4 | Si Lelaki Ber-hoodie
Sambil menyalakan laptop, Abel mengeringkan rambutnya. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari. Namun demi bisa membangun komunikasi dua arah secara langsung dengan klien, Abel akan meladeni mereka pada jam-jam seperti ini.
Nanti Nathan kena tulah.
Gadis berkamisol merah jambu itu tersenyum kecut. Calvin bukan satu-satunya orang yang berpikiran seperti itu. Abel yakin, sepupu-sepupunya, bibi dan paman-pamannya pun akan berpikir hal yang sama. Abel bahkan yakin jika Mara dan Jani pun berpikiran demikian. Mereka tidak akan pernah ambil pusing untuk mencari tahu hal yang sebenarnya.
Untuk apa pula? Tidak ada yang perlu diperhatikan dari anak yang lahir dari perbuatan terlarang seperti dirinya. Kehadiran Abel laksana duri dalam daging. Dengan ada di dunia saja, ia sudah menyakiti Mira, menyakiti Jani, menyakiti keluarga besar Permadi.
Windu Laksmana Permadi memulai usaha konveksi ketika masih muda. Lalu, memutuskan menikahi Damara Bhanuwati, gadis cerdas dan penuh semangat yang menjadi sekretarisnya kala itu. Setelah menjadi istri Windu, Mara mengabdikan diri pada suami dan perusahaan. Berdua, mereka membawa perusahaan mencapai masa kejayaan. Bisnisnya mulai menggurita dan merambah pasar ekspor. Nama Permadi semakin besar. Namun kesuksesan itu, ternyata menumbuhkan sifat lain dalam diri Windu. Lelaki itu mulai tinggi hati, terlena dan melupa.
Lagi, pria itu terjerat pesona salah satu pegawainya. Perempuan polos anak kepala desa, katanya. Lemah lembut dan penurut, berkebalikan dengan watak keras kepala Mara, katanya. Bara itu mampu tersembunyi rapi untuk beberapa waktu, hingga keduanya bermain terlalu jauh, dan bara itu menyambar bagai lautan api di tengah keluarga Permadi. Si dia datang dengan janin di dalam rahim, memohon pada Windu untuk menikahinya, mengiba pada Mara untuk mengizinkannya menjadi yang kedua.
Alih-alih menyangkal, Windu menerimanya. Sebab, si dia sudah jadi pemilik hatinya. Windu yakin tidak mampu hidup tanpanya.
Namun Damara Bhanuwati, menolaknya. Berdiri di atas sisa hati yang telah mati, Mara memilih pergi. Banyak orang yang menyayangkan keputusannya. Sebab, mana bisa Mara hidup tanpa topangan dari Windu, si pengusaha kaya? Terima nasib saja, walau bagaimanapun, menjadi yang pertama akan selalu dibela. Namun Mara tetap pergi demi harga diri. Windu membiarkan Mara pergi bersama Jani, mengibarkan tantangan pada Mara bahwa Damara Bhanuwati tidak akan bisa hidup tanpa Windu Laksmana.
Namun kesombongan itu tidak bertahan lama. Di tengah bara kebencian yang selalu terjaga, Mara berusaha bangkit. Sebagai janda dari Permadi, Mara mengenal banyak orang penting. Mara memanfaatkan koneksi-koneksinya sebagai modal untuk membuka usaha. Empat tahun kemudian, Damara Bhanuwati mulai dikenal lewat butik-butiknya. Koleksi gaun, baju, tas tangan, dan pernak-pernik perempuan, banyak digemari anak muda hingga kalangan sosialita. Desain-desainnya berselera tinggi dan berkelas. Berkat tangan dingin Mara, beberapa produknya mampu menembus pasar luar negeri.
Berbeda dengan Mara, Windu agaknya menelan balik kata-katanya. Sebab sepeninggal Mara, beban menjalankan perusahaan menjadi semakin berat. Sesuatu yang sangat enggan Windu akui, Mara adalah separuh nyawanya di perusahaan ini. Windu terlambat menyadari, jika selama ini mereka selalu berpikir berdua, mencari solusi berdua, mendobrak batas-batas berdua. Rekan kerja silih berganti, namun tidak ada yang bisa menyamai Mara. Kata-kata tenang nan lembut dari dia perlahan kehilangan kekuatan ketika solusi tak kunjung tiba. Windu butuh jalan keluar, bukan kata-kata lembut nan kosong yang hanya menyuruhnya bersabar dan bersyukur saja.
