16 | Slap

Masa kini.

9 November.

Sudah hampir seminggu aku tidak menulis kegiatanku. Banyak hal yang terjadi selama seminggu ini. Yang jelas, aku pergi dari Dressrosa untuk mengunjungi suatu pameran lukisan di pulau Vista. Pameran itu sudah kutunggu-tunggu sejak lama, selain karena aku memiliki hobi melukis, aku juga ingin minta tanda tangan dari salah satu pelukis legendaris. Maka dari itu aku nekat pergi sendiri, mengambil cuti selama 5 hari.

Tapi keadaan benar-benar di luar ekspektasiku. Aku bertemu dengan orang-orang sesama bandit dulu yang mengenali diriku. Aku dikejar dan dikeroyok habis-habisan. Pulau Vista ternyata menjadi sarang para bandit, dan saat menemukan diriku, mereka murka lantaran dulu aku keluar dari kelompok dan mencuri sebagian harta bersama Alexis. Beruntung aku masih hidup, meskipun wajahku bonyok semua.

Aku hanya mengikuti pamerannya selama satu hari. Setelahnya aku memutuskan untuk cepat-cepat pulang atau pulau Vista akan menjadi tempat terakhirku.

Aku menemui Carl, sebab mencuri dengar kalau ada pedagang sepatu dan tas impor dari West Blue datang berlabuh ke pulau itu. Sekedar info, setahun setelah aku keluar, Carl pensiun dari profesinya yang dulu. Sekarang dia sudah taubat dan menjadi seorang pedagang. Aku meminta tumpangan di kapalnya, tentu setelah menyogoknya dengan sejumlah uang. Beruntung dia mau menolongku.

Tapi kejadian di luar ekspektasi kembali muncul saat seorang tiba-tiba menumpahkan air di punggungku, sehingga kemeja putihku menerawang, dan menampilkan sebuah tato lambang bajak laut di punggungku. Semua orang pada berisik melihatnya, menuduhku adalah anggota bajak laut tersebut, dan secara mendadak menyerangku seakan-akan aku adalah pengganggu. Jelas-jelas saja aku hanya makan di sana, bahkan aku membayarnya dan tidak mencari keributan apapun.

Karena sudah lelah dikeroyok masal kemarin malam, aku sudah tidak punya tenaga untuk bertarung. Aku juga sudah lama tidak menggunakan kemampuanku karena sekarang aku hanya orang normal yang hidup seperti orang normal.

Tapi energi Haki (yang sudah lama tidak aku gunakan) lepas. Menyerang seluruh orang di bar. Mereka langsung ambruk tak sadarkan diri kecuali dua orang yang merupakan bajak laut Kid. Aku tahu reputasi buruknya sebab namanya selalu muncul di koran. Mereka menghampiriku yang setengah semaput, dan hendak menculikku, lantaran menganggap aura Haki milikku barusan terasa mirip dengan seseorang.

Aku bahkan baru tahu aura haki bisa mirip oleh seseorang.

Dan ketakutanku pun terjadi. Kapten bajak laut itu menuduhku adalah anak dari kapten bajak laut Akagami. Katanya Hakiku mirip seperti pria itu. Dia berencana menculikku untuk dijadikan sandera, dan menantang Akagami untuk bertarung sebagai balas dendam akan tangan kirinya yang hilang.

Jujur aku tidak peduli, mau dia hilang tangannya, atau hilang kakinya, aku benar-benar tidak peduli.

Singkat cerita, dia sungguh-sungguh menyandera diriku. Dia benar-benar mendatangi bajak laut Akagami dan menantang mereka. Bagiku ini benar-benar gawat. Artinya jika Akagami datang, pasti aku akan bertemu dengannya.

Tapi pada intinya Kid kalah, aku terpaksa dibawa oleh dia, sang kapten Akagami. Si rambut merah yang sialnya rambutku juga merah!

"Arghh! Penaku habis!!"

Sarah menyentakkan pena-nya dan menatap tulisannya yang memenuhi lebih dari satu lembar di buku diary-nya. Dia menutup bukunya dan merapihkan barang-barang yang berserakan. Monster yang sedari tadi duduk menemaninya, tiba-tiba menarik tangannya untuk segera turun dan kembali ke tempat para kru kapal berkumpul. Sarah sebenarnya ogah, tapi karena ini sudah masuk jam makan siang, ditambah dia juga lapar, akhirnya gadis itu nurut dan kembali ke titik awal. Monster berjalan di sampingnya tanpa ada percakapan. Lagipula monyet itu juga tidak bisa berbicara. Hingga di pertengahan jalan, Sarah kebetulan bertemu dengan Aiden dan 2 kru kapal yang tidak Sarah kenal.

