41 | Take it or Leave it
Abel mempunyai kebiasaan baru.
Gadis itu jadi gemar membaca banyak artikel tentang rasa bersalah. Dia bahkan sering mencari video tentang cara-cara meringankan rasa bersalah pada seseorang, berharap menemukan satu dua clue yang bisa membantunya menghadapi Nugi. Saat ini saja, dia mengisi waktu istirahatnya dengan membaca banyak artikel tentang itu.
Namun, sebuah panggilan dari Mita mengalihkan atensi Abel.
"Halo, Bel?" suara antusias Mita membuat Abel tersenyum.
"Mbak Mita. Gimana kabarnya?"
"Baik banget. Mbak mau kasih tahu kalau katalog bulan depan udah jadi. Hasil digitalnya udah mbak kirim lewat email. Foto-foto mentahnya juga udah Mbak kirim," ucap Mita ceria.
"Terima kasih, Mbak. Iya, udah masuk. Nanti aku lihat-lihat," ucap Abel kala memeriksa email masuknya.
"Iya, coba dilihat! Fotonya bagus-bagus. Kalian manis banget!"
Abel mengerutkan kening. Kalian? Siapa?
"Ah, gimana kabarmu? Nugi demam lagi hari ini." Keceriaan Mita menurun.
"Demam?"Abel mengerutkan kening. Padahal kemarin sore, suara Nugi masih baik-baik saja. Dia bahkan masih bisa mengisi di Athlas.
"Iya. Ini ketiduran di sofa habis main-main sama Lita. Kapan terakhir kamu ketemu dia, Bel?"
"Hampir seminggu lalu."
"Oh...Nggak ngerti ini kenapa demam lagi. Kamu sehat, Bel?"
"Sehat. Nugi nggak periksa?" tanya Abel sambil menggigiti bibirnya.
"Syukurlah kalau kamu sehat. Kata Ali dikasih penurun panas dulu. Kalau sampai besok masih demam, disuruh cek, katanya."
"Iya, baiknya memang konsultasi sama Ali. Dia tidur? Berarti belum minum obat?"
"Iya, belum. Ini mau mbak bangunin buat sarapan sama minum obat dulu."
"Belum sarapan?" Abel melirik jam dinding yang menunjuk angka sembilan.
"Belum. Kamu sudah sarapan belum? Tadi masak apa?"
"Udah. Tadi nyoba bikin gurame asam manis," ucap Abel malu. "Kemanisan."
Mita terkekeh kecil. "Kapan-kapan ke sini, kita masak bareng-bareng lagi. Ta, ini Tante Abel, bilang 'halo Tante', coba?"
"Ta? Mamam?"
"Cake-nya ditaruh dulu, sayang. Bilang 'Halo Tante Abel', coba?"
"Bebel? Bebel! BEBEL!"
Mita tertawa, sementara Abel tersenyum geli.
"Tahu nggak, Bel? Setiap Nugi pulang, dia selalu tanya kamu sama dia." Mita terkekeh kecil. "Ya sudah. Mbak tutup dulu, ya. Mau berangkat. Kamu jaga kesehatan, ya. Jangan lupa katalognya dilihat. Dadaah!"
Abel memandangi ponselnya, tiba-tiba jadi sangat rindu pada Talita. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah Mita nanti sore. Pagi ini, mungkin Nugi perlu istirahat.
Abel membuka file yang dikirim oleh Mita, lalu terkejut karena fotonya terpampang di sampul depan. Gambar dirinya diambil dari samping dan sedang menoleh. Rambutnya yang tersila hairpin tampak terbelai angin, sementara kebaya Mita membuat lekuk tubuhnya lebih kentara.
Abel cepat-cepat membuka halaman lain, sebab dia tidak terlalu suka melihat sosoknya sendiri. Lalu, ia hampir pingsan ketika melihat fotonya menghiasi sebagian besar halaman di katalog itu. Beberapa berasal dari foto studio, beberapa berasal daei foto candid kala pernikahan Ali dan Kezia. Foto-foto candid itu diambil dari berbagai pose, kemudian diberi efek bokeh hingga Abel tidak yakin jika itu adalah dirinya.
Hal yang membuatnya tambah malu adalah, foto Abel bersama Nugi dan Talita di sana. Waktu Abel memangku Talita karena rambutnya terlilit hairpin, dan Nugi berjongkok untuk menenangkan Talita. Pemandangan itu ada di sana, menguasai satu halaman hingga terlihat mencolok sekali.