Usaha Windu mulai mengalami penurunan kualitas. Para investor mulai meninggalkannya, pemasukan menurun, beberapa pabrik mulai tutup, PHK terjadi secara besar-besaran, tuntutan pekerja akan gaji yang belum ditunaikan sempat menyeret Windu untuk berurusan dengan Kementrian Ketenagakerjaan, beberapa asetnya disita untuk menutupi kerugian. Windu Laksmana, menelan seluruh kesombongan dan memulai dari awal lagi. Windu menguatkan diri. Masa-masa sulit ini bukan yang pertama kali.
Namun agaknya ia lupa, jika wanita yang bersamanya kini bukanlah Mara.
Setelah berminggu-minggu sibuk meninjau ulang pabrik dan memikirkan pembaharuan produk, Windu pulang hanya untuk menemukan sang istri telah tergantung di langit-langit kamar, sementara di kasur, tergolek balita yang hampir mati kelaparan.
Si dia hanya meninggalkan pesan singkat bahwa, dia tidak tahan lagi dengan gunjingan tetangga. Dia tidak tahan dengan hidup seperti ini. Dia tidak tahan dengan sikap Windu yang tidak pernah lagi mementingkan keluarga. Dan di akhir kalimat, dia yakin Windu berubah karena menemukan wanita lain.
Hanya itu.
Sesuatu yang tidak akan pernah Mara jadikan alasan untuk menyerah.
Kehilangan si dia menghancurkan Windu hingga ke tulang. Windu ditinggal sendiri untuk menghadapi tuntutan-tuntutan pegawainya. Windu ditinggal sendiri untuk menghadapi dunia yang kini berbalik menginjaknya.
Dalam keputusasaan Windu, Mara kembali datang.
"Nikahi aku, dan aku selamatkan kamu."
Singkat kata, Windu menikahinya.
Demi menyelamatkan perusahaan, ribuan nasib pekerja dan harga dirinya, lelaki itu kembali menikahi Mara.
Bersama Mara, Windu merancang kembali perusahaannya. Bersama Mara, satu persatu masalah berhasil diselesaikannya. Perlahan tapi pasti, kejayaan perusahaan itu kembali.
Namun, wanita itu kembali bukan atas dasar cinta. Dan dia, juga tidak mengemis kasih dari Windu. Mara kembali karena dendam yang memang ia jaga agar tetap membara. Ada sesuatu yang berubah di hati. Kasih putih yang pernah ada di sana, kini berubah sehitam jelaga. Mara kembali untuk menghukum Permadi karena telah berani mengkhianatinya.
Perlahan tapi pasti, dia memenjarakan Windu dalam hutang budi. Satu persatu aset atas nama Permadi, telah berganti menjadi namanya ataupun nama Jani. Selembut sutera, Mara membentuk opini tentang istri tua yang berbaik hati pada mantan suami yang mendapat karma. Simpati demi simpati Mara nikmati di balik topeng welas asihnya. Opini itu berhembus mulus di setiap orang yang mengenal Permadi. Menyebut Windu sebagai kacang lupa kulitnya, menyebut Mara sebagai perempuan kuat dan berhati baja, menyebut Abel sebagai anak haram yang beruntung bertemu Mara. Kasak kusuk itu membumbung setiap melihat Windu, mencabik harga dirinya, mematikan kepercayaan dirinya.
Perlahan tapi pasti, Windu tertelanjangi.
Mara menikmati harga diri Windu yang mati di bawah kakinya. Ketidakberdayaan Windu adalah kemenangannya, dan Mara tidak tergesa-gesa dalam merayakan itu. Ia menguliti Windu selapis demi selapis, memastikan Windu menyesal telah pernah meninggalkannya. Dan Windu, akan melakukan apapun agar Mara tidak pergi dari sisinya. Termasuk mengikuti permainan Mara untuk mengasingkan Abel, anak kandungnya sendiri.
"Aku bukan perempuan lemah lembut seperti dia, Windu. Bukan pula wanita penurut seperti dia. Aku adalah Mara, si perempuan yang harus menjadi kuat agar bisa berjalan di sampingmu, mendukungmu. Maka jika hidupmu jadi berantakan, itu karena kamu kehilangan satu pilarmu. Yaitu aku."
Setiap hari selama Abel masih tinggal di sana, Mara mengatakan itu pada Windu. Lewat itu pula, sejak awal Mara memastikan Abel tahu bahwa ia telah salah lahir di dunia.
Bagi Mara, Abel adalah hantu. Dia memelihara Abel dan memastikan Abel tetap hidup, namun hanya sebatas itu. Abel adalah simbol ketidaksetiaan Windu yang harus tetap ada, demi menjaga dendam Mara tetap membara. Abel adalah jembatan Mara untuk memenjarakan Windu dalam hutang budi, sandera Mara demi mencegah Windu memaafkan diri sendiri.