"Sarah? Kau kemana saja?" tanya Aiden.

Sarah tersenyum, membungkukkan sedikit punggungnya, sebab merasa tidak enak dengan dua orang teman Aiden yang kemarin Sarah judes-in. Mereka pun ikut tersenyum lebar, lantaran terkejut ternyata putri kapten mereka bisa ramah dan murah senyum seperti ini.

"Hanya mencari udara, tadi aku sudah membantu paman Roo dan Paman Benn," ucap Sarah mencari alasan agar tidak dikira 'si paling enak sendiri'.

"Iya. Kami lihat kok, walau kau mengerjakannya sambil marah-marah."

Sarah mengendikkan bahunya tak acuh. "Aku bukan lagi anggota bajak laut Akagami. Aku sudah lupa bagaimana memasak."

"Memangnya sekarang kau jadi apa, Nona?" tanya salah satu teman Aiden.

Sarah melambaikan tangannya. "Hey, panggil aku Sarah saja. Jangan berlebihan begitu!" katanya, rada risih dipanggil dengan embel-embel. "Aku sekarang tinggal di Dressrosa. Sebagai barista dan penjaga toko buku. Itu lebih baik dan menyenangkan dibandingkan menjadi bajak laut."

Sarah menatap gerobak yang didorong oleh teman Aiden. Isinya terdapat sejumlah kelapa muda. Sarah tersenyum, dia jadi teringat masa lalu, saat mendapatkan tugas yang tidak pernah terasa keren. Entah mencuci piring, memasak, mengepel, hingga tugas membeli persediaan makanan. Dia tidak pernah langsung terjun dalam pertempuran, dia akan dikunci di lambung kapal sampai situasi membaik, atau bahkan dia akan dititipkan oleh warga setempat agar tidak ikut kru kapal lainnya. Memang definisi anak bawang.

"Kau kenapa, Sarah?"

Sarah langsung menoleh. Gadis itu menggeleng. "Tidak apa-apa," katanya.

Sarah membiarkan dua teman Aiden berjalan lebih dulu di depan. Merasa mereka sudah agak menjauh, Sarah mencolek tangan Aiden. Pria itu langsung menoleh.

"Aku butuh bantuanmu, Aiden. Kau mau menolongku?"

* * *

Sesi makan siang berjalan dengan lancar. Sarah bergabung dan duduk di kerumunan para kru baru bersama Aiden. Aksinya itu langsung mematahkan asumsi gadis jutek yang sempat mereka berikan saat pertama kali melihat gadis itu. Sarah tidak jutek, juga tidak bengis. Dia memberikan ekspresi itu karena satu pria paling berkuasa di kelompok tersebut. Dan pria itu kini duduk di pinggiran, seraya mengamati gadis itu dari kejauhan.

Persetan dengannya. Kalau dia mendekat, Sarah tidak akan segan untuk berantem dengannya.

"Kau tahu? Dunia sekarang sudah memutuskan untuk menghentikan sistem *Sichibukai dan menetapkan beberapa kaisar laut terbaru sejak Big Mom dan Kaido tewas."

Sarah hanya mendengarkan, seraya sibuk memakan ikan bakar yang rasanya begitu asin. Padahal dia sendiri yang memberikan bumbu, beruntung orang-orang tidak protes.

"Hanya orang gila dan kuat yang bisa mengalahkan mereka."

"2 Kaisar tersebut dikalahkan oleh Topi Jerami, Trafalgar Law dan Captain Eustass Kid."

Sarah menghela napas. Dia masih kesal dengan orang yang bernama Kid itu. Kalau bukan karena dia, pasti sekarang dia sudah pulang ke Dressrosa. Ah, tadi siapa namanya? Captain Eustass Kid? Hah! Biar kuluruskan. Namanya adalah Captain Useless Kid! Mengalahkan Kaisar laut? Dia saja kalah telak dari Shanks bahkan sebelum dimulai. Benar-benar menyedihkan!

"Kid benar-benar menyedihkan!" Sarah menyentakkan gelasnya. "Gara-gara dia, aku berakhir di tempat ini! Sialan!" kesalnya, suaranya cukup keras hingga terdengar sampai ke telinga Shanks dan para kru senior.

"Sarah ... Sepertinya ucapanmu kurang disukai oleh para petinggi," ucap salah satu dari mereka.

Sarah menoleh. Menatap Shanks yang juga sedang menatapnya tajam. Gadis itu berdecak. Tidak terlalu memperdulikan.

"Tentang si Topi Jerami, kau pasti mengenalnya kan, Sarah? Bos sangat sering membicarakannya."

