《10》

Disclaimer : Naruto belongs only to Masashi Kishimoto
Alternate Universe Love Story Of Naruto and Hinata

Usai mengenakan rompi tentaranya, Kapten Uzumaki Naruto melangkahkan kakinya menuju pesawat perang yang terpakir gagah di pangkalan militer Hiroshima. Pagi itu, dia bersama dengan beberapa pasukannya akan bersiap menggempur Okinawa, salah satu wilayah Jepang yang berhasil di duduki tentara Sekutu Amerika Serikat.

Ada rasa gelisah yang bersarang di benaknya ketika melangkah mendekat pada pesawat militer yang selama ini menjadi sahabat setianya di langit biru samudera pasifik. Entahlah, ketika ia akan meninggalkan pangkalan militer yang selama ini menjadi tempatnya bertugas, ia seolah memiliki firasat tak akan pernah kembali ke tempat itu.

"Sayonara, Hiroshima..." Hingga tanpa sadar bibirnya berbisik mengucap kata selamat tinggal...

...

Ngingggggg

Blam

Duarrrrrrr

Langit Okinawa begitu pekat senja itu, cahaya jingga sang senja diselimuti awan pekat nan gelap. Ammonium nitrat beracun mematikan menyebar di sepanjang garis pantai Okinawa. Naruto mengenakan maskernya, ia baru saja menjatuhkan bom dari pesawatnya tepat di atas gudang persentajataan tentara Sekutu.

"Roger, rubah api melapor, tiga gunung berapi sudah di hancurkan, ganti." Membenarkan letak microphone yang menempel pada telinga dan pipinya. Ia baru saja melaporkan tindakannya pada pos jaga di Hiroshima.

"Roger, rubah api melapor, ganti." Tak ada jawaban dari pos membuat Naruto kembali mengulang laporannya.

Nggggghg

Hanya bunyi dengungan yang menyambut indera pendengarannya. Jawaban dari pos penjagaan di Hiroshima sama sekali tak ia dapatkan.

"Kapten rubah, Sersan serigala melapor, ganti."

"Kiba, apa yang terjadi."

"Nagasaki mengambil alih pos keamanan Hiroshima, Kapten, ganti. Sekutu baru saja memborbardir Hiroshima."

Termangu, Naruto sempat kehilangan konsentrasinya ketika kabar buruk itu sampai di telinganya. 'Ini kah akhir dari perang, ini kah akhir dari keegosian Kaisar Hirohito... Hiroshima tak hanya dihuni oleh para Tentara. Ada banyak warga sipil tak bersalah disana, anak-anak dan wanita. Apa ini cara sekutu menghentikan perang, menghancurkan tanpa padang bulu. Menyamaratakan kejahatan perang, menggunakan senjata pemusnah masal.

Seketika tanpa ia sadari, air bening menetes dari safir birunya. Ingatannya kembali pada wanita tercintanya bersama sang buah hati yang kini berada jauh darinya. Meremas dada kirinya yang berlapis seragam militer, batin Naruto di hantui ketakutan yang luar biasa. 'Bisa saja setelah ini mereka merencanakan meratakan Hokaido untuk membuat Kaisar menyerah, Hinata dia masih berada dalam kekuasaan Jepang, tidak seharusnya aku mengirimnya ke Korea atau setidaknya keluar dari Jepang.'

DUARRRRRRR

Ledakan besar terjadi, Naruto terlalu kalut dalam pikirannya sendiri hingga ia tak menyadari bahwa Tentara Sekutu tengah menembaki pesawatnya.

...

Nagasaki, 9 Agustus 1945

Kelopak mata kecokelatannya mengerjap, dan bersamaan dengan itu, safir biru yang di kelilingi oleh kornea yang memerah menampakkan kilauannya. Putih, yang ada di pandangannya hanya putih... Mengerjab berkali-kali. Naruto berusaha mengumpulkan semua kesadarannya.

