《6》

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Lampu merah di atas pintu ruangan gawat darurat itu, kini telah padam. Kepala kuning cepak pria yang dengan setia duduk menanti di kursi tungu terangkat. Menatap penuh harap agar pintu putih yang terbuat dari kayu itu terbuka. Tak cukup sabar untuk menanti, Naruto memilih untuk bangkit dari duduknya. Ia berjalan menuju pintu yang sejak tadi ia tunggu untuk terbuka.

Belum sampai dirinya dihadapan pintu dimana ruangan yang tengah menyelamatkan sang istri bersama benih yang tertampung nyaman disana, pintu ruangan gawat darurat itu terbuka. Sesosok wanita cantik dengan jas putih yang melapisi tubuh moleknya muncul dari balik pintu.

"Sakura, bagaimana keadaan Hinata dan bayinya?" Naruto langsung bertanya panik saat wanita dengan nama seperti bunga musim semi itu telah selesai menangani sang istri yang tengah hamil tua tersebut.

"Apa yang kau lakukan padanya?" Alih-alih menjawab, dokter kandungan terbaik di Jepang tersebut, malah bertanya selidik. Lengkap dengan tatapan tajam penuh curiga dari emerald hijaunya.

Pucat pasi. Naruto menunduk seraya meremas surai cepaknya. Ribuan rasa sesal berkecamuk di dalam dadanya. Mengapa ia begitu tega mengabaikan Hinata yang dalam keadaan tidak berdaya, mengapa dia begitu kejam pada wanita yang memberinya kasih sayang dan keluarga yang selama ini ia impikan. Jika boleh jujur Naruto, sangat ingin mempercayai ucapan sang istri sebelum kesadarannya hilang. Bahwa janin yang kini tengah berjuang tumbuh dalam rahin Hinata adalah darah dagingnya.

Namun naluri dan egonya sebagai lelaki tak bisa menerima begitu saja. Ucapan Toneri di penghujung hayatnya masih terngiang dalam ingatannya. Begitu sulit ia mempercayai Hinata setelah dengan mata kepalanya sendiri ia melihat, bagaimana wanita yang amat ia cintai tengah bercumbu mesra bersama pria lain, ketika ia baru tiba di kediaman mereka.

Hening, tatapan menusuk Sakura, menjadi alasan kepala pirang cepak milik Naruto enggan terangkat.

"Kediaman mereka diserang."

Baik Naruto ataupun Sakura langsung mengalihkan perhatian mereka pada sumber suara yang tiba-tiba memecah keheningan.

"Sasuke-kun..." Sakura cukup terkejut dengan kehadiran sang suami di rumah sakit tempat ia mengabdi. Namun sekilas ia melihat Naruto mengangkat kepalanya, ketika Sakura menyebutkan nama Sasuke, seketika safir biru miliknya beradu pandang dengan onix hitam milik pria bermarga Uchiha ini.

Bukan menanggapi panggilan sang istri. Pria yang berfrosesi sebagai Jurnalis yang menentang tegas keputusan Kaisar Jepang menginvasi sejumlah negara Asia Tenggara ini, memilih memberikan jawaban berupa anggukkan seraya memejamkan matanya sekilas atas isyarat yang di berikan oleh sahabat sejak kecilnya tersebut.

"Kau tahu sesuatu tentang penyebab keadaan Hinata seperti sekarang?" Kini giliran Sasuke mendapatkan tatapan intimidasi dari emerald hijau milik istri tercintanya itu.

"Akan ku jelaskan padamu, tapi sekarang sebaiknya kau jawab dulu pertanyaan si Dobe ini," Sasuke melirik sekilas ke arah Naruto yang nampak mengiba kabar dari Sakura tentang keadaan istrinya.

Dokter dengan surai bagai bunga musim semi itu menghela nafasnya berat, lalu perlahan pandangannya menyendu, menatap Naruto penuh iba. Tak ada kebohongan dari safir biru Naruto. Pria itu tampak kacau dan terlihat begitu mengkhawatirkan isrinya.

