38 | Tentang Penebusan Dosa

"Mual bagaimana?" tanya dokter.

Abel merasai tubuhnya sendiri, lalu menggeleng.

"Bagus." Dokter itu tersenyum kecil. "Perhatikan waktu sarapan. Jika semuanya baik-baik saja, sore nanti bisa pulang."

Abel mengangguk sopan. "Terima kasih."

"Kabar baik, kan?" ucap Mita berbinar. "Sebentar, ya. Ada yang perlu aku tanyakan sama dokter."

Abel mengangguk lagi, dan Mita keluar. Meninggalkan Abel berserta beberapa anak PE yang berkumpul di sofa.

"Beneran baik-baik aja?" tanya Gardan, lalu mengacungkan jemarinya. "Ini berapa?"

"Dua," jawab Abel singkat.

"Ruasnya?"

"Enam."

"Kuman-kumannya?"

Abel mendengkus geli, dan Gardan nyengir. "Ngomong-ngomong, Nugi mana? Kayaknya dia nggak pernah ke sini."

"Cuma waktu nganterin Abel doang," jawab Gaby sambil mengupas kacang rebus. "Dasar bego anak itu. Bego banget. Be.go.ba.nget!"

"Dia butuh waktu, By. Lo tahu sepucat apa dia, kan?" tukas Raka. "Sini suapin daripada kacangnya dilempar-lempar gitu!"

"Iyuuh!" Gardan mengernyit jijik kala Gaby mematuhi Raka, lalu berdecak pelan. "Tapi itu bikin gue lega. Setelah sekian lama lihat dia luntang-lantung kayak manusia yang hidup segan mati tak mau, ngamuk gitu justru lebih baik. Udah lama nggak lihat Nugi ngamuk. Sekalinya ngamuk matahin lengan orang, eh?"

"Emang gayanya begitu dari dulu. Nggak banyak bicara, langsung serang," tukas Raka. "Nggak asik diajak main-main--aduh! Apasih?"

Raka menggosok lengannya yang disikut Gaby kuat-kuat. Gaby melotot, lalu melirik ke arah Abel yang mendengarkan semuanya dalam diam.

"Eh...maaf, Bel--kami nggak maksud--" Raka menggaruk kepalanya dengan bingung. "Pokoknya, itu udah cerita lama."

Gardan mengangguk cepat-cepat. "Kami yang sekarang udah jinak kok, Bel."

Abel tersenyum kecil. Jujur saja, tidak nyaman ketika mendengar mereka bercerita tentang kekerasan seolah itu adalah hal yang menyenangkan. Mungkin jika Abel bukan salah satu korban bully, dia juga akan mendengarkan masa lalu Nugi dengan penuh ingin tahu. Tapi rasa itu jauh, jauh lebih kecil dibandingkan rasa tenang karena keberadaan mereka.

Ini adalah hari ketiganya di sini. Selama dua hari kemarin, Abel menghabiskan waktunya mendetoksifikasi sisa-sisa obat yang ada di dalam tubuhnya. Sebab kata Raka, obat yang diminumkan padanya adalah salah satu jenis obat bius yang ilegal. Efeknya melemahkan fisik dan kesadaran. Pada dosis yang lebih tinggi, Abel bisa benar-benar tidak sadar.

Ketika ia bangun pagi itu, Nugi sudah tidak ada. Lelaki itu tidak muncul lagi sampai sekarang.

Mungkin, benar apa yang dikatakan Leah. Mungkin, hidupnya penuh kesialan karena dirinya adalah anak yang lahir dari perbuatan dosa.

Bayangkan saja, dia kehilangan ibu dengan cara yang tragis. Dibawa ke rumah besar Permadi hanya untuk diasingkan dan menjadi tawanan, menjadi korban bully dari kecil hingga kuliah, nyaris mati kelaparan karena tidak bisa membeli makan, dicap pelacur oleh keluarga dan kolega kerjanya, ditinggal menikah, menjadi obyek penebus dosa, dan nyaris diperkosa oleh mantan atasannya sendiri.

Mungkin, sebenarnya Arvin beruntung tidak menikahinya.

"Sabela Nawandini bukan eksistensi yang salah di alam semesta."

Batin Abel tertawa pedih. Padahal, kalimat itu sempat menjadi kekuatan untuknya. Tapi setelah mendengar Nugi mengatakan itu, dia tidak bisa menampik dugaan bahwa mungkin saja Nugi mengatakannya hanya agar Abel merasa lebih baik. Bisa saja, sebenarnya dia berpikir sama seperti orang lain namun mengatakan hal yang manis di hadapan Abel.

