10 | Thief
9 tahun yang lalu.
Malamnya tidak pernah tenang sejak kejadian itu. Akan selalu ada gambaran ulang mengenai ketakutannya akan luka di wajah dan punggungnya. Rasa sakit yang dia rasakan dulu, selalu menghantui tidurnya. Terlepas saat dia termenung menatap perapian atau melihat orang-orang tengah mengasah mata pisau. Saat itu lah kewarasan anak berusia 10 tahun itu hilang seketika.
Shanks melakukan apapun yang dia bisa. Menaruh semua pedang dan senapan dari pandangan anak itu, menutup perapian serta memadamkan segala macam api yang ada di kapal, membiarkan seisi kapal menjadi dingin dan gelap gulita.
Sarah terbangun di pagi buta dengan detak jantung yang berdebar. Keringat dingin membasahi kening hingga punggungnya. Lagi-lagi dia tersadar dari mimpi yang menyeramkan. Merasa ada pergerakan kecil di sampingnya, Shanks langsung sigap terbangun dan mengusap-usap punggung anak itu.
"Are you okay, sweetheart?" Shanks meraih dagu Sarah yang terlihat murung.
Tidak ada balasan apapun darinya, membuat Shanks memeluknya dan mengusap rambutnya. Beberapa menit kemudian, Shanks menggendong anak itu keluar dari kamarnya, naik ke atas tangga menuju setir kemudi berada. Sarah didudukan di kursi, sedangkan Shanks meraih teropong untuk melihat sekitar.
Seekor monyet yang merupakan salah satu teman mereka melompat dari atas tiang layar, ikut duduk di samping Sarah. "Kita sebentar lagi sampai. Monster, bangunkan yang lain!" Shanks meminta tolong kepada Monster.
Monyet itu langsung melompat turun menuju kabin, membangunkan yang lain sesuai permintaan Shanks. Kini tersisa gadis kecil yang duduk di kursi seraya menatap matahari pagi dengan tatapan kosong. Shanks ikut duduk di sampingnya. Ikut menatap pemandangan indah di hadapannya ini.
"Mimpi buruk lagi, hm?" tanyanya.
Sarah tidak mengatakan apa-apa, dia hanya mengangguk singkat dengan tatapan yang begitu datar. Tatapan yang tidak pernah berubah sejak setahun yang lalu. Shanks dan yang lain sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengembalikan senyum yang mereka rindukan, namun tetap tidak ada hasil. Anak perempuan kesayangan mereka telah berubah, dan tidak ada lagi keceriaan yang tersisa di mata merah gelapnya itu.
"Kau mau susu?" tawarnya. Sarah lagi-lagi hanya mengangguk. Shanks menurunkan dirinya dari kursi, menentengnya menuju dapur yang ternyata sudah ada Roo dan Benn yang sedang menunggu air mendidih. Sarah di dudukan jauh dari kompor, sebab dia masih takut terhadap api atau apapun yang bercahaya akan api.
Shanks mengaduk susu hangat di gelas bebek favoritnya dan memberikannya ke Sarah. Sembari menunggu anak itu menghabiskan susunya, Shanks duduk bergabung dengan Benn dan Roo.
"Ini sudah hampir setahun, tidak ada kemajuan," ujar Shanks kepada Benn dan Roo. Pria itu menyugar rambutnya kemudian memijat keningnya. "Aku harus apa untuk membuatnya kembali sembuh?" tanya Shanks.
Benn berdeham. "Mentalnya terluka. Kenangan kelam di pulau Guri tidak akan mengembalikan hidupnya seperti semula. Dia butuh waktu, Shanks," ucap Benn.
Shanks menatap anaknya itu yang sedang meminum susu. Ada banyak ketakutan yang hinggap dalam dirinya, salah satunya mengenai punggungnya yang terdapat luka bakar yang membentuk simbol cakar naga. Pernah suatu ketika Shanks memandikannya dan sebuah pertanyaan muncul darinya saat pria itu menggosok punggung anaknya.
"Ayah ... Apakah punggungku bisa kembali seperti semula?"