Mara memastikan bahwa ia menciptakan neraka bagi Windu dan si anak tanpa ibu.
Mara tidak pernah berbicara padanya, tidak pernah memperdulikannya. Sejak tinggal di rumah putih itu, Abel selalu diasuh oleh asisten-asisten rumah tangga. Dia dipersilahkan bergabung di meja makan, namun tidak pernah disapa. Dia dipersilahkan menonton televisi di ruang keluarga, namun tidak pernah diajak bicara. Seperti itu selama bertahun-tahun.
Padahal Abel juga mau dipuji karena mendapat nilai tinggi dalam ulangan, namun itu hanya berakhir dalam angan. Abel juga pernah ingin diajari memasak. Menghabiskan waktu berdua di dapur seperti Mara dan Jani, diberitahu nama bumbu-bumbu masak dan teknik memasak yang benar hingga bisa terhidang dengan lezat. Abel juga pernah ingin dipeluk ketika teman sebaya menjahatinya, ingin ditimang dengan kata-kata menenangkan seperti Jani. Namun lagi, hal itu hanyalah sia-sia.
Bukan berarti Abel tidak pernah berusaha. Abel kecil selalu meniru Jani. Berharap dengan naif bahwa Mara dan Windu akan memperhatikannya jika Abel mampu mencapai segalanya yang pernah dicapai Jani.
Mara menyiksanya dengan rasa iri dan haus kasih sayang. Hal baru itu, berhasil menyakiti Abel hingga ke sum-sum tulang.
Abel mengerjap kala tengkuknya terasa dingin. Rambutnya sudah kering entah sejak kapan. Gadis itu membuka pekerjaannya, dan mengirim pesan pada sang klien.
===
Rumah, kafe, basecamp dan perpustakaan kota, adalah tempat-tempat yang biasa Abel jadikan sebagai kantor. Jika sedang jenuh di rumah, ia bisa mengerjakan proyeknya sembari menikmati secangkir kopi di kafe dengan pemandangan lereng gunung, atau ia bisa duduk diam seharian di perpustakaan kota.
Sebagai full time freelancer, pekerjaannya tidak terikat pada tempat. Dia bahkan bisa membuat kesepakatan kontrak ketika ia sedang berbelanja. Namun kerja mandiri seperti ini, sangat menuntut kedisiplinan tingkat tinggi. Tidak akan ada atasan yang membatasi ruang gerakmu, tidak akan ada aturan jam kerja yang membatasi waktumu. Hal itu, bisa menjadi bumerang jika Abel tidak membuat jadwal dan berkomitmen mematuhinya setiap waktu. Teledor sedikit, ia bisa terlena dengan waktu tanpa batas yang sebenarnya semu. Untunglah setelah delapan tahun berkecimpung di Madda, Abel sudah mahir membagi waktu kapan dirinya harus bekerja, me time, dan quality time bersama Arvin.
Terkadang manusia lupa jika dirinya adalah pemegang kuasa atas waktu yang dipunya.
Singkat kata, menjadi freelancer tidak sesantai yang dipikirkan banyak orang. Seperti sore ini, meskipun ia memakai kemeja flanel kasual dan sneakers dengan segelas jus lemon di hadapannya, otaknya sedang berdesing cepat demi merancang logo sempurna untuk kliennya.
"Sabela."
Suara itu membuat tengkuknya merinding. Fokus yang sejak tadi terbangun, kini runtuh berantakan oleh dentuman kencang jantungnya.
Lelaki berusia tiga puluh tahun itu tampak rapi dengan jasnya. Ia mengamati Abel dengan tatapan sebelum duduk di hadapan Abel.
"Kenapa kamu keluar tanpa bicara dulu dengan saya?" tanyanya kalem sambil meraih buku menu. "Kamu tidak tahu betapa susahnya saya menemukan kamu. Kita punya hal yang belum diselesaikan. Bukan begitu?"
Jemari Abel terkepal erat di atas meja. Seluruh rasa benci dan sakit hati itu kini menyeruak tak terbendung. Secepat kilat, gadis itu mengemasi barangnya.
"Pergi saja," ucapnya tenang tanpa menatap Abel. "Saya yakin saya bisa menemukan kamu."
Abel tidak menggubrisnya. Ia berlalu secepat mungkin tanpa meninggalkan sikap normal.
Dia hanya tidak mau Alan tahu jika lelaki itu berhasil mengintimidasi Abel dengan kehadirannya. Walaupun, kenangan buruk akan lelaki itu tidak akan pernah bisa Abel hilangkan.