"Aku harap kau bukan penyebab keadaan Hinata seperti ini." Sakura melirik sekilas ke pintu putih dimana dibaliknya tengah terbaring lemah wanita yang sedang berjuang hidup agar mahluk mungil di dalam tubuhnya masih dapat bernafas. Ingatan Sakura menerawang saat beberapa jam lalu Naruto membawa Hinata dalam gendongannya, kerumah sakit ini dalam keadaan bersimbah darah.

"Kau patut bersyukur. Bayi kalian sanggup bertahan, hingga tak perlu dilahirkan secara prematur."

Harusnya Naruto merasa bahagia. Namun ia malah tersenyum kecut, mendengar Sakura menyebut janin yang terkandung dalam rahim Hinata sebagai bayi mereka, membuat Naruto kembali mengingat pernyataan Toneri yang mengakui bayi itu sebagai darah dagingnya.

"Pendarahannya terjadi di luar kandungan. Pendarahan tersebut tidak berasal dari uterus melainkan dari plasenta yang terlepas. Dalam kasus seperti ini, bisa dibilang beruntung karena plasenta yang terlepas tidak terlalu banyak sehingga bisa di tangani dengan mudah. Tapi jika ia kembali jatuh dengan posisi yang sama, kemungkinan besar plasenta yang terlepas akan jauh lebih banyak. Dan jika itu sampai terjadi, aku tidak punya pilihan lain selain melakukan induksi, dan bayi kalian akan terlahir prematur."

Entah kenapa, setelah mendengar penuturan Sakura tiba-tiba batin Naruto menghangat. Walau masih belum sepenuhnya yakin bayi itu adalah darah dagingnya, namun kini setelah mengetahui tak terjadi hal buruk pada janin itu, membuatnya sedikit bernafas lega. "Lalu bagaimana dengan Hinata?"

Sakura menghela nafasnya panjang, "kau harus sedikit bersabar Naruto..." Kini suara Sakura terkesan lirih dan begitu banyak menyimpan kesedihan.

"Apa maksudmu?" Tuntut Naruto panik, hingga tanpa sadar ia mencengkram sepasang bahu Sakura, tanpa peduli bahwa suami sang dokter akan marah padanya.

"Benturan di kepala belakangnya cukup fatal. Hinata mengalami gegar otak dan bila dalam waktu dua puluh empat jam dia tak sadarkan diri. Maka ia dinyatakan koma."

Kakinya seperti tak mengijak bumi, tubuhnya terasa begitu ringan hingga hilang keseimbangan. Naruto hampir saja jatuh limbung kebelakang jika saja Sasuke yang berada di belakangnya tidak sigap menopang.

'Hime, seperti inikah caramu menghukumku... Bunuh saja, bunuh saja diriku ini sebagai hukuman keegoisanku... Tapi kumohon jangan biarkan aku kembali merasakan kehidupan dalam kesepian....'

...

Sakura meletakkan tangan putih nan ringkih itu ke atas kasur, setelah ia memeriksa dengan seksama denyut nadi wanita  yang masih tak kunjung sadarkan diri hingga kini. "Kau bisa tidur di sofa Naruto. Denyut nadinya sudah mulai normal... Dia sudah berangsur membaik."

Kepala pirang yang bertumpu pada pinggiran ranjang itu lalu mendongak, hampir delapan jam Naruto duduk di kursi besi tepat di sebelah ranjang Hinata. Kantung mata yang disekitar safir birunya menjadi saksi betapa berat beban yang ia tanggung di pundaknya. "Dia akan bingung mencariku saat sadar." Tangan sewarna madu milik Naruto meraih pelan tangan Hinata yang tergeletak diatas perut buncitnya. Membawa lembut tangan mungil tersebut dan mengeluskan lembut di rahang tegasnya.

"Kau pulanglah, Nii-san, dan Izumi-nee sudah menjemputmu di depan."

Sakura tak punya pilihan lain. Ketika pria jangkung yang berstatus sebagai suaminya itu telah berdiri di depan pintu kamar rawat Hinata. Mengambil tas jinjingnya yang dibuat dari rajutan benang woll, Sakura yang telah mengganti jas dokternya dengan sweeter merah muda mengangguk seraya berjalan menuju pintu.

"Kau pulanglah duluan. Aku akan menemaninya sebentar." Ujar Sasuke, saat sang istri melintas tepat dihadapannya.

...

