39 | Brownies Siang Hari
"Kenapa, Mbak?"
Pada akhirnya, Abel bertanya pada Mita yang selalu mencuri pandang padanya sejak tadi. Ibu muda itu mengangkat semangkuk sup ke meja makan, kemudian memandang Abel yang meletakkan lauk pauk di meja.
"Mbak takut. Kata dokter kami harus mewanti-wanti adanya gejala PTSD. Kamu setenang ini, Mbak takut sebenarnya kamu merasa sesuatu tapi kamu tahan, Bel," ucapnya cemas.
"Oh, itu," gumam Abel. "Aku beneran nggak papa, Mbak."
"Beneran? Kalau masih nggak nyaman, kita perlu ngomong sama Raka. Siapa tahu nanti bisa ditunda," ucap Mita lekat-lekat.
Abel menggeleng. "Lebih cepat lebih baik."
Mita menghembuskan napas lelah, namun ia membelai lengan Abel. "Mbak juga di sana. Ada Nugi dan Mas Manda juga. Kami semua di sana. Dan kamu benar, lebih cepat lebih baik."
Wanita itu tersenyum lembut dan kembali ke dapur. Nanti sore, akan dilaksanakan rekonstruksi kejadian di rumahnya. Kata Raka, Alan menolak. Tapi tidak masalah. Semua bukti sudah kuat dengan adanya sidik jari Alan di mana-mana. Mereka hanya perlu satu dua hal lagi untuk memperlengkap bukti.
Bicara tentang trauma, satu-satunya hal yang mengganggu dari kejadian itu adalah kemunculan orang yang tiba-tiba. Abel belum bisa mendapat kejutan. Mendengar langkah kaki saja dia bisa begitu ketakutan.
Tapi tentang apa yang terjadi di dalam kamar itu, Abel tidak bisa mengingatnya dengan baik. Seluruh inderanya tidak bekerja dengan normal, fokusnya teraduk-aduk, dan memorinya terpotong-potong. Belum lagi monster yang mengamuk di dalam tubuhnya kala itu, membuat Abel benar-benar kewalahan dan tidak mampu mengawasi gerak-gerik Alan. Tahu-tahu saja, ia sudah berada di rumah sakit.
Sejujurnya, itu justru hal baik. Dia tahu dia pasti akan jauh lebih ketakutan daripada sekarang jika dia bisa mengingat setiap detail kejadian itu.
"Nugi mana?" tanya Mita yang sudah melepas apronnya. "Udah pulang, kan?"
Abel mengangguk. "Tadi mandi."
"Mandinya lama banget. Ini makan malam udah matang lho, Bel." ucap Mita. " Gi! Ayo makan!"
Tidak ada jawaban. Mita meletakkan apronnya dan berjalan ke atas. Sementara Abel duduk untuk menguasai detak jantungnya sendiri.
"Gue takut kalau gue nggak bisa berhenti. Rasa bersalah gue semakin kuat dan berat, Abel."
Abel mengusap pelipisnya. Hatinya mencelus kala mengingat kejadian satu jam lalu. Di tengah ciuman mereka, tiba-tiba saja Nugi menjauhkan diri. Ia menatap Abel dalam diam meskipun berbagai emosi berkecamuk di manik kelam itu.
Abel tahu. Gadis itu mengerti. Hanya saja, dia tidak menyukainya.
Pada Nugi, ia tidak pernah tahu sejak kapan rasa ini muncul. Dia tidak pernah tahu sejak kapan Nugi berhasil menumbuhkan harapan yang mati ketika Arvin meninggalkannya. Yang ia tahu, manik kelam itu tidak lagi menakutkan. Yang dia tahu, suaranya tidak lagi mengerikan. Yang ia tahu, sosoknya berubah menjadi tempat yang menawarkan rasa aman, nyaman dan penuh kehangatan. Gadis itu menepuk-nepuk pipinya, berusaha mengusir panas yang mulai merambat di sana.
"Kenapa lari-lari begitu?" Suara Manda membuat Abel tersadar.
Manda baru saja memasuki ruangan dengan membawa kunci inggris. Benar saja, Mita menuruni tangga dengan tergesa.
"Nugi demam," jawab Mita dengan cemas.
Manda mengerutkan kening. "Demam? Setelah dua tahun tidur di bawah jembatan sehat-sehat aja, sekarang dia bisa demam?!"
Mita berdecak pelan. "Abel, memang tadi dia sakit--eh, kenapa, Bel?"