Alan adalah atasannya ketika Abel masih bekerja di perusahaan konsultan keuangan. Kantor ini adalah kantornya yang kedua, setelah ia keluar dari perusahaan pertama karena tingkah bejat atasan yang nyata-nyata mengajak Abel tidur bersama.
Abel kira, perusahaan yang baru akan menawarkan sebuah kenyamanan baru. Namun nyatanya sama. Entah dari mana, rumor Abel tidur dengan mantan atasan di kantor lama merebak di kalangan koleganya. Kasak-kusuk sebagai anak haram keluarga Permadi selalu dikaitkan dengan dirinya sebagai wanita nakal. Bisik-bisik selalu menemani kemanapun Abel melangkah.
Puncaknya, Alan memanggil Abel ke ruangannya pada suatu siang. Abel mengira hanya panggilan biasa. Tidak pernah terbayang dalam pikirannya jika Alan akan menawarinya menjadi wanita simpanan.
"Kenapa? Bukankah ini biasa bagi kamu?" ucapnya saat itu setelah Abel menamparnya karena berusaha mencium paksa. "Kamu sudah terbiasa bermain dengan bosmu yang lama. Kenapa tidak dengan saya?"
Itu, adalah hari terakhir Abel bekerja di sana.
"Abel?"
Abel mendongak, lalu mendapati beberapa mantan koleganya berdiri terkejut di hadapannya.
"Ah...ketemu Pak Alan, rupanya..." gumam salah satu dari mereka sambil tersenyum tipis.
"Gue kira lo putus hubungan. Ternyata selama ini tetep lanjut, ya?" Rini menyambung sambil menepuk pundak Abel.
"Gue duluan," gumam Abel menunduk, nyaris berlari menuju tempat parkir.
Untung saja ia memilih kafe yang jauh dari rumahnya. Hal terakhir yang ia inginkan adalah, Alan mengetahui tempat tinggalnya. Abel hanya ingin hidup tenang, sungguh. Sepanjang hidupnya, dia sudah sering mendapat teror dan gunjingan yang bahkan tidak pernah ia lakukan.
Abel menenangkan diri di samping motornya, lalu memeriksa jam tangan. Lebih baik, dia segera pulang sebelum bersiap-siap pergi ke Athlas.
===
Abel memeriksa pesan dari Irham beberapa kali demi memastikan dirinya tidak salah meja. Sebab, cukup mencengangkan ketika melihat pemilik kafé tertidur di cafenya sendiri dengan sebuah gigbag gitar tersandar di lutut. Irham tertidur dengan tangan terlipat di bawah pipi. Wajahnya tertutupi hoddie jaket berwarna kelabu, sementara punggungnya tampak naik turun dengan lembut dan teratur.
Sepelan mungkin, Abel duduk di hadapannya. Gadis itu mengeluarkan laptop dan notes, memutuskan untuk mengerjakan proyek yang lain seraya menunggu sang klien terbangun dari tidur.
Hingga beberapa menit kemudian, pesan muncul atas nama Irham Mandala.
"Sorry, Bel. So sorry, saya nggak bisa ikut malam ini. Saya perlu antar anak saya ke RS. Harusnya teman saya sudah di sana, well...untuk malam ini, urusan sama dia dulu, ya. Jangan khawatir, dia bisa dipercaya. My apologize, Sabela."
Tentu saja, Abel melotot.
Terus yang di depan ini siapa?
Tubuh di hadapannya bergerak, membuat Abel memasang sikap siaga.
"Oh...udah di sini?" Celetukan sarat rasa malas itu mengagetkan Abel. Si pemuda yang ada di hadapan Abel itu kini terbangun, namun setengah wajahnya masih tertutupi oleh hoddie. Ia menempelkan ponsel di telinganya seraya menggaruk kepala. "Udah gue bilang bawa Talita ke RS dari tadi siang, kan. Iya, nggak masalah. Urusin keponakan gue, urusan sini biar gue yang handle. Yo."
Lelaki itu menegakkan badan.
"Maaf. Talita memang panas sejak tadi pagi. Tapi Manda bilang kalau malam ini ada janji temu sama seseorang," ucapnya membuka hoodie-nya. "Saya partner Manda, jadi--"
Kalimat yang terputus membuat Abel mengangkat kepala, mengharuskannya berhadapan dengan manik mata sekelam malam. Dan begitu saja, seberkas memori masa lalu membombardirnya bagai rentetan peluru.
Lalu, lelaki itu tersenyum canggung. "Hai, Bel."
*TBC*
Udah macho-macho dikasih nama Irham Mandala, eh dipanggil Manda 😤😤
Happy friday my dear. Please, be happy ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top