Bright and lovely with Lavender family collection.
Panas membakar wajahnya kala Abel membaca keterangan di halaman itu. Tuhan, jika dia tahu maksud Mita tentang 'memasang fotonya di katalog', Abel pasti akan berpikir dua kali untuk menyetujuinya.
Tapi...
Menutup fotonya sendiri, Abel mengamati Nugi yang berjongkok untuk menenangkan Talita.
Dari samping sini, Nugi terlihat manis sekali. Abel menyukai sorot Nugi saat menatap Talita. Tegas, namun menenangkan.
"Lo salah fokus. Lihat rahangnya," geram si merah. "Kelihatan kokoh gitu, ugh!"
"Aku justru suka rambut di tengkuknya," celetuk si putih. "Ngegemesin."
"Jadi pengen ngegigit lehernya. Iya nggak, sih?" tukas si merah dengan menggebu. "Jakunnya itu--"
Abel menggelengkan kepala keras-keras meskipun saat ini, wajahnya pasti membara. Sungguh, dia merasa bisikan si merah semakin liar setiap harinya.
===
Abel yang sedang berkonsentrasi penuh pada proyeknya, terperanjat hebat ketika bel rumah berbunyi.
"Itu cuma bel pintu," batin Abel seraya menenangkan diri. "Bel pintu. Sabela."
Setelah yakin jika kakinya sudah tidak gemetar, Abel memeriksa layar monitor kecil yang ada di ruang tamu. Lalu, mengerutkan kening kala melihat wajah Nugi di sana.
Gadis itu cepat-cepat membukakan gerbang.
"Gi, kata Mbak Mita kamu demam lagi--"
Abel berhenti bertanya ketika sadar jika lelaki ini begitu berantakan. Rambutnya acak-acakan, napasnya tampak kepayahan, dan wajahnya pucat. Ia meraih kaus gadis itu.
"Rumah sepi," bisiknya parau.
Abel menatapnya sesaat, lalu menghela napas dalam.
"Ayo ke dalam aja. Nanti kamu kedinginan." Gadis itu kembali mengunci pagar, lalu masuk ke dalam rumah dengan Nugi yang masih memegangi kausnya.
"Ke dokter aja, yuk?" Abel menempelkan tangan di dahi Nugi dengan cemas. "Demammu tinggi, Gi."
Nugi menggeleng. Lelaki itu berbaring di sofa ruang tengah, lalu meringkuk di sana. "Ikut tidur. Rumah sepi," bisiknya parau sambil memejamkan mata.
Abel memperhatikan lelaki itu beberapa saat, lalu mengambilkan selimut untuknya.
"Kamu ada agenda kemana habis ini?" tanya Nugi dengan suara yang pelan sekali.
"Untungnya nggak kemana-mana. Kamu datang nggak kasih kabar," ucap Abel kala merapikan selimut di tubuhnya. "Gimana kalau aku tadi nggak di rumah, coba?"
"Aku tunggu sampai kamu pulang."
"Kalau pulangnya masih lama? Mau nunggu di mobil?"
"Masalahnya di mana?"
Abel memutar bola mata. Gadis itu duduk di lantai.
"Kenapa, Gi?" Abel merapikan rambut lelaki itu. "Hm?"
Lelaki itu membuka matanya sedikit. Sorot matanya tampak lelah. Ia menatap Abel dalam diam.
"Dulu itu juga demam, kan? Tapi kamunya nggak percaya. Sekarang demam lagi," ucap Abel. "Kecapekan, ya? Kamu Bilang udah nggak pernah pulang malam."
Nugi menatap Abel sejenak, lalu ujung bibirnya tertarik ke atas. "Buat apa bohong, Bel? Aku udah nggak pernah pulang malam. Kamu selalu khawatir kalau aku pulang malam, ingat?"
"Terus kenapa bisa demam lagi?"
Senyuman Nugi memudar. "Mimpi. Akhir-akhir ini sering mimpi waktu itu."
Abel terdiam sejenak, lalu berkata,"It is okay. Tidur."
Nugi mengangguk dan meringkuk lebih dalam. Gadis itu bersandar di sofa dan menghadap laptopnya. Ia membiarkan jemari Nugi memilin rambutnya dengan main-main, hingga beberapa saat kemudian, tidak ada gerakan apa pun di belakangnya.
