40 | Comma

"Mas Saka--JAHAT!"

Teriakan Nandini membuat Abel mendongak. Nandini berdiri di lorong dengan wajah berantakan. Saka melepas helmnya dan menatap marah pada Nandini.

"Ngapain ikut-ikutan si Jagad? Lo tahu dia kayak apa, kan? Bisa-bisa lo diajak ke klub terus dikasih minum yang bukan-bukan sama dia!" ucap Saka emosi.

"Bang Jagad cuma nawarin kerja di club, bukan yang--aneh-aneh. Aku udah punya surat perjanjian bermaterai." Nandini berbicara di tengah isakannya. "Aku butuh uang banyak, Bang. Semua tabunganku dicuri, laptopku dicuri, aku nggak bisa ngerjain proyek apa pun!"

"Lo bisa ke sini pinjem punya gue! Bukannya malah ngikutin Jagad!" sergah Saka. "Gue nggak percaya sama surat bermaterai kalau udah soal Jagad, Din. Dia punya rekam jejak gelap yang lo nggak tahu!"

Nandini menatap Saka dengan bibir gemetar, lalu memungut sepasang sandal hingga Saka waspada.

"Aku--butuh duit buat praktikum!" Nandini melempari Saka dengan sandal. "Aku ngumpulin itu udah lama. Itu juga--buat modal usaha Bapak--terus uangku dicuri gitu aja terus Mas Saka ngelarang aku buat kerja--Mas Saka JAHAT!"

Nandini melemparkan semua alas kaki dengan membabi buta sampai Abel mengangkat laptopnya.

"MAS SAKA JAHAT!" Nandini berjongkok dan menangis keras-keras hingga Alwa menyambanginya dengan cemas.

Abel baru akan melerai mereka berdua ketika Yasa muncul dan berkacak pinggang.

"Guys, stop!" Suara Yasa menggelegar. "Din, kapan-kapan tanya sama Rafa tentang Jagad. Saka benar, banyak yang nggak lo tahu tentang Jagad. Untuk sementara ini lo pakai laptop Dhalung dulu buat kerja. Dan lo, Ka...beli cheesetea dulu sana! Sekalian gue titip! Lo juga ngapain deh pakai emosi segala, ck!"

Saka berdecak pelan, lalu menghela napas dalam.

"Nandini kasih laptop, Yas. Gue beli cheesetea dulu," ucap Saka dengan suara yang lebih terkontrol. Ia berjalan ke depan, dan mengaduh lirih kala punggungnya terkena lemparan sandal.

"Udah, udah..." Yasa menghentikan Nandini. "Duduk situ bareng Alwa. Gue ambilin laptop dulu."

Yasa memberikan satu laptop lawas pada Nandini, lalu duduk di samping Abel.

"Tragedi kapal Sewol." Gumaman Yasa membuat Abel melepaskan tatapan dari Nandini. "Ngapain lo cari artikel tentang itu?"

"Gue cari-cari artikel tentang rasa bersalah, terus kebawa ke artikel tentang kapal Sewol," jawab Abel. "Beberapa orang yang selamat pilih bunuh diri. Menurutmu kenapa, Yas?"

Kening Yasa semakin mengerut. "Kenapa tiba-tiba ngebahas tentang hal beginian?"

"Tapi gue harus berhenti...karena gue nggak bisa. Gue nggak bisa--Demi Tuhan, gue yang udah bunuh Ganis, dan gue mau seneng-seneng gitu aja? Kurang jahat apa lagi gue? Kurang bajingan apa lagi--"

Mata Abel memanas. Selama hidupnya, Abel berteman akrab dengan rasa bersalah. Ia bahkan merasa sangat bersalah telah lahir ke dunia dan merusak keluarga Permadi. Dia juga merasa sangat bersalah jika Jani tidak bahagia.

Lalu, bagaimana dengan Nugi yang nyata-nyata kehilangan seseorang karena kesalahannya?

Ketika Nugi memeluknya sore itu, pada akhirnya Abel tahu setebal apa tembok yang memenjarakan pikiran Nugi. Sekuat apa pun Abel menariknya, semua usahanya akan sia-sia jika Nugi sudah berkata 'Itu nggak adil buat Ganis'. Gadis itu mati kutu, dan tidak mampu memberi argumen lainnya. Nugi seperti seseorang yang terperangkap dalam bola besi. Tebal, kuat, tanpa cela. Dia perlu usaha dan kesabaran ekstra demi memecah bola besi itu.

