17 | Sooty Eyes
21 tahun yang lalu.
Ini sudah lebih setahun lamanya Shanks berlayar dengan krunya. Membangun kelompok bajak laut Akagami dan berlayar dari satu lautan ke lautan lainnya. Banyak tempat yang sudah dia singgahi, banyak juga musuh yang sudah mereka kalahkan, menjarah banyak harta dari kekalahan para musuh di lautan. Namanya pun semakin dicari oleh angkatan laut mengingat dirinya adalah mantan kru Gol D. Roger yang merupakan seorang raja bajak laut. Shanks menatap tanda Jolly Roger miliknya dengan rasa bangga.
"Bos! Di luar anginnya sangat kencang!"
Yasoop menyembulkan kepalanya dari balik pintu kabin. Memanggil Shanks yang termenung menatap gelapnya laut ditemani sebotol sake di tangannya. Shanks melirik rekannya itu. "Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mencari angin."
"Anginnya terlalu kencang, Bos! Kau bisa saja masuk angin! Jangan menyusahkan kami begitu!"
Shanks terkekeh. Dia akhirnya mengalah. Berbalik badan untuk kembali masuk ke dalam kabin. Tetapi belum sempat kakinya masuk ke dalam ruangan tersebut, sebuah meriam diluncurkan ke arah kapal mereka. Guncangan kencang tidak bisa terelakkan. Orang-orang yang berada di kabin kompak keluar dan melihat ke sekitar kapal. Shanks meneliti semburat kabut di depan, terlihat dari kejauhan terdapat kapal bajak laut yang sedang ancang-ancang menyerang mereka. Mata Shanks terbelalak. Ini adalah waktu yang buruk untuk menyerang karena cuaca yang cukup ekstrim.
"WE UNDER ATTACK!!"
Semua kru langsung disibukkan detik itu juga. Mengendalikan setir kemudi, mengisi biji meriam, dan beberapa bersiap dengan senapannya. Sisanya berdiri di belakang Shanks yang telah naik ke atas pagar pembatas, menarik pedangnya dan mengaktifkan Hakinya. Kilatan aura merah muncul bergerak tidak teratur di sekelilingnya. Memberikan pacuan di kakinya untuk melompat, melesat menembus kabut dan menghunuskan pedangnya membelah kapal tersebut dengan daya kerusakan yang cukup fatal.
Meriam mendadak batal dilepas, kru kapal musuh sibuk menyerang lawan yang tiba-tiba datang dan menghancurkan dek kapal mereka. Benn, Hongo, Roo, Lime dan Punch menyusul datang. Pertarungan jarak dekat pun terjadi.
"Bos! Jangan pancarkan Hakimu! Kami ingin menikmati pertarungannya!" seru Roo.
Shanks hanya tersenyum. Dia akhirnya menyarungkan kembali pedangnya dan membiarkan krunya yang membereskan kekacauan di sini. Shanks pun masuk ke dalam lambung kapal, mencari sesuatu yang pantas untuk diambil. Mungkin saja mereka menyimpan sake, harta atau semacamnya di sana.Saat Shanks masuk ke dalam lorong dalam lambung kapal. Shanks berpapasan dengan pintu yang dikunci rapat dengan rantai. Shanks menyeringai, pasti mereka menyimpannya di ruangan itu. Pria itu pun membuka rantai tersebut dengan mudah dan membuka pintunya. Suara decitan terdengar, bersamaan dengan suara pekikan lirih yang terdengar dari pojok ruangan.
Shanks melihat sebuah punggung seorang wanita yang yang mengenakan pakaian lusuh. Rambut hitam panjangnya menjuntai menutupi punggung yang terbuka. Shanks terdiam di tempat saat wanita itu menoleh dengan mata segelap jelaga.
"Kau ... Siapa?" suara paraunya terdengar memilukan.
Shanks masih tidak bisa berkata-kata. Terlebih saat pria itu melihat banyak luka—seperti luka cambuk—di sekitar kaki dan tangannya. Dia perlahan masuk ke dalam. Meraih sebuah kain panjang dan mendekati wanita itu.