Abel tersadar, lalu segera menurunkan tangannya dari bibir. Manda mengangkat alis.
"Tadi dia sehat, Mbak. Demamnya tinggi?" tanya Abel berusaha mengabaikan tatapan Manda.
"Belum tahu. Ini baru mau aku ambilkan termometer." Mita menarik laci kabinet, lalu kembali ke atas.
Manda berkacak pinggang. Lelaki itu masih menatap Abel dengan pandangan yang membuat risih.
"Nggak ke atas?" tanyanya tiba-tiba. "Lo belum pernah ke atas, kan?"
Gadis itu hanya meringis canggung. Iya, dia memang belum pernah ke atas. Selama berada di rumah Manda, Abel berusaha menempatkan diri sebagai tamu yang sopan. Dia tidak punya kepentingan di lantai atas.
Ia menggigiti bibirnya ketika Manda menghilang ke dapur, lalu bertanya-tanya apakah Nugi demam karena ciuman mereka tadi? Tapi kan, Abel tidak sedang flu.
"Berapa, Mbak?" tanya Abel kala Mita kembali ke bawah.
"38." Mita menunjukkan termometer pada Abel. "Mungkin kelelahan. Tiga hari kemarin dia khawatir sampai nggak bisa tidur, soalnya."
Abel menelan ludah. "Sekarang tidur?"
"Udah bangun. Mana rambutnya masih basah. Kebiasaan, ck!" Mita berdecak pelan sambil mengembalikan termometer ke laci, lalu menghilang ke kamarnya.
Abel semakin mengigiti bibirnya dengan cemas.
"Bel, tolong ini kasih ke dia, ya. Mbak mau mandiin Talita dulu." Mita keluar kamar dan memberikan hair dryer kecil pada Abel.
Abel menyanggupinya. Ia melepas apron dan naik ke lantai dua.
Lantai dua hanya diisi oleh dua buah ruangan. Satu ruangan kecil berpintu plastik yang Abel duga adalah kamar mandi, satu lagi sebuah ruangan berpintu kayu. Tidak banyak barang di sana. Hanya ada sebuah grand piano besar di sisi ruangan, juga balkon luas yang biasanya dipakai Mita untuk menjemur pakaian. Sisanya hanya lantai yang lapang hingga terkesan sepi.
Ruang berpintu kayu itu terbuka separo, membuat Abel bisa melihat Nugi sedang berdiri sambil menelfon seseorang. Lelaki itu memijit pelipisnya, lalu tersenyum tipis saat melihat Abel.
"Nanti terusin lagi, Le," ucap Nugi. "Besok dia pulang. Ukurnya besok aja kalau dia di rumah."
Abel mengangkat hair dryer-nya, dan Nugi mengangguk.
"Ketiduran," gumamnya memijat tengkuk, lalu duduk di kursi di depan grand piano. Matanya sedikit merah, dan wajahnya masih tampak lelah. "Besok Leo ke rumahmu, ya."
"Ngapain?" Abel mengerutkan kening seraya mencegah Nugi meraih hair dryer-nya. Lelaki itu menunduk dengan patuh ketika Abel mengarahkan hair dryer itu ke kepalanya. Benar kata Mbak Mita, ia sedang demam.
"Ukur pintu," gumam Nugi. "Pintu depan sama pintu kamarmu perlu diganti."
"Iya. Tapi aku udah ada rencana mau pesan pintu di dekat rumah aja. Ada tetangga yang punya usaha bikin-bikin mebel macam itu," ucap Abel. "Kenapa ke Bang Leo segala?"
"Kamu keberatan nggak kalau pakai kunci digital?" tanya Nugi.
Abel terdiam beberapa saat. "Karena itu lebih aman, ya?"
Nugi mengangguk. "Aku kemarin tanya-tanya sama Leo tentang sistem kunci yang paling aman, dan digital salah satunya. Si manusia itu bisa masuk karena kuncimu diduplikasi, kan?"
"Kenapa aku nggak kepikiran buat konsul ke dia, coba?" gumam Abel menyesali diri sendiri. "Aku mikirnya pakai sistem kunci Mortise. Dulu klienku yang punya guesthouse pakai sistem kunci ini. Tapi kalau Bang Leo bilang itu lebih aman, itu aja. Nanti aku pesan ke dia."
"Udah aku pesankan," gumam Nugi. "Kamu nggak di sini aja sampai pintunya jadi?"
