11 | Power Released
Sarah terus berjalan mengikuti anak laki-laki berpakaian lusuh berwarna coklat—yang telah mengambil gelangnya—dibantu dengan penciuman Monster untuk melacak keberadaannya. Dia bertekad tidak akan kembali sebelum gelang itu didapatkan. Lagipula, Sarah tidak sendirian, dia bersama dengan Monster si monyet yang juga merupakan kru bajak laut Akagami, kemungkinan ayah dan yang lain tidak akan khawatir.
"Sampai kapan kau akan terus mengikutiku?!"
Sarah mendadak berhenti saat anak laki-laki itu juga berhenti. Dia berbalik dan menghampiri Sarah dengan langkah yang kesal. "Pergilah! Ayahmu pasti mencarimu!"
Sarah bersedekap. "Siapa namamu? Cepat katakan!"
"Untuk apa aku memberitahumu?!"
"Namamu siapa?"
"Tch!"
Sarah menaikkan salah satu alisnya. "Cepat jawab! Atau aku akan mengadu ke ayahku kalau ada anak laki-laki yang telah melukaiku!"
"Hei! Aku tidak melukaimu, ya! Dasar anak manja!"
"Oh ya? Ayahku seorang kapten bajak laut, cukup mudah baginya untuk mematahkan tulangmu!"
Anak laki-laki itu terkejut. Terutama saat Sarah mengucapkan kata bajak laut. "Kau?! Anak bajak laut?!"
Sarah mengibaskan rambutnya dan menatap tajam anak itu. "Siapa namamu? Cepat katakan!"
"A—Aiden."
Sarah menghela napas lega. "Okay Aiden, aku akan mendatangi pusat keamanan dan melaporkan aksimu yang telah mencuri gelangku di taman pada pukul 4 Sore."
Aiden makin terkejut. Anak itu refleks menahan tangan Sarah. "Hei! Apa-apaan ini?!"
"Hukuman untukmu karena telah mencuri!"
"Sial!" Aiden menggeram. Dia mengambil sesuatu di saku celananya dan mengeluarkan gelang bermata Ruby miliknya. "Ini, ku kembalikan! Tidak usah melaporkanku!" Anak laki-laki itu memberikan kembali gelang tersebut. Dia mendengkus dan pergi meninggalkan Sarah bersama Monster yang hinggap di pundaknya.
Sarah terdiam. Dia menatap gelang tersebut lekat-lekat. Tidak ada yang berubah, itu masih gelangnya. Namun entah kenapa dia teringat ucapan Hans—pria di gang tadi—yang mengatakan kalau Aiden harus segera bayar malam ini atau adiknya akan dalam bahaya. Entah apa yang harus dibayar. Lalu, bagaimana caranya Aiden harus membayar jika tidak ada apapun yang dia berikan?
"Aiden, tunggu!"
Sarah hendak berlari mengejar Aiden yang sudah berjalan menjauh, namun pergerakannya tiba-tiba tertahan saat seseorang memegang pundaknya. Sarah langsung menoleh dan mendapati Shanks di sana.
"Ayah?"
"Kau ke mana saja?! Ayah khawatir!" katanya. Kedua alisnya menukik tajam, wajahnya begitu seram dengan 3 bekas luka cakar di mata kirinya.
Sarah langsung terdiam dan matanya tiba-tiba terasa panas. Sudah lama dia tidak melihat ayahnya memasang ekspresi marah seperti itu. Merasa hampir kelepasan, Shanks segera memeluk anak itu seraya menghela napas lega.
"Maaf, maaf. Ayah hampir kelepasan. Habisnya Ayah khawatir kau tiba-tiba menghilang!"
Sarah menggeleng. Seharusnya dia yang meminta maaf. Sarah membalas pelukan ayahnya. "Aku juga minta maaf, Ayah."
Shanks melepas pelukannya dan mendapati Sarah yang tengah memegang gelangnya.
"Ada apa dengan gelangnya? Kenapa di lepas?" tanya Shanks. Pria itu mengambil gelang tersebut dan memakaikannya kembali di tangannya. "Ayo kita kembali ke kapal. Kau belum mandi sejak pagi," ucap Shanks.