"Naruto-kun...." Hingga suara gemulai yang amat ia rindukan seketika memenuhi indera pendengarannya.

"Hime..." Air mata haru menetes dari safir birunya. Sosok yang amat ia sayangi itu melangkah tertatih mendekat padanya.

Bibir merah kecokelatannya membentuk kurva senyuman. Hatinya menghangat kala mendapati Hinata yang begitu manis mengenakan dress hamil berwarna putih kian mendekat padanya.

"Agghhh..." Mencoba untuk bangkit agar dapat menghampiri lebih dahulu wanita tersayangnya, namun gagal. Rasa nyeri luar biasa mendera kaki kanannya.

"Jangan di paksakan..." Hinata kini berada tepat dihadapannya, dengan jarak yang sama sekali tak berarti. Air mata sendu mengalir dari mutiara ungu mudanya, Hinata menangis pilu melihat kondisi pria tercintanya yang begitu mengenaskan. Tangan lembutnya terulur kearah lengan kanan Naruto yang dilubangi timah panas oleh tentara sekutu.

Safir biru Naruto yang mengikuti gerak tangan Hinata, memanas. Rasa nyeri luar biasa di lubang berdarah itu tiba-tiba menjadi sejuk, ketika Hinata menempelkan tangan lembutnya pada luka membusuk itu.

"Apa terasa sakit....? Hiksss...." Hinata terisak pelan, tak kuasa menahan rasa pilunya. Baru kali ini selama ia mengenal Naruto, ia melihat Tentara gagah kebanggaannya itu berlumuran darah dengan peluru yang bersarang di sekujur tubuhnya.

Menggeleng pelan, Naruto mengulurkan tangannya dan membelai pipi tembam Hinata yang sembab karena air mata. "Tidak setelah melihatmu Hime..."

"Hiks... hiks...," Hinata kembali terisak kencang, tanggannya yang lain menumpu tangan Naruto yang membelai pipinya.

"Jangan menangis, Hime... kau tak malu pada jagoan kita, hmmm?" Tanya Naruto lembut seraya membelai kandungan Hinata yang sudah sangat membesar.

Hinata mengeleng pelan, seraya mengelus tangan Naruto yang membelai pipinya. "Aku.... aku sangat merindukan Naruto-kun... Apa Naruto-kun tidak merindukanku? Hiks... hiks..."

Tak kuasa mendengar rintihan Hinata yang sangat memilukan, Naruto membawa kepala indigo itu ke dada bidangnya, menyandarkan kepala Hinata dengan nyaman, lalu mengecupi sayang pucuk kepala wangi yang amat ia rindukan. "Aku merindukanmu Hime... sangat...." Ucapnya bergetar seraya berbisik.

"Pulanglah Naruto-kun... pulanglah... kami sangat membutuhkanmu......."

Perlahan sosok tubuh mungil nan hangat yang begitu ia rindukan itu, menguap bagai asap. Pelukan itu menjadi hampa, dan sontak membuat Naruto terkesiap.

"Hime....." Gelagapan, ia menyadari bahwa sosok Hinata hilang dalam dekapannya.

'Sebenarnya apa yang terjadi? Apa ini hanya halusinasiku...?'

"HINATA!!!!! HINATA JANGAN TINGGALKAN AKU...." Ia terus berteriak dalam kehampaan, tak akan ada yang mendengar atau menjawabnya.

...

"HINATA!!!!!!" Bersamaan dengan teriakan itu safir birunya terbuka. Aneh, bukan lagi pemandangan cahaya putih yang menyambutnya. Melainkan langit-langit dengan cat abu-abu tua. Naruto mengedarkan pandangannya. Sama halnya dengan langit-langit, bangunan ini juga di cat warna abu-abu.

Dan aroma obat yang menguar di mana-mana, membuat ia yakin dimana tempat kini ia berada. Rumah sakit. Meremas kepala pirang cepaknya, Naruto mencoba mengembalikan ingatannya.

