Comeback°1
Berdiri menatap sinar matahari yang akan tenggelam diufuk barat dimana pendar orangenya sedikit demi sedikit membias disekitar langit yang berawan. Sunset. Indah. Tak berkedip hazel cantik yang berdiri diatas pasir putih, memandang biasan dan ombak yang panjang dan besar di Pantai Kuta, Bali.
Peselancar yang sudah sedari tadi berlarian menyelesaikan berselancarnya sebelum matahari mulai terbenam, nampak berjalan menyusuri bibir pantai dengan mendekap papan selancarnya, menjadi pemandangan tambahan saat gadis itu menatap pendaran indah jauh seperti disebrang lautan.
"Time to my sunset..."
Wajahnya menoleh kearah wajah seseorang yang menyusup dibahunya dari belakang lalu kekagetan berubah menjadi senyuman saat hidungnya menyentuh hidung sang penyusup yang melingkarkan tangan dari belakang dan mengeratkan pelukan didepan dadanya. Tangan gadis itu memegang lengan yang erat mendekapnya, mengembalikan arah pandang ke pendar orange dan merasakan kecupan dipelipisnya. Lalu pipi mereka bergesekan saat pria itu mengarahkan pandang matanya kearah yang sama. Matahari yang terbenam dilangit pantai kuta.
Memandang sunset bersama kelihatannya menjadi moment yang sangat berharga bagi mereka. Serasa sarat makna tanpa kata. Hanya bahasa tubuh yang membuat romantisme tercipta saat matahari semakin memendar orangenya.
"Kamu adalah bahagia yang tak ternilai buatku, selamanya....!"
"Selamanya itu sampai kapan...?" lirih tanya gadis itu menjawab ucapan yang terdengar lembut ditelinganya sekaligus merasakan hangatnya hembusan udara dari mulut dan hidung yang menyapu indera pendengarannya saat ini.
"Kamu mau sampai kapan, sayang? Kalau aku mau sampai mati...."
"Aku mau setiap saat, setiap waktu, setiap hari!"
"Kita akan bahagia tiap hari, aku janji, sunset saksinya, aku akan seperti matahari yang setia memenuhi janjinya untuk terbit disebelah timur dan tenggelam disebelah barat pada waktunya....."
Kedua Hazel indah itu berkedip karna pandangannya mengabur akibat jarak sepasang elang semakin terhapus perlahan ketika ia menoleh. Hanya sentuhan lembab dirasa ditipis bibirnya yang membasah, terbasuh sesapan yang membuat denyutan didadanya mulai menyeri.
Ah.
"CUT!"
Prisa Lyana, artis muda yang di kenal dengan panggilan Prily, sebuah nama beken yang di singkat dari namanya, menghempas napasnya lega karna akting berakhir meski sejenak. Dan gadis itu meninggalkan si elang yang kini menjadi dingin setelah beberapa detik yang lalu bersikap seakan membuat meleleh yang melihatnya.
"Kita break dulu!" Seorang pria lain yang tersenyum puas melihat mereka mengintruksi agar mereka beristirahat. Fang sang sutradara.
"Minum, neng!"
Seorang wanita mengangsurkan sebotol air mineral pada gadis itu saat ia sudah menghempaskan diri dikursi santai yang sudah disiapkan untuknya.
"Hape gue, Yul!"
Wanita yang tadi memberi minuman pada gadis itu, memberikan ponsel yang sedari tadi di pegangnya.
"Lo ada candid gue nggak tadi?"
"Ada beberapa, neng."
Prily nampak mengutak-atik ponselnya. Ia membuka beberapa photo adegan yang baru saja di lakukan lalu dicandid Yuli asisten pribadinya.
"Ck, tuyulll, kenapa candidnya yang beginii?" Suara protesnya terdengar tak suka. Hasil dari photo candid asistennya, semuanya adegan mesra dengan si elang itu.
Albert Lionard, yang dipanggil penggemarnya dengan sebutan Ali dengan alasan agar namanya lebih Indonesia dan tak susah disebut, sesama artis muda yang sedang dimasa emasnya sebagai pelakon.
"Lho? Kan emang adegan itu yang mendominasi scene tadi, neng," Yuli membela diri.
"Kan take awal gue sendirian, tuyull!"
"Ada kok."
"Cuma satu, udah gitu blur, gimana mau posting coba?"
"Posting yang nggak blur dong, neng!"
"Ogahhh, amit-amit!"
Yang tidak blur ya adegan romantis dibias sunset. Prily menolak dengan wajah yang tak ingin. Tak akan posting kalau hanya buat dihujat. Ngareplah, malu-maluinlah. Merusak harga diri. Meski komentar seperti itu masih jauh kalah banyak dengan komentar penuh harap dari penggemar yang lain, tetapi berat baginya untuk memposting yang sudah pasti tanpa feedback dari yang bersangkutan. Karena...
"Pril, saya ingin bicara sama kamu dan Ali, bisa?" Pak Surya membuat Prily terjengit kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba dan tak jadi melanjutkan mengurai alasan ketika pikirannya tadi berkelana.
Pak Surya, produser film yang sedang shootingnya sedang dijalani Ali dan Prily saat ini, memandang mereka bergantian.
"Haruskah?"
Prily mengeryit heran. Sedangkan Ali yang duduk menyender dikursi berjarak satu kursi dengan Prily hanya memandang Pak Surya dingin.
"15 menit saja!" ucap Pak Surya.
"Baiklah 15 menit!" Prily menyahut.
"Ali?"
"Ya, 15 menit!"