Abel menoleh. Sepertinya, lelaki itu telah tertidur pulas. Bahunya naik turun dengan lembut meskipun napasnya masih terdengar berat.
Abel kembali mengerjakan proyek-proyeknya. Ia sibuk berkutat dengan berbagai macam permintaan revisi ketika Nugi bergerak dengan gelisah.
Abel memperhatikan Nugi, sedikit takut kalau-kalau demam tinggi ini memicu kejang atau sebagainya. Tapi, ia justru mendapati Nugi menangis dalam tidurnya.
"Gi?" panggil Abel dengan suara bergetar. Ia mengguncang pelan bahu lelaki itu. "Nugi?"
Nugi bergerak gelisah, namun tidak bangun. Abel mengamatinya lekat-lekat, sedikit lega kala napasnya mulai teratur lagi. Abel menyugar rambutnya, lantas memandangi Nugi dalam diam. Dia tahu Ganis masih bermain-main di sana.
Sayangnya, Abel tidak suka.
===
Keluar dari kamar mandi, Abel mendapati Nugi yang sudah terbangun. Lelaki itu duduk diam di sofa, sementara selimut Abel melilit tubuhnya erat-erat.
"Udah bangun?"
Nugi menoleh kala Abel duduk di sebelahnya, dan memeriksa suhu tubuh Nugi.
"Udah baikan," ucap Abel. "Tapi kata Ali suruh terusin minum penurun panasnya. Nanti habis makan, minum obat lagi. Gimana badanmu?"
"Hmm...mendingan," gumam Nugi tanpa menoleh. Lelaki itu rupanya menatap pantulan dirinya di layar laptop Abel yang terbuka, lalu nyengir. "Berantakan banget."
Abel berdecak pelan, namun tidak bisa menyembunyikan rasa gelinya. Abel meraih ponselnya, lalu membuka aplikasi jasa antar.
"Mau makan apa?" tanya Abel membuka-buka menu Athlas. "Kamu demam, ya...gimana kalau sup aja? Sup a-- coba, ini aku gimana ngomongnya?"
"Soupe a l'oignon," ucap Nugi dengan aksen perancis yang kelewat fasih. "Sup bawang. Mau itu?"
"Jangan tanya aku, Gi. Aku mau apa pun," ucap Abel. "Kamu yang sakit, pengen makan apa?"
Nugi mengusap hidungnya dan menggeleng. "Kamu punya apa di dapur? Kita masak aja."
Abel mengerjap, lalu menggigit bibirnya. "Nggak ada apa-apa."
Nugi mengangkat alis. "Kamu masak? Ya udah, makan itu aja."
Abel langsung menggeleng cepat. "Hasilnya parah, Gi. Nggak enak, pokoknya! Udah, kita makan di luar aja!"
Nugi mengerutkan kening. "Kamu siang makan apa? Makan masakanmu atau pesan di luar?"
"Makan--itu, tapi nggak layak makan."
"Kamu sakit perut habis makan itu?"
Abel menggeleng.
"Good then. Yuk, makan." Nugi bangkit dan langsung menuju dapur.
Abel menggertakkan gigi. Gadis itu mengejarnya dan menarik hoodie Nugi hingga lelaki itu terhuyung.
"Nggak enak," ucap Abel cepat. "Kita pesan Athlas aja, ya?"
Nugi menatapnya beberapa saat, lalu mendekat sampai Abel menggigit bibirnya. Lelaki itu mendekatkan wajah dengan tiba-tiba hingga Abel menarik kepalanya. Manik kelamnya menatap Abel dengan lekat meskipun wajahnya masih pucat.
"I've told you, no lip biting, Bel," ucap Nugi. "Sariawan itu nggak enak."
Abel melepas bibirnya hingga Nugi tersenyum. Lelaki itu beranjak ke dapur. Abel buru-buru mengejarnya, tapi terlambat. Nugi sudah mencicipinya dengan ujung sendok.
"Ikannya matang," katanya. "Rasanya baik-baik aja. Apa yang kamu takutin, coba?"
"Nggak enak," tukas Abel. "Kemanisan."
"Nggak sampai parah. Kalau kamu masak lagi nantinya, kamu jadi tahu takaran gulanya. Ini udah bagus, Sabela." Lelaki itu mengusap perutnya dan menatap Abel. "Jadi, aku boleh makan, nggak?"
