09 | Grass Field
Di pertengahan jalan menuju dermaga, Sarah melihat hamparan padang rumput yang luas, di mana ujungnya langsung berbatasan dengan lautan. Terdapat pagar-pagar pembatas yang menahan segerombolan domba di dalamnya. Sarah menghentikan langkahnya. Shanks di sampingnya pun ikut berhenti. Gadis itu mengambil sesuatu dari saku depan tasnya, sebuah kamera analog. Shanks tidak berkomentar apa-apa, memperhatikan anaknya yang memotret pemandangan di depannya.
"Kau mau melihat padang rumput itu?" tawar Shanks.
Sarah menoleh, ragu-ragu dia bertanya. "Bukankah kita harus cepat-cepat kembali?" tanyanya.
Shanks terkekeh. "Ada jalan pintas yang langsung mengarah ke dermaga. Lagipula, kapal kita masih memiliki daya yang cukup untuk kembali ke Red Force."
Sarah menatap padang rumput tersebut. Potret alam di sana semakin indah saat langit mendukung dengan memberikan semburat merah muda di garis cakrawala. Hijaunya rumput semakin melengkapi keindahan di dalamnya. Sarah ingin menangkap momen itu dari dekat. Kapan lagi dia bisa datang ke sini secara percuma?
Sarah mengangguk. Tanpa dia sadari, gadis itu tersenyum menatap Shanks. Pria itu terdiam, menyembunyikan rasa terkejutnya dengan berjalan lebih dulu. Ini pertama kalinya Sarah tersenyum setelah mereka berpisah selama bertahun-tahun. Senyumnya sangat hangat. Mengingatkannya dengan senyumannya yang selalu tulus dia berikan.
Padang rumput itu memiliki rute yang menurun. Sarah berlari, membiarkan gaya kelembaman menguasai tubuhnya hingga terus turun dari bukit. Tawanya lepas, dan itu sukses membuat hati Shanks begitu gembira.
"Huaa—"
Brak!
Shanks terkejut saat melihat Sarah terjatuh di rerumputan karena terlalu bersemangat saat berlari turun dari bukit. Pria itu menghampirinya dan mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri. Sarah tertawa akan tingkahnya yang konyol barusan. Gadis itu pun menerima uluran tangan Shanks dan bangun dari posisi terlentangnya. Pakaiannya sedikit kotor oleh dedaunan kecil serta potongan rumput. Shanks refleks membersihkan beberapa daun yang menempel di punggung serta rambut Sarah.
Sarah melanjutkan langkahnya menuju pagar pembatas. Matanya berbinar melihat segerombolan domba yang berlarian dan memakan rumput-rumput di sekitar. Tidak mau kehilangan banyak moment, gadis itu segera mengambil kembali kameranya dan memotret banyak gambar. Shanks tersenyum penuh makna. Dia merasa déjà vu, teringat kenangan-kenangan manis saat Sarah masih kecil dan menghabiskan waktu sore hari dengan jalan-jalan sambil melihat matahari terbenam. Mungkin Sarah sudah besar, berusia nyaris 19 tahun. Tapi bagi Shanks, Sarah hanyalah anak kecil berusia 5 tahun yang butuh seorang Ayah untuk dijadikan baginya sebagai tempat berpulang.
Shanks mendekati Sarah. "Hey, mau Ayah fotokan?" tawarnya.
Lagi-lagi seperti disihir, Sarah mengangguk senang. Memberikan instruksi bagaimana cara memotret dengan benar kepada Shanks, lalu gadis itu melompati pagar pembatas dan masuk ke dalam kawasan domba. Shanks memotretnya dengan baik. Sesekali memotret canon anak gadisnya itu. Setelah merasa puas, Sarah pun kembali menaiki pagar pembatas. Shanks memberikan tangannya untuk membantunya dan diterima dengan ramah olehnya.
Perjalanan menuju dermaga pun dilanjut. Mereka sampai di dermaga tepat saat matahari terbenam. Seperti biasa Sarah kembali memotret langit jingga kemerahan itu dengan baik-baik. Entah kenapa moodnya yang buruk sejak dibawa ayahnya kembali ke bajak laut Akagami, tiba-tiba berubah drastis saat dia melihat pemandangan bagus dan memotretnya dengan kamera.
Mesin kapal dinyalakan, Shanks menyuruh Sarah untuk melepas ikatan kapal di dermaga, dan memintanya untuk segera naik ke atas kapal. Sarah hanya menurut. Lagi-lagi mood-nya sangat baik. Menguntungkan Shanks, sebab pria itu sangat merindukan anaknya.
Perjalanan kembali menuju Red Force memakan waktu 2 jam. Mereka berhasil selamat tanpa ada kendala akan munculnya monster laut. Kapal kincir tersebut ditarik ke atas Red Force menggunakan tali oleh para awak kapal di atas. Sarah mengenakan tasnya kembali seraya membawa barang-barang belanjaannya yang dia beli dari pedagang yang baru berlabuh di dermaga.
"Ay—Sha—"
Sarah menggeleng. Rada susah untuk memanggil pria di sampingnya ini. Shanks yang peka langsung menatapnya dengan senyum yang sejuk.