Abel mengeringkan rambut Nugi dalam diam meskipun pikirannya kembali mengingat kejadian itu dengan enggan.
"Nggak, jangan. Nanti cuma bikin repot Mas Manda sama Mbak Mita lagi."
"Kamu baik-baik aja buat nanti?"
"Hm."
Nugi menghela napas. "Gerbang jangan lupa diperiksa tiap malam. Kalau ada tamu, jangan langsung dibuka pintunya."
"Hm," gumam Abel lalu teringat sesuatu. "Gi, kamu masuk kemarin...gimana? Gerbangku dikunci. Kamu manjat?"
Nugi mendongak dengan wajah tidak percaya. "Bar-bar."
Abel memutar bola mata, dan Nugi tertawa kecil.
"Pakai japit rambut. Gerbangmu tinggi dan tajam, Bel," jawab Nugi kembali menunduk. "Sebenarnya gerbangmu udah aman. Tinggal gemboknya aja."
Abel mendengarnya, namun tidak berkomentar.
"Kamu sejak kapan nggak enak badan?" tanya Abel kemudian.
Nugi menggeleng pelan. "Pusing."
"Pastinya. Demam gini--"
"Gi?" Suara Manda terdengar di tangga "Lo beneran demam? Tumben--"
Manda muncul, lalu mematung. Abel menjauh dengan canggung, namun Nugi justru menahan kaus gadis itu.
Nugi menatap Manda dengan datar. "Apa?"
Manda tersadar, lalu mendengkus keras. "Makan dulu, baru tidur lagi." Ia menatap Abel sekilas sebelum berbalik. "Pantes demam."
Nugi tidak berkomentar apa pun. Lelaki itu kembali menunduk.
"Udah." Abel mematikan hair dryer. "Yuk makan dulu--"
"Belum." Nugi menahan kaus Abel. Lelaki itu mengusap rambut belakangnya. "Ini, yang sini kurang kering."
Abel melipat bibirnya, berusaha menahan senyum. Mematuhi Nugi, Abel kembali menyalakan hair dryer-nya.
"itu pianomu?" tanya Abel beberapa saat kemudian. "Kenapa aku nggak pernah dengar?"
"Itu punya kami--" Kalimat Nugi terhenti. "Tadinya mau ditaruh di Noire."
Satu kalimat tidak selesai itu, telah menjelaskan segalanya. Dan Abel berusaha keras meredam rasa tidak nyaman yang mengganggu kalbu. Harusnya Abel tahu bahwa ada kemungkinan Nugi masih menyimpan barang-barang milik mereka atau milik Ganis. Tapi dia tidak mau mengira-ira. Gadis itu menghentikan pikiran yang membuatnya takut, lalu berkonsentrasi pada aktivitasnya.
"Bel?" panggil Nugi beberapa saat kemudian. "Kamu tahu tentang kecelakaan itu?"
Abel mengusap-usap rambut Nugi. "Maaf, tapi aku pernah tanya sama seseorang tentang semuanya."
"Siapa?"
"Rahasia."
Nugi menghela napas. "You're dangerous."
Lelaki itu menyandarkan dahi di perut Abel. Lalu perlahan, helaan napas yang berat mulai terdengar.
"Sorry," gumamnya parau bersamaan dengan perutnya yang terasa basah. "Sabela, maaf."
Mata Abel kembali memanas.
"Nggak papa," gumam Abel terus mengeringkan rambut lelaki itu. "Nggak papa, Gi."
Lelaki itu memeluknya dan menenggelamkan wajahnya di sana. Bahunya berguncang pelan, dan Abel memberinya waktu.
Kehilangan seseorang tidak pernah mudah. Abel pernah kesulitan melewati masa-masa saat Arvin baru saja meninggalkannya. Dia tahu rasa sakitnya, dia kenal rasa pedihnya.
Dan Nugi, sudah membawa beban ini selama dua tahun. Dengan rasa bersalah yang begitu besar, semua rasa sakit itu pasti terasa tidak tertahankan.
===
"Jadi, Nugi udah cerita semuanya?"
Mita berusaha bertanya dengan nada yang biasa saja, tapi binar di matanya tidak mungkin bisa disembunyikan. Abel meletakkan tiga gelas sirup di meja, lalu mengangguk. Mita tersenyum simpul, namun tidak mengatakan apa pun.