"Aku bukan bagian dari mereka." Shanks menjawab seraya menutupi punggungnya. Pria itu menghancurkan rantai yang mengikat tangan serta kakinya, kemudian berjongkok untuk melihat wajahnya.
Wanita itu menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya dengan rambutnya. Shanks menyingkirkan helaian rambut tersebut dan menyelipkannya ke balik telinga. "Kita keluar dari sini."
Wanita itu takut-takut menatapnya. "Tapi—"
"Tidak usah khawatir. Aku tidak akan melukaimu."
Shanks memberikan tangannya. Ragu-ragu wanita berambut hitam itu menerima tangannya yang langsung disambut dengan genggaman yang begitu lembut. Wanita itu pun dibantu berdiri.
"Siapa namamu?" tanya Shanks, menahan punggungnya agar tidak terjatuh saat berjalan dengan kaki yang penuh luka.
"Gi—Giselle."
Shanks tersenyum. "It's okay Giselle. You're safe with me."
Mereka pun sampai kembali ke atas dek. Di sana rekannya sudah menyelesaikan pihak lawan dengan baik dan mengikat sang kapten di tiang layar. Wanita bernama Giselle itu terkejut saat matanya menangkap sosok yang amat menakutkan baginya selama dikurung dalam lambung kapal selama beberapa bulan ini. Merasa pegangan tangan wanita itu semakin mengerat diiringi dengan tubuh yang bergetar, Shanks langsung paham apa yang sebenarnya terjadi antara wanita itu dengan pria yang terikat di tiang layar tersebut.
Kapten kapal yang terikat itu mendongak menatap kesal saat melihat wanita itu keluar bersama pria berambut merah tersebut.
"Di kapalku tersimpan banyak harta, tapi kau malah mengambil jalang kecil itu?" Pria brengsek itu tertawa. "Ah, tidak masalah. Aku sudah mencicipi tubuhnya berkali-kali. Sayang sekali kau mendapatkan barang bekas, Akagami!"
Darah Shanks memanas, secara impulsif dia meraih pistol yang dipegang Roo dan menembak kepala pria bajingan tersebut hingga tawanya berhenti akibat meregang nyawa. Suasana kapal tersebut tiba-tiba senyap, hanya terdengar suara ombak, angin dan tangisan Giselle yang tidak bisa dia bendung. Shanks mengembalikan pistol tersebut dan mengangkat tubuh wanita di hadapannya, membawanya ke kapalnya.
"Lupakan. Orang itu sudah mati. Kau sudah bebas!" ucap Shanks.
* * *
Giselle diistirahatkan sementara di ruangan sang kapten. Hongou yang telah mengecek keadaan gadis itu pun mengajak Shanks berbicara di ruangannya.
"Dia korban pelecehan seksual. Banyak sekali luka memar di sekitar leher, dada dan juga pangkal pahanya."
Shanks menghela napas kasar. Tiba-tiba terbayang wajah Giselle yang begitu polos, namun nasibnya begitu tragis dengan berakhir di kapal bajak laut dan menjadikannya sebagai alat pemuas nafsu.
"Tapi dia baik-baik saja, kan? Tidak ada luka fatal, cedera atau apapun itu?" tanya Shanks pada intinya.
Hongou menggeleng. "Mungkin dia butuh asupan nutrisi yang baik. Tubuhnya terlalu kurus. Dan juga pakaian yang layak."
Shanks menganggukkan kepalanya dan setelahnya dia pun keluar dari ruangan sang dokter. Pria itu kembali ke kamarnya, melihat seorang wanita tengah terbaring di ranjangnya. Shanks berjalan dengan langkah senyap menuju lemarinya. Mencari baju lamanya yang kira-kira muat di tubuh wanita tersebut. Setelah menarik beberapa setel pakaian, Shanks menutup lemari.
"Kapten?"
Shanks terkejut, hampir menjatuhkan pakaian di tangannya. Pria itu berbalik, mendapati Giselle yang terduduk menatap dirinya.