Monster melompat naik ke pundak pria itu, lalu setelahnya Shanks menggandeng tangan Sarah dan menuntunnya kembali ke dermaga. Sarah merasa berat hati meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba saja dia kepikiran akan nasib Aiden. Apakah seharusnya dia memberikan gelangnya saja? Toh, yang dikatakan anak laki-laki itu tidak sepenuhnya salah. Sarah masih punya banyak gelang permata di kotak perhiasannya.
"Ayah. Apa yang akan ayah lakukan kalau ada yang mencuri sesuatu darimu?" tanya Sarah di tengah perjalanan mereka.
Shanks menoleh, sedikit terkejut saat ditanya pertanyaan tersebut oleh anaknya. Pria itu terlihat berpikir sejenak. "Tergantung."
"Tergantung?"
"Di dunia ini, orang-orang melakukan sesuatu pasti ada sebab dan alasannya. Apabila ayah tahu sebab dia melakukannya karena untuk kebaikan banyak orang, ayah tidak akan melukainya."
"..."
"Tapi jika dia melakukannya untuk sesuatu yang tidak bisa Ayah terima, Ayah tidak akan memberikannya ampun!"
Sarah menundukkan kepalanya, menatap kakinya yang melangkah seirama dengan langkah kaki ayahnya. Merasa putrinya murung, Shanks langsung bertanya.
"Ada apa? Kau bertemu dengan pencuri?"
Pelan-pelan Sarah mengangguk. "Orang itu mencuri gelangku."
"Benarkah? Itukah sebabnya kau menghilang dari taman?" tanya Shanks.
Sarah mengangguk. "Aku mengejarnya, dan meminta gelangku kembali."
"Dia memberikannya begitu saja?"
Sarah tidak mau menjelaskan kalau dia sempat mengancam Aiden kalau ayahnya itu kapten bajak laut. "Iya. Aku ancam akan melaporkannya ke petugas keamanan jika tidak mengembalikan gelangku."
Shanks tertawa, dia melepas sejenak pegangan tangannya dan mengacak-acak rambut merah anaknya itu. "Putri ayah pintar sekali! Hahaha!"
"Ayah jangan keras-keras! Orang-orang risih mendengar tawa sumbang Ayah!" protes Sarah.
Shanks langsung berhenti tertawa, kembali menggandeng tangan anak itu. "Lalu, kau tahu apa alasannya mencuri?"
Sarah terdiam. Dia mengalihkan pandangannya ke deretan toko dan rumah susun di sekitarnya. Anak itu menggeleng. "Entahlah Ayah. Aku tidak mau ikut campur." Sarah mengeratkan genggamannya pada tangan Shanks. percakapan pun berhenti di sana hingga akhirnya mereka sampai di dermaga.
* * *
"Waah! Lampunya sangat indah!"
Sarah sedari tadi terus terpukau saat lampu-lampu indah perlahan menyala di seisi kota. Rumah-rumah padat penduduk serta toko-toko dan restoran mulai menyalakan lampu yang memiliki warna cahaya yang beragam, mulai dari kuning, jingga, ungu hingga biru terang. Sarah beserta kru bajak laut Akagami tengah menuju salah satu bar sekaligus restoran untuk makan malam.
"Ayah, lihat! Yang itu bentuk lampunya seperti bebek!" Sarah menggoyang-goyangkan tangan Shanks dengan wajah yang tersenyum berbinar. Mata merah gelapnya begitu berkilau pada malam itu akibat cahaya-cahaya indah di pulau Lumière.
"Pulau Lumière terkenal dengan produksi lampu indahnya," jelas Benn yang berdiri di sisi lain Sarah. Pria itu mengangkat Sarah dan menggendongnya agar tidak tertinggal.
"Paman aku mau lampu bebek itu!"
Benn terkekeh. Dia hanya mengiyakan. Mungkin tidak ada salahnya juga untuk membeli. Apa lagi, pemandangan yang mereka lihat ini sangat langka. Sarah terlihat begitu bahagia. Sorot mata merahnya yang selalu redup dalam kurun waktu setahun kebelakang, akhirnya bisa bercahaya. Menitikkan tanda kehidupan dalam dirinya.
