Melarikan diri
Sudah dua hari Hana berada di rumah Raka. Melarikan diri setelah insiden di depan toko roti. Dia sama sekali tak menyentuh ponselnya, takut jawaban yang tak ingin di dengarnya dari Tanjung.
Hana menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan oksigen sebanyak mungkin. Tidak akan ia biarkan lagi rasa malu menghantuinya.
Hana mengamati rumah adiknya. Berantakan. Ia mulai mengumpulkan baju kotor, dan merendamnya. Memasuki kamar Raka, membuka lemari pakaian dan mendesah frustasi. 'Semoga Embun bisa mengubah kebiasaan Raka' gumamnya. Hana menurunkan semua isi lemari, dan melipatnya ulang.
Bagi Hana, walau rumah Raka bagai kapal pecah belumlah seberapa. Pekerjaan semacan itu sudah biasa untuknya.
Dia melanjutkan dengan menyapu dan mengepel lantai, mencuci baju dan kamar mandi. Lapar, ia melirik jam di atas televisi sudah pukul 11:30. Tadi sebelum beres-beres Ia belum sarapan.
Kemarin malam mereka sudah berbelanja sayur dan buah-buahan. Hana ingin memasak, begitu membuka pintu kulkas matanya langsung melihat ice cream, batal sudah rencananya untuk memasak.
Duduk manis menekuk kakinya di sofa, sambil menikmati ice cream di temani acara gosip siang. Ia tersenyum puas melihat hasil pekerjaannya.
*****
''Jalan jangan kaya siput napa? Buruan dong!'' Raka berbalik, menatap dua dari tiga perempuan spesial dalam hidupnya.
''Pelan-pelan aja napa sih! Kenyang banget ini. Susah jalannya.'' Embun merajuk sambil menggandeng lengan Hana, mereka sedang berjalan di trotoar menuju taman kota.
Sepulang kerja, Raka mendapati kakaknya terkapar di sofa. Ia sangat tau dengan kebiasaan Hana yang akan membereskan setiap sudut rumah kalau sedang banyak pikiran. Ia sangat beruntung memiliki kakak seperti Hana, walau Raka tak menyukai sikap over protective kakaknya. Apalagi umurnya sudah 25 tahun, sudah mandiri. Tapi Ibu dan kakaknya selalu menganggapnya anak kecil.
Raka hanya berniat mengajak kakaknya untuk makan malam di luar. Tapi Hana yang menurutnya sedang seperti alay labil meminta di belikan bajau dan pergi menonton film. Apa boleh buat, demi kakak tercintanya.
''Ka! Jangan kuat-kuat, nasinya belum turun ini. Ntar muntah!'' Hana memejamkan matanya, perutnya serasa di gelitik. Raka tak acuh, pura-pura tak mendengar. Ia sedang kesal sekarang. Sedari tadi Hana dan Embun menyiksanya. Sekarang mereka menyuruhnya mendorong ayunan.
Malam semakin larut. Taman kota sudah mulai sepi, tinggal beberapa pasangan yang duduk di pojokan.
''Mba Nana. Maaf kalau Embun membahas ini lagi. Kalau sampai tahun ini Mba belum ....'' Embun menggenggam tangan calon kakak iparnya, ia menyayangi Hana dan tau apa yang ia rasakan, hanya saja orangtuanya sudah terus mendesaknya agar segera menikah.
Raka mendekat, sebetulnya ini juga pilihan yang sulit baginya, ''Semoga edisi katakan cintanya di terima. Semangat!'' teriak Raka.
Muka Hana memerah, antara malu dan marah. Kenapa Raka harus membahasnya lagi, ''Jadi mba masih punya waktu lima bulan lagi. Oke lah kalau begitu. Semangat!'' Hana menirukan gaya Raka.
''Maaf bikin mba Nana terdesak sampai dengan tak tau malunya nembak duluan.'' lagi-lagi Raka meledek kakaknya dan sukses mendapat cubitan maut di perut dari Hana.
*****
Hana mendengar suara ketukan pintu di luar, lama dia menunggu tapi tak ada suara orang. Ia kembali menarik selimutnya. Raka sudah berangkat kerja, Hana di rumah sendiri. Biasanya untuk menghilangkan jenuh, dia pergi ke Mall mengelilingi toko buku. Dan akan berakhir duduk di taman membaca novel atau majalah di temani sebatang cokelat atau ice cream.
Suara ketukan kembali terdengar, Hana tak mengenal siapapun di komplek perumahan Raka. Dengan enggan dia melangkah, rambutnya berantakan, dia menyisirnya dengan tangan asal-asalan. Hana membuka pintu pelan.
''Hai ....''
Dengan kecepatan yang ia miliki, Hana menutup pintu keras. Di balik pintu berdiri laki-laki yang tak ingin ditemuinya.
-------------------------------------------------------------------
7:05 pm
Gempas 01012016
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top