07 | Scorch

10 tahun yang lalu.

Sarah terbangun saat dinginnya lantai menusuk tulang, perutnya terasa nyeri akibat rasa lapar yang dia tahan sejak tadi pagi. Anak itu mengubah posisi menjadi duduk. Menatap anak-anak seusia dirinya yang tertidur meringkuk dengan wajah gusar. Sepertinya menahan sakit dan lapar sekaligus, sama sepertinya. Sarah menyandarkan punggungnya ke dinding. Rasa dingin langsung mencium kulitnya dengan sadis. Tapi anak itu hanya diam. Dia sudah lelah melawan dan menangis akan nasibnya. Ini sudah lewat 6 bulan. Ayahnya berbohong.

Lebih dari setahun berlalu pun tidak ada tanda-tanda kehadiran ayahnya. Sarah ingin marah. Sarah ingin kabur, tapi borgol di leher membuatnya takut untuk melangkahkan kaki keluar dari area pulau. Tapi dari semua hal yang telah dia alami, Sarah hanya merasa kecewa. Kenapa ayah tidak datang? Kenapa lama sekali? Apakah ayah tidak akan pernah datang?

"Ayah ... aku mau pulang ... hiks!"

Kegiatan menangisnya digubris saat suara pintu sel terbuka. Seorang pengawal kastil datang bersama seorang budak seusia dirinya dan melempar tubuh anak tersebut hingga tersungkur ke lantai. Pengawal itu menatap dirinya sejenak lalu beralih ke arah catatan yang ada di tangannya.

"Siapa namamu?"

Sarah tidak menjawab, dia berhenti menangis dan beralih menatap pengawal tersebut dengan tatapan tajam. Dia benci mereka semua yang menjadikannya budak.

"Pergi!" usir Sarah.

Pengawal itu mendecih. Secara tiba-tiba dia menerobos masuk ke dalam sel dan menarik tangan Sarah hingga berdiri. "Kau masih bocah pun, sudah berani lancang ya?!" katanya. Kemudian menarik Sarah keluar sel.

Sarah terus-terusan memberontak, namun gagal menghentikan aksi pengawal tersebut. Dirinya pun terpaksa dibawa ke suatu ruangan, yang di dalamnya terdapat dua orang sedang memanaskan sebuah besi panjang yang di pangkalnya membentuk sebuah tanda cakar naga. Besi yang dipanaskan itu terlihat merah membara. Sarah mencoba untuk menghentikan langkahnya. Menahan kakinya untuk menghentikan tarikan di tangannya dan mencoba untuk pergi dari ruangan tersebut. Dia mulai teringat cerita dari seorang anak yang berada di sel sebelah. Punggungnya terluka oleh luka bakar yang membentuk simbol seperti tanda cakar naga.

Sarah mulai berteriak saat upayanya tidak membuahkan hasil. "Lepasin! Lepasin aku! Aku gak mau!! AKU MOHON!"

Sayang sekali, jeritannya tidak ada gunanya saat tubuh Sarah ditahan oleh dua orang dan pakaiannya disingkap sampai ke atas. Menampilkan kulit punggungnya yang kusam. Sarah meraung, kakinya dia hentak-hentakan, memohon agar mereka tidak melakukan hal tersebut padanya. Namun naas, sepersekian detik kemudian besi panas tersebut mencium kulitnya.

"AARGGHHTT!"

Sarah mengaum kesakitan. Teriakannya begitu menggema dan tidak ada satupun yang mau membantu.

Rasa panas menjalar begitu kuat. Sarah terduduk, air matanya mengalir dengan deras. Hampir 10 detik besi panas itu belum dilepas, asap sudah mengepul membakar kulitnya disertai bau khas kulit terbakar. Sarah tidak sanggup menahan sakit di punggungnya, matanya perlahan tertutup, dan dirinya pun terjerembab ke lantai bersamaan dengan besi itu yang terlepas.

"Ayah ... Aku ... Mau pulang ..."

* * *

Paginya, Sarah tidak seperti biasanya. Tatapan tajam yang biasa dia lemparkan terlihat redup. Bibirnya pun memucat. Terdapat banyak noda darah di punggungnya, namun tidak ada satupun yang peduli soal itu. Mereka hanya menganggap anak berusia 8 tahun itu seonggok barang tak berharga yang menjadi mainan gila bagi para keturunan Naga Langit.

"Sarah!"

Seorang anak seusianya datang dan memegang pundaknya. Aksinya barusan berhasil membuatnya tersadar dari lamunannya. Dia menoleh dan sebisa mungkin menyingkirkan senyuman tipis di sudut bibirnya.