"Giselle? Ma—maaf, aku membangunkanmu!" Shanks menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Tiba-tiba dia bingung untuk bersikap.
"Aku—"
"Kenapa? Kau haus? Kau lapar? Ingin ku bawakan sesuatu?" tanya Shanks memotong ucapan wanita itu.
Giselle tersenyum tipis. "Tidak. Aku hanya ingin mengatakan ... Terima kasih. Terima kasih sudah menolongku."
"Oh ... Iya, tidak masalah. Kau pantas untuk bebas."
Shanks menghampirinya dan memberikan beberapa setel pakaian. "Kau bisa ganti baju mu. Kau pasti tidak nyaman hanya mengenakan pakaian itu."
Shanks berbalik badan. Memberikan waktu bagi Giselle untuk melucuti pakaiannya dan mengenakan pakaian yang diberikan oleh pria itu. Celananya pas di pinggang, hanya kausnya saja yang agak sedikit kebesaran.
"Sudah. Terima kasih."
Shanks berbalik, memungut pakaian lamanya yang lusuh tersebut dan membuangnya ke tempat sampah. Pria itu menarik kursi dan duduk tepat di samping ranjang. Mereka berdua saling bertatap-tatapan.
"Di mana rumahmu? Mungkin kita bisa mengantarmu pulang."
Giselle menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang kupingnya. "Kau sungguh akan mengantarku pulang?"
Shanks sedikit bingung dengan pertanyaannya. "Yeah. Kita akan mengantarmu pulang. Ada apa?" Shanks balik bertanya.
"Tapi ... kenapa?
Shanks yang paham arah pertanyaannya, langsung terkekeh. "Kau bingung karena kami bajak laut, tapi mau membantu?"
Giselle kembali menundukkan kepalanya. "Mungkin saja kau akan meminta imbalan setelah membantuku?"
Shanks memiringkan kepalanya. Berniat menggodanya sebentar. "Okay, kau benar. Bagaimana jika kau membayarnya dengan membatu koki kita mengurus pekerjaan di dapur, setelah itu kau makan dengan lahap dan tidur dengan teratur sampai kau pulih hingga tiba di kampung halamanmu? Bagaimana setuju?" Shanks menyodorkan tangannya, menawarkan perjanjian.
Giselle semakin tidak paham. Bagaimana mungkin ada orang sebaik ini? Walaupun dia tidak bisa menilainya saat itu juga. Terlebih pandangannya akan bajak laut begitu buruk sehingga sulit baginya untuk bisa membuka hati. Giselle meremas ujung kausnya. Menatap mata merah gelap tersebut yang juga menatapnya dengan lembut. Berbeda dengan Kapten Jill yang selalu menatapnya seakan-akan dirinya adalah mangsa yang akan dimakan habis-habisan saat itu juga.
Giselle perlahan menyentuh tangan Shanks, menggenggamnya. Pria itu tersenyum manis, menarik Giselle untuk ikut dengannya keluar kamar. Mereka pergi menuju dapur. Beberapa sisa makanan saat makan malam beberapa jam yang lalu masih tersimpan di atas meja. Shanks mempersilahkan wanita itu memakannya sesuka yang dia mau.
Melihat wanita itu yang menghabiskan makanannya dengan sangat lahap, membuat pria itu semakin prihatin. Pasti dia benar-benar diperlakukan buruk selama ini.
"Jadi, dari mana kau berasal?" tanya Shanks.
Giselle menelan sandwichnya susah payah hingga terbatuk. Shanks dengan sigap memberikan segelas air padanya. Setelah tenggorokannya terasa lega, Giselle baru menjawab pertanyaan pria itu.
"Aku dulu tinggal di Pulau Kirian, West Blue. Pada usiaku yang ke 15, sebuah kelompok bajak laut datang dan menculik beberapa gadis yang memiliki penampilan menarik ..." Giselle terdiam sejenak. Entah kenapa dia merasa sulit untuk menceritakan masa lalunya yang kelam.
Shanks mulai paham arah ceritanya. "Kau salah satunya?" tanyanya. Sebab siapapun yang melihat Giselle, pasti akan setuju jika wanita itu memiliki penampilan yang memikat.