Abel mendesah pelan dan mengusap pelipisnya.

Dia ini kenapa? Dia sudah berjanji untuk menarik diri dari pusaran rasa itu, harusnya dia tidak lagi memikirkan Nugi dan segala omongannya. Dia punya masalah yang jauh lebih penting.

Abel yang menghilang selama tiga hari, adalah hal yang buruk. Saka bisa mencari-carinya untuk masalah tambak, klien-klien yang baru saja ia dapatkan juga terancam memberikannya rating rendah. Ia harus segera pulih agar bisa kembali ke ritme kehidupannya.

Sarapan yang datang menginterupsi kegiatan melamun Abel.

"Bisa?" tanya Gaby mendekat kala Abel menerima sarapannya.

"Bisa," jawab Abel menenangkan. "Kalian nggak sarapan?"

"Udah bawa." Gaby menunjuk sebuah paperbag. "Oke. Kalau butuh apa-apa, bilang."

Abel mengangkat jempolnya, dan mulai menyantap makanan. Seperti yang diperintahkan dokter, ia benar-benar memperhatikan respon tubuhnya. Sebab kemarin, Abel tidak bisa menelan dengan baik. Seperti ada otot yang masih pingsan di sepanjang kerongkongannya hinga ia tersedak berkali-kali.

"Lo ngasih tahu Kezia, By?" tanya Gardan.

Gaby menggeleng. "Rencana bulan madu ke Italia ini udah jadi impiannya Kezia. Mumpung Ali bisa cuti agak lama, biar dia seneng-seneng di sana. Besok aja kalau udah balik."

Gardan mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.

"Alanard Mahanta," Raka membuka toast-nya, "ternyata bukan orang yang mudah dihadapi."

Abel mengangguk. "Gue udah pernah bilang, dia orang yang licin."

"Kenapa lo nggak pernah bilang kalau lo diteror sama dia?" tanya Gaby.

"Karena nggak ada gunanya," jawab Abel tersenyum kecut. "Gue pernah lapor, dulu, waktu kasus pelecehan yang pertama. Tapi gue kurang bukti. Gue nggak punya foto, video atau rekaman suara apa pun. Dengan rumor yang beredar di kantor tentang gue, posisi gue nggak menguntungkan. Kasus gue nggak jalan."

Raka memainkan roti di tangannya. "Gue tanya temen gue di beberapa kantor. Lalu ada satu temen gue bilang kalau nama Alanard Mahanta pernah masuk sebagai terlapor atas kasus pelecehan. Pelapornya juga pegawai di perusahaannya, dan itu udah beberapa tahun lalu. Tapi kasus itu justru berbalik menyerang si pelapor dengan tuduhan pencemaran nama baik."

Gaby menatap Abel dengan cemas. "Kalau ngomongin terburuk dari yang terburuk, gue rasa ditolak kasusnya lebih beruntung ketimbang diserang balik dengan tuduhan pencemaran nama baik."

Abel memainkan sendoknya. "Dia cukup punya kekuasaan. Lagipula, kelakuan Pak Alan udah jadi rahasia umum kantor. Perempuan incarannya jarang yang menolak, karena dekat dengan Pak Alan artinya punya banyak keuntungan. Dia juga jarang salah target. Gue...udah kena gosip yang nggak enak di kantor lama gue jadi, begitulah."

"Ah..." Gaby meringis. "Kalau udah suka sama suka, namanya bukan pelecehan lagi."

Raka mengangguk berat. "Yep. Informasi dari lo akan sangat berguna, Bel. Untung kali ini ada saksi mata. Tapi buat jaga-jaga, Dan, lo udah cari apa yang gue minta?"

"Orang-orang semacam itu, akan langsung berlutut ketika lo pegang rahasia besar mereka." Gardan menyeringai. "Gila. Kalau informasi tentang keluarga Mahanta gue jual, gue langsung bisa beli pulau pribadi."

Raka melirik. "Lo baiknya berhenti sesumbar tentang itu. Kita pakai kalau memang perlu dipakai. Walau gimanapun, mereka tetap bukan orang sembarangan. Lo nggak tahu apa yang nunggu lo di tempat tidur."