"Mau minum?" tawarnya seraya menyodorkan sebotol air mineral yang masih tertutup segelnya.

"Kamu dapat dari mana, Ray?" tanyanya.

Ray menunjuk ke arah tong sampah besar di ujung gang. "Aku menemukannya di sana. Masih baru, sayang sekali kalau dibuang begitu saja."

Sarah tersenyum. Kali ini lebih lebar. Dia membuka botol tersebut dan meminumnya. Tenggorokan terasa sejuk, seharian dia belum minum setelah dipaksa keliling kota seraya mengangkut majikannya yang duduk di kursi. Meskipun dia tidak mengangkat sendirian, tapi tenaganya telah terkuras karena rasa sakit yang tidak kunjung hilang di punggungnya.

"Punggung kamu kenapa? Di bajumu banyak darah, bahkan sampai ada yang menetes ... Kau juga bau amis."

Mendengar kalimat dari Ray, membuat senyum Sarah menghilang. Luka bakar di punggungnya pasti parah hingga mengeluarkan darah dan nanah terus menerus. Dia tidak berani membasuhnya dengan air. Pasti sakit.

"Maaf ya. Mereka melukai punggungku. Aku mau membasuhnya tapi takut sakit." Sarah menaruh botol airnya di samping pahanya.

"Aku jadi takut ..." Ray cemberut.

"Semoga kau tidak mengalaminya. Rasanya sangat sakit!"

Suara peluit terdengar dari kejauhan, tanda jika waktu istirahat mereka yang hanya 15 menit itu habis. Sarah berdiri dan berpisah dari Ray. Anak itu lagi-lagi tidak menghiraukan rasa sakitnya dan terus berjalan menuju titik perkumpulan.

Kali ini Sarah tidak disuruh mengangkat barang bawaan, membersihkan kastil maupun mengangkat orang untuk berkeliling kota. Tapi dia disuruh untuk memegang payung dan menemani majikan beserta ayahnya menuju suatu teater di pusat kota. Lokasinya cukup jauh bila berjalan kaki. Namun, para keturunan Naga Langit itu memiliki budak manusia yang bisa dijadikan kendaraan layaknya hewan. Jika Sarah berada di posisi seperti itu, mungkin dia akan tewas saat ini juga.

"Ewh! Apa-apaan ini?!"

Sarah menghentikan langkahnya saat majikan yang berada di sampingnya berhenti secara mendadak.

"Bau amis apa ini?!" ucapnya seraya menutup hidungnya.

Dia menatap Sarah dengan tatapan merendah dan melihat punggungnya yang sudah merembeskan darah dari luka bakarnya. Sarah hanya terdiam. Menatap orang itu dengan datar sarat kebencian, sebab apa yang telah dia alami adalah ulah mereka juga.

"Kenapa?" tanya Sarah.

Merasa tatapan dingin yang diberikan oleh gadis itu menciutkan nyalinya, majikannya itu pun memanggil ayahnya yang beberapa langkah berada di belakang.

"Ayah! Bocah ini dari kemarin sangat kurang ngajar!" ucapnya bagai anak manja yang tidak tahu malu. Sarah yakin usianya berkali-kali lipat lebih tua darinya, namun tingkahnya tidak sama sekali mencerminkan usianya.

Sarah mendengkus. "Terserah kau saja, sialan!" ucap Sarah begitu impulsif.

Si anak manja beserta ayahnya merasa terkejut dengan respon yang diberikan Sarah. Mereka menatap kesal ke arah anak itu, dan turun dari punggung budak yang ditungganginya. Rambut merah Sarah dijambak kasar hingga kepalanya tersentak ke belakang. Payung yang dia pegang jatuh. Suasana mulai tegang sebab orang-orang yang berjalan di sekitar mereka langsung menepi, menjadikan kejadian itu sebagai tontonan.

"Kau semakin berani ya rupanya?!" ucap si ayah anak manja itu.

Sarah tidak takut. Rasa kesal akibat punggungnya sudah mendidih hingga ke ubun-ubun. Jika dia harus mati karena menantang mereka, itu lebih terhormat dibanding mati sebagai pecundang.

"Memangnya kenapa?" Sarah bertanya dengan tengil. Dan di detik berikutnya, tamparan keras melayang ke wajahnya. Sarah terhuyung, namun masih tertahan di posisinya sebab rambutnya masih dicekal.

"Tuan, tanpa gelarmu sebagai bangsawan, kamu hanya orang lemah yang payah!" Sarah masih memiliki setitik keberanian untuk mengatakannya. Namun lagi-lagi tamparan mengenai sisi wajahnya yang lain.