"Kau sudah membereskannya?" Akhirnya Naruto buka mulut. Setelah cukup lama keberadaan Sasuke yang berdiri di dekatnya hanya di respon dengan kebungkaman.

"Aku membakar mayatnya di kebun belakang kantorku." Jawab Sasuke tanpa beban.

Naruto tersenyum tipis, setelah mendengar jawaban santai sang sahabat yang baru saja melenyapkan mayat orang yang telah ia bunuh. "Khe... keluar dari penjara, membuat rasa takutmu benar-benar putus."

"Penjara sudah menjadi makanan sehari-hariku. Aku tak tahu bagaimana Sakura bisa bertahan dengan pria sepertiku."

Penjara, sudah bukan menjadi hal baru lagi bagi Sasuke. Opini-opini dan gagasan frontalnya yang ia kemukakan pada surat kabar, mengenai kekejian Jepang dan menyebut negerinya sendiri sebagai penjajah, sering kali membuat berang Kaisar dan membuatnya mendekam di penjara.

Beruntung ia berasal dari Klan Uchiha, klan yang memiliki kekerabatan cukup dekat dengan Kaisar. Jika saja Sasuke bukan berasal dari klan Uchiha, sudah lama ia kehilangan kepalanya karena komentar pedas yang ia tulis dalam surat kabar yang di cetak oleh perusahaan keluarganya.

"Jika bukan karena kau, aku malas membantu melenyapkan mata-mata, Sekutu. Lebih baik Negeri ini hancur agar para pemimpin sadar akan kesalahannya."

Naruto mendengus geli. Sudah bukan hal baru lagi baginya melihat Sasuke yang menaruh rasa benci pada negerinya sendiri. Bahkan di awal Naruto masuk dalam pasukan militer, sempat terjadi perang pendapat diantara mereka.

Namun seiring berjalannya waktu dan semakin matang usia mereka, persahabatan itu kembali terjalin. Mereka mulai menghormati ideologi masing-masing dan saling menerima perbedaan.

"Hanya pengecut yang tega menyakiti wanita, apalagi wanita itu adalah wanita yang ia cintai, dan terlebih lagi sedang mengandung benihnya." Tanpa basa-basi. Sasuke langsung melemparkan tuduhan sepihak pada sahabat karibnya itu.

Bagaimana bungsu Uchiha itu bisa lupa. Pagi hari saat Sakura memintanya mengantarkan susu hamil bubuk Hinata yang tertinggal di ruang prakteknya. Sasuke malah mendapatkan pemandangan tragis. Seorang pria berseragam militer tengah mendekap erat wanita hamil yang tak sadarkan diri dan bersimbah darah. Dan yang lebih mengerikan lagi, adalah keberadaan pria asing yang telah tak bernyawa.

"Apa kau masih bisa bersikap manis ketika pulang dari medan perang, kau dapati istrimu tengah bercumbu dengan pria lain di atas tempat tidur kalian? Bahkan pria itu mengakui janin yang ada dalam kandungan istrimu adalah milik pria itu."

"Aku punya tiga jawaban untukmu. Yang pertama, aku bukan seorang Tentara, jadi aku tak mungkin kembali dari medan perang. Aku hanya sering keluar masuk penjara. Yang kedua, Sakura hanya tergila-gila padaku. Dan yang ketiga, hanya pria picik yang tak mau mengakui hasil perbuatannya. Hinata sangat setia padamu Naruto. Aku dan Sakura saksinya, bagaimana dia selalu menantimu, bertahan dalam kepayahan di kala kondisinya yang tengah hamil tua. Lalu kau meragukan darah dagingmu sendiri. Kau seorang pecundang Naruto."

Dan setelah ceramah panjang lebarnya, tanpa permisi Sasuke meninggalkan Naruto sendirian untuk merenungi perbuatannya.

...

Kepala kuning itu, masih tergolek dengan lengan sebagai bantalannya. Pinggangnya yang terasa pegal akibat tertidur di kursi besi disamping tempat tidur pasien, sama sekali tak dia hiraukan. Naruto akhirnya terlelap sambil menggenggam tangan mungil Hinata, setelah cukup lama terjaga setelah kepergian Sasuke.