Kepingan-kepingan memory mulai kembali pada otaknya, ia ingat sekarang. Ketika pesawat-pesawat sekutu itu menyerangnya, ia berusaha sekuat mungkin agar pesawatnya tak jatuh ke daratan Okinawa. Jatuh dalam wilayah kekuasaan Sekutu, sama saja menjadikan dirinya bangkai makanan anjing.

Tak hanya pesawatnya, berkali-kali Tentara Sekutu dari dalam pesawat menembaki tubuhnya. Berulang kali Naruto mengelak, namun satu tembakan di lengan kanannya, membuat keseimbangannya goyah. Naruto tak dapat mengendalikan pesawatnya dan berakhir dengan tumbangnya dia di pegunungan Okinawa.

...

"Kau sudah sadar, Kapten?"

Naruto mengusap kasar wajahnya setelah, memperoleh lagi semua ingatannya sebelum tak sadarkan diri. Safir birunya melirik kearah pintu, sesosok pria dengan surai cokelat cepak, berdiri di ambang pintu.

"Berapa lama aku pingsan, Kiba?" Tanyanya saat pria bersurai cokelat itu duduk di kursi di samping ranjangnya.

"Dua hari. Kau hampir mati Kapten. Kau beruntung, pesawatmu jatuh di perbukitan Okinawa, beberapa Tentara kita yang tersisa berhasil membawamu ke Nagasaki."

"Nagasaki?" Beonya memastikan.

"Ya, Nagasaki. Pusat militer Jepang di pindahkan ke Nagasaki, setelah Hiroshima di hancurkan."

Naruto tersenyum miris mendengar penjelasan Kiba. "Apa Jepang sudah mengaku kalah?"

"Kaisar Hirohito, memutuskan untuk tak akan menyerah hingga akhir." Jawab Kiba putus asa. Jika boleh jujur, Kiba sudah tak sanggup bertahan dengan perang yang hanya mempertahankan ego, dan menebarkan penderitaan dimana-mana.

"Khe..." Naruto mendengus kesal seraya memijat hidungnya dengan tangan kanan yang terbalut perban. "Tua bangka itu akan menyerah jika seluruh Jepang hangus. Kiba, siapkan satu unit pesawat untukku."

"Untuk apa Kapten. Kau belum pulih sepenuhnya."

"Kau pikir aku akan kembali berperang, cih. Aku akan menuju Hokaido."

...

"Ngghhhh..... Akh......." Kelopak mata putihnya terbelalak lebar. Hinata akhirnya memperoleh kesadarannya. Isi perutnya berkontraksi hebat. Bayi dalam rahimnya berputar-putar dan menendang sangat kencang minta di keluarkan. "Sakit... hiksss... Naruto-kun ini sangat sakit...."

Seolah harapannya terkabul, tangan pucatnya yang mencengkram erat besi sisi tempat tidur, kini mendapatkan genggaman hangat, telapak tangan lebar yang kehangatannya sangat ia rindukan.

"Naruto-kun..." Hinata mencicit pelan, saat ia menoleh, sosok yang amat ia rindukan berada disampinga, menggenggam erat tangannya, menemaninya berjuang membawa sang buah hati untuk melihat dunia.

"Ssttt... jangan banyak bicara Hime..., berjuanglah, aku ada disampingmu..." Bisik Naruto tepat di telinga sang istri. Sesekali ia mengecup lembut kening Hinata yang di tutupi poni tebal.

Dan beberapa saat kemudian, para medis berbondong-bondong masuk kedalam ruangannya. Tampak Tsunade yang beregerak dengan sigap. Melebarkan paha Hinata dengan posisi mengangkang dan mengarahkan kepalanya di balik selimut yang menutupi bagian bawah tubunya.