"Guling, lah," gumam Gardan sedih. "Gue udah harus cari calon istri. Papa gue udah merepet pengen nimang cucu. Bel, mau jadian sama gue--AUHH!!"

Gaby mendengkus sambil mengelus gulungan buku di tangannya, namun tidak berkata apa-apa. Gardan melirik Gaby sengit sambil mengusap belakang kepalanya.

"Lo tahu, By? Gue udah lama mikir kalau gue tuh nggak bakal mati di tangan orang-orang yang udah gue curi rahasia besarnya. Gue matinya di tangan lo atau Kezia," tukas Gardan kembali mengupas kacang rebusnya. "Gue hati-hati, guys. Gue juga punya banyak backing."

Raka menghela napas panjang, lalu melanjutkan, "Dari kasus kepemilikan GHB, sebenernya dia bisa jadi mata rantai peredaran obat ilegal."

"Oh...date rape," Gaby menimpali.

"Hm. Gamma Hydroxybutyrate. Itu nama obat yang dia minumkan ke lo, Bel. Dia termasuk obat date rape, Obat yang sering disalahgunakan pada kasus-kasus pemerkosaan," ucap Raka.

"Dan penculikan, dan pembunuhan," sambung Gardan. "Yang jelas, hati-hati kalau ada orang asing nawarin minum. Obat ini nggak berbau, nggak berwarna, dan reaksinya cukup cepat."

Gaby bergidik. "Obsesinya sama lo itu lho, Bel. Dan lo harus hidup di bawah teror Alan ini selama bertahun-tahun! Astaga!"

Abel kembali meneguk ludah kala mengingat beberapa pakaian dalamnya yang menghilang.

"Yah...yang penting, lo udah aman," ucap Raka. "Nggak ada lagi orang gila bernama Alan yang akan ngejar-ngejar lo."

===

"Gimana kalau seminggu di sini dulu?" tanya Mita dengan cemas ketika mereka sampai di rumah Manda sore itu.

"Terima kasih, tapi aku udah baik-baik aja, Mbak," ucap Abel menenangkan.

"Yatapi kan--" Mita berdecak pelan ketika tidak menemukan argumentasi yang tepat. "Kalau gitu, nginep di sini malam ini, ya. Udah sore juga. Balik besok pagi aja."

Abel mengangguk. Gadis itu turun dengan hati-hati agar tidak membangunkan Talita. Hanya semalam. Tidak akan terjadi apa-apa.

"Kamu bisa istirahat di kamar," ucap Mita tersenyum lembut. "Aku perlu ke butik sebentar."

Abel menunggu hingga mobil Mita menghilang dari pandangan. Gadis itu membuka pintu, menghirup dalam-dalam aroma manis yang selalu tercium di rumah ini. Ia meletakkan barang barangnya di kamar, lalu mengambil minuman. Gadis itu duduk di dapur sambil memandangi pohon kamboja yang sedang berbunga banyak sekali.

Dia belum membeli ponsel, dan laptop serta barang-barang kerjanya ada di rumah. Dia perlu segera kembali demi menjaga reputasinya di Maddadesign. Tapi sore ini, ia membiarkan dirinya menikmati ketenangan yang harus ia tinggalkan esok hari.

Suara langkah kaki yang mendekat menyadarkan Abel. Gadis itu segera bersembunyi di balik kulkas dengan jantung yang berdentum kencang.

Langkah kaki itu semakin mendekat, membuat Abel semakin panik. Namun ketika ia melihat sebuah topi diletakkan di atas meja, kepanikan Abel sirna seketika.

"Astaga!" Nugi memejamkan mata ketika Abel keluar dari persembunyian. Perlahan, lelaki itu melemaskan tangan yang sudah terkepal. "Gue baru buka pesan dari Mbak Mita. Gue kira lo tidur."

"Hm," gumam Abel. "Baru pulang manggung?"

Nugi mengangguk sebelum menatap Abel dengan lekat. "Ngapain tadi di situ?"

Abel menggeleng dan kembali duduk.

Nugi memandangnya sesaat, lalu menghela napas. Siang ini, ia memakai kaus hitam dengan celana jeans. Wajahnya lelah, dan bulatan hitam masih ada di bawah matanya. Nugi menurunkan Maemunah, lalu mengambil air minum.

"Baikan?" tanyanya duduk di hadapan Abel. Manik kelam itu diam-diam meneliti dagu Abel, lalu berlari ke pergelangan tangannya. Sudah tidak nampak apa-apa lagi di sana.