Kelompok bajak laut itu akhirnya sampai di bar yang mereka maksud. Cahaya lampu berwarna kuning dan ungu menghiasi dinding dan langit-langit ruangan. Rasanya, Sarah ingin sekali mencomotnya dan memajangnya di kamar Ayahnya.
Shanks memesankan steak untuk Sarah, tak lupa jus mangga yang merupakan favoritnya. Sebelum steak sampai di meja Sarah, pria itu memotong daging steak menjadi beberapa bagian kecil-kecil di meja bar terlebih dahulu. Selain karena Sarah tidak bisa melihat pisau, memang sejak dulu dia tidak terlalu bisa memotong daging steak dengan pisau dan garpu.
Sarah terlihat senang saat makanannya datang, aroma daging panggang tersebut membuat perutnya semakin lapar. Dia menyuap daging tersebut dengan riang. Shanks mengamati tingkah gemas anak perempuannya itu. Seketika dia merasa waktu begitu berjalan dengan cepat. Padahal dia merasa baru saja kemarin Sarah makan bubur dan belajar menggunakan sendok yang berakhir buruk sebab meja, wajah dan pakaiannya menjadi kotor.
"Ayah mau?" Sarah tiba-tiba menawarkan sepotong daging steak miliknya. Menyodorkannya sepotong daging yang ditusuk garpu ke arah wajah pria itu.
Shanks terkekeh. Dia menerima dagingnya dan mengelap noda bumbu steak di bibir anak itu.
"Habiskan. Kalau masih lapar, bilang Ayah. Nanti ayah pesankan lagi."
Sarah langsung mengangguk antusias.
Suasana bar saat itu terasa ramai, tidak ada kekacauan mengingat mereka adalah sekumpulan bajak laut yang cukup terkenal di Grand Line. Mungkin karena sekarang mereka tengah berada di wilayah South Blue, sebagian besar mereka tidak begitu kenal bahkan ada yang menganggap mereka hanya bajak laut kecil.
"PAMAN! PAMAN TERA!"
Suasana damai di bar hancur saat kedatangan seorang anak laki-laki berusia sekitar 12 tahun berpakaian lusuh memanggil seseorang yang berada di bar tersebut. Sarah yang sedang asik makan, atensinya terpaksa teralihkan pada anak itu.
Aiden?
"PAMAN TERA! TOLONG AKU!"
Bocah bernama Aiden itu memasuki lebih dalam bangunan bar. Tak lama seorang pria berbadan besar keluar dari arah dapur dan menghampirinya.
"Aiden?! Ada apa?! Di mana adikmu?!"
Pria yang Sarah tebak bernama Paman Tera itu berjongkok, mensejajarkan tinggi tubuhnya dengan Aiden. Wajah anak laki-laki itu terlihat panik, terdapat luka kecil serta lebam di wajahnya yang sebelumnya tidak ada. Sebelum Aiden menjawab, pandangannya tidak sengaja tertuju pada seorang anak perempuan di antara meja yang dikelilingi oleh pria berpenampilan bengis. Aiden menggeram, semakin merasa bodoh telah mencari gara-gara dengan anak perempuan yang gelangnya sempat dia curi.
"Hans! Hans dan kelompoknya telah membakar rumahku! Apinya sangat besar, adikku masih terjebak di dalam! Tolong bantu aku! Tidak ada warga yang mau membantu!"
Shanks yang mendengar langsung menoleh, terlebih saat melihat Sarah yang menatap anak laki-laki itu dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kau, mengenalnya?" tanya Shanks.
Tenggorokan Sarah terasa tercekat, rasa bersalah langsung menghujaminya. Andai saja dia membiarkan gelangnya diambil olehnya, mungkin adiknya tidak akan kenapa-kenapa.
"Sarah?"
Sarah tersentak. Kembali tersadar, dan mendapati Aiden beserta Paman Tera telah pergi meninggalkan bar. Saat itu juga secara impulsif, Sarah turun dari kursinya dan berlari mengejar Aiden. Shanks yang tidak mengerti dengan kejadian ini terkejut, buru-buru meninggalkan segelas birnya dan berlari menyusul Sarah.
