Restu
Hana berdiri di depan rumah ayahnya. Ia rindu, setidaknya Hana masih punya sedikit kenangan indah bersama ayahnya.
''Loh? Mbak Hana?'' Hana menoleh. Data adik tirinya tersenyum ramah.
''Ayah ada?'' tanya Hana pendek.
Data mengangguk, ''Ada.''
''Ya udah. Mbak masuk dulu.'' Hana melangkah masuk. Pelan.
''Mbak Hana,'' Hana menghentikan langkahnya ketika Data memegang bahunya, ''Apapun yang terjadi, aku ada di belakangmu,'' lanjutnya lagi. Hana tersenyum haru, ia tau kalau Data memang berbeda.
Harsono sedang duduk sambil menikmati rokoknya, sementara di seberang meja, Rika memangku salah satu cucunya, ada Rima dan Yosie juga. Sepertinya keluarga mereka sedang berkumpul. Hana melangkah dan Data mengekor di belakangnya.
Tiba-tiba dari arah samping, Sawala mendorong Hana, ''Kenapa? Kenapa Tanjung huh!'' ia teriak, ''Kenapa Tanjung yang harus kau goda!'' air matanya luruh satu-satu.
Hana terhuyung, nyaris terjatuh kalau Data tak segera memegangnya.
''Kau merebut milikku!'' seru Lala penuh emosi. Dia tak peduli pada keluarganya yang sedang berkumpul. Sawala merasa menang karena dia berada di tengah-tengah orang yang mendukungnya. Setidaknya itu yang dia pikirkan saat ini.
''Seseorang juga telah merebut seorang ayah dari anaknya puluhan tahun yang lalu. Kamu nggak tau kan? Karena kamu belum lahir.'' dengan tenangnya Hana menjawab. Seluruh pasang mata sekarang memandangnya tak percaya.
''Jadi kau balas dendam. Huh, kasihan sekali Tanjung.'' Sawala memandang sinis pada Hana.
''Terserah apa pendapatmu saja.''
''Kasihan Tanjung. Aku harus memberi tau hal ini padanya, dia pikir kamu sangat mencintainya.''
''Hana ....'' panggil ayahnya pelan.
Hana menoleh memandang ayahnya yang masih duduk setenang dirinya, ''Kenapa? Apa Ayah akan menyalahkan Hana seperti biasa? Silahkan saja. Hana dengar, Ayah ingin punya menantu seperti Tanjung. Lalu apa bedanya kalau dia memilihku atau Sawala?''
Harsono mengembuskan napasnya, ''Ayah merestuimu,'' katanya pelan penuh kelegaan.
Hening. Semua memandang sang kepala keluarga penuh tanya. Hana terpaku, masih tak percaya dengan pendengarannya.
''Ayah merestui kalian kalau kamu benar-benar mencintai Tanjung. Jangan karena alasan masa lalu yang akan membuatmu menyesal di kemudian hari. Maafkan Ayah, maafkan juga Ibu Rika.'' Harsono menatap lekat Hana, anaknya yang telah dia sia-siakan. Mungkin dengan cara inilah dia menebus beban sesal yang begitu besar. Walau Harsono harus mengorbankan perasaan anaknya yang lain, Sawala.
Harsono mengangguk meyakinkan. Sementara Hana masih terdiam, tapi dia tak peduli apa pendapat Lala. Dan Sawala sendiri menangis pilu, dia berlari memeluk ibunya.
Untuk pertama kalinya Hana keluar dari rumah ayahnya dengan langkah ringan, ''Terimakasih ....'' Hana menepuk bahu Data yang akan mengantarkannya pulang.
Data mengangguk, dia ikut bahagia untuk kakaknya, ''Kenapa mas Tanjung nggak ikut?''
Hana memandang Data, kata orang mereka memiliki hidung dan dahi yang sama, ''Mbak harus selesaikan bagian yang ini sendiri dulu.''
''Berarti nanti ada bagian yang harus di selesaikan berdua dong.'' Data tersenyum menggoda kakaknya.
*****
Hana salah tingkah, dua orang di depannya sedari tadi memperhatikannya. Ternyata keluarga Tanjung menyambutnya dengan baik. Hana sempat khawatir mereka akan menolaknya seperti yang selama ini terjadi, setelah mengetahui latar belakang keluarganya.
