《7》

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Pucat pasi..., wanita hamil yang keadaannya masih sangat lemah itu tak menyangka bahwa dirinya berada di tempat mengerikan ini. Sebagai seorang mata-mata sekutu ia tahu konsekuensinya bahwa penjara tahanan perang adalah tempat akhir hayatnya bila tertangkap oleh Kekaisaran Jepang sebagai seorang mata-mata.

Masih terekam jelas diingatannya, seorang wartawan Amerika Serikat yang menyamar sebagai wartawan berkebangsaan Jerman yang merupakan negara pendukung Jepang dalam Perang Dunia Dua. Pria itu mati mengerikan setelah berbulan-bulan di siksa tanpa ampun oleh tentara Jepang, dan dieksekusi pancung lalu isi perutnya dibuyarkan.

Sambil mengikuti langkah para tentara yang memegang lengannya, Hinata mengelus sekilas perut buncitnya. Baru saja janin kecil yang tengah bergelung nyaman dalam rahimnya itu lolos dari maut, kini sang buah hati harus kembali terancam nyawanya.

Mungkin jika ia tak tengah berbadan dua seperti saat ini, kematian tak akan menjadi hal menakutkan baginya. Latihan keras sebagai mata-mata sekutu sama sekali tak membuatnya gentar menghadapi maut.

Namun..., bayi kecil ini, buah hati tercintanya yang begitu bergantung hidup padanya kini yang sangat ia khawatirkan keselamatannya. Apapun yang terjadi padanya, bayi kecil tak berdosa itu tak boleh mengalaminya. Ia bersumpah akan melakukan apapun, bahkan mengemis dan menjilat kaki Kaisar Hirohito, agar mahluk mungil tak berdosa itu bisa melihat dunia.

...

"Masuk!" Perintah salah satu tentara yang tengah membuka jeruji besi di sel yang gelap.

Akhirnya Hinata tersadar dari lamunannya, ia terkesiap saat mendengar perintah yang di tujukan padanya. Memeluk perut buncitnya erat, Hinata takut-takut melihat sel pengap yang ia pikir di sediakan untuknya.

"Masuklah... ada seseorang yang mengkhawatirkan keadaanmu..."

Suara lain yang lebih bernada lembut, membuat pandangan Hinata tertoleh. Shikamaru, rekan Naruto di medan perang nampak berdiri tenang disampingnya dengan posisi istirahat di tempat. Pria dengan mata onix itu mengangguk sekilas. Isyarat bahwa tak akan terjadi sesuatu padanya.

Menunduk perlahan, Hinata nampak kepayahan masuk ke dalam sel yang pintunya sengaja di buat rendah itu. Ia mendongak perlahan, mencoba mencari eksistensi keberadaan manusia di dalam ruangan pengap itu.

Mutiara ungu mudanya memanas, ketika cahaya matahari yang menyusup dari celah-celah lubang udara kecil menerangi siluet tubuh tegap yang begitu ia kenal. Dan saat ia menatap wajah sang pemilik siluet, air matanya tumpah. Hinata bahkan sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan hanya untuk menahan isakan.

"Hiks... hiks...," Hinata terisak pilu, tanpa pikir panjang ia melingkarkan tangannya pada tubuh tegap berbalut seragam militer yang dalam posisi istirahat di tempat itu. "Kenapa sampai seperti ini Naruto-kun...?" Tanyanya seraya menangis di sandaran dada bidang pria yang paling ia cintai.

Tak bergeming, Naruto seolah enggan membalas pelukan hangat wanita yang paling ia cintai itu membiarkan Hinata terisak di dadanya. Namun pertahannya runtuh ketika hidung mancung Hinata bergesek pada seragam militernya.

"Naruto-kun... percayalah satu-satunya kejujuran dalam hubungan kita adalah cinta dan tubuhku ini hanya milikmu..."

Dan setelah kalimat itu meluncur dari mulut mungil Hinata, pertahanan keegoisan Naruto runtuh. Kelopak mata kecokelatannya terpejam rapat, dengan lelehan air mata yang merembes di celah-celahnya. Naruto menangis, bahkan tanpa sadar, kedua tangannya terangkat dan balas mendekap tubuh Hinata yang tengah memeluknya.

"Maafkan aku, Hime...." Ia kecup sayang pucuk kepala kelam wanita tersayangnya itu, menghirup dalam aroma yang sangat dan mungkin akan ia rindukan untuk selamanya.

"Kenapa ini bisa terjadi, Naruto-kun...?" Hinata tak kuasa menahan air matanya. Mengabaikan kepalanya yang masih di perban putih, Hinata membentur-benturkan kepalanya pada dada bidang sang suami.

Sementara Naruto menghentikannya dengan membelai lembut kepala belakang Hinata. "Apa masih terasa sakit, aku pasti sangat keterlaluan, ya?"