"Y—ya. Aku dibawa ke suatu pulau. Aku lupa namanya. Kalau tidak salah, Saba—Saob—"
"Sabaody."
Shanks lagi-lagi menebak. Wanita itu mengangguk. Perlahan dia tidak lagi merasa gugup. Dan cerita itu dijelaskan cukup lancar olehnya. "Aku dikurung di sana selama hampir 6 bulan, kemudian aku dijual, dan dibeli oleh pria yang bernama Jill. Dia adalah kapten bajak laut. Dan ... Maksudku ..."
Shanks menyentuh kepala Giselle, mengusapnya dengan pelan. "Tidak perlu dilanjutkan. Aku sudah paham. Sekarang kau aman di sini."
Hati Giselle terasa tersentuh saat tangan pria itu mengusap kepalanya tanpa ada unsur kekerasan, matanya yang hangat menatap mata jelaganya dengan dalam. Seakan-akan memberikan sugesti baginya untuk tenang dan tidak perlu khawatir. Mata wanita itu berkaca-kaca, tangisnya pun pecah. Ini pertama kalinya Giselle menangis karena bahagia. Bahagia karena sangkar yang mengurungnya bisa lepas dan dia bebas dari pria bajingan yang sudah mengotori tubuhnya.
Shanks menarik Giselle ke dalam pelukannya, menepuk-nepuk punggung wanita itu seraya membisikkan sepatah kalimat yang akan selalu dia katakan kelak belasan tahun kemudian.
"It's okay. You are doing great."
* * *
Perjalanan menuju pulau Kirian memakan waktu hingga 6 bulan lamanya. Selain karena mereka selalu bersinggah di suatu pulau sembari menunggu log pose terisi, mereka juga harus menyebrang dinding Red Line menuju West Blue.
Selama 6 bulan itu, Giselle beradaptasi dengan cepat. Dia membantu semua yang bisa dia kerjakan. Semua kru kapal menerimanya dengan tangan terbuka dan membantunya untuk memahami segala kegiatan di kapal. Terkadang wanita itu sibuk membantu Roo memasak, atau membantu Yasoop membersihkan gudang senjata atau bahkan membantu Hongo saat ada kru kapal yang terluka akibat pertempuran di tengah laut. Giselle juga tidak terlalu terkejut saat melihat Medan pertempuran yang sesungguhnya. Dia hanya mengetahui ganasnya pertempuran antara bajak laut dengan sesama bajak laut maupun pertempuran melawan angkatan laut dari cerita orang-orang. Ternyata aslinya lebih ganas saat dia melihatnya langsung. Namun wanita itu berusaha untuk bersikap tenang. Biasanya Giselle menunggu di bawah lambung kapal saat pertempuran tengah terjadi, dan akan keluar saat semuanya sudah mereda.
Di saat pekerjaannya sudah beres, Giselle biasanya akan duduk menggantungkan kakinya di pagar pembatas seraya melihat riak air laut di bawah. Shanks menghampiri wanita itu saat menemukan dirinya tengah menyendiri di dek belakang kapal. Rambut hitamnya dia gerai, kemeja putih yang dikenakannya bergerak ditiup angin. Giselle ternyata baru berusia 17 tahun. Lebih muda 1 tahun darinya.
"Sibuk melihat air laut?"
Shanks ikut duduk sampingnya. Giselle tersenyum dan mengangguk. "Entahlah, melihatnya buat aku merasa tenang."
"Memang sedang ada yang kau risaukan?" tanyanya.
Giselle menatapnya. Mata jelaganya membuat Shanks tidak bisa berlama-lama menatapnya. Entah kenapa pria itu selalu merasa ada gelenyar aneh di dadanya saat dia tenggelam di gelapnya mata indah tersebut. Alhasil, Shank ikut menatap riak air laut.
"Kita sudah sampai di West Blue. Artinya sebentar lagi kita sampai di pulau Kirian," ujar Giselle.
Shanks tersenyum. Mencuri pandang pada wajah wanita itu. "Kau tidak sabar untuk sampai ke sana, ya?"