Shanks yang mendengar pertanyaan tersebut, sangat kesulitan untuk menjawabnya.
"Punggung Ayah sangat bagus, tidak ada tanda jelek seperti di punggungku ... Apakah tanda jelek ini bisa hilang?"
Shanks ingin sekali berbohong jika tanda itu bisa hilang suatu saat. Tapi pria itu tidak mau berbohong sekecil apapun lagi kepadanya. Terakhir dia berbohong-karena alasan untuk melindunginya-Sarah berakhir begitu tragis.
"Pasti ada cara untuk menghilangkan tanda itu, Sarah. Tapi Ayah masih belum tahu caranya."
Shanks hanya bisa menjawab seperti itu. Pasti ada cara, meskipun tidak benar-benar dengan menghilangkan tanda itu dari punggungnya.
"Aku memikirkan sebuah ide sejak kemarin." Shanks meneguk segelas air, yang kemudian menatap dua rekannya itu satu persatu. "Mungkin luka bakar itu bisa ditimpal dengan tato."
Baik Benn maupun Roo terdiam. Mereka hendak mengeluarkan protes, namun terhenti saat Sarah tiba-tiba memanggil Roo.
"Paman Roo, aku mau sarapan nasi goreng, boleh?"
Roo langsung tersenyum. "Tentu saja, anak manis!" jawab pria bertubuh besar itu seraya mengacungkan jempol nya.
Shanks menuntun Sarah untuk keluar dari dapur. Suara tumisan di penggorengan juga menjadi salah satu pemicu traumanya kambuh. Lebih baik Sarah menunggu di dek kapal seraya bermain dengan Monster.
* * *
Sarah takut benda tajam seperti pisau dan pedang. Sebab benda itu yang membuat luka parah di wajahnya hingga nyaris mati kehabisan darah.
Sarah takut suara peluru. Neneknya tewas di hadapannya karena tertembak oleh orang-orang jahat.
Sarah takut api. Desa tempat tinggal neneknya hancur tak bersisa oleh api yang menjalar begitu cepat.
Sarah takut suara desis saat sesuatu sedang terbakar, seperti suara tumisan atau suara benda padat yang melepuh. Itu mengingatkannya dengan suara kulitnya yang terbakar akibat besi panas mengenai punggungnya.
Begitu banyak hal yang dia takuti selepas kejadian kala itu. Namun dari semua hal yang tadi disebutkan, Sarah paling takut jika harus ditinggal ayahnya lagi. Namun, di sisi terdalam hatinya-sisi di mana dia memiliki pemikiran dewasa tentang apa itu hidup-menilai jika dirinya ini begitu naif. Selama dua tahun hidup sebagai budak, membuat Sarah terpaksa dewasa sebelum usianya. Tidak ada lagi perhatian dan kasih sayang ayahnya. Dia terus berdoa dan berharap, namun ayahnya tidak pernah kunjung datang. Kalimat permohonan yang suka dia lontarkan agar ayahnya datang itu hanya sekedar kalimat untuk penenang dan penyemangat baginya. Walau Sarah tahu, dia begitu naif.
Tapi kejadian tak terduga pun terjadi, Shanks datang, bagai mimpi di siang bolong. Harapan semu yang selalu Sarah lontarkan terkabul meski bayarannya begitu besar berupa trauma yang sulit untuk dilupakan. Kematian neneknya, perlakuan orang-orang saat dirinya menjadi budak, dan ketakutannya saat Shanks benar-benar meninggalkannya (lagi). Sarah ingin terbebas dari trauma itu. Dia ingin seperti dirinya yang dulu. Dia tidak mau merepotkan banyak orang. Dia juga tidak mau ayahnya terus bersedih karenanya.
"Kau sendirian?"
Sarah yang sedang terduduk di kursi taman tersentak saat seorang anak laki-laki seusianya datang dan duduk di sampingnya. Sarah sedikit terkejut, alhasil menggeser posisi duduknya agak menjauh darinya.