"Shizune ambilkan sarung tanganku, sudah pembukaan sepuluh. Jalan rahimnya terbuka selama ia koma. Hinata dengarkan aba-abaku, meneranlah tiga kali, lalu hembuskan dan bernafaslah..."

"Kau dengar itu Hime... ikuti perintahnya... jangan takut... aku disisimu..."

"Aghhhhhhh....nghhhh...nghhhhh..nghhhh..., Akhhhhhhh, Uhhh...Uhhhh..." Tangan putihnya yang memucat pasi terus menggenggam tangan sewarna madu milik sang suami yang memberinya kekuatan.

"Terus Hinata meneran lebih kuat lagi..!!!!"

"NGGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHH, AGGGGGHHHHHHHHHHH.."


...

"Bagaimana, Tsunade-sama...?"

"Kakakmu melahirkan bayi laki-laki... tapi kondisinya sangat lemah... ia belum sadarkan diri saat ini. Kuharap kau tak memberitahu berita itu dalam waktu dekat. Kau tak ingin dia kembali koma bukan."

Hanabi terdiam seraya menunduk, tangannya meremas kertas salinan telegraph yang ia teriman. "Maafkan aku Hinata-nee...."

...

Sapporo, 19 Agustus 1945

"Hime... bukalah matamu sayang... apa kau tak ingin melihat jagoan kita, hmmm...?"

Belaian lembut di pipi gembulnya, sontak membuat wanita yang telah menjadi ibu itu menggeliat pelan, kelopak mata sewarna saljunya mengerjab pelan, hingga mutiara lavender yang tersimpan di dalamnya benar-benar menampakkan pesonanya. "Naruto-kun..."

"Akhirnya kau bangun juga, cantik..." Naruto mengecup sayang hidung mungil nan mancung milik wanita tersayangnya, disusul dengan sepasang kelopak mata yang mencekung akibat kelelahan yang ia alami. "Maaf tak berada sisimu selama ini....." Bibir merah kecokelatannya tersenyum tipis, dan sepasang iris safirnya menatap sendu bola mata ungu muda yang selalu mampu meneduhkannya.

"Tak apa....," Hinata yang masih dalam posisi berbaring berusaha bangkit dengan bantuan sang suami. Duduk bersandar di kepala ranjang dengan tangan lembutnya yang membelai sayang rahang tegas sang suami. "Naruto-kun menemaniku saat aku berjuang saja,aku sudah sangat bahagia...., nee apakah Naruto-kun baik-baik saja..."

Menggeleng pelan, Naruto menumpukan tangan cokelatnya pada tangan sang istri yang senantiasa membelai rahang tegasnya. "Perang telah usai, Hime..., setelah ini kau dan jagoan kita akan hidup dengan tenang..."

Hinata mengernyitkan dahinya mendengar pernyataan sang suami yang terkesan janggal baginya. "Kenapa hanya aku dan putera kita??? Bukankah Naruto-kun akan bersama kami juga...?"

"Aku hanya singgah sebentar disini, Hime... saat peristiwa bom Hiroshima terjadi, aku berada di Okinawa. Disana para sekutu menggempurku, akan tetapi aku berhasil di selamatkan oleh rekanku dan dilarikan ke Nagasaki. Setelah siuman aku bergegas menghampirimu ke Hokaido. Karena tujuanku sudah selesai maka aku harus pergi sebentar."

Menggeleng kuat, Hinata menggenggam erat tangan Naruto yang kini berada di pangkuannya. "Mana boleh begitu... Naruto-kun sudah sangat lama meninggalkan aku... tak bolehkan aku lebih lama lagi bersamamu... Mengapa Naruto-kun sangat kejam padaku... Hiksss... Apa Naruto-kun masih marah padaku...."

"Stttttt...." Meletakkan jemari telunjuknya tepat di bibir Hinata, Naruto seolah ingin wanita itu diam dan hanya mendengarkannya. Ia merengkuh tubuh mungil yang baru saja melahirkan darah dagingnya itu.