Pria itu kira, Giselle akan mengangguk. Tapi ternyata, wanita itu menggeleng. "Entah kenapa aku justru berat untuk pulang."
"Kenapa? Keluargamu pasti berharap kau bisa kembali. Melihat kau pulang dengan keadaan selamat seperti ini, pasti mereka sangat bahagia," ujar Shanks. Tapi melihat reaksi Giselle yang diam saja, membuatnya sedikit bingung. "Kenapa? Apa ada sesuatu yang memberatkan pikiran mu? Katakan padaku!" ucap Shanks.
Giselle hanya bisa tersenyum. "Aku ini anak yatim. Ayahku telah lama meninggal saat aku masih kecil. Ibuku seorang dokter dan sibuk bekerja di pulau tetangga. Aku diasuh oleh bibiku yang selalu kasar kepadaku. Setiap aku melakukan sesuatu, pasti akan selalu salah di matanya. Sebenarnya, ada sedikit rasa lega saat aku diculik dan bisa menghindar dari Bibi, meskipun aku tahu akhirnya pun juga sama-sama buruk." Giselle menjeda sejenak ucapannya. "Aku ... Mungkin saja sudah tidak dianggap oleh Bibi dan dinyatakan tewas di tangan bajak laut."
"Lalu bagaimana dengan Ibumu? Dia bekerja di mana, kita susul saja beliau. Pasti dia akan menyambutmu pulang!"
Giselle menatap Shanks lekat-lekat. Tatapan mereka saling beradu. Keduanya tidak mau memalingkan wajah mereka barang sedetik pun.
"Ibu tidak pernah menganggapku ada. Dia tidak pernah menemuiku selama 7 tahun sejak aku tinggal dengan Bibi. Meskipun dia tahu aku sakit keras, dia memilih pekerjaannya ketimbang diriku."
Shanks terkejut. Lidahnya terasa kelu. Dia tidak tahu harus membantah akan hal apa lagi.
"Tapi aku menghargai kalian. Aku akan tetap pulang ke pulau Kirian dan memulai lembaran hidup baru. Aku tidak akan pernah lupa kebaikan kalian yang mau repot-repot membantuku."
"Giselle—"
"Kapten." Giselle menyentuh tangan Shanks. "Sebelum aku benar-benar meninggalkan kapal, ada sesuatu yang ingin kukatakan."
"..."
"Aku tahu ini terdengar keterlaluan. Aku hanya mantan budak yang diselamatkan olehmu. Dan aku perlahan pulih bersama kalian yang memperlakukanku seperti manusia. Menerimaku layaknya aku bukan barang. Aku sangat berterima kasih, Kapten."
"..."
"Aku—" Giselle sedikit sulit untuk mengutarakan apa yang dia ingin katakan. Beberapa kali dia meneguk ludahnya. Lalu perlahan dia mengatakannya. "Kapten, aku menyukaimu. Kau baik, dan kau adalah orang pertama yang tidak memandangku rendah, menghormatiku sebagai perempuan meskipun aku adalah mantan budak."
Mata jelaga itu bergetar. Wajah Giselle sedikit memerah dengan rambut berterbangan, menambah kesan menarik di wajahnya.
"Maaf," ucap Giselle. Dia menunduk.
Namun Shanks menahan dagunya agar tetap dapat melihat wajahnya. "Untuk apa?" tanyanya.
Kini fokus Shanks hanya tertuju pada mata gelapnya dan berakhir pada bibir wanita di hadapannya. Pria itu mendekatkan wajahnya dan mengecup lembut bibir itu, memberikan rasa nyaman yang tidak pernah Giselle rasakan.
"Katakan jika kau ingin ikut denganku. Aku akan membawamu berlayar mengelilingi dunia, melihat laut saling bertemu dengan langit, di mana kebebasan ada di depan mata menuju tempat yang tidak pernah kita kunjungi."
Giselle menangis. Lagi-lagi dia merasa dirinya berharga di hadapan pria berambut merah ini untuk kesekian kalinya.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top