Menggeleng dalam pelukan sang suami, itulah yang Hinata lakukan untuk menyangkal analisa suaminya. Tidak, Hinata sama sekali tak menyalahkan suaminya atas hal buruk yang menimpanya. Baginya hal itu adalah sebuah hukuman karena ia telah membohongi pria yang begitu mempercayainya.

Andai saja... andai saja ia jujur pada Naruto saat rasa cinta itu mulai terbentuk. Andai saja ia mengatakan yang sebenarnya tentang Toneri sejak awal pada Naruto, pasti kesalahpahaman ini tak akan terjadi. Petaka besar yang hampir merenggut buah cinta mereka tak akan terjadi. Dan Naruto pasti tidak akan menyangkal keberadaan darah dagingnya sendiri.

"Kalian boleh pergi." Shikamaru yang menjadi saksi moment pilu sepasang suami istri itu, mengambil inisiatif. Ia harus menjelaskan perjuangan Naruto demi Hinata. Dan tentu saja dua prajurit itu tak diizinkan untuk mendengarnya.

"Informasi tentang statusmu sebagai mata-mata Sekutu sudah sampai ketelinga Perdana Menteri."

"Shika!" Naruto melepaskan Hinata dari pelukannya. Sedikit berteriak berharap mampu membungkam mulut Shikamaru.

"Khe..." Shikamaru tersenyum remeh. Bentakkan seperti itu sama sekali tak mampu menggertak seorang tentara.

...

Kalut, penat, tak ada hal lain selain dua kata itu yang kini merajai pikiran Naruto. Ia berjalan gontai di lorong rumah sakit dengan menundukkan kepalanya. "Kau pecundang Naruto..." Gumamnya lirih sambil mendudukkan diri di kursi panjang di lorong rumah sakit.

"Agggghhhhhh!!!!" Frustasi, ia menjambak kasar surai pirang cepaknya. "Bagaimana mungkin aku tega meninggalkannya sendiri disana," Naruto mulai meracau merutuki kebodohannya. "Ia meraung-raung memintaku tetap berada disisinya. Tapi apa yang kulakukan? Seperti pecundang. Aku meninggalkannya begitu saja dalam penanganan para perawat tanpa peduli sedikitpun!!!!"

Tubuh tegapnya bangkit. Ia langkahkan kakinya kembali kekamar dimana Hinata dirawat. Sudah ia putuskan, ia akan akan mempercayai Hinata. Mempercayai bahwa janin yang bersemayam dalam rahim wanita itu adalah darah dagingnya. Mempercayai kesetiaan Hinata dan tak akan meragukannya lagi.

Namun langkahnya terhenti, ia urungkan kembali kekamar sang istri. "Perdana menteri...." Ucapnya gelagapan saat orang nomor dua di negeri ini berada dihadapannya.

"Kami menunggumu di markas untuk memberi informasi ini." Pria bernama Senju Tobirama itu mengulurkan tangannya dan menyerahkan selembar amplop yang langsung di terima oleh Naruto.

"Tapi karena ku dengar istrimu mengalami kecelakaan. Jadi aku meminta Shikamaru mengantarkanku kesini."

"Anda tak perlu bersikap seperti itu, Perdana Menteri." Naruto membungkukkan badannya sekilas, sebelum dengan cepat membuka amplop yang ia yakin menyimpan informasi yang sangat penting itu.

"Istrimu adalah salah satu dari mata-mata keturunan Jepang yang di tempatkan Sekutu di Negara kita."

Bersamaan dengan suara yang memenuhi syaraf pendengarannya, bola mata Naruto baru saja selesai membaca secarik kertas yang sebelumnya tersimpan rapi pada amplop yang diserahkan sang perdana menteri. Lidahnya kelu untuk berkata, namun tak mengurangi nyalinya untuk melindungi orang yang amat ia cintai.

Meremas surat itu dalam kepalanya, sepasang lengan berotot Naruto terulur di hadapan sang perdana menteri. Isyarat ia menyerahkan diri dan siap di borgol. "Bawa aku. Limpahkan semua tuduhan itu atas namaku."

...

Hinata menatap nanar kapal pesiar megah yang ada dihadapannya. Kapal yang akan membawanya pergi dari ibu kota. Menjauh dari pujaan hatinya.

Angin sejuk ditengah musim panas itu, tak berarti apapun baginya. Rasa sedih membuncah di dalam dadanya saat ia tahu, bahwa Narutonyalah yang menebus semua kesalahannya. Bahkan sekarang Pria itu menyuruhnya pergi jauh dari Tokyo demi keselamatannya dan si jabang bayi.

Tangan putihnya terangkat dan ia gunakan untuk membelai sayang kandungannya yang telah berusia tua itu. "Nak..." Gumamnya pelan berinteraksi dengan si janin. "Kaa-chan tak mengerti apa maksud dari Ayahmu yang menjauhkan kita darinya.... Dia berkata bahwa ini adalah demi keselamatan kita... tapi bagi Kaa-chan ini adalah sebuah hukuman darinya atas dusta Kaa-chan, nak..."

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top