"Aku sudah melihat putera kita..." Bisik Naruto lembut sembari menyandarkan kepala indigo Hinata pada dada bidangnya yang berlapis seragam militer. "Dia sangat tampan.... sama sepertiku.." Lanjut Naruto sambil mengecupi pucuk kepala Hinata yang wanginya sangat ia sukai. "Surai kuningnya... mata birunya... tak ada yang bisa membantahnya bahwa dia adalah putera seorang Uzumaki Naruto... Maaf Hime... Maafkan aku yang pernah meragukan kesetiaanmu..."

Rengkuhan itu kian erat, Hinata bahkan dapat merasakan surai tebalnya basah akibat air mata sang suami. "Aku sudah memaafkan Naruto-kun... bahkan tak setitikpun rasa benci tertuju untukmu... Hiks....."

"Jika begini, aku sudah merasa lega sekarang... Kau tahu Hime... kau adalah satu-satunya harta yang paling berharga yang aku miliki... Pemuda bodoh sepertiku yang sama sekali tak mengenal arti cinta... kau penuhi kehidupannya dengan cinta dan kasih sayang. Aku selalu sendiri selama ini, merasa hidupku sama sekali tak ada artinya.... Namun bersamamu... aku merasa hidupku memiliki makna... Kau yang selalu menjadi tujuanku untuk pulang.... Hari ini aku pulang, Hime... mengakhiri penantianmu padaku..."

"Jangan pernah meninggalkanku lagi, Naruto-kun.... kumohon...." Hinata menyamankan kepalanya pada dada sang suami yang menjadi sandarannya. Pelukan hangat Naruto, aroma maskulin tubuhnya yang begitu ia rindukan kini semua terasa dekat. Semua doa yang ia panjatkan telah terkabul. Naruto pulang kepadanya setelah penantiannya yang sangat lama.

"Tidurlah Hime... aku akan menjagamu, selamanya....."

Dan setelah benar-benar terlelap dalam dekapannya. Sosok transparan yang tengah mendekap wanita itu perlahan tertiup angin nan sejuk. Sebelum bayangannya benar-benar terbawa angin, ia sempatkan mengecup lembut pucuk kepala indigo wanita tercintanya.

'Sayonara Hime.....'

...

Nagasaki, 9 Agustus 1945

"Kapten, Anda mau kemana....? Luka Anda belum pulih kapten...!!!"

Dengan sangat kualahan, prajurit bernama Inuzuka Kiba belari mengejar Sang Kapten yang telah duduk dibangku kemudi pesawat tempur yang bukan disediakan untuknya. Naruto, sama sekali tidak mengindahkan panggilan Kiba. Mengaktifkan seluruh perangkat pesawat tempur itu, Naruto bersiaga terbang, bukan untuk bertempur... ia ingin pulang. Ia ingin pulang kepada tujuannya, rumahnya, orang yang paling ia cintai.

Pesawat yang Naruto kendarai sudah siap lepas landas, namun seolah takdir berkata lain. Naruto tak akan pernah kembali pada tujuannya...

Langit Nagasaki menghitam.... bergemuruh hebat seolah akan terjadi badai besar.... Namun sesaat kemudian menjadi amat terang... seolah matahari berjarak begitu dekat dengan bumi.... lalu...

DUAAAAAAAAARRRRRRRRRRR

Terjadi ledakan maha dahsyat di abad itu, matahari besar itu meledak. Menyisakan asap pekat berbahan kimia yang mampu merusak seluruh organ manusia.

9 Agustus 1945, Sekutu menyerang Jepang untuk yang kedua kalinya dengan meluluhlatakkan Nagasaki. Dengan hancurnya kota Nagasaki, berakhirlah Perang Dunia 2. Jepang menyerah tanpa syarat pada Sekutu dan menarik semua pasukannya yang menduduki negara yang mereka jajah.

おわり
Owari


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top