* * *
Hans merupakan seorang preman pengacau di pulau Lumière. Dia dan kelompoknya memeras orang-orang miskin dan lemah untuk memaksa mereka membuat perjanjian peminjaman uang, kemudian orang-orang miskin yang tidak punya pilihan terjerat dalam perangkapnya dan meminjam sejumlah uang dengan nominal yang besar serta bunganya yang begitu besar dan tidak masuk akal. Sehingga mereka yang susah semakin susah dibuatnya.
Beberapa orang bahkan segan dan takut bila harus berhadapan dengan Hans. Instansi keamanan di pulau tersebut pun sulit menangkapnya karena aksi kejahatan mereka yang begitu mulus dan antek-anteknya yang begitu kuat untuk dikalahkan.
Aiden membawa Paman Tera menuju daerah sisi paling timur di pulau Lumière. Daerah itu lebih gelap dan jarang adanya lampu-lampu indah yang biasanya terpasang di sisi lain pulau. Di daerah itu hanya ada sebuah cahaya kuning besar yang merupakan kobaran api yang membakar sebuah rumah di ujung jalan. Orang-orang yang tinggal di sekitar memilih untuk menyelamatkan barang-barang berharga mereka dan pergi menjauh agar tidak terkena dampak dari kebakaran tersebut.
Paman Tera segera mengisi air dalam ember dan menyiram api berkali-kali, namun tidak ada hasil yang begitu signifikan. Justru rumah reot itu semakin dilahap oleh api. Terdengar lirihan suara minta tolong dari dalam. Membuat Aiden semakin panik. Anak itu hampir nekat untuk menerobos begitu saja api di hadapannya, namun tiba-tiba ada yang menahan tangganya.
Sarah datang dengan napas yang tersengal-sengal. "Jangan main masuk saja, dasar bodoh!" maki anak perempuan itu.
Aiden menghentakkan tangannya tidak peduli. Namun Shanks keburu datang. Dia dibuat terkejut, terlebih saat melihat reaksi Sarah yang tidak terlihat begitu ketakutan akan pemandangan yang berada di hadapannya.
"Sarah—api—"
Sarah menoleh ke belakang. Menghampiri ayahnya dan memegang tangannya. "Ayah! Tolong adiknya Aiden! Dia terjebak di dalam!"
Mata Sarah terlihat berkaca-kaca. Situasinya begitu rumit, namun melihat Sarah yang sungguh-sungguh meminta tolong, membuatnya tidak bisa menolak. Alhasil tanpa aba-aba pria berambut merah itu menerjang api untuk menyelematkan seorang anak yang terjebak di kobaran api.
Mereka bertiga yang menunggu di luar terlihat cemas. Sarah sedari tadi meremas ujung bajunya seraya mengigit bibir kuat-kuat. Semoga ayah berhasil menyelamatkan adik Aiden dan keluar dengan selamat. Namun di tengah rasa paniknya, Paman Tera yang berdiri di belakang tiba-tiba jatuh terkapar tak sadarkan diri saat 5 orang datang dan salah satunya memukul belakang kepala Paman Tera. Aiden tercekat, begitupun dengan Sarah. Namun belum sempat mereka berteriak meminta tolong, dua orang berbadan besar membekap tubuhnya dan membawanya meninggalkan lokasi.
Beberapa menit pun berlalu, Shanks akhirnya berhasil membawa seorang anak perempuan berusia sekitar 5 tahun dari dalam kobaran api. Tapi saat dia berhasil keluar, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada seorang pria koki bar yang terjerembab di tanah tak sadarkan diri. Shanks mendudukkan anak perempuan itu cukup jauh dari lokasi, lalu membangunkan pria koki tersebut.
"Oy! Bangun! Kemana dua anak tadi?!"
Pria koki itu terbangun dengan susah payah seraya meringis belakang kepalanya. "Hans. Pasti Hans yang menculiknya!"
Shanks menggeram marah. "Sialan!"