Namun..., tidurnya yang sama sekali tidak nyaman itu malah terusik. Sentuhan lembut di pucuk kepala pirangnya yang seharusnya memberi kenyamanan, justru membuatnya terkesiap. Pasalnya tak ada satu orangpun di dalam ruang rawat itu kecuali dirinya, dan sang istri yang sedang tak sadarkan diri.

Hal itulah yang membuatnya terjaga. Karena hanya ada satu orang yang dapat menyentuh kepalanya.

"Naruto-kun..." Setelah sentuhan lembut yang mencapai pucuk kepalanya, cicitan lembut itu, menjadi dasar terkuat keyakinannya. "Percayalah... dia adalah bayi kita..."

Batin Naruto bagaikan diiris sembilu, ketika wanita tercintanya itu mengulangi kalimat yang sama sebelum ia kehilangan kesadarannya. Hinata masih mencoba meyakinnya bahwa bayi dalam kandungannya adalah milik Naruto

"Ssstttt.... jangan banyak bicara.." Bangkit dari duduknya, Naruto mendekat pada kepala Hinata yang terbalut perban putih, dan mengecupnya lembut. "Apa masih terasa sakit?"

"Percayalah padaku... dia adalah bayi kita..." Bukannya menangaggapi sang suami yang bertanya tentang lukanya, Hinata malam membawa tangan Naruto pada permukaan perut buncitnya.

Sikap diam Naruto yang malah tak bergeming, sontak membuat Hinata yang baru sadarkan diri itu malah menangis. Raut wajah ragu Naruto memang tak bisa di pungkiri, dan di dukung dengan tindakkannya yang menarik tangan dari tempat janinnya tengah tumbuh itu.

"Maaf Hime..., untuk percaya hal itu masih sulit bagiku..."

...

Kelopak mata putihnya mengerjab pelan, kepalanya berdenyut hebat saat dia mencoba membuka matanya. Bau alkohol yang sangat tajam, di tambah langit-langit yang berwarna putih  membuatnya amat yakin bahwa kejadian yang ia alami semalam bukanlah mimpi belaka.

Suaminya membawanya kerumah sakit, setelah perut besarnya yang berisi janin itu terhempas bersamaan dengan kepalanya. Dan ketika ia sadarkan diri hal yang pertama ia lakukan adalah meyakinkan sang suami atas status bayi yang dikandungnya. Namun pria bersurai pirang yang berstatus sebagai suaminya itu justru meninggalkannya hingga ia menangis dan meraung kencang.

Lalu para perawat berdatangan, mencoba menenangkannya dengan menyuntikkan cairan yang membuatnya terlelap hingga bangun di pagi seperti ini.

"Kau sudah bangun Hinata...?" Sakura, dokter merah muda itu muncul dari balik pintu yang terbuka dan berhasil menarik perhatian Hinata yang sedang berusaha untuk duduk.

Melihat wanita hamil yang kepayahan bahkan untuk duduk sekalipun, membuat Sakura dengan sigap membantu.

"Sakura..., dimana suamiku...?"

Wanita dengan surai bagai permen kapas itu mulai gelagapan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pasiennya. Permata hijaunya mulai bergerak tak nyaman melirik kekanan dan kekiri. "Naruto... sebenarnya dia..."

"Nyonya Uzumaki Hinata. Anda diminta pimpinan kami untuk mengikuti kami."

Deg. Ucapan Sakura terpotong.

Jantung dua wanita itu berdegup kencang saat suara lantang memenuhi ruangan hening itu. Terlebih lagi Hinata, matanya yang bagai rembulan itu menangkap tiga sosok tegap berpakaian militer yang berjalan kearahnya. Seolah bersiap membawanya dan melakukan apapun padanya bila ia tak menurut.

'Apa para Tentara ini adalah bawahan Naruto-kun...? Apakah Naruto-kun telah melaporkanku pada Kaisar... Kami-sama... mereka akan membawaku kemana...  Apa Naruto-kun sekejam itu demi negeri ini, dia melaporkan dan membiarkan aku mati bersama buah hati kami... Kau boleh melakukan apapun padaku Naruto-kun... bahkan membunuhku... tapi jangan bayi kita... kau akan menyesal kelak.... kau akan menyesal, Anata...'

つづく
Tsudzuku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top