"Iya, kenapa?"
Sarah mengeratkan pegangannya pada karung belanjaannya. "Makasih."
Selepas dia mengatakan hal tersebut, kapal kincir berhasil sampai di atas. Sarah langsung melompat memasuki Red Force, meninggalkan Shanks yang masih terdiam di kapal.
* * *
Sarah melewati para kru kapal yang menyambut mereka. Kini gadis itu mulai paham, kenapa dia begitu diperhatikan oleh orang-orang, karena sosoknya bagaikan hantu di kapal bajak laut ini. Semua barang mengenai dirinya masih tersimpan rapi di tempat. Mulai dari barang-barang di kamarnya, piring dan gelas khusus miliknya, sandal dan sepatu yang masih tersimpan (tanpa debu) di lemari sepatu), bahkan detail terkecil—seperti; coretan abstrak di dinding kapal, boneka gantung buatannya yang dipasang di tiang layar serta boneka bebek yang dipasang tepat di tengah-tengah setir kemudi—masih berada di tempatnya seperti dulu.
Siapapun yang datang dan melihat pemandangan tersebut pasti akan berasumsi jika dulunya terdapat anak kecil yang tinggal di kapal mereka. Dan siapapun anak itu, pasti dia disayang oleh semua orang di kapal.
Sarah hendak masuk ke dalam kamarnya, saat seorang pria yang tidak dia kenal tiba-tiba menahannya.
"Tunggu!"
Sarah batal membuka pintu. Menatap pria itu yang sepertinya adalah kru baru di bajak laut ini. "Kau sudah makan malam? Senior Roo baru saja memasak Karee. Kau mau? Kalau mau, biar aku ambil—"
"Tidak, terima kasih." Sarah menolaknya dengan telak, dan masuk ke dalam kamar. Tak lupa menguncinya.
Sarah menaruh tas dan karung belanjaannya sembarangan dan menjatuhkan dirinya di ranjang. Dia menatap Langit-langit kamar yang mengerucut ke bawah, sebab tepat di atas kamarnya terdapat salah satu tangga menuju dek atas. di langit-langit yang terbuat dari kayu tersebut dipenuhi oleh lukisan crayon, spidol, hingga cat air. Memperlihatkan bukti perkembangan kemampuan melukisnya yang dari nol hingga bisa mahir mencampurkan berbagai macam warna selaras dengan air di atas kanvas.
Tok tok tok!
Sarah menoleh ke arah pintu. Terlalu malas untuk berjalan dan membukanya. Sarah langsung berujar dari dalam. "Siapa?"
Tidak ada balasan, justru pintunya diketuk lagi. Alhasil dengan berat hati Sarah turun dari ranjang dan membuka pintu.
"Kau ... Apa lagi?" tanya Sarah.
"Ganti pakaianmu dengan yang lebih nyaman. Kita makan bersama di dek utama," ujar Shanks.
Gadis itu memutar bola mata jengah. "Aku tidak lapar."
"Sarah." Shanks menahan pintu kamarnya. "Semua sudah menunggu," katanya.
Sarah mendengkus. Tidak punya pilihan selain menuruti permintaan pria itu. Dia mengganti pakaiannya menjadi lebih santai. Celana tidur panjang dan kaus biasa.
Dia dan Shanks datang bersamaan. Sarah tidak suka keramaian, apalagi saat orang-orang menatap dirinya seperti sesuatu hal yang baru. Di hadapannya orang-orang berkumpul mengelilingi tumpukan makanan beraneka ragam. Beberapa ada yang merupakan kesukaan Sarah. Namun apabila suasana begitu ramai seperti ini—sekitar 20 orang yang berada di dek tersebut—nafsu makan Sarah jadi menurun. Shanks menyentuh punggungnya. Menuntunnya untuk di duduk di tempat yang memang disediakan khusus untuk mereka berdua. Sarah duduk di samping Shanks dengan canggung. Tersadar begitu banyak orang baru yang tergabung dalam kelompok bajak laut ini di saat dia pergi selama 5 tahun, menimbulkan perasaan tidak nyaman di hatinya.
Shanks menuangkan sake ke gelas. Diikuti oleh yang lain. Sarah sudah lupa kapan terakhir kali dia minum-minum hingga berakhir tak sadarkan diri. Pengalaman pertama dia minum alkohol begitu tragis, gadis itu hampir menjadi santapan para pria hidung belang. Makanya, dia lebih memilih minum alkohol di kamarnya hingga teler di keesokan harinya.
"Kita bersulang untuk kepulangan putri kecil kita!"
Sarah menerima gelas berisi sake tersebut dari orang yang berada di sampingnya. Ragu-ragu mengangkat gelasnya mengikuti yang lain, kemudian suara sorak sorai orang-orang terdengar keras menyambut akan kedatangan dirinya. Sarah menatap haru ke arah Benn, Hongou, Lime, Roo, Snake, Yasoop dan masih banyak lagi orang-orang yang pernah menghiasi masa kecilnya di lautan. Akan tetapi Shanks tiba-tiba batal minum saat melihat Sarah yang hendak meminum sakenya.