"Ternyata rasa bersalah bisa semengerikan ini," gumam Abel.

Yasa mengamati Abel dengan lekat. "Lo bener-bener aneh. Padahal ini masih pagi. Salah sarapan apa gimana?"

Gadis itu mengabaikan omongan ngawur Yasa, lalu kembali menghadap pekerjaannya. "Hal apa yang pernah bikin lo merasa sangat bersalah? Bikin lo benar-benar menyesal?"

"Lo ngapain tanya-tanya begitu?"

Abel menggeleng singkat. "Entahlah. Gue mungkin berusaha nyari referensi."

"Referensi?" bisik Yasa tidak percaya, tapi pada akhirnya ia justru mengusap dagu. "Kalau lo tanya gue tentang rasa bersalah, itu ada satu. Waktu SMA, gue perokok berat. Dan gue benci kalau ada orang yang negur gue, termasuk Rana. Tapi semuanya berhenti ketika Rana pingsan di kamar gue. Dia ngehirup aroma rokok yang udah menumpuk di kamar gue. Dia punya asma, dan gue terlalu menyepelekan itu."

Yasa berdeham. "Waktu lihat dia kesakitan di rumah sakit, dibunuh ayahnya Rana pun gue rela. Gue cuma bisa lihat dia kesulitan bernapas sementara gue nggak bisa ngelakuin apa-apa. Waktu itu gue berharap gue bisa ngegantiin dia. Biar gue aja yang sakit, Rana jangan. Yang jahat gue, kenapa dia yang menderita? Iya kan?"

Abel menelan ludah. "Lo udah lepas dari rasa bersalah itu?"

Yasa menggeleng. "Gue nggak akan pernah lupa rasanya. Tapi lo tahu Rana, kan? Dia bukan tipe cewek yang bakal ngelepasin lo begitu aja. Dia balas dendam sama gue, Bel. Gue dipaksa makan makanan pedas selama seminggu penuh sebelum maafin gue. Gue mencret-mencret dong. Tapi itu semua terbalaskan waktu dia bilang dia udah maafin gue. Walaupun dia masih sering ngungkit itu sebagai senjata setiap dia marah sama gue, gue terima. Asal dia bahagia dan nggak sakit lagi. Setiap lihat dia senyum, itu adalah momen dimana gue bisa memaafkan diri sendiri. Seolah-olah hati gue bilang, 'Thanks God dia bisa senyum, itu artinya dia masih bisa bahagia setelah rasa sakit yang gue kasih'."

Abel tergugu. "Jadi intinya, Rana kasih lo kesempatan buat menebus dosa. It makes you feel better."

Yasa tersenyum kecut. "Kalau gue jawab nggak, gue akan terdengar munafik. Jadi, ya. It does make me feel better.  Setiap kali manusia merasa bersalah, hal pertama yang akan dia lakukan adalah mencari pembelaan dan penebusan. Itu sifat natural manusia, Bel. Entah dengan cara meminta maaf, cari alibi, atau melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk orang yang sudah ia celakai."

Abel mengangguk meskipun bibirnya gemetar.

Iya. Yasa punya kesempatan untuk menebus dosa dan meminta maaf. Nugi pun memberikan Abel alasan ketika gadis itu menyalahkan diri sendiri. Benar kata Yasa, orang yang merasa bersalah akan berusaha mencari pembelaan atau penebusan.

Tapi, Nugi tidak bisa. Dia tidak bisa meminta maaf pada Ganis. Dia tidak bisa membuat Ganis bahagia sebagai bentuk penebusan dosa. Dia pun sulit memaafkan diri sendiri karena kesalahannya terlampau fatal. Jika pembelaan dan penebusan adalah jalan keluar dari rasa bersalah, maka Nugi kehilangan semuanya.

"Lo baru berantem sama pacar?" tanya Yasa. "Kalau emang salah, minta maaf sana! Merasa bersalah itu nggak enak, tahu."

Abel menggeleng. "Nggak, kok. Kami baik-baik aja."

Yasa mengangkat alis. "Jadi beneran yang dulu itu pacar lo? Kualat lo bilang dia cuma temen!"