Darah menetes dari lubang hidungnya. Dan pandangan anak itu mulai berkunang-kunang. Cekalan di rambutnya terlepas. Sarah terjatuh. Dia mengusap darah di hidungnya, meskipun darah itu kembali menetes. Pria yang baru saja menamparnya itu memanggil dua orang pasukan khusus yang berjaga di barisan belakang. Memberikan sebuah perintah yang berhasil membuat Sarah dan orang-orang di sekitar terbelalak.

Anak itu panik. Susah payah mengendalikan dirinya agar tidak jatuh pingsan. Tapi kejadian itu begitu cepat. Kedua tangan Sarah dipegang dengan erat. Salah satu dari mereka mengeluarkan pisau lipat, dan dalam hitungan detik mata pisau itu merobek pinggir pipinya sepanjang 5 sentimeter. Sarah berteriak histeris. Lagi-lagi dia merasakan sakit yang amat sangat disertai darah yang merembes begitu deras. Merasa belum puas menghancurkan wajahnya, pria itu mengambil ancang-ancang untuk menyayat pisaunya lebih panjang dan dalam.

Namun hal yang tak terduga pun terjadi. Seseorang datang tanpa diprediksi, gerakannya sangat cepat, menendang dua orang pelaku aksi bejat tersebut hingga menghantam bangunan di belakangnya. Tak hanya itu dia menyabet dua orang itu tepat di lehernya hingga darah muncrat mengotori puing-puing.

Orang itu menatap sekitar dengan tatapan yang sangat mengintimidasi, kemudian atensinya beralih pada seorang anak perempuan yang meraung kesakitan seraya memegang pipinya yang mengeluarkan banyak darah. Saking banyaknya, darahnya sampai menggenang dan menyatu dengan warna rambutnya.

"Mau apa kau? Dia itu budakku!"

Langkah Shanks terhenti saat orang yang merupakan dalang di balik kejadian ini melarangnya. Shanks menyeringai. Dia melirik orang itu dengan melepaskan aura Hakinya yang begitu kuat. Shanks berjalan mendekati orang itu.

"Dia bukan budakmu! Dan atas dasar apa kau melarangku mendekati anak kandungku?!" ucapnya begitu pelan namun entah kenapa sangat menusuk di telinga. Dan dalam satu tebasan pedang, Shanks memenggal kepala orang yang merupakan keturunan Naga Langit itu dengan mudah. Semua terkaget-kaget. Orang-orang yang menonton sedari tadi berlarian meninggalkan tempat tersebut, dan beberapa orang pengawal mengambil ancang-ancang untuk menyerang.

Tapi Shanks lebih dulu melepaskan aura hakinya lebih kuat dari sebelumnya. Orang-orang yang hendak pergi maupun yang hendak menyerangnya tumbang di tempat dalam hitungan detik, setelahnya Shanks pun menyarungkan kembali pedangnya. Suasana langsung sunyi. Hanya tersisa suara merintih milik Sarah yang semakin lemas akibat darahnya yang tak kunjung berhenti.

Shanks terduduk di sampingnya, merobek kain jubah miliknya, dan menekan luka robek di pipi sang anak.

"A—Ayah ..."

Shanks tidak menjawab apa-apa. Dia mengangkat tubuh kurus tersebut, darahnya kini berganti mengotori leher dan dadanya. Shanks berlari secepat mungkin untuk kembali ke dermaga.

"Hongou! Dia kehabisan darah!" Shanks meletakan Sarah di geladak kapal. Darah di lukanya masih belum mau berhenti. Membuat Shanks sangat khawatir, dan dia memilih untuk duduk di samping anaknya.

Hongou datang dengan peralatan medis. Menangani luka serius pada wajah Sarah, menjahitnya, serta menyeka darah yang perlahan berhenti mengalir. Shanks sedari tadi mengamati, di pikirannya dia mengkhawatirkan banyak hal begitu memperhatikan kondisi tubuh Sarah.

"Pendarahannya cukup parah. Dia harus segera mendapatkan transfusi darah. Tapi ..." Hongou menatap Shanks.

Shanks paham apa yang hendak Hongou katakan. Tidak ada orang di krunya yang memiliki golongan darah seperti putrinya, hanya ada satu orang. Yang tak lain dan tak bukan adalah dirinya.

"Tunggu apa lagi? Ambil darahku!"

Hongou cepat-cepat melarang. "Tidak boleh! Kau belum pulih dari lukamu setelah kehilangan tangan kirimu!"

