimatnya. Pria itu justru menyambar bibir Giselle, mengecupnya sekilas. "Lain kali saja kuceritakan."
Giselle terkejut, pipinya langsung terasa panas. Sedangkan Shanks hanya tertawa. "Okay. Ini sudah lebih dari dua jam. Benn dan yang lain pasti sudah beres dengan persediaan logistik."
"Kita kembali berlayar?"
Shanks memiringkan kepalanya. "Kau mau kita menetap di sini?" Dia bertanya sekaligus menggoda.
Kali ini Giselle yang tertawa. "Tidak. Kau bajak laut. Tempatmu di laut, bukan di sini," ucapnya seraya meraih tangan Shanks dan kembali menuju dermaga.
Sore itu, mereka kembali berlayar. Tanpa mereka sadari sejumlah pasang mata mengenal wanita itu dan menyebarkan gosip-gosip miring. Tentang seorang gadis asal pulau Kirian yang menjadi wanita simpanan bajak laut.
* * *
Satu tahun berlalu.
Giselle sekarang sudah menjadi bagian dari kru. Meskipun namanya tidak pernah muncul di poster buronan, sebab Giselle hanya bekerja di balik semua ini. Dia yang mengurus segala kebutuhan kapal dan para awaknya. Dia juga yang mengurus keuangan, sehingga pengeluaran mereka begitu tercatat dan tidak over limit. Terkadang, karena dia perempuan, dia lebih ahli soal tawar menawar di pasar. Sehingga mereka bisa mendapatkan barang dengan setengah harga. Shanks pun tak segan-segan menikahinya beberapa yang lalu. Membuat sebuah janji untuk mengelilingi dunia bersama dan mencari tempat paling indah di dunia.
"Water Seven merupakan kota tengah laut yang terkenal akan galangan kapalnya. Kita bisa memperbaiki Red Force di sini!"
Yasoop menjelaskan saat semua kru berunding di ruang kumpul. Giselle selaku bendahara juga terlihat berpikir keras. Beberapa hari yang lalu, Red Force terkena serangan fatal di sekitar lambung kapal. Yasoop dan Punch sudah mengakalinya dengan menambal beberapa spot agar tidak terembes oleh air. Namun itu hanya bersifat sementara. Tambalan yang diberikan tidak akan kuat untuk menahan debit air.
Makanya mereka berlabuh ke Water Seven.
"Aku tidak bisa ikut ke galangan kapal. Aku harus ke rumah sakit untuk melakukan medical check up. Hongou sudah memberikanku rekomendasi beberapa minggu yang lalu," ucap Giselle.
"Ayolah, Giselle. Kalau kau ikut pasti tukang kayu di sana akan luluh dan memberikan setengah harga!" ucap Lime.
Shanks langsung menolak. "Gissy itu spesialis pasar! Aku tidak mau dia digoda oleh tukang kayu di sana!"
Giselle memutar bola matanya jengah. "Shanks, kau mulai lagi."
"Biarkan Gissy ke rumah sakit bersama Hongou. Sedangkan Benn, Yasoop, dan Punch ikut aku ke gelangan kapal. Kita tidak bisa berlama-lama di sini," putus Shanks.
"Oke. Masalah uang, kita masih memiliki 500 juta dari total hasil jarah kemarin. Usahakan kalian membatasi harga. Maksimal 150. Tidak lebih, kalau bisa lebih baik kurang dari itu."
"Siap!"
"Shanks! Aku ingatkan sekali lagi, tolong jangan boros!"
Shanks mengerucutkan bibirnya. Yang dikatakan istrinya itu memang sebuah fakta. Sebab yang paling sering menghabiskan uang adalah sang kapten. 30 menit kemudian mereka pun berpencar dari kapal. Snake dan Gab menjaga kapal, sisanya pergi ke galangan kapal dan pasar untuk membeli persediaan makanan. Sedangkan Giselle pergi ke rumah sakit ditemani Hongou.