Lelaki itu menatapnya dengan sangat merana. Rambutnya awut-awutan. Wajahnya pucat dan matanya sayu. Abel jadi tidak tega.
"Kamu bilang begitu karena kamu baru demam sama kelaparan," ucap Abel memberikan satu piring padanya.
Nugi tertawa kecil. "Kalau gitu aku tunggu masakanmu pas aku sehat."
"No. Way," gumam Abel dengan wajah memanas. "Kalau nggak tahan, bilang. Jangan dipaksa."
Lelaki itu mengacak pelan rambut Abel. "Jangan rendah diri begitu. Aku bilang jujur, ini. Memang kemanisan, tapi belum sampai manis yang keterlaluan. Masih layak makan, sia-sia kalau dibuang, kan?"
Mereka duduk berhadapan di meja makan. Nugi langsung menyantapnya tanpa kata. Abel mengamati ekspresi Nugi, tapi tidak ada kernyitan atau apa pun yang menjadi tanda bahwa dia terganggu dengan masakan Abel. Padahal Abel tahu, lidahnya terbiasa dengan standar makanan yang jauh lebih lezat dibanding milik Abel. Lelaki itu menyelesaikan santapannya dengan cepat. Abel kira Nugi ke dapur untuk meletakkan piring di wastafel. Ternyata ia justru menambah satu porsi lagi dan kembali duduk di hadapan Abel yang belum selesai makan karena sibuk menilai ekspresi lelaki itu.
"Thank you," ucap Nugi akhirnya. Lelaki itu menyisihkan piringnya sambil menghela napas puas. Ia menatap Abel yang wajahnya merah padam, lalu mengacak rambut Abel. "Kapan terakhir kali aku makan segitu banyaknya? Sebagai gantinya, kamu mau dimasakin apa?"
Abel menggeleng singkat dan berkonsentrasi menghabiskan makanannya. Menggeram kecil, gadis itu meraih buku untuk menutupi wajahnya. Sebab kini Nugi justru memandanginya tanpa kata.
Nugi tersenyum tipis. Lelaki itu menumpukan dagu di atas lengannya yang terlipat, menunggu Abel selesai makan.
Jika demam membuatnya gila dan kacau, Nugi mau demam setiap hari saja. Agar rasa bersalah itu sedikit tumpul dan mengizinkan tubuhnya berlari menuju gadis ini, tanpa beban.
Nugi menghela napas dalam kala nyeri menyerang ulu hatinya. Sungguh permintaan yang sangat tidak tahu diri. Sejak kapan dia boleh punya harapan?
Tapi,
hari ini saja, saat ini saja, dia ingin menyerah.
Sebab, gadis ini mulai terasa seperti rumah.
===
"Dingin."
Nugi muncul sambil membawa peralatan mandinya. Dia selalu membawa baju cadangan dan peralatan mandi di mobil untuk jaga-jaga. Kalau malas pulang, dia sering mandi di Athlas, Comma atau pom bensin, katanya.
Lelaki itu sudah mengganti kausnya dengan kaus hitam berlengan pendek meskipun masih tetap melapisinya dengan hoodie yang tadi. Handuk menggantung di kepalanya yang basah.
"Kenapa rambutnya dibasahi?" tanya Abel cemas. "Kalau demamnya naik lagi gimana?"
Nugi menggeleng. "Surprisingly, it feels better. Baru lihat apa?"
Abel memperhatikannya beberapa saat, lalu menunjukkan layar laptopnya. "Aku baru tahu kalau gaunnya Kezia didesain sama Mbak Mita."
"Iya," gumam Nugi sambil mengusap rambutnya. "Ini katalog bulan depan?"
Abel mengangguk, lalu men-scroll dengan cepat halaman-halaman yang terpampang fotonya hingga Nugi melirik Abel.
"Bel, kamu takut cermin?"
Abel tertegun sejenak, lalu menggeleng. Air muka gadis itu berubah dengan cepat, dan ia menghindari tatapan Nugi. Sayangnya, Nugi tidak menyukainya.
Ia meraih dagu Abel, membuat gadis itu tidak bisa menoleh ke mana-mana selain terkunci dalam manik pekat itu. Lalu, Nugi melihat mata itu menatapnya dengan gemetar.