"Hm," gumam Abel. "Sorry, and thank you. Untuk yang kedua kali."

"Lo nggak pernah ngrepotin." Nugi berkata. "Nggak di sini lebih lama?"

Abel tersenyum kecil kala menyadari betapa kosongnya kalimat itu. "Nggak bisa. Kerjaan gue perlu dibereskan."

"But, are you okay, Sabela?" Nugi mengerutkan kening. "Lo bisa di sini dulu buat menenangkan diri."

"Gue udah nggak apa-apa. Pak Alan udah ditahan, jadi gue rasa rumah gue udah aman." Gadis itu tercenung sejenak, lalu menghela napas panjang. "Bohong kalau gue bilang gue udah nggak apa-apa. Gue pasti ingat yang buruk-buruk di sana. Tapi--tapi gue yakin itu nggak akan lama."

"Karena?"

"Karena itu rumah gue. Ada banyak hal menyenangkan yang bisa gue ingat di sana selain tragedi malam itu. Mungkin gue perlu atur ulang interiornya buat refreshing, sekalian beli perabot baru biar sedikit beda," ucap Abel sambil tersenyum.

Nugi terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Ide bagus. Perlu bantuan?"

"Nggak perlu. Gue bisa sendiri," gumam Abel dengan perasaan yang kembali tidak nyaman.

"Ponsel, gimana?" tanya Nugi tidak lama kemudian.

"Rusak." Abel mengangkupkan tangannya di cangkir. Hangat dan nyaman. "Terpaksa beli baru."

"Nggak beli di sekitaran sini aja? Nanti malem gue temenin. Depan sana ada gerai resmi yang cukup besar," Nugi menawarkan.

"Iya? Dimana?"

"Seberang jalan besar. Dari perempatan, lo belok kanan kalau mau ke sini. Kalau mau ke gerai itu, lo belok kiri," jawab Nugi. "Nanti malam ke sana?"

Abel menggeleng dan bangkit. "Sekarang aja. Makasih informasinya."

"Tunggu, Bel..." sahut Nugi buru-buru mengikuti Abel. "Gue taruh Mae ke atas dulu. Jangan jalan-jalan sendiri."

"Nggak papa. Cuma dekat."

"Sabela--"

"Gi." Abel menghadapi Nugi. "Berhenti."

Rahang Nugi mengeras.

"Berhenti di situ," gumam Abel sebelum berbalik. "Jangan ikutin gue."

"Bel, lo baru keluar dari rumah sakit. Kalau ada apa-apa di jalan, gimana?"

Abel menelan ludah. Dia tahu tidak seharusnya dia mengatakan ini. Tapi sungguh, dia tidak tahan lagi.

"Lo tahu apa pikiran gue saat ini?" Gadis itu berbalik demi menghadapi Nugi.

Nugi menunggu dengan sorot waspada.

" 'Nugi baik sama gue karena dia mau nebus dosa', sejujurnya, itu bikin gue nggak nyaman." gumam Abel hingga mata Nugi memerah. "Bukan karena lo ngebikin gue jadi obyek tebus dosa lo. Tapi karena setelah gue denger kalimat itu, seluruh tindakan lo jadi bias di mata gue. Gue akan selalu bertanya-tanya, dan jadi sulit percaya. Gi, itu sangat bikin gue nggak nyaman."

Dada gadis itu mulai sesak, namun ia meneruskan kalimatnya. "Gerainya nggak jauh, jadi seharusnya aman-aman aja. Gue pergi sebentar."

Abel berbalik. Tidak apa-apa, dia sudah mengatakan semuanya. Seharusnya setelah ini--

"Nggak lagi."

Abel berhenti ketika Nugi meraih ujung sweater-nya.

"Bukan penebusan dosa lagi. Udah lama niat gue bukan lagi buat menebus dosa. I really do care about you, Sabela," bisik Nugi sebelum menyandarkan dahinya di pundak Abel. "Thanks God you're okay. You scared me to death."

Abel terpaku.