Di rumah sakit, Giselle dan Hongou berpisah. Pria itu pergi ke bagian apotek untuk membeli persediaan obat-obatan. Sedangkan dirinya diam-diam mengambil tes obgyn, sebab selama setahun memiliki hubungan dengan Shanks, dia selalu mengkhawatirkan suatu hal. Sesuatu yang dia pegang dan simpan erat-erat, bahkan tidak ada yang tahu sekalipun itu suaminya.
"Maaf sekali. Pada kehamilan kali ini, persentase untuk selamat bagi ibu dan anak hanya 30 persen. Kehamilan sebelumnya, kau yang mengalami keguguran di usia remaja itu membuat rahim-mu menjadi sangat lemah."
Mendengar penjelasan dokter, Giselle dibuat takut. Suhu di ruangan tersebut sangat dingin, namun telapak tangan Giselle terasa basah. Dengan suara bergetar, wanita itu melontarkan pertanyaan.
"Tapi, aku masih bisa hamil, kan?"
Dokter perempuan itu menatap Giselle. Terlihat di wajah wanita berambut hitam itu memancarkan sebuah harapan yang amat besar.
"Kau masih bisa hamil. Namun, resikonya sangat besar. Antara anak dan ibu. Keluarga harus memilih salah satu."
Dunia Giselle rasanya runtuh. Kenangan bersama Shanks di setiap malam, yang selalu membicarakan masa depan hancur seketika. Giselle memegang perut ratanya. Di dalam rahimnya kini tumbuh janin miliknya bersama Shanks. Wanita itu tidak mau mengulangi dosanya dengan membiarkan calon anak ini mati begitu saja. Saat ketika nanti anak ini lahir, terdapat seorang ayah yang menunggunya untuk melihat dunia.
"Dokter." Giselle meneguk ludahnya sejenak. "Apakah bayi ini bisa selamat, meskipun saya yang mengalah?"
Dokter menatap Giselle yang matanya mulai berkaca-kaca. Kedua tangannya terkepal erat. Menahan gejolak emosi akan fakta yang baru saja dia dengar.
"Ya. Harus ada salah satu yang mengalah."
* * *
Shanks tiba di kamarnya dengan handuk yang melilit di pinggang. Rambutnya basah, menitikkan air di lantai. Giselle bangkit dari sofa dan membantunya mencari pakaian tidur yang nyaman. "Kau mau makan apa, Gizzy? Roo tidak masak. Kita makan di luar saja." Shanks mengenakan pakaiannya dan mengeringkan rambutnya dengan kasar.
Giselle mengambil alih handuk tersebut, meminta pria itu untuk duduk di lantai, sedangkan dia mengusap handuk di kepalanya dengan halus. Rambut merahnya terlihat indah dalam keadaan apapun. Membuat Giselle berharap anaknya kelak memiliki rambut seperti ayahnya. Tidak sepertinya yang lebih mirip bulu burung gagak.
"Shanks."
Giselle tiba-tiba memeluk suaminya dari belakang.
"Hm? Ada apa? Apa kata dokter tadi?"
Sarah terlihat berpikir. "Kata dokter, aku harus istirahat cukup, makan tepat waktu, dan tidak boleh dibikin pusing oleh suaminya."
"Yang terakhir sedikit kurang meyakinkan," komen Shanks.
Giselle tertawa, kembali mengeringkan rambut pria itu. "Aku serius kok, soalnya aku gak mau anak kita memiliki sifat menyebalkan seperti ayahnya."
"Aku tidak menyebalkan kok! Aku itu hanya—apa?"
"Apa?"
"Yang tadi kau katakan?" Shanks berbalik badan. Memegang kedua pundak Giselle.
"Yang mana?"
"Yang tadi! Yang bilang kalau ... Kalau kau ..."