Pak Surya melangkah dan tanpa dikomando Ali dan Prily mengikutinya lalu mereka berdiri agak jauh dari crew dan penggemar yang datang untuk melihat shooting saat itu.
"Ali, Prilly, saya minta tolong kalian harus profesional!"
"Apakah saya kurang profesional berakting mengikuti skenario?" Prilly bertanya sedikit tak terima.
"Dari hasil editing yang saya lihat semalam saya pikir untuk akting kalian sudah tidak diragukan lagi, chemistrynya tetap juara...."
"Lalu nggak profesionalnya dimana, pak?" Ali kini yang bertanya.
"Di real life, bts, kalian terlihat sangat jauh, apakah tidak bisa lebih cair lagi agar film ini berhasil?"
Ali dan Prily sama terdiam. Ternyata syuting selama sebulan penuh, kelihatannya tak bisa lagi mendekatkan mereka secara fisik diluar akting.
Prily menarik napasnya. Ia tak ingin memberi alasan terlebih dahulu. Ia dan Ali sudah pernah membicarakannya.
"Kita harus profesional, kita akan terlihat dekat lagi tetapi itu hanya sekedar akting, jangan pakai hati!"
"Apa gue harus menuruti aturan lo?"
"IYA. TITIK!"
Dan waktu itu Prily berlalu tanpa menunggu persetujuan Ali lagi. Sepertinya ia sangat muak melihat wajah Ali, yang menurutnya selama ini selalu saja terlihat pencitraan dengan diamnya setiap dicela. Setidaknya itu menurut pikiran Prily, karna sikapnya tak sama dengan Ali. Prily selalu terlihat ekspresif seolah apa yang diperlihatkan melalui media sosial dan sikapnya itu sengaja ia ungkapkan agar semua orang tahu mereka sudah tak sedekat dulu lagi dan semua itu gara-gara Ali. Idola remaja yang digilai banyak gadis dan seakan-akan wajah gantengnya menutup semua mata hingga ia tak pernah terlihat jelek. Ya, tak jelek karna tak melakukan apa-apa. Jadi tak ada alasan bagi oranglain untuk mencacinya. Diampun tak lolos dari amukan jari-jari tak berperasaan apalagi banyak bicara.
"Ali? Prilly?"
Suara Pak Surya mengagetkan mereka yang sama-sama sedang asik dengan pikiran masing-masing.
"Kami akan berusaha, Pak Surya!" Ali yang angkat bicara setelah tak ada sahutan dari Prily.
"Pril, please ya, chemistry akting di adegan harus diperkuat dengan sikap diluar 'take'!"
"Ya, Pak Surya!"
Hanya itu yang bisa Prily jawab. Sebenarnya ia sudah berusaha. Buktinya chemistry mereka tetap dapat penghayatannya. Bahkan ia kecolongan dengan adegan ciuman yang baru saja terjadi. Harusnya tidak benar-benar menyentuh tapi Ali kebablasan. Untuk protes Prily sudah malas bicara padanya.
'Sudah malas atau memang menikmati?' Batin Prily menyindir.
Seketika tangannya meraba bibirnya sendiri. Tadi ia merasa dadanya berdenyut nyeri ketika bibirnya terasa dicecap. Prily juga tak tahu, entah kenapa ia merasa Ali menatap matanya dengan pendar rindu? Ah, cuma berakting. Jangan diambil hati. Prily menolak penilaian matanya pada tatap Ali. Mereka memang sejak dulu selalu menemukan chemistry setiap menjalankan adegan. Bahkan bertatapan saja bisa terlihat romantis. Itulah kenapa banyak penggemar yang berharap mereka menjadi sepasang kekasih dikehidupan nyata, disamping tentu saja ada yang tidak senang dengan kebersamaan mereka lalu menggerogoti perasaan saat menghujat salah satunya.
Rindu? Rindu apa? Kalau masih ada rindu, tidak akan bersikap tak peduli sebelumnya. Buat apa rindu, kalau hanya rindu pada raga bukan hati? Rindu pada bibir yang pernah memberi banyak rasa. Hangat dan manis yang selalu beradu dalam. Bukan rindu pada kesetiaan dan kepatuhan sebagai gadis yang telah diikat seorang pria yang ingin ditunggu agar mampu memberi segalanya.
"Semoga segera selesai, udah nggak tahan!" Prily berkata sepeninggal pak Surya. Dan Ali hanya menatap punggungnya yang ikut menjauh mengiringi langkah Pak Surya.
Sebenarnya pengambilan gambar di Bali ini adalah adegan-adegan akhir dalam film yang akan mereka bintangi yang didahulukan. Ceritanya memang happy ending dan endingnya melihat sunset. Sesuai dengan judul film tersebut, love form sunrise to sunset. Film yang kontraknya sudah terlanjur mereka tanda tangani saat mereka masih bersama dan memaksa mereka untuk bertemu kembali setelah memutuskan berpisah. Dan besok mereka akan berpindah lokasi ke pantai Sanur yang lebih cocok untuk lokasi adegan melihat sunrise.
Harusnya selama syuting ini bisa lebih mendekatkan mereka. Tetapi bagi mereka, mungkin tak ada lagi yang bisa mendekatkan mereka.
"Takut terjatuh dan menyakiti lagi!" Ali bergumam gundah melepaskan punggung Prily yang menjauh.
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Bali, 3 Oktober 2017
Hoho
Langsung Kuta Bali kan sebagai latar cerita...😂
Thanks to Bali!
Inget ya ini kawasan 'Halu Life'!
Terima Kasih membaca...
Cover by KShofiii terima kasih shofi...
Publish ulang : 30 November 2018
Versi cetak : 26 Oktober 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top