05 | Tears of Father
12 tahun yang lalu.
Malam itu, lautan diamuk badai. Kapal mereka dibuat terombang-ambing dan berkali-kali dihempaskan oleh ombak yang mengamuk pada samudera. Semua kru kapal sibuk mengangkat layar, memindahkan berbagai macam logistik, dan menahan setir kemudi agar tidak melenceng dari arah tujuan. Selagi semua orang sibuk dengan urusan kapal, berbeda dengan kapten mereka yang justru terduduk di ruangannya seraya membasuh kain dengan air dingin dan menaruhnya di kening seorang anak perempuan berusia 7 tahun.
"A—Ayah ..."
Anak itu membuka matanya dan menatap pria yang dipanggil ayah itu dengan sayu. Tangan kecilnya menarik pakaian pria itu untuk menetralisir sakit di sekujur tubuh dan bagian kepalanya.
"It's alright, sweetheart. You're gonna be fine."
Shanks meraih tangan anaknya yang terasa sangat panas. Pria itu kembali meneliti wajah anak itu. Bibirnya pucat, terdapat semburat merah di sekitar hidung dan pipi. Hongou bilang, kalau demamnya tidak selesai sampai lusa, maka harus ditangani oleh dokter yang memiliki peralatan memadai di rumah sakit.
Snake, sang navigator bilang kalau terdapat kota di suatu pulau yang menyediakan rumah sakit cukup mutakhir di West Blue. Alhasil, Shanks langsung memerintah semua orang untuk segera berlayar ke sana.
"Ayah ... Aku ingin cepat sembuh ..."
Shanks mengusap kepala anak itu. "Kamu akan sembuh. Percaya sama Ayah."
Shanks menghabiskan waktu berjam-jam menemani Sarah yang terus merintih dalam tidurnya. Pikirannya kalang kabut, dia takut akan sesuatu hal yang buruk. Namun di sisi lain, pria itu berharap kalau anaknya ini hanya terkena demam biasa. Besok pagi atau siang pasti akan kembali sehat seperti semula.
Namun sayangnya, dua hari berlalu dan demamnya tidak kunjung turun. Hongou langsung mendiagnosis kalau Sarah terkena tipes beserta gejala-gejalanya yang menunjukan penyakit tersebut.
Di saat itu juga kapal mereka pun sampai di sebuah pulau yang sayangnya pulau tersebut bukanlah pulau yang mereka tuju—pulau yang katanya memiliki rumah sakit yang proper. Namun karena keadaan yang mendesak, Shanks segera turun ke dermaga dan bertanya dengan warga sekitar.
"Anakku sedang sakit, apakah disini terdapat dokter atau apapun itu yang bisa menyembuhkannya?"
Salah satu warga lokal yang merupakan nelayan itu menatap Shanks dengan amat tidak ramah. "Kalian bajak laut tidak kami terima di sini. Pergilah!"
Shanks terkejut. Beberapa detik kemudian dia mengerang kesal. "Yang sakit adalah anakku. Dia tidak ada hubungannya dengan statusku! Kumohon beritahu aku!" pinta Shanks dengan nada yang meninggi serta tatapan yang begitu menusuk.
Nelayan tersebut sedikit dibuat takut, hingga akhirnya dia mengalah sebab tidak mau memiliki urusan dengan bajak laut, dan mengantar pria itu ke sebuah rumah tua di desa.
"Orang ini adalah mantan dokter. Dia dianggap tabib terbaik di desa. Namun dia sedikit temperamen, dan selalu memilih apakah pasiennya pantas dia sembuhkan atau tidak. Mengingat kau adalah bajak laut."
"Memangnya kenapa?"
Nelayan itu menatapnya sinis. "Putrinya semata wayangnya diculik dan tewas di tangan bajak laut."
Shanks mengepalkan tangannya. Dia jadi sedikit takut kalau tabib itu tidak mau membantu Sarah. Mereka pun sampai. Nelayan itu mengetuk pintu rumah tersebut berkali-kali.
"Nyonya Elijah! Ini aku, ada orang yang ingin bertemu denganmu?" panggil si nelayan tersebut.
Shanks tersentak saat mendengar nama tersebut. Elijah? Apakah jangan-jangan ...