"Waktu kita ketemu lagi, satu-satunya alasan kenapa gue mau nolong lo memang buat menebus dosa. Gue punya banyak salah sama lo, dan gue berharap Tuhan mau berhenti marah sama gue setelahnya. Karena, Bel...semua yang gue dapat ini mungkin adalah karma," gumam Nugi dengan suara sedikit gemetar, "Tapi semakin ke sini, gue sadar lo mulai nggak baik buat gue. Karena itu bikin gue merasa sangat bersalah sama Ganis, dan bikin gue merasa berkhianat sama dia. Gue pikir semuanya udah selesai. Tapi lo justru muncul lagi--"

Suara Nugi tercekat, "dan lagi, dan lagi dan--gue semakin takut kalau gue nggak bisa berhenti. Rasa bersalah gue semakin kuat dan berat, Abel. I need to push you away. Tapi lihat lo khawatir, gue nggak suka."

Abel menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Tapi gue harus berhenti...karena gue nggak bisa. Gue nggak bisa--Demi Tuhan, gue yang udah bunuh Ganis, dan gue mau seneng-seneng begitu aja? Kurang jahat apa lagi gue? Kurang bajingan apalagi--"

Nugi terpaku kala lengan hangat itu melingkarinya.

Lalu semudah itu, segala beban yang ia simpan di sudut hati kini menyeruak keluar. Menghantamnya dengan setiap memori tentang Ganis. Tawanya, tangisnya, pelukannya, ciumannya, suaranya, wajah Ganis yang penuh darah, juga memori tentang sebuah nisan yang bertuliskan namanya. Seluruh memori itu mencabiknya tanpa ampun.

"...salahmu! Salahmu, Rahagi!"

Teriakan ayah Ganis terngiang di kepala. Nugi tidak tahan lagi. Ia merengkuh tubuh gadis itu dengan erat, menjadikannya jangkar di tengah rasa sakit yang menggulungnya tanpa ampun, lalu menangis di pundaknya.

"Salah gue, Bel. Salah gue sampai Ganis meninggal," bisiknya di sela isakan. "Gue--harus gimana, Bel? Gue harus gimana?"

Gadis itu juga menangis. Namun ia menunggu. Dibelainya belakang kepala Nugi dalam diam.

"Dia perempuan yang manis dan ceria," bisik Nugi beberapa saat kemudian. Suaranya gemetar. "Dia jadi kebanggaan bapak ibunya. Dia juga baru saja diterima kerja di firma arsitektur yang udah lama dia impikan. Seharusnya dia bahagia saat ini, kan? Harusnya kami hidup di rumah yang nyaman bareng anak-anak. Dia berangkat kerja di pagi hari, dan kami saling bercerita di malam hari. Tapi masa depan dan semua impiannya hilang gara-gara gue. Gue sayang dia, Bel. Gue cinta banget sama dia, dan gue bunuh dia. Sabela, gue orang jahat."

Kalimat terakhir itu, berhasil membuat air mata Abel mengalir deras.

"Penyesalanmu itu bukti kalau lo bukan orang jahat," gumam Abel. "Rasa bersalah cuma dimiliki orang-orang baik, Gi."

Nugi menggeleng pelan.

Abel menggigit bibirnya. "You've done good things after that. Dan sebelumnya, lo juga pasti melakukan banyak hal-hal baik. Lo memperlakukan Ganis dengan baik, kan?"

"With all my heart."

"See?" gumam Abel gemetar meskipun hatinya tercubit sakit. "Dia pasti bahagia waktu bareng lo."

"Tapi dia meninggal juga gara-gara gue," bisik Nugi dengan suara pecah. "Dia pasti merasa sakit sekali."

Abel menggigir bibirnya. Gadis itu memandang langit-langit. "Lo pernah bilang kalau menyalahkan diri sendiri bukan solusi dari apa pun, ingat? Penyesalan yang keterlaluan nggak akan membuat keadaan menjadi lebih baik. Jadi Nugi, berhenti menghukum diri sendiri. Lo nggak akan bisa kemana-mana."

Nugi terkekeh pedih. "Kita beda, Bel. Lo cewek yang penuh dengan harapan. Lo punya banyak rencana di masa depan. Gue? Gue memang nggak pernah berniat kemana-mana. Gue nggak punya hak buat merencanakan apa pun. Kenapa gue nggak ikut mati aja waktu itu--"

"Jangan." Abel ganti terisak dengan putus asa. "Jangan bilang begitu."

Nugi terdiam sejenak, lalu menyapukan hidungnya di ceruk leher Abel sebelum memeluknya lebih erat.

