《9》

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Kreeeekkkk

Bunyi sel besi berkarat yang terbuka itu begitu membuat telinga berdenging ngilu. Tapi tidak bagi sosok pria tegap yang hampir satu bulan menghuni ruangan gelap dan lembab, tempat para pengkhianat negeri matahari terbit ini menanti ajalnya.

Wajah tegas berlapis kulit tan itu di penuhi memar membiru, sepasang safir birunya di bingkai lebam biru, hadiah bogem mentah dari para prajurit yang dulu pernah menjadi juniornya. Dulu dirinya di banggakan dan di elu-elukan oleh bangsa ini sebagai pahlawan, dulu jangankan memukulinya babak belur seperti ini, bahkan untuk menatap tajam safir birunya, tak ada satupun dari mereka yang bernyali.

Kini wibawanya sudah luntur, harga dirinya sudah tak berarti lagi. Bagai bangkai yang tak berguna lagi, tubuh berotot yang bergelimangan darah itu di rantai menggantung dengan kedua tangannya yang menjadi tumpuan.

"Sudah cukup, Naruto!" Kepala kuning yang dilumuri darah itu mendongak, ketika namanya dipanggil. Bibir sobek yang berlumur darah itu tersenyum tipis ketika safir birunya yang menyembab, menangkap sosok yang amat ia kenali.

Hatake Kakashi, Prajurit yang berpangkat Jenderal yang selama ini menjadi pimpinan tertingginya dalam kemiliteran. Air mata menitik dari onix hitam pria yang surainya mulai beruban itu. Prajuritnya, anak didiknya yang ia pungut dari jalanan, ia besarkan dan didik hingga menjadi Prajurit kebanggaan Negeri Matahari terbit ini. Hari ini dijadikan seonggok daging tak berguna oleh negeri yang dibelanya.

"Sampai kapan kau akan menanggung dosa orang lain seperti ini, nak..." Kini suara tegas Kakashi berubah menjadi bergetar bahkan berbisik lirih. Ia tak sampai hati melihat kondisi Naruto yang begitu mengenaskan seperti ini.

"Dia bukan orang lain, Sensei..." Akhirnya dengan susah payah Naruto berhasil membuka mulutnya yang berlumuran darah. "Dia istriku, satu-satunya keluarga yang aku miliki, dan kau katakan apa yang dilakukan dia adalah dosa?"

Kakashi diam tertegun, sorot mata Naruto kini berubah dari sendu, nampak begitu menyimpan kebencian. "Sampai kapan kau akan mengabdi dibawah Kaisar biadab itu, Sensei!!!"

"Kapten Uzumaki jaga bicaramu!!"

"Aku muak Sensei, muak dengan tingkah laku para prajurit yang bahagia diatas penderitaan orang lain, muak dengan ambisi Kaisar sialan itu menduduki seluruh Asia!!!" Setengah berteriak dengan sisa-sisa tenaga yang miliki. Naruto seolah menumpahkan semua beban yang ia tanggung di medan perang.

Tidak, ia tak sekeji apa yang dunia pikirkan tentang Prajurit Jepang kebanyakan. Biadab, brengsek dan perusak. Tidak, Naruto tak pernah mau menerima tugas menjajah negara lain. Menyaksikan para rekannya yang menduduki negara jajahan, membangun pos-pos hiburan, berisi wanita-wanita cantik setempat yang di jadikan budak nafsu mereka selama tak pulang ke Tanah Air.

Selama ini dia hanya di tempatkan di pantai lepas wilayah Jepang, untuk menjaga pertahanan Jepang dari serangan Tentara Sekutu. Bahkan untuk menjadi tentara pengawas budak Korea di pulau Hasima, ia menolak dengan tegas.

"Para pekerja tambang di pulau Hasima melarikan diri, mereka membawa kapal pembawa batubara setelah memenggal manager perusahaan disana."

"Baguslah," jawab Naruto santai seolah tanpa beban.

"Jepang diambang kekalahan. Amerika menduduki pantai Okinawa dan membangun Pangkalan Militer disana."

"Lalu apa hubungannya denganku. Cuih..." Naruto meludahkan darah kental dari mulutnya.

"Kaisar menginginkanmu kembali ke medan perang. Hiroshima, adalah target mereka."

"Khe..." Naruto tersenyum remeh mendengar berita yang di bawa Kakashi. "Tua bangka itu menginginkan hukuman matiku di medan perang.

"Rebut kembali Okinawa sebelum mereka menyerang Hiroshima."

...

5 Agustus 1945
Jepang, Sapporo, Hokaido

"Belum ada pembukaan..." Dokter paruh baya yang masih nampak sangat cantik itu, melepaskan stetoskop dari lubang telinganya, iris hazelnya menatap sendu tubuh ringkih dengan perut yang membuncit sangat besar tersebut.