Pintu rumah itu terbuka, menampilkan seorang wanita berusia setengah abad mengenakan gaun hijau dengan rambut hitam yang mulai terlihat semburat uban di sekitar kepalanya.
Nyonya Elijah menatap nelayan tersebut sejenak lalu tatapannya tertuju pada Shanks. Sepersekian detik setelah mata Shanks saling bertabrakan dengan matanya, wanita itu terkejut. Terlebih saat melihat wajahnya, warna rambut dan topi jerami yang dia kenakan.
Itu ibunya Giselle?
"A—Akagami?!"
Shanks tidak tau harus berbuat apa. Pikirannya langsung membeku. Rasa bersalah langsung menggerogoti seluruh tubuhnya hingga dia hanya terdiam kaku menatap wanita tersebut.
"Beraninya kau datang kemari setelah membunuh anakku?!!"
Shanks menundukkan kepalanya. Kenangan kelam itu langsung terngiang kembali. Tentang Giselle dan hari dimana dia menghembuskan napas terakhirnya. Nyonya Elijah berjalan gontai menghampirinya. Mendorong tubuh Shanks dengan sekuat tenaga, lalu melayangkan tamparan keras di wajahnya berkali-kali. Shanks hanya terdiam. Namun entah kenapa wajah Sarah yang kesakitan terbayang di kepalanya. Membuatnya langsung menahan tangan Nyonya Elijah dan menatap wanita itu lekat-lekat.
"Nyonya! Aku minta maaf atas apa yang telah aku lakukan. Aku benar-benar menyesal!"
Nyonya Elijah mengerang kesal! "Hanya minta maaf saja tidak bisa mengembalikan putriku, dasar pria bajingan!"
Dia kembali mengambil ancang-ancang untuk memukul pria itu dengan tangan satunya lagi. Namun dengan cepat Shanks kembali menahannya.
"Tunggu sebentar! Aku mohon dengarkan aku!" mohon Shanks. Dia sudah tidak tahu harus bagaimana lagi mengekspresikan emosinya. "Kau boleh melampiaskan seluruh amarah dan dendammu. Bahkan aku tidak keberatan jika kau ingin membunuhku. Tapi kumohon bantu aku!" Shanks tiba-tiba berlutut, lalu bersujud dengan menempatkan kepalanya ke tanah.
"Putriku sedang sakit! Kami tidak memiliki alat dan obat-obatan yang memadai untuk menyembuhkannya. Aku mohon sembuhkan putriku!"
Nyonya Elijah terdiam. Dia terkejut begitupun dengan si nelayan saat melihat seorang bajak laut bersujud di kaki wanita tersebut.
"Putri? Apa yang kau katakan?!"
Shanks meneteskan air mata. Bibirnya bergetar, susah payah untuk mengontrol suaranya. "Putriku. Dia anakku dan Giselle."
Air mata Shanks luruh. Dia menangis tersedu-sedan. Pundaknya bergetar, kedua tangannya meremas rumput halaman rumah disertai isakan tangisnya yang terdengar hingga menarik perhatian penduduk sekitar.
"Dia cucumu! Tolong bantu Sarah!"
* * *
Shanks terduduk di lantai kayu ditemani oleh Benn di sampingnya. Hongou sibuk membantu Nyonya Elijah meracik ramuan.
Shanks akhirnya bisa bernapas lega saat Nyonya Elijah mau membantu menyembuhkan Sarah. Anak itu tengah berbaring terlelap setelah diberikan infus. Teh yang disuguhkan oleh Nyonya Elijah tidak Shanks gubris. Dia sibuk menatap anak perempuannya yang masih terlelap. Namun syukurnya, tidurnya terlihat lebih tenang dari yang sebelumnya.
"Aku tadi menerima telepon dari pulau Dominic. Mereka diserang oleh sekelompok bajak laut kroco. Lambang bajak laut kita terbakar."
Shanks menghela napas, mengusap wajahnya kasar. "Benn, Sarah sedang sakit. Aku tidak bisa meninggalkannya."
Benn terdiam. Yang Kaptennya katakan itu benar. Dia ataupun yang lain tidak mungkin berlayar tanpa Sarah. Anak itu bukan sekedar anak kandung dari kapten mereka, tapi juga bagian dari kru bajak laut Akagami.