"Sarah kau tidak boleh minum alkohol!!" Shanks menahan gelas gadis itu. Semua orang langsung terdiam memperhatikan dirinya.
Sarah menepis tangan Shanks. "Apa-apaan kau ini! Aku sudah lebih dari 18 tahun!"
Shanks terkejut. Seketika dia lupa kalau putrinya bukan lagi anak kecil. "Ta—tapi tetap tidak boleh! Kau masih kecil bagi kami! Benn berikan jus mangga untuknya!"
Suara orang tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan Monster, si monyet musisi kapal tertawa sampai terguling-guling. Para kru baru yang tidak Sarah kenal juga ikut-ikutan tertawa. Sarah menggeram kesal dibuatnya. "Berhenti menertawakanku!"
Merasa Sarah sudah mendidih kesal, Benn langsung menyuruh semuanya berhenti tertawa. Hanya Shanks yang masih tertawa dengan keras. Gadis itu menatap pria itu dengan tatapan tidak suka.
"Aku bilang berhenti!" Sarah memukul pundak Shanks, membuatnya berhasil berhenti tertawa.
"Baiklah, baiklah. Maafkan Ayah. Putri Ayah sudah besar," ucapnya.
Tapi mood Sarah sudah hancur. Dia ingin segera menenggak habis isi gelasnya dan cabut dari tempat tersebut. Kamarnya yang sempit itu jauh lebih menyenangkan ketimbang duduk di antara banyak orang seperti ini.
"Kita juga bersulang untuk Sarah yang sudah dewasa!"
Shanks berseru, menenggak bringas isi gelasnya diikuti oleh yang lain. Sarah meminumnya, seketika rasa khas yang begitu kuat menyambar tenggorokannya. Dia tidak pernah merasakan sake seenak ini sebelumnya, hingga tanpa dia sadari dia meneguknya hingga habis. Shanks terkekeh melihatnya. Malam itu perjalanan mereka menuju pulau Stars begitu meriah. Sarah tidak begitu ingat detailnya, namun untuk pertama kalinya selama 5 tahun hidup seorang diri, dia bisa tertawa amat lepas hingga terlentang di lantai. Entah melihat aksi konyol Roo, Monster yang mengganggu dirinya dengan menggelitik perut hingga kram, lalu terakhir dia bernyanyi nyanyian perayaan kemenangan bajak laut yang selalu dia nyanyikan bersama Punch, Lime, dan Yasoop saat masih kecil dulu.
Setelahnya dia tertidur, Shanks menariknya untuk terlelap di pangkuannya.
Shanks sekarang tersadar, waktu berjalan begitu cepat. Dia merasa menyesal tidak bisa melihat perkembangan anak itu dari remaja hingga dewasa seperti sekarang. Rasanya seperti baru saja kemarin Sarah belajar berjalan dan berbicara, kemudian sekarang dia melihat gadis kecilnya itu sudah bisa berjalan dan berlari, bahkan bibir kecilnya yang dulu kesulitan berbicara sampai memiliki bahasa khusus itu sudah bisa mengeluarkan kata umpatan yang mengiris hati.
Shanks menarik tubuh Sarah ke dalam pelukannya, menyesap sejenak surai merahnya dan mengangkat tubuhnya meninggalkan dek kapal. Meninggalkan keramaian dan menyusuri lorong kabin. Sarah yang berada di dekapannya menggerakkan kepalanya di ceruk leher ayahnya, mencari kehangatan di sana. Gadis itu sedikit mengigau.
"Ayah kau gemukan, hehehe ..."
Mendengarnya, Shanks terkekeh. Dia mendorong pintu kamar Sarah, menyalakan lampu dan membaringkan Sarah di ranjangnya. Tak lupa, Shanks membuka sepatunya serta membetulkan posisi bantal-bantalnya agar mengelilingi tubuhnya.
"Gimme that doll." Sarah menunjuk sebuah boneka bebek berukuran paha orang dewasa. Yang tersimpan di ujung kakinya. Shanks mengambil boneka tersebut, mengamatinya dan memperlihatkannya kepada Sarah yang tersenyum sumringahnya meskipun matanya sedikit terpejam.
"The Dumb Ducky."
"The Dumb Ducky, hehehe!"
Sarah dan Shanks sama-sama menyebut nama boneka tersebut. Boneka yang merupakan hadiah pemberian Shanks saat usia 10 tahun. Sarah menarik boneka tersebut ke pelukannya, mengubah posisi tidurnya agak menyamping menghadap pria itu. Shanks tak bisa menghilangkan garis senyum di bibirnya. Sarah sepertinya tidak kuat alkohol, sebab baru minum 2 gelas saja dia sudah bertingkah seperti bocah 7 tahun. Shanks menarik selimut hingga menutupi sebagian tubuh gadis itu. Sebelum dia pergi, pria itu mengecup keningnya dalam-dalam.
Nanti pagi pasti dia akan diberi tatapan tak bersahabat olehnya.
"Good night, sweetheart."
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top