Shanks tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Mata pria itu tiba-tiba berkaca-kaca, dan berakhir memeluk Giselle dengan erat. Pria itu mencium wajahnya berkali-kali dan berakhir mencium bibirnya dengan lembut. Shanks tidak tahu harus apa lagi, sebab dia benar-benar bahagia. Tadi pagi sempat dibuat pusing dengan penawaran harga perbaikan kapal yang begitu mahal, namun saat malamnya mendapatkan kabar gembira ini, rasa pusing, marah dan lelahnya langsung sirna.
"Aku—aku akan menjadi ayah!" seru Shanks
Sarah tertawa dan melingkar tangannya di leher pria itu. Mengingat baik-baik momen ini sampai di mana waktunya telah ditentukan.
"Kita harus berpesta malam ini!" Shanks melepaskan pelukannya. Keluar kamar dan memanggil kru kapal. "Semuanya! Kita pesta malam ini! Aku akan segera menjadi ayah!"
* * *
Ternyata yang dikatakan oleh dokter memang benar. Rahimnya sangat lemah. Membuat kandungan yang ada di dalam perutnya juga begitu lemah. Tapi Giselle tetap tidak akan menyerah. Dia sudah membulatkan tekad untuk tetap bertahan hingga anaknya lahir dan melihat wajahnya sebelum ia menutup mata untuk yang terakhir kali.
Sarah tidak bisa berjalan lama-lama. Tubuhnya sedikit kurus sedangkan perutnya semakin membesar. Hongou sudah tahu, sebagai dokter di kapal, dia tahu gejala kehamilan dirinya.
"Kandungannya lemah. Memiliki resiko yang sangat besar saat proses persalinan nanti."
"Apa kemungkinan buruknya?" Shanks yang duduk di samping Giselle bertanya.
"Memilih salah satu untuk diselamatkan."
Shanks terduduk lemas, menatap Hongou dengan tidak percaya. Giselle yang tahu ini akan terjadi, meminta Hongou untuk pergi meninggalkan mereka berdua.
"Shanks."
Giselle memegang lengan pria itu. Mengusapnya untuk menenangkan hatinya.
"Pasti ada cara lain," gumam Shanks. Dia menatap Giselle, lalu menyentuh pipinya. "Pasti ada cara lain. Kalian akan baik-baik saja. Aku yakin itu!"
Giselle tersenyum. Sekarang dia merasa bersalah telah menyembunyikan hal ini kepada suaminya. "Aku ingin mengatakan sesuatu."
"..."
"Aku minta maaf jika ini membuatmu kecewa."
Wanita itu pun bercerita. Panjang lebar, tentang masa lalunya saat hidup sebagai budak di kapal bajak laut. Giselle telah dua kali dihamili, dan kandungannya dipaksa untuk dikuret tanpa persetujuannya. Akibat hamil di usianya yang sangat muda (16 tahun) membuatnya memiliki resiko apabila hamil kembali untuk yang ketiga kalinya. Selama berada di kapal itu sebagai pemuas nafsu sang kapten, Giselle selalu dihantui oleh perasaan bersalah ketimbang perasaan jijik akan dirinya sendiri. Wanita itu sebenarnya tidak mau egois saat bertemu Shanks, seorang pria yang menerimanya dengan hati yang luas, serta memperlakukannya seperti sebuah berlian, kemudian wanita itu berharap begitu saja bisa membangun keluarga utuh dengannya, sedangkan dia saja tidak bisa menyelamatkan anak-anaknya yang harus mati sebelum lahir di dunia.
"Kenapa ... Kenapa kau baru bilang?!" Shanks tidak bisa menahan gejolak emosinya setelah mendengar cerita tersebut.
Giselle sudah mengira reaksi ini akan terjadi. Dia sudah siap dengan segala kemungkinan. Termasuk kebencian dari suaminya.
"Aku tidak ingin mengecewakanmu, Shanks. Aku sudah cukup hina pernah hidup sebagai budak—"
"Bukan itu, Giselle!"
