Retak
Senyumnya terus terkembang saat bertatap muka dengan pak Yono dan Bagas. Walau rasa kantuk masih terasa setelah semalam tidur dini hari.
''Kayaknya lagi seneng nih. Rambutnya juga basah, apa tadi hujan ya, Pak Yono?''
Hana hanya tersenyum dengan candaan Bagas. Tak perlu marah karena dia senang berinteraksi dengan mereka.
Hana menatap ponselnya dengan kening berkerut. Setelah membaca pesan masuk, dia kembali mengantongi ponselnya ke saku celana. Dia kembali fokus dengan pekerjaannya. Hari ini jadwal ayam untuk di vaksin.
''Tante Nana!'' seorang gadis kecil menerobos masuk mengagetkan Hana dan ayam-ayamnya.
''Aleyda ngapain masuk sini, 'kan kotor. Bunda mana?'' Hana memperhatikan Aleyda atau biasa dipanggil Eda anaknya Andien yang berumur enam tahun.
Aleyda hanya menunjuk ke arah Andien dengan dagunya yang terbelah dua.
''Tuh akibat enggak dengerin informasi dari Guru, sekolah libur si Eda berangkat aja. Terus nggak mau pulang, maunya main ke sini.''
''Makanya jangan sekolah jauh-jauh 'kan jadi nggak punya teman sekelas yang dekat.''
''Tante Nana, Aleyda mau panen telor aja ya... Boleh ya?'' mata bening Aleyda berkedip-kedip indah. Dia tahu kalau Tantenya itu tak dapat menolak keinginannya.
''Buah emang jatuh tak jauh dari pohonnya, ibu anak sama aja. Perayu ulung, tukang merajuk.'' Hana segera menuntun tangan mungil Aleyda sebelum makin menakuti ayam peliharaannya.
*****
Tanjung tak mampu lagi menahan emosinya, diputuskannya sambungan teleponnya sepihak. Dia mengatur napasnya, setelah yakin dengan pengendalian dirinya, Tanjung melanjutkan pekerjaannya.
Terdengar suara ketukan pintu pelan. Tanjung menengadah dan mendapati Mamanya berdiri di ambang pintu.
''Mama. Dengan siapa ke sini?''
''Tadi Mama minta tolong sama pak Karyo. Hana belum kesini?''
Tanjung melihat jam tangannya, ''Bentar lagi Ma.''
''Ya sudah Mama turun dulu. Mungkin sudah ada yang datang.''
''Mama mau kemana?'' tanya Tanjung ikut berdiri.
''Kan ada acara ulang tahunnya Bu Har disini, kamu lupa?''
Tanjung tak lupa. Tempatnya sudah didekorasi dari kemarin. Hanya saja acaranya masih nanti malam. Mamanya terlalu rajin.
*****
Hana memarkirkan mobilnya di pelataran Jagung Kuning yang sudah penuh. Jam makan siang memang ramai.
''Pokoknya nanti Tante Nana harus bilang sama Om Tanjung kalau yang ngumpulin telornya Eda,'' ucap gadis kecil itu yang terus mengekori Hana sambil mengibas-ngibaskan rambutnya yang panjang.
''Iya cantik. Memangnya ngaruh ya kalau Tante nggak bilang ini kerjanya Eda.''
''Ngaruh dong. Nanti Eda nggak dapat permen lollipop.''
''Eda mau ikut Bunda apa ikut Tante naik?'' tanya Andien. Setelah berpikir sejenak, Aleyda memutuskan ikut Bundanya, dia sudah lapar.
Hana menaiki tangga pelan. Sekarang Tanjung tak perlu menjemputnya karena dia sudah belajar mengendarai mobil. Walau Hana belum berani melewati jalanan besar yang ramai mobil.
Langkahnya terhenti ketika ada seseorang di ruang ganti menyebut namanya.
''Harusnya kamu enggak usah ikut campur hubungan mereka Din.''
''Tapi Sawala itu temanku.''
''Kamu membantu Sawala karena dia adiknya Data 'kan? Apa kamu lupa kalau mbak Hana juga kakaknya orang yang kamu taksir itu.''
''Tapi harusnya Sawala yang menikah sama mas Tanjung kalau mbak Hana nggak merebutnya.''
''Lalu apa untungnya buat kamu Din, mas Tanjung mau menikah sama siapa. Mbak Hana juga baik sama kita semua.''
''Ya tapi sudah terlanjur Nes.''