Gadis itu menatap Talita yang minum dengan antusias, kemudian kembali bermain-main di teras. Abel tahu pertanyaan semacam itu akan datang cepat atau lambat. Dengan ekspresi Mita yang begitu berbinar kala melihatnya turun bersama Nugi kemarin sore, Abel punya firasat jika Manda sudah bercerita pada Mita.
Abel menyangka dirinya akan mendapat banyak pertanyaan dari pasangan suami istri itu. Tapi ternyata tidak. Sisa harinya di rumah Manda berlangsung damai dan menyenangkan. Mungkin yang sedikit aneh adalah, Manda membawa pergi piringnya dari meja makan sambil bergumam "Tibis disi misi lili ipinyi?"
Pagi ini, mereka baru saja membersihkan rumah Abel. Segala carut marut yang pernah terjadi kini hilang. Beberapa berakhir di tempat sampah, beberapa dibawa oleh polisi sebagai barang bukti. Rumah Abel serapi biasanya, kecuali pintu kamar yang terkoyak.
"Sidangnya masih beberapa minggu lagi," celetuk Mita.
Abel mengangguk dengan perut yang tidak nyaman. Dia takut, jujur saja. Seumur hidupnya, Abel tidak pernah berurusan dengan polisi dan hukum. Tapi jika ingin Alan dipenjara dan hidupnya aman, Abel perlu memberanikan diri.
"Pintu kamarmu parah," ucap Mita. "Anak itu benar-benar--ck! Gimana ini, Bel? Masa kamu tidur tanpa pintu gini?"
"Pintu depan masih bisa dipakai, Mbak. Dan pintu ini--besok diganti," kata Abel terbata dengan wajah yang mulai memerah.
"Nggak nginep di rumah sana aja?" tanya Mita dengan cemas. "Bukannya apa-apa, tapi ini bahaya lho, Bel."
Abel menggeleng lagi, dan Mita menyerah. Perempuan muda itu mengawasi Talita yang bermain-main di teras.
"Kamu nggak ada kenalan orang hukum?" tanya Mita. "Kita punya Raka. Tapi punya masukan selain dari pihak kepolisian akan membantu."
Ada, satu. Namanya Yudhistira. Tapi sampai kapan pun, Abel tidak akan pernah meminta bantuannya. Maka, gadis itu hanya menggeleng.
"Gigi! Gigi!"
Seruan Talita membuat dua wanita itu menoleh ke teras.
Nugi langsung menangkap Talita yang melompat ke arahnya. Lelaki itu memakai topinya seperti biasa, dipadu dengan kemeja flanel abu-abu dan celana jeans. Ia membawa sesuatu di tangannya.
"Oh...dia datang," bisik Mita. "Kalau nggak lihat rekonstruksi kemarin, Mbak nggak akan percaya."
"Percaya apa?"
Mita mengangkat bahu. "Nggak akan percaya kalau dia bisa sekhawatir itu...lagi."
"Mbak Mita, kenapa di sini?" tanya Nugi.
Mita mengangkat alisnya tinggi sekali. "Kamu ngapain ke sini?"
Nugi mendengkus, namun tidak menjawab. Ia hanya duduk di lantai dan membiarkan Talita bermain di pangkuannya.
Mita meneguk minumannya. "Udah beres semua. Kalau gitu, aku berangkat ke butik, ya? Jangan lupa sayurnya diangetin biar awet sampai nanti malam. Lita pamit sama Tante. Kita berangkat."
Raut Talita mengeruh. Ia memeluk leher Nugi kuat-kuat.
"Kita ke butik dulu, yuk? Kapan-kapan main lagi," ucap Mita meraih tasnya dan berjalan mendekati Talita. "Yuk? Sini, Gi."
Tanpa kata, Nugi mengulurkan Talita pada Mita, membuat balita kecil itu menatap Nugi seolah baru saja dikhianati.
"Bye, manis. Thank you so much." Abel menciumi pipi Talita.
Balita itu menatap ibunya dengan mata yang mulai berkaca. Ia menunjuk Abel.
"Bebel," gumamnya pada Mita, lalu menujuk Nugi. "Gigi."
Kemudian menunjuk dirinya sendiri dengan wajah yang sangat tidak terima. "Ta?"
"Lita sama Mama, kan?" Mita memasangkan hoodie kelincinya. "Udah udah, ayuk ke butik. Ketemu sama Nana, sama Keenan? Talita nggak kangen? Kapan-kapan main ke sini lagi. Atau bilang sama Om Nugi suruh bawa Tante ke rumah."