"Biarkan Sarah tinggal di sini! Dia lebih aman bersamaku ketimbang bersama para sekumpulan berandal seperti kalian!" Nyonya Elijah tiba-tiba menimpali pembicaraan.
Benn menatap tidak suka, hendak melayangkan protes. Namun buru-buru dicegah oleh Shanks.
"Nyonya, jika aku meninggalkan Sarah, anak itu akan sedih. Aku sudah sering menawarkannya untuk tinggal menetap di suatu pulau yang aman. Namun dia selalu menolak."
"Biarkan dia tinggal bersamaku. Aku tidak mau kejadian seperti Giselle akan terulang kembali. Kalian bukan rumahnya!"
Benn mengepalkan tangannya, menahan amarah. "Shanks ayahnya! Dan akan terus seperti itu! Kau ingin memisahkan hubungan Ayah dan anak?!" ucap Benn.
Shanks menahan pundak Benn, memberikan isyarat untuk berhenti bicara.
"Benn berhenti," ucap Shanks. Pria itu kembali berbicara. "Aku sangat menyayanginya. Dia juga sangat menyukai berlayar mengarungi lautan bersama kami." Shanks menghela napas sejenak dan menatap Sarah kemudian berakhir menatap Nyonya Elijah. "Tapi yang dikatakan olehmu memang benar."
"Shanks!"
"Bos!"
Baik Benn maupun Hongou terkejut. Dia menatap kaptennya tersebut dengan tatapan yang tidak percaya.
"Benn, Hongou. Ini keputusanku."
Shanks tidak ingin Sarah terlibat. Shanks juga tidak ingin Sarah berada dalam bahaya. Dia tidak ingin kehilangan satu-satunya harta berharganya. Setelah apa yang dia lakukan terhadap Giselle, dia tidak ingin hal buruk apapun menimpa Sarah. Anak perempuannya harus hidup normal. Dia akan aman tinggal di sini bersama neneknya.
"Nyonya. Mungkin yang kau katakan benar. Aku memang ayahnya. Tapi bukan berarti dia aman hidup bersamaku."
Nyonya Elijah menaikkan salah satu alisnya. Menatap pria berambut merah tersebut dengan curiga. "Seharusnya kau sadar itu sebelum merebut Giselle dariku!"
Shanks tersenyum. "Giselle menginginkan Sarah lahir ke dunia. Meskipun nyawa yang harus dia korbankan," ujar Shanks memberikan suatu info yang selama ini tidak pernah diketahui oleh banyak pihak.
"Apa maksudmu?"
"Sejak awal kehamilan, Kandungannya sangat lemah. Dokter sudah memberikan solusi untuk menggugurkannya. Namun Giselle menolak. Dia memilih untuk menjaga bayinya dan berakhir amat tragis. Aku minta maaf tidak bisa menahan itu semua. Aku benar-benar minta maaf." Shanks membungkukkan tubuhnya.
Semua orang yang berada di rumah itu terdiam. Menunggu kelanjutan dari Shanks.
"Maka dari itu, aku mohon untuk menjaga Sarah ... Demi Giselle."
* * *
"AKU TIDAK MAU!!!"
Sarah membuka pintu rumah dengan kasar dan berlari tergesa-gesa meninggalkan pemukiman warga. Anak itu berlari menuju bukit yang terdapat tebing di ujungnya dengan mata yang berkaca-kaca. Bahkan dia sempat terjatuh di rerumputan berkali-kali hingga akhirnya dia menyerah, dan berjongkok seraya menangis histeris.
Shanks berlari menyusul anak itu dan menatap punggung kecil itu dengan tatapan yang prihatin.
"Sarah," panggilnya.
Sarah masih sibuk menangis, tidak mau menoleh ke arah ayahnya. Shanks tersenyum simpul, akhirnya ikut berjongkok di sampingnya.
"Sarah, dengarkan Ayah." Shanks duduk di rumput. Dan menarik tubuh Sarah agar duduk di pangkuannya.
"Ayah—Ayah mau ninggalin aku—hiks!"
"Ayah nggak ninggalin kamu. Ayah hanya ... Ayah hanya mau kamu tinggal di sini sama nenek. Nanti Ayah pulang, kok."