Abel mendengkus, namun tidak menanggapi. Gadis itu membereskan barang-barangnya.

"Kemana?" tanya Yasa.

"Ketemu klien."

"Yah, Saka baru ngebeliin cheesetea, Bel."

"Buat lo aja," ucap Abel memakai flatshoes-nya. "Gue off dulu."

===

Benturan keras itu terdengar memekakkan hingga Nugi terbangun.

Matanya terbelalak, dan ia berkeringat banyak sekali. Lelaki itu menegakkan diri dan mengusap wajahnya dengan kasar.

"...udah pesan hotel buat Papa Mama. Jadi besok--"

Kalimat itu tidak pernah selesai. Sebab setelahnya, dentuman hebat menelan suara Ganis. Hal terakhir yang ia lihat adalah Ganis yang menatapnya dengan ekspresi terkejut. Tubuhnya berlumuran darah dengan binar mata yang meredup. Kehidupan mulai meninggalkannya dan Nugi tidak mampu melakukan apa pun.

Dia tidak bisa melakukan apa pun. Dia sudah mencelakakannya, dan Nugi tidak mampu melakukan apa-apa.

Nugi mengatupkan bibir erat-erat, berusaha bertahan dari rasa sakit yang menusuk setiap inci dagingnya. Tubuhnya gemetar, dan panas menjalar di bola mata. Lelaki itu menunduk dalam-dalam dengan napas yang memberat.

Masa depan, katanya? Masa depan memang milik siapa saja, tapi bukan miliknya. Bagaimana bisa dia bersenang-senang dan meniti harapan sementara hidup Ganis berhenti karenanya? Bagaimana bisa dia menepikan rasa bersalahnya sementara ada orangtua yang harus kehilangan puteri karena dia? Rasa bersalah ini adalah hukuman. Hukuman karena sudah melakukan sesuatu yang jahat. Luka itu akan terus ada bagi mereka, dan Nugi akan sangat tidak tahu diri jika berusaha melenyapkan rasa bersalah itu.

Semua orang memintanya berhenti untuk menghukum diri sendiri, semua orang memintanya untuk melanjutkan hidup agar dia tidak lagi tersiksa. Semuanya berkata begitu, tapi tidak ada satu orang pun, tidak ada satu kalimat pun yang mampu menyentuh sedikit saja beban yang Nugi rasakan.

Lagipula, apa salahnya jika dia berhenti? Apa salahnya jika dia tidak punya masa depan? Siapa yang akan rugi jika dia menjalani hidup seperti ini?

Prang!

Nugi menghela napas dalam-dalam, lalu menoleh ke arah dapur melalui kaca yang tembus pandang. Seorang barista sedang memunguti serpihan cangkir yang berserakan di lantai.

"Kesenggol Nora tadi!"

"Kan gue nggak sengaja!" bisik yang lain tidak terima. "Pesanan banyak banget jam-jam segini--"

Nugi meraih apronnya dan masuk ke dapur, membuat para pegawai itu melirihkan suara dan menatapnya dengan takut-takut.

"Nggak papa, dibersihin yang bener," Nugi mengambil satu lembar daftar pesanan. "Nggak usah panik. Dapur kita open kitchen. Nggak etis kalau tamu lihat kita kerja nggak sistematis. Satu persatu. Satu.persatu, paham?"

Semuanya mengangguk. Nugi memakai masker dan mulai meracik pesanan di tangannya. Lelaki itu baru saja menyiapkan adonan ketika seseorang menarik perhatiannya.

Gadis itu memakai kaus putih polos yang terlapisi kemeja jeans siang ini. Kakinya yang terbalut celana jeans biru saling bertumpu di bawah meja bundar itu. Ia duduk di dekat pintu masuk sehingga bermandi sinar matahari. Tangannya menyila rambut ke belakang telinga, lantas membaca layar ponselnya dengan fokus.

Nugi mencari-cari lembar pesanan atas nama Sabela Nawandini.

"Tropical mille feuille, sandwich toast spicy bulgogi, iced americano," gumam Nugi sebelum menyimpannya di saku.

Dapur Comma begitu sibuk siang ini, dan Nugi tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Lelaki itu selesai membuat beberapa porsi mille feuille, lalu meraih sebuah baki. Di sana, ia menata satu-persatu pesanan Abel.