Hana memutuskan tak menguping lagi obrolan yang dia tahu antara Dinda dan Nesa. Dia masuk ke ruangan Tanjung yang ternyata kosong. Tangannya terulur hendak menutup pintu ketika terdengar bunyi ponsel di atas meja suaminya berdering nyaring. Hana mencari keberadaan Tanjung. Nihil. Dia memutuskan untuk melihat siapa yang menelpon, 'mungkin saja penting' pikirnya.
Sawala is calling ....
Hana masih diam tak mengangkatnya sampai panggilan terputus. Dia melihat kejutan lain yang membuat tubuhnya mendadak kaku dan seperti tersengat listrik, selembar foto yang sudah lecek.
''Hana.''
Hana menoleh ke arah asal suara, siapa lagi kalau bukan Tanjung. Mata mereka sama-sama terkejut tapi dengan makna yang berbeda. Hana dengan rasa cemburu dan terluka dengan dua bukti yang baru saja di lihatnya, sedangkan Tanjung dengan rasa bersalah.
''Aku yang bertanya atau kau yang jelaskan, apa ini?'' ucap Hana lirih sambil mengangkat selembar foto.
''Aku bisa jelaskan. Itu tidak seperti yang kau kira. Foto itu sebelum ....''
''Kamu mau bilang sebelum kita nikah?''
''Hana. Kita duduk dulu,'' ucap Tanjung karena sudah melihat rahang istrinya mengeras.
''Bohong,'' ucap Hana tanpa suara dan berlalu pergi.
Tanjung menyesali ucapannya. Walau tadi dia belum selesai menjelaskan, tapi sudah terlihat jelas seakan dia akan menyangkal.
Hana berjalan tergesa. Dia hanya ingin pulang sekarang. Seandainya Tanjung tadi tak menyangkalnya, pasti rasanya tak sesakit sekarang. Sudah jelas Tanjung mengenakan kaus yang mereka beli saat berlibur ke Lombok setelah menikah.
Hana menuruni tangga dan berpapasan dengan Dinda. Dinda melihat ada sorot mata kesedihan dan entah apalagi di mata Hana. Sesaat Dinda merasa bersalah karena telah membantu rencana Sawala.
Hana melewati Dinda begitu saja. Tapi nanti dia akan bertanya pada Dinda apa yang sudah dia dan Sawala rencanakan. Hana menuju kasir hendak meninggalkan pesan untuk Andien kalau dia akan pulang.
*****
Hana membatalkan niatnya untuk pulang, entah itu ke rumah ibunya atau rumah Tanjung. Akhirnya dia memutuskan untuk menenangkan dirinya di Dermaga. Dia menyandarkan tubuhnya di jok, masih terdiam di dalam mobil.
Sudah hampir 1 jam Hana di dalam mobil, kepalanya menunduk di atas setir, matanya terpejam. Dia sangat kecewa pada Tanjung. Hana tersadar, saat itu mudah bagi Tanjung berpaling padanya, maka tak heran kalau sekarangpun bisa saja suaminya kembali pada Sawala. Ada rasa sakit hati dan amarah yang menyelinap di relung hatinya.
Bunyi telpon yang nyaring membuat Hana berhenti melamun. Tentu saja panggilan dari Tanjung, dan Hana tak berniat untuk mengangkatnya.
Sementara itu di ruangannya, Tanjung menatap ponselnya geram. Tak satupun panggilan yang di angkat Hana. Dia meremas rambutnya dengan bingung.
Tanjung sudah mencari Hana di rumah, di rumah ibunya, dan juga di peternakan. Tapi semua nihil. Dia tau istrinya suka tempat yang sepi. Tiba-tiba ada satu tempat yang berkelebat singkat dalam pikirannya. Dia segera meraih kunci mobil dan bergegas turun.
Tak butuh waktu lama dia sudah sampai tempat tujuan. Benar saja istrinya ada disana. Melihat Hana dari kejauhan sudah membuatnya sedikit lega. Tanjung menyandarkan tubuhnya, dia tak berniat turun untuk menghampiri. Dia tau Hana masih marah, apapun yang akan dibicarakan nantinya hanya akan menambah emosi.
Hana menyadari mobil Tanjung terparkir di belakang mobilnya. Sesaat kemudian dia melajukan mobilnya pelan. Dia ingin pulang, tapi pikirannya bercabang antara rumah ibunya atau rumah suaminya. Sementara mobil Tanjung terus mengekori di belakang.
Tiba-tiba dari arah samping terdengar suara decitan roda mobil keras yang membuat Hana dan Tanjung berhenti bernapas sejenak.
-------------------------------------------------------------------
8:10 pm
Gempas 090116
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top