Bu Sarah, mamanya Tanjung yang mewariskan mata teduh pada anaknya selalu tersenyum tulus, sangat menyejukkan bagi Hana. Bu Sarah menerima siapa pun gadis pilihan Tanjung, asal ia gadis baik-baik. Dia juga tak menduga kalau yang akhirnya Tanjung bawa pulang adalah Hana.
Tanjung sebenarnya juga pernah mengenalkan Sawala. Walau waktu itu tak begitu setuju karena Sawala baru berumur 19 tahun dan masih kuliah. Karena sebetulnya dia sudah ingin menimang cucu. Tapi asal anaknya bahagia tak jadi masalah. Bu Sarah pernah bertemu Hana di sebuah hajatan dan ingin menjodohkan Tanjung dengan Hana. Belum sempat rencana itu ia lakukan, ternyata Tuhan lebih cepat mengabulkan doanya.
''Jadi kapan kami bisa menemui keluarga nak Hana?'' tanya Saenudin Rumi, sang kakek.
''Secepatnya. Nanti malam juga bisa, terus besoknya kita langsung nikah,'' jawab Tanjung cepat dan mantap.
''Tanjung! Enak aja main nikah-nikah. Mama setuju, tapi pelan-pelan saja nggak usah grasa grusu gitu!'' omel Bu Sarah pada putra tunggalnya itu.
Tanjung tampak nyengir sambil sesekali melirik Hana yang terus tersenyum.
''Kamu yang sabar. Mama harus siapin acaranya, mama pengen yang super istimewa.''
Hana mengangguk, ''Maaf Tante. Hana pengennya yang sederhana aja, malu sama umur,'' ujar Hana gugup.
''Kok Tante? Mulai sekarang manggilnya harus Mama dong. Terus malu sama umur gimana? Tanjung malah kelihatan lebih tua dari kamu.''
''Dewasa kali Ma, bukan tua.'' Tanjung memprotes ibunya.
Haji Saenudin Rumi mengamati Hana dalam diam. Dia ikut bahagia. Tak menyangka gadis kecil yang dulu sering di lihatnya malam-malam menangis sendiri di seberang rumahnya, akan segera menjadi bagian dari keluarganya.
Saat itu mungkin Hana merasa sendiri, tapi di balik jendela ada seorang kakek yang terus mendoakan agar gadis kecil itu menemukan kebahagiannya kelak. Dan Tanjung mungkin jawaban salah satu doanya.
*****
Siang terasa panas sekali. Segelas es teh, es kelapa muda, dan jus mangga telah tersaji. Tapi sepertinya menu itu masih kurang. Bagas menggerutu kesal, panas-panas dia disuruh main api. Dia sedang membuat ayam bakar hasil dari paksaan sahabat-sahabat Hana.
''Bagas jorok! Itu keringatnya di lap dulu dong. Ntar ayam bakarnya asin lagi.'' Anita melempar sebuah lap kain bekas handuk tepat ke wajah Bagas.
''Kenapa nggak ntar malem aja sih biar adem. Dasar ibu-ibu rempong kurang kerjaan.''
''Kalau malam kita kan ngrempongin misua, kaya nggak ngerti aja sih kamu. Oh ya, sudah pada tau belum? Sekarang Hanum lagi demen banget makan popcorn.'' ucap Anita sambil mengedipkan sebelah matanya pada Hanum.
''Iya. Dulu anti banget, tapi pas sekalinya nyoba ... Uuuh maknyuss.'' jawab Hanum sambil menyikut Sekar.
''Popcorn itu bukannya brondong jagung ya mbak Hanum. Masa rasanya maknyuss segala.'' dengan polosnya Bagas ikut menimpali.
''Ya maknyus. Tanya aja Hana. Iya kan Han?''
Hana tak bisa berkata-kata ketika sahabatnya menertawakannya. Sementara Bagus hanya bengong tak tau apa yang mereka tertawakan.
''Rame banget. Lagi ngetawain apa?'' Tanjung tiba-tiba muncul sambil menenteng sebuah kotak makanan.
''Ciee ... Pacaran sama Hana emang nggak nyarat banget ya. Nggak perlu candle light dinner, tinggal gelar tikar nasi kotak pun jadi.''
Tanjung tersenyum bahagia, dan Hana hanya pasrah jadi bahan candaan sahabat-sahabatnya. Mereka sudah terbiasa seperti itu. Jadi biarkan saja.
-------------------------------------------------------------------
5:35 pm
Gempas 04012016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top