Wajah Talita tambah menekuk. Mita benar-benar berusaha menahan tawa. Ibu muda itu meraih Abel dalam pelukannya.
"Thank you," bisik Mita. Ia mengedipkan satu matanya dan melambai dengan ceria.
Talita menatap mereka dari bahu ibunya, mencebik dengan mata yang sembab sekali. Abel melambai, antara sedih karena tidak akan sering bertemu Talita lagi, dan geli dengan ekspresi wajahnya. Ia melirik Nugi yang bersedekap sambil bersandar di kusen pintu. Lelaki bertopi itu mengangkat alis.
"Tega," celetuk Abel sambil tertawa kecil. "Dia kalau dendam sama kamu gimana?"
Senyum tipis menggantung di ujung bibir Nugi kala melihat gadis itu tertawa.
"Anak itu luluh sama orange cake. Nanti pulang harus beli bahan-bahan, ini." ucap Nugi sambil mengeluarkan isi dari kantong kecil yang sedari tadi dibawanya.
Abel mendengkus geli. "Jadi, itu apa? Bang Leo mau ke sini, ya?"
"Leo ke sini agak siang. Dan ini bel pintu yang ada kameranya. Biar kamu nggak perlu ke depan buat lihat siapa yang datang." Nugi mengangkat sebuah benda berbentuk kotak yang tampak solid, lalu menatap Abel dengan lekat. "Dulu waktu sakit kamu ketakutan, ingat? Itu dia, kan?"
Seluruh bulu kuduk Abel merinding ketika mengingat teror Alan di pagi hari dirinya terkena tifus. Nugi mengamati wajah Abel, lalu menghela napas dalam.
"Kenapa kamu nggak pasang bel rumah?" tanya Nugi sambil memilah-milah obeng.
"Aku nggak punya banyak tamu." Abel duduk bersila di bawah, mengamati benda kotak tadi, "Biasanya kalau anak Dhalung mau ke sini, pasti ngabarin dulu."
Nugi mengangguk, lalu memasang ekspresi datar saat menatap ke luar. "Dia ngabarin kamu?"
Abel menoleh ke belakang, dan mendapati Saka berjalan cepat memasuki teras. Dari wajahnya, sepertinya ia punya banyak hal yang ingin ditumpahkan pada Abel. Namun ia menahan diri dan bersikap tenang.
"Morning," sapanya dengan wajah serius. "Boleh masuk?"
Abel mempersilahkan, sementara Nugi mengangguk ringan.
"Sori, Gi. Tapi gue perlu ngomong sama bocah ini," geram Saka kala duduk di hadapan Abel. "Lo--Bel, lo--darimana? Hm? Telfon nggak diangkat, rumah nggak kekunci, berantakan, nggak ada kabar--lo darimana, Bel? Lo kenapa?"
Abel meneguk ludah, lalu berdeham pelan. "Gue kan udah jawab, gue kemarin ada sedikit masalah. Jadi gue nginep di rumah Mas Manda."
"Lo minta gue percaya gitu aja?" tukas Saka membelalak. "Lo kemalingan apa gimana? Berantakan dan gemboknya ngebuka dengan nggak wajar gitu! Kenapa--"
Karena saat itu, Nugi menarik pundak Saka hingga Saka bangkit dengan terbata. "Bentar, Gi. Gue mau ngomong sama dia--"
"Kita ngobrol di luar," ucap Nugi. "Bantuin gue pasang ini."
Saka menatap punggung Nugi dengan bingung, kemudian memasang wajah bertanya ke arah Abel. Abel mengangkat bahu, dan Saka melotot. Gadis itu hanya terkekeh pelan.
Malam setelah ia membeli ponsel baru, Abel langsung membereskan kekacauan yang terjadi. Saka mengiriminya banyak pesan terkait dengan tambak, belum lagi anak-anak Dhalung lain yang bertanya seputar desain grafis. Para klien menghubunginya, dan beberapa mulai tidak sabar karena merasa lost contact. Untung saja, semua proyek di Madda belum jatuh tempo. Dia masih punya waktu untuk mengejar ketertinggalannya.
===
"Jadi?" tanya Saka tidak sabar karena Nugi mendiamkannya selama lima menit belakangan.
"Jangan tanya apa pun sama dia," ucap Nugi seraya memasang skrup. "Lo bilang lo kenal dia, jadi lo pasti tahu kalau dia nggak akan tinggal di rumah Manda tanpa alasan."