Lelaki itu hampir saja memberikan baki pada si pelayan sebelum matanya menangkap sesuatu.

"Sebentar." Nugi kembali meletakkan bakinya. Ia meraih kertas dan pulpen, lalu menuliskan sesuatu.

"Pindah ke meja 16? Kita makan bareng?"

"Dih!" Si pelayan mengernyit. "Mas Nugi ikut-ikutan yang baru ngetren itu, ya? Ninggalin pesan ke sembarang orang. Ati-ati lho, Mas. Siapa tahu dia istri orang!"

Nugi tertawa. Ia meletakkan satu porsi classic mille feuille dan satu lagi iced americano di baki. "Tolong antar ke dia."

"Pokoknya aku nggak ikut-ikutan!" tukas si pelayan sebelum melenggang keluar.

Seseorang menyenggol bahu Nugi. "Dia Mbak Sabela itu, kan? Yang Abang masakin fish and chips di Athlas? Bentuk rambutnya sama kayak yang di CCTV."

Nugi mendengkus geli. "Kerja sana."

Pemuda tadi mencibir, namun kembali menghadap oven.

Nugi mengawasi Abel yang tersenyum ketika pesanannya datang. Gadis itu membaca pesan, dan menoleh ke dapur. Manik matanya mencari-cari sejenak sebelum bertemu dengan Nugi. Nugi menunjuk meja 16 dan mengangkat alis. Abel menoleh sebentar, lalu menggeleng sambil tersenyum canggung.

"Panas," ucap Nugi tanpa suara.

Gadis itu hanya terkekeh dan mengangkat jempolnya.

Nugi menghela napas dalam. Ia tidak bisa meninggalkan dapur saat ini. Lelaki itu mengawasi dua orang yang duduk tidak jauh dari Abel, berharap mereka tidak berbuat onar meskipun kelihatannya mereka sedang beradu pendapat.

Nugi kembali menyelesaikan pesanan satu persatu sambil mengawasi kinerja anak-anak yang lain. Lalu ketika aktivitas dapur mulai melonggar, Ia segera melepas apronnya dan menyambangi meja Abel.

"Selesai?" tanya Abel ketika Nugi sampai di sana.

"Iya. Pindah, ya? Di sini panas," pinta Nugi.

"Nggak papa. Susah cari meja yang kosong. Padat gini," gumam Abel kembali menyeruput minumannya.

Nugi menghela napas panjang, lelaki itu memandang pantulan dirinya pada cermin yang dipasang di sepanjang dinding. Lalu, ia menyadari sesuatu. Meja 16 berada tepat di samping cermin besar itu. Dan Nugi juga ingat jika Abel menghindari cermin sewaktu Mita memasangkan hairpin untuknya.

"Kita pindah ke sana," kata Nugi. "Meja 5, sekarang udah kosong. Mau?"

Abel ikut menoleh, lalu mengangguk.

"Bagus!" Nugi mengangkat baki dan berjalan menuju meja lima yang berada di tengah ruangan. "Di sini nggak panas."

Abel duduk di hadapan Nugi. "Tadi aku nunggu beberapa menit baru dapat meja. Lihat ini, nama Comma memang cocok sama tempatnya. Tempat orang-orang memberi jeda, memberi comma, di tengah kegiatan padat mereka. Konsep kalian hebat banget."

"Kamu juga ikut andil di sini, Bel. Please take time to praise yourself."

Abel tersenyum. "Terima kasih. Tapi kayaknya aku salah waktu. Kafenya penuh."

"Sayangnya, iya. Kamu bukan satu-satunya orang yang kelaparan, Sabela," ucap Nugi. "Tapi kita selalu bisa makan di dalam. Mau di dalam aja?"

Abel menggeleng singkat, dan Nugi tertawa. Dia tahu gadis itu tidak akan menerima tawarannya dengan mudah.

"Nggak ngabarin kalau mau ke sini," kata Nugi.

Abel mengangkat bahu. "Pertama, aku nggak yakin kamu di sini atau di Athlas. Kedua, aku nggak mau ganggu kalau-kalau kamu baru sibuk banget."

"Yang kedua," ucap Nugi. "Baru aja selesai."

"Iya. Kamu kelihatan sibuk banget tadi."