"Hanya kontraksi palsu. Kakakmu belum waktunya melahirkan, tapi kau harus selalu bersiaga, ini sudah memasuki bulannya, ia bisa melahirkan kapanpun." Sambung wanita yang bernama Tsunade itu sambil menutup perut besar yang telah selesai periksa, dengan selembar kain pakaian yang sebelumnya ia singkap.

Hanabi, gadis dengan surai cokelat yang berdiri disamping sang kakak yang terkulai lemah tak sadarkan diri, hanya mampu mengangguk pasrah menanggapi ucapan Tsunade. Sesaat setelah ia memperlihatkan surat kabar keberangkatan Naruto kembali ke Hiroshima. Kakaknya yang tengah hamil tua tiba-tiba melenguh panjang sambil memegangi perut buncitnya dan berakhir dengan terkapar di lantai tak sadarkan diri.

"Tolong jangan buat dia terlalu keras berpikir, dia sering sekali pingsan. Aku takut bayinya akan meninggal sebelum dilahirkan."

...

6 Agustus 1945
Sapporo

"Nee-sama... hari ini kau di perbolehkan pulang..., kau tunggu sebentar disini ya... aku akan mengurus administrasimu dulu..."

Hinata mengangguk pelan tanpa ekspresi. Pandangannya hanya tertuju pada jendela besar di samping tempat tidurnya. Tangan lembutnya masih senantiasa membelai sayang kandungannya yang semakin tua itu.

Bahkan ketika Hanabi pergi dari kamar rawatnya, pandangan lavender mililiknya masih senantiasa menatap langit Hokaido yang begitu cerah. Hingga tiba-tiba ia terkesiap, suara dentuman teramat kencang disertai getaran hebat pada bangunan kokoh itu terasa amat kuat. Langit biru negeri matahari terbit itu seketika berubah menjadi kelam.

Entah kenapa tiba-tiba perasaan Hinata menjadi gelisah. Perlahan ia bangkit dari tempat tidurnya. Setelah getaran yang ia kira gempa itu mulai reda. Ya..., bagi warga Jepang yang tinggal di kepulauan samudera lepas, gempa sudah menjadi makanan sehari-hari.

"Ano... permisi... Apa baru saja terjadi gempa?"  Tanya Hinata menghentikan langkah seorang perawat yang melintas dihadapannya.

Perawat itu tersenyum seraya memberikan selembar masker padanya. "Nyonya Uzumaki, sebaiknya Anda tetap dikamar, dan gunakan masker tadi. Guncangan yang terjadi baru saja, bukanlah gempa. Pemerintah di Tokyo menyiarkan melalui radio, Amerika menjatuhkan bom atom di tengah kota Hiroshima. Dan guncangan itu adalah akibat dari ledakan tersebut. Dampaknya memang tak terlalu terasa di Hokaido, namun, asap hasil bom atom itu sangat berbahaya."

Tubuh Hinata menegang, ia bagaikan di sengat ribuan volt listrik. Kakinya seolah melayang tak menginjak bumi. Kepalanya berputar-putar hingga pandangannya menggelap. Hiroshima, tempat dimana suaminya kini ditugaskan di jatuhi bom atom. Siapapun tahu berapa kekuatan bom itu.

Tak pernah ada korban selamat jika senjata pemusnah masal itu dilepaskan. Tak pernah ada harapan kehidupan bagi tempat yang di hancurkan dengan bom itu, dan para prajurit tentu akan ada dibarisan terdepan target bom itu. Dan salah satu prajurit itu adalah pria tercintanya

Buggghhhhh

"Hinata-sama!!!!" Perawat itu berteriak histeris. Tubuh wanita yang tengah hamil tua itu tiba-tiba limbung ke depan. Perut dan kepalanya terhenpas menghantam lantai, setelah ia kehilangan seluruh kesadarannya.

...

Hanabi bangkit dari kursi panjang tempat ia menunggu di depan ruangan dimana Hinata mendapat pertolongan pertama. Ia berlari dan langsung menghampiri Tsunade yang baru saja keluar dari ruangan itu

"Ba-"

"Dia koma." Belum sempat Hanabi melanjutkan pertanyaannya, Tsunade telah lebih dahulu menjawabnya. "Benturan di kepalanya merusak syarafnya yang memang sebelumnya lemah. Dan guncangan serta hantaman di perutnya membuat kandungannya kontraksi. Tapi dia koma. Ia tak mungkin melahirkan dalam keadaan tak sadarkan diri. Dan mengoperasinya sekarang sama dengan membunuh keduanya. Kami akan berusaha keras agar dia memperoleh kesadarannya. Jika lewat dari tiga hari dia tak kunjung siuman, bayinya yang harus mengalah. Kami akan mengeluarkannya dalam keadaan tak bernyawa."

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top