Sarah tidak sendirian. Ayahnya sedang membeli minuman di kedai yang tak jauh dari tempat dia duduk. Sarah bisa melihat jika Shanks sedang mengantri di kedai tersebut. Karena Sarah terlalu pegal, akhirnya anak itu minta menunggu di kursi taman yang tidak jauh. Anak laki-laki itu menatap sesuatu yang ada di tangannya. Sebuah gelang permata bewarna merah pemberian ayahnya beberapa bulan yang lalu dari peti harta karun yang didapat setelah mengalahkan bajak laut kroco. Sarah suka gelangnya, apalagi ayah yang memberikannya.
"Gelangmu bagus. Boleh aku melihatnya?" pintanya dengan polos.
Sarah memicingkan matanya, merasa aneh dengan permintaan anak laki-laki itu. Sarah langsung menarik tangannya. Takut jika gelangnya akan dirusak atau parahnya akan dicuri.
"Tidak. Tidak boleh!" tolak Sarah.
Anak itu mengernyit kesal. Tiba-tiba tanpa Sarah duga, dia menarik tangannya dan mencabut gelang itu dengan mudah lalu berlari membawa gelangnya. Sarah tentu langsung terkejut, refleks berdiri dan berlari mengejar anak itu. Melupakan Shanks yang masih mengantre di kedai minuman.
* * *
Sarah akui, anak laki-laki yang telah mencuri gelangnya itu berlari dengan sangat cepat. Sarah hampir kewalahan dan nyaris terjatuh. Hingga akhirnya pencuri itu berbelok ke sebuah gang sempit dan sepi yang lokasinya lumayan jauh dari taman tempat ayahnya berada. Merasa kalau Sarah sudah terpisah dari Shanks, bahkan tanpa memberitahunya, membuat Sarah jadi gelisah. Dia bahkan lupa jalan untuk kembali ke taman. Anak itu pun berbalik badan, menimbang-nimbang jalan mana yang harus dia ambil, hingga kemudian rencananya itu batal kala terdengar suara tamparan keras dari dalam gang yang berliku-liku itu.
Sarah jadi penasaran, alhasil memasuki gang lebih dalam. Dia berhenti saat melihat terdapat beberapa pria dewasa dan satu anak laki-laki di ujung sana. Sarah hendak menghampirinya, namun salah satu pria dewasa tersebut kembali menampar si anak laki-laki hingga tubuh kecilnya itu terpelanting ke dinding. Sarah tercekat, kepingan kenangan buruk saat dirinya menjadi budak membuat tubuhnya bergetar. Anak laki-laki itu berusaha untuk kembali berdiri dengan kaki yang berdiri goyah.
"A—aku minta maaf Hans, hanya itu yang aku punya ... Aku akan segera melunasinya. Tolong ... jangan sakiti adikku!" ucapnya dengan suara yang terdengar parau.
Pria yang bernama Hans itu membuang ludah, menarik kerah baju anak itu dan mengancamnya dengan sebilah pisau.
Deg!
Tubuh Sarah refleks mundur selangkah. Matanya langsung tertuju pada ujung pisau yang mengkilap tersebut. Secara tak sadar dirinya menyentuh pipi kirinya yang terdapat luka bekas jahitan.
"Kutunggu malam ini! Jika kau tidak membayarnya, nyawa adikmu bayarannya!" Hans menghempaskan tubuh si anak laki-laki itu, lalu dia pergi ke ujung gang bersama antek-anteknya.
Si anak laki-laki itu mengumpat, kembali berdiri dan berbalik badan, berjalan keluar gang menemukan sosok Sarah yang berdiri di tikungan gang.
"Kau?! Sedang apa kau?!" katanya.
Sarah mengerjapkan matanya dan tersadar jika suasana sudah kembali kondusif. "Kau ... Kembalikan gelangku!"
Laki-laki itu menggeram, tidak menjawab apa-apa dan berjalan begitu saja melewati Sarah.
"Hey! Kembalikan gelangku! Itu milikku!" Sarah menyusul anak itu dan berusaha untuk berjalan sejajar dengannya.