Nugi tersenyum. "Ini pertama kalinya kamu ke Comma, kan?"

Abel mengangguk. "Barusan dapat klien di daerah sini, jadi sekalian mampir--"

Prang!

Nugi memejamkan mata dan menoleh ke arah sumber suara dengan wajah tidak percaya.

"Lagi?" celetuknya. "Ini cangkir ke tiga yang pecah hari ini."

Namun Abel memperhatikan hal lain.

"Jangan terlalu manja, Ra. Kamu tinggal mematuhi saran Mama, apa susahnya?"

Raut marah Arvin masih sangat Abel kenali. Arvin tidak pernah marah dengan nada tinggi, namun kalimat dan ekspresi wajahnya sudah cukup membuat siapa saja merasa tidak nyaman. Lelaki itu mengumpulkan pecahan cangkir dengan tangannya, lalu menatap Indira dengan dingin.

"Aku balik kerja."

Arvin keluar dengan cepat, meninggalkan Indira yang menunduk dalam-dalam dengan pundak yang berguncang pelan.

"Sabela, hei."

Suara Nugi menyadarkan Abel. Gadis itu menoleh ke arah Nugi dengan cepat, lalu menelan ludah.

Lelaki itu mendorong kue ke arahnya. "Dimakan."

Abel mengangguk canggung dan menyesap iced americano-nya banyak-banyak. Ia benar-benar mencegah dirinya menoleh ke Indira yang kini menjadi obyek bisik-bisik pengunjung. Dulu, dia pernah ada di posisi itu. Rasanya sangat tidak nyaman. Menyesakkan dan membuat Abel ingin segera pergi dari tatapan mata-mata yang penasaran.

Abel mengerutkan kening, lalu mengangkat gelasnya yang kosong.

Nugi mendorong miliknya yang belum tersentuh. "Nih. Makan dulu, tapi. Nanti perutmu sakit."

"Tapi--"

"Dho!" Nugi memanggil seorang pelayan yang melintas tidak jauh dari mereka.

Si pelayan berwajah datar itu menyambangi mereka. Ia melirik Abel sekilas, lalu bertanya, "Kenapa, Bang?"

"Bawain Iced americano satu lagi, ya."

"Ululuu minumannya cama. Canda. Halo kakak cantik pacarnya Bang Nugi, saya Ridho." Si pelayan berdeham. "Satu iced americano. Silakan ambil sendiri, Bang. Canda. Tunggu sebentar ya. "

Nugi mendengkus kala punggung pelayan itu menjauh, sementara Abel mengangkat alis.

"Jangan kaget. Namamu udah dikenal anak-anak Athlas sejak fish and chips waktu itu. Beberapa anak Comma jadi ikut penasaran."

"Oh..." Abel tertawa kecil. "Mereka nggak takut sama kamu."

"Sayangnya, nggak." Nugi mengiris kuenya sendiri. "Kamu udah berani beli makanan di luar?"

Abel menggeleng. "Baru Athlas sama Comma. Yang lain belum berani."

"Kalau tempat itu bersih, nggak banyak lalat, ada tempat untuk cuci tangan dan jauh dari polusi, kemungkinan besar dia aman. Apalagi kalau open kitchen begini, kamu lebih tahu prosesnya."

"Atau bawa bekal."

"Atau bawa bekal," ulang Nugi setuju. "Gimana proyek tadi? Kali ini bikin apa?"

Abel mengangkat bahu. "Batal."

Nugi mengerutkan kening. "Kenapa?"

"Salah satu klinik kecantikan, tapi dia nawar harganya keterlaluan." Abel tersenyum kecut. "Bukan pertama kali, sebenarnya. Desainer grafis di Indonesia masih dipandang rendah. Dia minta harga rendah untuk visual identity, plus website. Deadline satu minggu, aku nggak bisa."

Nugi mengamatinya sesaat, lalu mengangguk. "Kamu nggak kehilangan apa-apa."

Abel tersenyum tipis. "Habis ini mau ke penginapan. Tahu penginapan yang baru dibangun di dekat waterboom itu?"

"Hm. Semoga klienmu waras kali ini."

Abel mendengkus geli. "Thank you. Habis ini ada acara apa?"

"Masih di sini, ngawasin anak-anak. Merci, Dho," ucap Nugi kala pesanannya datang. "Gimana? Suka?"