* * *
Sarah dan Aiden dibawa oleh kelompok Hans menuju sisi lain dermaga, bukan dermaga di mana kapal bajak laut Akagami berlabuh. Tubuhnya diseret, dipaksa untuk berjalan dengan cepat. Sarah merasa déjà vu. Dia teringat dengan masa lalunya yang pernah berada di posisi ini. Sedangkan Aiden sedari tadi memberontak, berusaha menarik tangannya dari kerungan tangan besar milik salah satu antek-anteknya Hans. Anak laki-laki itu menendang, menarik tangannya, bahkan sampai mengigit tangan pria besar itu hingga refleks tubuhnya terhuyung ke belakang.
Mereka berhenti berjalan. Merasa perlu untuk memberikan pelajaran kepada Aiden. Hans menghampirinya, namun batal kala Aiden dengan cepat mengacungkan belati yang entah dia mendapatkan itu dari mana.
Sarah terkejut, tubuhnya bergetar ketakutan saat melihat ujung belati tersebut yang runcing.
"Lepaskan anak itu! Dia tidak bersalah!" ucap Aiden. Hans menatap Sarah yang sedari tadi terdiam dengan tatapan kosong.
"Anak bajak laut ini?" tanyanya, memandang remeh Sarah.
"Lepaskan dia, dan sebagai gantinya aku bersedia ikut kalian!" Aiden mengeratkan genggaman tangannya pada belati.
"Untuk apa? Akan lebih menyenangkan jika kupenggal dirinya dan melempar kepalanya ke ayahnya yang baik hati itu!"
Deg!
Jantung Sarah berdegup kencang. Dia tidak boleh mati. Dia tidak mau berakhir di tangan pria berandal seperti ini.
Ayah! Ayah datanglah ... Tolong aku ...
"Untuk apa kau menyelamatkan dirinya, Aiden?" Hans melangkah perlahan mendekati Aiden. "Mereka hanya bajak laut payah yang hanya bisa menyelamatkan orang-orang miskin sepertimu! Ayah anak ini palingan hanya kapten cacat yang bahkan tidak bisa membawa kelompoknya bertahan di Grand Line!" Hans tertawa dengan keras.
Sarah menggigit bibirnya. Merasa tidak terima ayahnya direndahkan seperti itu, sebab anak itu tahu, reputasi ayahnya lebih besar dari yang mereka kira. Sarah tahu, alasan ayahnya pergi ke South Blue untuk sekedar berlayar mencari suasana baru, mengingat Sarah butuh waktu untuk pulih dari luka pada mentalnya.
"Hei pria botak." Sarah berbicara pelan pada pria yang menahan tangannya. Pria itu menoleh seraya mengangkat sebelah alisnya. "Tangan kiriku pegal. Jika kau terus memegangnya seperti ini, kau bisa mematahkannya," lanjut Sarah.
"Ngomong apa bocah ini?!" ucap pria botak tersebut.
Sarah menyeringai. Entah dari mana dia teringat dengan beberapa teknik bertarung yang sering Ayah dan kru kapal lainnya gunakan. Mereka menyebutnya dengan Haki. Percaya atau tidak, Sarah pernah melepaskan salah satu teknik tersebut saat di pulau Guri. Yang dia ingat, dia mengeluarkan amarahnya, hasrat ingin membunuh sekaligus menyelamatkan diri serta orang-orang yang dia sayangi.
Sarah tidak tahu pasti bagaimana caranya, yang jelasnya jantungnya berdegup kencang namun memiliki ritme yang dinamis. Suhu di tubuhnya memanas, indranya terasa tajam. Kemampuan roh dalam dirinya tiba-tiba terpusat di tangan kirinya, hingga selang beberapa detik, tubuh pria botak tersebut terhempas dengan kencang menghantam pohon besar di belakangnya.
Hembusan angin yang entah datang dari mana menerjang mereka, percikan aura berwarna merah gelap menyambar sebagian anggota kelompok antek-anteknya tersebut hingga tumbang tak sadarkan diri. Sarah mengambil sebuah belati yang tak sengaja dijatuhkan oleh mereka, mengacungkan senjata tajam tersebut tak lupa melapisinya dengan Haki senjata yang tak terkontrol di tangannya.
"Tarik ucapanmu tentang ayahku, bajingan!"
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top