Sarah mengendikkan bahu. Dia tidak kenal. Sejak kejadian di pulau Guri yang begitu kelam, penampilan Shanks benar-benar berbeda. Terdapat 3 luka cakar di mata kirinya, dia juga kehilangan tangan kirinya, bahkan topi jerami kebanggaannya sudah tidak dia kenakan. Dia bilang, topi itu dititipkan oleh seorang bocah asal East Blue. Mungkin bocah yang dimaksud adakah pria yang sekarang diangkat jadi kaisar termuda.

"Bagaimana dengan Buggy the Clown. Dia beraliansi dengan Hawkeye dan Crocodile," ucap mereka sekali lagi. Perlahan satu persatu dari mereka menatap Sarah. Berharap gadis itu memiliki informasi menarik.

Sarah memutar bola mata jengah. "Apa? Kalian pikir aku ini sumber informasi?" ketusnya.

Sarah tidak begitu ingat pertemuannya dengan orang yang bernama Buggy dan Hawkeye. Momen yang diingat sampai sekarang adalah, pertemuannya dengan Paman Buggy yang berhasil membuatnya mimpi buruk selama 3 hari berturut-turut. Lantaran pria itu datang seraya marah-marah menghampiri Shanks yang sedang menggendong Sarah berusia 5 tahun dengan tubuh yang berceceran ke mana-mana. Anak kecil mana yang tidak teriak ketakutan saat ada kepala berwajah menyeramkan melayang di hadapannya.

Kemudian pria pendekar pedang yang disebut Hawkeye itu ... Sarah benar-benar tidak mengingatnya. Dia hanya tahu jika pria itu adalah rival Shanks.

"Tidak, aku tidak tahu."

"Ah, payah!"

Sarah melotot. "Apa kau bilang?!"

Mereka langsung ketakutan dan serempak minta maaf.

* * *

"Paman Benn!"

Sarah menghampiri pria itu, saat dirinya baru saja keluar dari kamarnya. Benn berhenti dan tersenyum ke arahnya.

"Ada apa, Sarah?" tanyanya.

"Apa kau punya pena? Tinta penaku habis," ucap Sarah.

Benn menaikkan salah satu alisnya. "Mungkin Snake memiliki banyak persediaan pena. Kau mau aku ambil—"

"Aku punya."

Shanks tiba-tiba muncul dari balik pintu ruangannya. Mereka kompak menoleh. Benn tersenyum simpul menatap anak-ayah itu satu persatu. Sedangkan Sarah mendengkus.

"Shanks punya pena-nya. Tunggu apa lagi?"

Sarah tidak bisa menolak. Benn orang yang baik, tidak mungkin dia ajak berantem perkara pena. Alhasil Sarah masuk ke ruangan Shanks. Aroma alkohol bercampur garam dan musk menghampiri indra penciumannya. Tidak ada yang berubah dari ruangan ini. Dan itu membuat hati Sarah mencelos saat melihat kertas-kertas lukisan abstrak yang pernah dia buat waktu kecil, masih terpajang di dinding ruangannya. Kalung manik-manik yang suka ia buat dulu juga masih tergantung. Bahkan ... Kerang koleksi yang dia kumpulkan dulu juga masih terpajang di lemari.

Sial. Kenapa situasinya jadi seperti ini?!

Shanks memberikan sebuah pena hitam padanya. Sarah menerimanya dan berbalik badan menuju pintu. Tapi seketika langkahnya terhenti saat tersadar, bahwa seisi kamar ini berisikan memorinya akan masa kecilnya. Lampu bebek, bantal bebek, kerang, kalung, lukisan, bahkan coretan-coretan krayon di dinding masih tertera dengan rapi di sana. Matanya tiba-tiba tertuju pada foto dirinya bersama Shanks yang berada di meja kerjanya. Mata Sarah tiba-tiba memanas.

Alangkah indahnya jika Sarah tidak pernah tahu kebenarannya. Pasti sekarang Sarah hidup bahagia sebagai putri kesayangan di kapal dan menjadi anggota bajak laut yang ditakuti di lautan. Tapi saat dia tersadar jika dirinya adalah sebuah dosa yang hina, hatinya terasa tercabik-cabik.

Kenapa ... Kenapa dia harus dilahirkan?

"Sarah? Ada apa? Apa kau butuh sesuatu lagi?" Shanks mendekat. Dia hendak menyentuh pundak gadis itu, tapi entah kenapa ada sesuatu yang menahannya. Dia takut gadis itu akan melontarkan kata-kata yang dapat mengiris hatinya.