"Aku bukannya takut cermin," gumam Abel melepaskan diri. "Aku nggak suka dengan kenyataan kalau aku mirip sama...dia. Ibuku," gumam Abel pelan. "Wajah yang bikin Papa selalu ingat masa lalu, wajah yang dibenci setengah mati sama Mama dan Mbak Jani. Wajahku ini jelek, Gi. Wajah perempuan jahat. Aku nggak suka. Jadi buat apa aku lihat lama-lama?"
Bibir Abel gemetar kala mengingat seluruh perkataan Windu dan Mara.
"Aku pikir ini kutukan," bisik Abel tercekat. Ia menggigit bibirnya demi menahan sesak yang menggulung di dada. "Kenapa harus begini, iya, kan? Kenapa nggak lebih mirip Papa aja?"
Nugi memperhatikan Abel yang menatap ke layar laptop tanpa fokus. Nugi menunduk dan lalu menghela napas. Lelaki itu mengusap puncak kepala Abel.
"Hei, let's maka a deal," gumamnya hingga Abel menoleh. "Aku pasang cermin besar di sini, dan weekend nanti ke stadion. Sepuluh menit di depan cermin, dua jam di stadion."
Manik coklat gadis itu membulat karena terkejut. Tatapannya mencari-cari, namun Nugi hanya tersenyum. Ia mendekatkan wajah hingga handuknya terayun di sisi kepala.
"Gimana?" tanyanya. "Deal or never deal?"
Abel menggertakan gigi, lalu mengusap pipinya dengan kasar. "I hate you."
Nugi tidak bisa menahan senyum meskipun rasa takut itu mulai menyergapnya.
"Nggak ada yang salah dengan kamu, Bel. Eksistensimu, tubuhmu, wajahmu, itu nggak pernah jadi salahmu," gumam Nugi. "Kamu Sabela Nawandini, bukan ibumu. Ini milikmu, bukan wajah siapa pun selain kamu."
"Tapi Papa benci," gumam Abel gemetar. "Mama juga, Mbak Jani juga."
Nugi terdiam sesaat, lalu menyentuh pipinya. "It is their problem, then. The only one I know, I like your cheeks. Kamu punya lesung pipi yang aku suka. Itu manis."
Wajah Abel memadam seketika. Gadis itu menjauhkan badan Nugi. "Jangan banyak gerak. Nanti demammu naik lagi."
Nugi terkekeh. Bukannya menjauh, lelaki itu justru menarik Abel mendekat dan mencium dahinya.
"Jadi, deal or no deal?" ulang Nugi.
Abel terdiam sesaat. Gadis itu mendongak. "Sepuluh menit di depan cermin, Dua jam di stadion?"
Nugi mengangguk. Lelaki itu mencondongkan tubuhnya hingga Abel merayap ke belakang. "Butuh perjanjian bermaterai?"
Abel mendengkus lirih, lalu menggigiti bibirnya. "Deal."
"Good."
Abel berdecak kecil dan kembali mendorong Nugi. "Kamu masih demam, yang anteng."
Nugi terkekeh pelan, dan pipi Abel memanas lagi.
Tapi sungguh,
walaupun dia harus menghadapi cermin itu selama sepuluh menit, ketersediaan Nugi mencoba berdamai dengan traumanya adalah sebuah kemajuan.
"Kamu ngapain senyum-senyum sendiri?"
Abel menggeleng, dan Nugi mengerutkan kening. Hanya saja, semburat merah di pipi gadis itu tidak mungkin Nugi lewatkan.
Sesuatu mencabik Nugi ke dua sisi hingga Nugi berpaling. Ia meneguk ludah, merasakan teror yang mulai menyerangnya diam-diam. Mengapa pula dia berani bertaruh pada hal sebesar ini?
Karena,
Nugi mengawasi Abel dari samping. Karena Nugi tidak suka melihat raut sedih gadis itu.
*TBC*
Haaaiiiii...
Selamat pagi, selamat hari Rabu. Gigi Abel akan tetap update setiap hari Senin, Rabu dan Jumat sampai epilog. Lalu kemarin yang menanyakan ketersediaan novel Colour Palette, sekarang sudah ready yes. Untuk pemesanan bisa dm saia.
Untuk bab 42 hingga extra part juga sudah tersedia di Karyakarsa. Full ebook ada Nao? Ada, tersedia di Lontara yaa.
Sekian informasi untuk hari ini. Mari berjumpa hari Jumat. Please stay healthy, stay happy, stay safe yaaa. Selamat makan siaaang ❤️❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top