Sarah menggelengkan kepalanya. "A—aku gak mau tinggal sama nenek jelek itu—hiks—aku mau sama Ayah! Huaaa!" Sarah memeluk Shanks dan menenggelamkan wajahnya di ceruk lehernya.
"Sarah ..."
"Aku hanya mau ikut Ayah ..."
Shanks mendekap erat tubuh mungil tersebut. Menghirup aroma rambut yang memiliki warna sama persis seperti miliknya. "Sarah. Ayah harus pergi ke East Blue. Perjalanannya sangat jauh. Ayah takut kamu akan sakit lagi—"
"Aku tidak akan sakit! Aku janji!"
"Sarah Ayah mohon!"
Mata Sarah kembali berkaca-kaca. Dia menangis kembali, dan Shanks benci itu. Pria itu tidak ingin Sarah bersedih tapi dia juga tidak bisa membiarkan anak itu ikut dan kembali berlayar bersamanya.
"Ayah akan kembali 6 bulan lagi ... Kita akan bersama-sama lagi, Ayah janji!"
Sarah terdiam. Memahami apa yang dimaksud oleh ayahnya itu. "6 bulan itu ... Berapa lama?"
"Cukup lama. Berhari-hari, berminggu-minggu. Tapi Ayah janji akan menjemputmu secepatnya."
Sarah menatap Shanks lekat-lekat. Mencari titik kebohongan yang ada pada wajahnya. Namun hampir setengah menit dia mencari, tak ada gurat keraguan di mimik wajah ayahnya itu. Sarah kembali memeluk Shanks. Mengalungkan tangan di lehernya erat-erat, takut jika nanti dilepas, Sarah akan ditinggal.
"Ayah harus janji ya!"
Shanks mengangguk. "Iya. Ayah janji akan menjemputmu lagi."
"Tapi ... gimana kalau nanti aku tidak betah? Aku tidak punya siapa-siapa di sini ..."
"Ada Nenek Elijah. Dia ... Dia ibunya ibu."
Sarah mengerutkan kening tidak mengerti. Setahu Sarah, di dunia ini dia hanya punya ayah. Shanks juga cerita kalau ibunya sudah tiada saat Sarah masih sangat kecil. Tapi Sarah tahu bagaimana wajah ibunya, sebab dia pernah melihat foto ibunya yang dipajang di kamar Shanks.
"Ibunya ibu adalah si nenek jelek itu?" tanya Sarah.
Shanks terkekeh. "Jelek begitu, waktu dia muda, sangat cantik. Mirip sekali dengan ibumu."
"Berarti dia juga mirip aku, dong? Kan Ayah bilang aku mirip Ibu!"
"Hm. Kamu mirip banget sama Giselle."
"Tapi Ayah!"
Sarah kembali berbicara. Membuat Shanks menghela napas dan berusaha untuk tersenyum kembali. "Iya?"
"Kalau Nenek itu jahat bagaimana? Nanti kalau tidak ada yang mau bermain sama aku bagaimana? Tidak ada teman seasik orang-orang di kapal!" ucap Sarah.
Mendengar kalimat polos tersebut, Shanks tertawa. "Kalau tidak ada yang mau berteman denganmu! Ayah akan pukul mereka satu-satu!"
"..."
Shanks mengusap kepala Sarah, mencium pucuk kepalanya dalam-dalam seraya memejamkan matanya. "Semua akan baik-baik saja, Sarah. Semuanya akan baik-baik saja. Ayah janji."
Mereka terus berada di posisi tersebut hingga sejam kemudian. Shanks akhirnya memutuskan untuk kembali turun dan menggendong anak itu di dadanya. Sarah terlelap. Dengkurannya begitu halus dan tenang. Shanks tidak tega untuk membangunkannya. Jadi mungkin dia akan pergi tanpa pamit.
Benn dan kru yang lain menunggu di depan rumah Nyonya Elijah. Mereka semua terlihat sehabis menangis karena harus berpisah dengan anak kecil perempuan kesayangan mereka. Shanks tersenyum meyakinkan anggotanya. Pria itu tidak boleh menangis, minimal jangan di depan mereka.
Shanks menaruh tubuh Sarah di ranjang, menyelimutinya dan tak lupa mengecup keningnya sebelum akhirnya dia pergi dari rumah tersebut, meninggalkan anak perempuannya itu bersama nenek kandungnya.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top