Shanks menggeram. "Lalu apa?! Membiarkan anakku mati kekurangan darah?!" bentaknya.

Hongou tercekat, kaptennya itu melotot, wajahnya sedikit pias karena terlalu banyak memikirkan kemungkinan hal buruk. Namun akhirnya dokter di kapal itu mengalah. Mengambil alat transfusi darah, dan menusukkan jarum di tangan Shanks. Darah tak lama mengalir di selang kecil dan tertampung di kantung yang menggantung di atas pengait, lalu kemudian darah yang ditampung tersebut mengalir kembali menuju jarum yang menghubungkan ke tubuh Sarah.

20 menit terus berjalan, darah Shanks masih terus dihisap, namun itu tidak sebanding jika terjadi sesuatu yang buruk pada Sarah. Pria itu pun menoleh ke samping, mengarahkan tangannya yang tertusuk jarum untuk menyentuh lengan kurus Sarah. Dia menggenggamnya, seraya menggumamkan kata maaf.

"Bos, sesuatu terjadi pada punggungnya." Hongou berucap hal tersebut saat proses transfusi darah selesai. Shanks perlahan duduk. Kembali meneliti anaknya. Bajunya sedikit compang camping, namun dia teringat saat menggendong anak itu, dia merasa sedikit ada yang basah di punggungnya.

Hongou pun memposisikan tubuh Sarah agak menyamping. Dia melihat noda darah cukup lebar di belakang, yang akhirnya dia menyingkap baju tersebut dan melihat sebuah luka bakar yang membentuk simbol cakar naga. Simbol yang melambangkan keturunan keluarga Naga Langit. Shanks maupun yang lain penasaran apa yang terjadi pada punggung anak perempuannya. Akhirnya mengubah posisi menatap punggung kecil tersebut.

Alangkah kaget mereka dibuatnya, Shanks mengepalkan tangannya dan menggeram marah. Lukanya bakarnya begitu besar, mengeluarkan darah dan nanah.

Shanks menatap ke arah pulau tersebut yang semakin terlihat menjauh. Di pikirannya dia sudah membuat rencana akan kembali melesat ke pulau terkutuk itu dan membabat habis para keturunan Naga Langit di sana. Namun sebelum rencananya benar-benar terealisasikan, Benn buru-buru mencegahnya.

"Shanks! Jernihkan pikiranmu!" ucap Benn. Pria itu menunjuk ke salah satu arah di mana terdapat sebuah kapal armada angkatan laut yang bergerak mendekati kapal mereka.

Shanks tidak jadi menyerang pulau tersebut, tapi justru ancang-ancang untuk melompat ke kapal angkatan laut tersebut yang menghalanginya jalan mereka. Tapi lagi-lagi Benn menahannya.

"Tubuhmu lemas setelah memberikan transfusi darah untuk anakmu. Serahkan mereka kepadaku." Benn memberikan solusi. "Bawa Sarah ke ruangan medis, amankan dia."

* * *

Sudah hampir 10 jam Sarah belum sadarkan diri. Selama itu pun Shanks tetap setia menemani anak itu di sampingnya. Pria itu menyesali keputusannya yang meminta Sarah untuk menetap di pulau Guri bersama neneknya. Tapi ini benar-benar di luar dugaan. Nyonya Elijah tewas dalam tragedi pembantaian yang dilakukan oleh orang-orang keturunan Naga Langit, dan membentuk kota baru yang di mana sebagian besar penduduk lama di pulau Guri menjadi budak. Sarah yang tidak memiliki siapa-siapa menjadi target empuk kekejaman mereka.

"A—Ayah ..."

Shanks terkejut. Menegakkan punggungnya dan meraih tangan Sarah. "Ya, Sayang? Ini Ayah."

Sarah mengerjapkan matanya, perlahan menatap Shanks yang berada di sampingnya. Anak itu merasa ini sepertinya adalah bagian dari mimpinya, sebab sudah hampir dua tahun Sarah menunggu kedatangan ayahnya, tapi tidak pernah kunjung terjadi. Di tambah penampilan ayahnya sungguh amat berbeda. Terdapat bulu-bulu halus di dagu serta 3 luka cakar di matanya yang menambah kesan seram. Namun, mata dan senyum itu masih terlihat sama. Itu sosok Shanks.

Tangan Sarah terangkat, menyentuh pipi Shanks. Dia bisa merasakan kulit wajah ayahnya, dan ternyata ini bukan mimpi.

"Ayah ..."

Shanks menyentuh tangannya lagi. Dan menangis. "Maafkan Ayah ... Ayah datang terlalu lama."

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top