"Ini enak." Abel kembali mengiris kue rasa mangga yang juga bertabur potongan mangga itu. "Di Athlas nggak ada ini, ya?"

Nugi menggeleng sambil tersenyum tipis. Ia menyodorkan kue miliknya. "Mau nyoba yang classic?"

"Boleh?"

"Sekalian nyicipin ini biar nggak penasaran," ucap Nugi. "Kamu tadi pesan ini juga tapi dicoret, kenapa?"

"Oh...tadinya mau pesan ini juga tapi udah kebanyakan."

"Dan pilih yang tropical."

"Hm. Nggak terlalu suka makanan manis, jadi lebih pilih kue yang dicampur buah atau isian daging."Abel mencicipi kue milik Nugi. "Tapi ini juga enak."

Nugi menatap Abel dalam diam, sementara ingatannya memutar memori yang hampir sama.

"Setuju. aku suka mille-feuille yang kamu buat. Tapi jangan dikasih buah-buahan, Gi. Rasa asamnya bikin ganggu lidah."

"Jadi, suka yang mana?"

"Dua-duanya enak. Tapi karena kamu tanya pendapat pribadi, aku lebih suka yang pakai buah. Lebih segar aja gitu. Di mulut nggak melulu rasa manis. Apalagi mangga begini, ini enak banget," ucap Abel. "Ini resepmu? Kamu suka yang mana?"

Nugi mengangkat bahu. "Suka semuanya."

"Hm...iya juga. Kalau kamu nggak suka, kamu nggak akan bisa bikin kue seenak ini." Abel kembali mengiris kuenya. "Jadi jangan berhenti. Banyak orang yang suka masakanmu."

Gadis itu mengatakannya dengan nada biasa, namun Nugi tidak bisa melewatkan getar samar di bibirnya. Lelaki itu tertegun sejenak, lalu memotong kuenya sendiri.

Keheningan melanda selama beberapa saat. Abel memperhatikan Nugi yang masih menunduk, kemudian berdeham.

"Ngomong-ngomong, weekend ke stadion, yuk?"

Nugi mengangkat wajah, kemudian tersenyum tipis. Ia mengulurkan tangan untuk merapikan rambut Abel.

"Kapan-kapan aja."

Abel menatap manik kelam itu beberapa saat, lalu mengangguk meskipun hatinya memberat. Gadis itu teringat ekspresi Nugi saat Abel mengajaknya latihan di stadion beberapa sore lalu, ekspresinya sama dengan saat ini.

"Oke. Kapan-kapan," ucap Abel berusaha bersikap biasa. "Ngomong-ngomong, tanganmu agak hangat. Kamu demam lagi?"

"Masa?" Nugi mengerutkan kening. "Nggak kerasa apa-apa."

Abel menatapnya sejenak, lalu meletakkan beberapa potongan mangga di piringnya.

"Makan buah yang banyak," gumamnya. "Biar sehat."

Nugi mengamati Abel yang sibuk memindahkan beberapa potong mangga ke piringnya, lalu tersenyum samar. Gadis ini terasa hangat. Begitu hangat sampai-sampai rasanya menyakitkan.

===

"Habis dari penginapan, terus kemana?" tanya Nugi kala mengantar gadis itu ke parkir motor.

"Abel menggeleng. "Pulang. Deadline numpuk."

Gadis itu berjalan menuju motor, lalu berhenti ketika Nugi meraih ujung bajunya.

"Kenapa, Gi?"

Manik pekat itu menatapnya dalam diam, lalu mencium singkat dahi gadis itu.

"Hati-hati," gumamnya pelan.

Tapi Abel justru mengerutkan kening. "Kamu demam, Gi. Aku beliin obat, ya?"

"Nggak perlu. Mungkin cuma kurang makan," sahut Nugi ringan hingga Abel mendengkus. Nugi tertawa pelan kala wajah gadis itu justru terlihat menggemaskan. Dengan tawa yang tersisa di ujung bibir, ia merapikan poni Abel yang tersibak angin.  "Pulang. Hati-hati di jalan."

*TBC*






Haiii,

selamat pagi sayang-sayangku.

Please stay safe, stay happy, stay healthy. See you when I see you, my dear.

I luv yuuu

❤️❤️❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top