Saka mengerutkan kening dengan tidak terima. "Dude, dia temen gue. Kalau gitu, lo aja yang cerita sama gue. Dia kenapa?"
Nugi meliriknya, dan Saka menelan ludah dengan gugup.
"Untuk sementara waktu, jangan biarin dia sendirian kalau baru di base."
Saka menatap Nugi beberapa saat, lalu menyipitkan mata. "Ini gila, dan hampir nggak mungkin. Tapi, apa ada hubungannya sama Alan?"
Obeng Nugi berhenti berputar. "Lo tahu dia?" tanya Nugi dingin.
"Beneran Alan?" seru Saka terbelalak. "Alan ini bos Abel di kantornya yang lama, dan dia agak mengerikan. God, kalau ini semua karena Alan, gue nggak akan ngomong begitu sama dia. Apa dia baik-baik aja?"
Nugi kembali memutar obengnya meskipun bibirnya menipis. "Abel baik-baik aja."
Saka mengusap rambutnya dengan kasar. "Oke, got it. Ngomong-ngomong, sepertinya gue perlu bilang sekali lagi kalau gue nganggep Abel kayak adek gue sendiri. Jadi, lo nggak perlu galak sama gue."
"Kapan gue galak sama lo?"
Saka mendengkus geli. "Gue tinggal. Dia sama lo, aman?"
"Aman."
"Bagus, karena gue perlu pergi ke kosan Nandini. Oh...dan ngomong-ngomong, lo tahu pasti kerjaan dia, kan?"
Nugi mengangguk. Lelaki itu mengerutkan kening pada Saka yang tiba-tiba serius.
"Desain grafis adalah dunianya. Dunia yang amat sangat dia sayangi. Jadi--" Saka menggaruk lehernya. "Jadi gue harap lo nggak ngelarang dia buat terus berkarya. Gue tahu gue nggak berhak ngomong gini tapi...kita udah pernah ngobrolin tentang Arvin dan lo tahu kalau--"
"Gue tahu." Nugi menghentikan cerocosan Saka. Lelaki itu memasang skrup yang lain sambil berkata, "dan gue nggak ada niat menghalangi passion-nya. Dia boleh ke base kapan pun dia mau."
Saka mengerjap, lalu menutup mulutnya.
"Baguslah. Gue duluan." Saka meninju bahu Nugi, lalu masuk ke mobilnya sendiri.
Nugi mengikuti mobil itu hingga menghilang di belokan, lalu kembali meneruskan aktivitasnya. Saat itu, Abel keluar dengan sepiring brownies di tangan.
"Saka mana?" tanyanya sambil mengerutkan kening.
"Balik. Katanya ada urusan sama anak-anak lain. Itu brownies yang di rumah?"
"Iya. Dibawain Mbak Mita. Mau?"
Nugi mengangguk. Lelaki itu membuka mulut dengan patuh kala Abel menyuapkannya.
"Need a help?" tanya Abel yang mengamati kegiatan Nugi.
Lelaki itu menggeleng dengan pipi yang penuh. Abel mwngusap remah brownies di ujung bibir lelaki itu, lalu meneliti gerbangnya sendiri.
"Gembok gerbangnya mau aku ganti pakai gembok angka," ucap Abel. "Habis ini aku keluar sebentar."
"Gembok angka? Nanti aku belikan sekalian jemput Leo."
"Ikut belinya."
"Nggak," gumam Nugi memutar obengnya.
Abel mengerutkan kening. "Kita udah ngobrol tentang ini kemarin. Aku nggak takut, Gi."
Nada protes itu membuat Nugi menoleh. Poni dan rambut gadis itu diterbangkan angin, membuatnya tampak begitu manis hingga sesaat, Nugi hanya bisa memandangnya tanpa kata.
Lelaki itu menyila rambut ke belakang telinga Abel sambil tersenyum tipis. "Aku yang masih takut, Bel. "Kamu di rumah aja, ya?"
Abel menatapnya beberapa saat. "Kapan-kapan main ke stadion, yuk? Latihan nyetir di sana."
Lagi-lagi, lelaki itu hanya terdiam. Ia meraih Abel dan mencium singkat dahinya.
"Bel, mau brownies lagi."
*TBC*
Haiiii,
selamat sore, selamat hari Sabtu.
Kalian super sekali 🥺 thank you soo much.
Please stay healthy, stay safe, stay happy yaaa
I luv yuuu 50000x
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top