"Kau tahu, selama lima tahun terakhir, aku selalu menanyakan apa itu arti hidup. Aku tidak begitu paham apa alasan aku harus hidup, apa tujuanku hidup. Tapi yang membuatku penasaran adalah ... Kenapa aku harus dilahirkan?" Sarah berbalik badan, menatap Shanks dengan datar.

Shanks terdiam. Dia mau menarik anak itu ke pelukannya, namun tubuhnya terasa berat.

"Aku selalu bertanya, apakah seorang dari hasil dosa ini berhak hidup dan bahagia? Saat di mana aku justru ada karena penderitaan ibuku."

"That's enough, Sarah!" Shanks berbicara dengan nada dingin penuh penekanan. Tangannya mengepal, seperti sedang menahan sesuatu.

"Kenapa, Ayah?! Kenapa Ayah membiarkan anak hina dari budakmu lahir dan menyandang nama belakangmu?!"

"SARAH!!"

"KENAPA?!!"

Baik Sarah maupun Shanks saling meninggikan suaranya. Shanks naik pitam. Dia menahan emosinya sekuat yang dia bisa, agar tidak kelepasan dan melukai anak perempuannya ini.

"You've crossed the line!" ucap Shanks. "Selama bertahun-tahun kau masih berpegang teguh dengan omongan orang-orang di pulau Kirian? Mereka hanya membual, Sarah! Ayah sudah pernah katakan itu!"

Sarah menggeleng. "Yang mereka katakan itu masuk akal! Hubunganmu dengan Giselle begitu abu-abu! Kau seharusnya tidak menjadikannya budak pemuas nafsumu dan menghamili—"

PLAK!

Kalimat Sarah terpotong kala pria di hadapannya ini menampar pipinya. Suaranya tamparan itu begitu renyah. Semburat merah langsung tercetak di pipi kirinya. Shanks terkejut atas apa yang telah dia lakukan. Tubuh pria itu bergetar, rasa bersalah langsung menggerogoti dirinya.

"Sa—Sarah, A—Ayah minta maaf!"

Shanks hendak memegang pundaknya, namun dengan cepat Sarah menepis tangannya dan menatap pria itu dengan tajam.

"Kau bukan Ayahku!"

"Tidak—Sarah, tolong dengarkan, Ayah!"

"DIAM! KAU PIKIR AKU BAHAGIA TERLAHIR SEBAGAI PUTRIMU?! KAU SEHARUSNYA MEMBIARKANKU MATI DI PULAU GURI!!" Sarah mendorong dada pria itu dengan kencang. "KAU AYAH YANG BURUK, SHANKS! KAU PRIA YANG BURUK! GISELLE, IBUKU MEMBENCI MU LEBIH DARI APAPUN! AKU SANGAT MEMBENCIMU!!"

Sarah langsung berbalik, keluar dari ruangannya dan menutup pintunya dengan kencang. Shanks terdiam di tempat. Dia tidak tahu harus melakukan apa lagi saat hatinya lagi-lagi hancur untuk yang kesekian kalinya. Pria itu terduduk, memegang kepalanya dan menangis dalam diam.

"I always ... and always try ... to be a good father for you, Sarah."

* * *

Sarah menemui Aiden di dek belakang kapal. Gadis itu telah mengganti bajunya dengan mengenakan jaket yang terdapat tudung kepala.

"Kau sudah melakukan apa yang kuminta?" tanyanya.

Aiden mengangguk. "Bekal makanan, log pose, dan kapal kincir. Aku sudah memastikan energi dayanya akan bertahan sampai 5 hari ke depan."

Sarah tersenyum. Gadis itu tiba-tiba memeluk pria itu sejenak. "Terima kasih, Aiden. Maaf sudah merepotkanmu," katanya, lalu melepaskan pelukannya.

"Kau benar-benar akan pergi?" tanya Aiden.

Gadis itu mengangguk. Matanya terlihat sembab, pipi kirinya terlihat memerah. Tapi Aiden tidak berani untuk bertanya.

"Tapi ... kenapa? Ini rumahmu bukan? Keluargamu ada di sini. Ayahmu ada di sini. Kau aman jika bersama kami."

"Ini bukan lagi tempatku, Aiden. Aku akan aman bersama dengan diriku sendiri. Aku begini-begini kuat, lho!" ucap Sarah yang kemudian tertawa kecil.

Sarah menepuk pundak pria itu dan bersiap-siap melompat ke kapal kincir yang telah tersedia di bawah sana. "Sampai jumpa, Aiden!"

Dirinya pun melompat, menyalakan mesin kapal dan bergerak menjauhi Red Force. Meninggalkan kenangan indah bersama kapal tersebut untuk yang kedua kalinya.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top