"..."
"Kenapa kau baru bilang kalau kondisi tubuhmu tidak memungkinkan untuk hamil?! Kenapa kau baru bilang?!" Shanks menarik rambutnya sendiri. Terlihat sangat frustasi
Giselle hanya bisa menangis. "Shanks aku minta maaf."
"Oh, Gissy. Kau tahu apa yang kau lakukan? Kau sama saja bunuh diri!" ucapnya. "Waktu kelahirannya tinggal menunggu beberapa minggu lagi! Giselle kenapa kau melakukan in?!!" tanyanya begitu frustasi. Pria itu menangis. Berjongkok seraya memegang kedua tangan istrinya.
"Kenapa kau melakukan itu? Aku tidak masalah jika hidup berdua denganmu saja! Aku sudah cukup denganmu, aku tidak butuh an—"
"Shanks!" Giselle memotong kalimatnya. Menatapnya dengan mata yang sama-sama menangis.
"Dia anakmu!" Suara Giselle terdengar bergetar. Dia balas memegang tangan Shanks dengan erat. "Maka dari itu, aku mohon! Izinkan aku menjaga anakmu. Anak kita. Hingga napas terakhirku."
* * *
Shanks tidak tahu apa yang terjadi setelah proses persalinan berakhir. Yang dia ingat adalah suara tangis bayi dan ricuh para dokter serta suster yang kelimpungan saat sang ibu yang baru saja berhasil menyelamatkan sang bayi, detak jantungnya melambat disertai napas yang memelan. Tatapannya mulai terlihat kosong. Shanks yang ada di sampingnya seketika hancur berkeping-keping. Wanita dengan sorot segelap jelaga itu memucat. Tubuhnya tidak bergerak, serta terjadinya pendarahan yang fatal dari rahimnya.
Shanks menangis. Untuk yang kesekian kalinya. Dia terduduk, menyerahkan sang bayi yang barusan dia gendong ke suster. Lalu tak lama dia pun diminta keluar sebab sang ibu dari bayi tersebut tidak bisa diselamatkan.
Semuanya sudah berakhir.
Giselle menyerahkan nyawanya untuk bayi mereka. Meninggalkan Shanks untuk melanjutkan tugas yang tidak akan pernah berakhir hingga hayat hidupnya.
Seorang ayah.
Bagaimana Shanks bisa menjadi seorang ayah saat Giselle pergi begitu saja meninggalkannya?
Shanks terduduk di lorong rumah sakit. Menangis lebih kencang, tanpa mempedulikan tatapan orang-orang yang memandangnya aneh. Benn dan yang lain tak lama kemudian datang, memeluk sang kapten yang baru saja kehilangan seseorang yang dicintai.
"Anakmu ada ruangan isolasi. Kamu bisa melihatnya dari luar kaca." Benn menarik tangan Shanks untuk berdiri. Menuntunnya menuju lokasi yang dia maksud.
Bayi itu ada di sana. Tepat di dekat jendela. Rambut halusnya berwarna merah. Bola matanya juga memiliki warna yang sama seperti rambutnya. Shanks menatap bayi itu lekat-lekat, tangannya bahkan sampai menyentuh kaca, berharap bisa menyentuh sang bayi.
"Dia sangat cantik ... Anakku sangat cantik."
"Bos!"
Semua kru memanggilnya. Ikutan menangis lantaran juga merasa kehilangan.
"Kami berjanji akan mendampingimu menjadi ayah terbaik di seluruh lautan!"
Shanks tidak mendengarkan. Atensinya terlalu fokus pada bayi tersebut yang juga menatapnya. Dia anaknya. Dia buah hatinya bersama Giselle. Shanks tidak boleh gagal untuk menjadi ayah. Dia harus menepati janjinya kepada Giselle.
Sarah. Kuberi kau nama Sarah.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top