"Berhenti mengikutiku! Lagi pula itu hanya gelang!" ucapnya menatap garang. "Kau orang kaya bukan? Pasti kau masih punya banyak gelang yang lebih mahal dari itu!"
Sarah mengernyit tak paham. "Aku bukan orang kaya! Gelang itu hanya ada satu dan itu spesial diberikan oleh ayahku!"
Anak laki-laki itu mendengkus. "Ternyata anak manja rupanya."
"Manja?" Sarah menaikkan salah satu alisnya, tidak terima dibilang begitu. "Tarik ucapanmu! Aku bukan anak manja! Ayah menyayangiku makanya aku menjaga gelang pemberiannya!"
"Tch!"
"Kau ini! Kembalikan padaku, aku tahu kau tidak memberikannya ke orang itu!" ucap Sarah.
"Jangan sok tahu! Gelangmu sudah kujual."
Sarah menghentikan langkahnya, menatap punggung anak laki-laki itu hingga beberapa detik kemudian suara seekor monyet terdengar dari atas salah satu bangunan di sekitarnya. Sarah yang mengenal monyet itu langsung menyuruhnya turun. Monster meloncat turun di hadapan Sarah yang kemudian menarik tangan anak itu, seakan-akan menyuruhnya untuk kembali. Sarah menggeleng dan melepaskan tangannya.
"Tidak, Monster. Anak laki-laki itu mengambil gelangku! Kalau Ayah tahu gelang itu hilang, dia pasti sedih!" ucap Sarah.
Monster menghela napas. Sepertinya akan ada keributan di kru kapal bajak laut Akagami, sebab Sarah yang tiba-tiba menghilang.
"Kau lebih baik ikut aku mengambil gelangku!" Sarah tiba-tiba membuat keputusan secara sebelah pihak, dan menarik tangan Monster untuk ikut bersamanya mengejar si anak laki-laki tersebut.
* * *
Yang Shanks ingat, dia menyuruh Sarah untuk duduk menunggu di kursi taman selagi dirinya mengantre membeli minuman di kedai teh. Shanks tak lupa menjaga pandangannya setiap 5-10 detik untuk kembali mengecek apakah anaknya masih berada di kursi tersebut atau tidak. Tapi saat gilirannya tiba, Shanks cukup disibukkan untuk memilih menu dan membayar minumannya, hingga dua menit kemudian dia kembali mengecek ke arah kursi taman tersebut, Sarah sudah menghilang.
Shanks terkejut, bahkan seketika dia lupa dengan pesanannya dan lari begitu saja mencari anak perempuannya yang hilang entah kemana. 5 menit dia tidak menemukan keberadaannya, kepalanya mendadak tidak bisa berpikir jernih, hingga akhirnya dia menemukan Benn dan yang lain di restoran terbuka.
"Di mana Sarah?!" tanya Benn sedikit panik. Apalagi saat melihat reaksi kaptennya itu juga yang tak kalah panik.
"Kalian ... CARI SARAH SEKARANG JUGA!!" teriaknya. Beberapa pengunjung restoran dan orang-orang yang lewat langsung tertuju memperhatikan pria berambut merah tersebut.
"Shanks, tenangkan dulu pikiranmu! Sarah tidak mungkin hilang begitu saja!"
"Tidak bisa, Benn! Aku tidak bisa tenang jika menyangkut soal Sarah!" Shanks mengacak-acak rambutnya.
Monyet yang sedari duduk di atas meja sembari menyantap sebuah pisang itu memiringkan kepalanya. Hewan itu tiba-tiba turun dari meja dan pergi begitu saja mencari Sarah di tengah-tengah kota.
"Hey, Monster! Kau mau ke mana?" tanya Yasoop.
Punch menyesap kopinya sejenak. "Dia pasti mencari Sarah. Biarkan saja."
Shanks menatap anak buahnya itu dengan tajam. Sedetik kemudian menggebrak meja dengan begitu dramatis. "Kalian tidak malu dengan seekor monyet?! PERGI CARI SARAH, DASAR KALIAN TIDAK BERGUNA!!"
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top