"Selama tiga hari ini, gue takut ketemu lo," ucapnya tiba-tiba. "Karena gue keinget omongan Ali. Lo tahu apa kata Ali? Dia bilang suatu saat gue akan tahu kalau mereka yang masih hidup, lebih butuh gue. Kurang ajar banget dia ngomong gitu, Bel. Seolah kepergian Ganis nggak berarti buat dia. Tapi kejadian kemarin bikin gue sadar kalau omongan Ali itu benar. Gue takut lo kenapa-napa."

Lelaki itu berhenti sejenak.

"Lo bikin semuanya berantakan. Semuanya makin menakutkan waktu gue sadar sikap lo ke gue. Gue tahu seharusnya gue lega saat lo bilang buat bersikap sewajarnya. Itu artinya gue nggak perlu sesusah itu buat jaga jarak dari lo. Tapi waktu lo ngusir gue kayak tadi dan di rumah sakit kemarin, rasanya sakit sekali."

Abel menelan ludah. "Sakit?"

Nugi mengangguk.

"So let's start over."

Nugi terdiam sejenak, lalu memeluk Abel lebih erat. "It will hurt you."

Abel melepaskan diri kali ini, lalu memandang wajah Nugi yang berantakan sekali. Gadis itu mengusapnya dengan lengan sweater. Nugi diam saja sambil terus memandangi Abel, sementara kedua tangannya bersikeras mencengkram pinggang Abel sedari tadi.

"Kita nggak akan pernah tahu," gumam Abel gemetar. "Kita jalani sama-sama, hm? Kamu nggak kepikiran orang-orang yang ada di sini, Gi? Mbak Mita, Talita, Manda...aku?"

Nugi memandangnya sesaat. "Aku kepikiran kamu. You linger on my mind shamelessly, Sabela. You take it over and over again. I hate it."

"So stay here. I need you," gumam Abel meraih pipi Nugi dan memaksa lelaki itu menatapnya. "Jangan kepikiran kemana-mana. Kita jalani sama-sama, pelan-pelan."

"Itu nggak adil buat Ganis."

"You're not cheating on her," ucap Abel meskipun bibirnya gemetar. Diraihnya kaus lelaki itu karena Abel merasa Nugi bisa menjauh kapan saja. "Kamu terima rasa bersalahmu dan menyesal, itu udah bagus. Hal paling baik yang bisa kita lakukan untuk Ganis adalah mendoakannya. Kamu bilang dia gadis yang baik dan berbakti, kan? Kalau begitu, dia akan dapat tempat yang baik di sana. Dan masa lalu ada untuk dipelajari, Nugi. Setelah ini, kamu pasti akan jadi orang yang lebih berhati-hati lagi kalau mengemudi. Lihat? Kamu udah berhasil dua kali. Wanna try it for the third time? With me? Kamu suka pergi ke mana? Pantai? Gunung? Ayo ke sana."

Manik kelam itu menggelap. Ia menatap Abel dengan rahang mengeras. "Kamu nggak takut?"

Abel menggeleng. "I trust you."

Lelaki itu tertawa dingin, lalu matanya memerah dengan cepat. Ia mendesah berat, kemudian menutup matanya dengan satu telapak tangan. Namun Abel menarik tangannya, memaksa lelaki itu menatapnya.

"Hm?" tuntut Abel dengan suara tercekat. Ia kembali menangis ketika manik legam itu menatapnya tanpa diam. Kesuraman tergambar jelas di sana, dan Abel ketakutan. "Gimana? Kamu suka pergi ke mana--"

Karena saat itu, Nugi merengkuh wajah Abel dan mencium dahinya.

Lelaki itu menatapnya dalam diam. Kepedihan yang dalam terbayang di sana, bercampur dengan rasa putus asa yang membuat tatapannya semakin kelam. Tapi Abel, tidak akan membiarkannya mundur sekali lagi.

Gadis itu menariknya mendekat, membuat napas mereka bersapa dalam jarak yang nyaris binasa. Dari jarak sedekat ini, manik kelam itu terlihat menawan. Pekat tanpa cela, mengingatkannya pada malam hening tanpa bintang. Tatapannya memenjarakan Abel beberapa saat, lalu turun ke bibirnya.

Nugi mengusap pipinya dengan lembut, dan jantung Abel menggila. Helaan napas terlepas dari bibir Abel yang sedikit terbuka. Lalu ketika manik kelam itu mengikis jarak, Abel memejamkan mata.

Sapuan di bibirnya terasa ringan. Penuh dengan ragu dan kehati-hatian. Sebentar. Hanya sebentar sebelum Nugi menarik diri.

Abel membuka mata ketika lelaki itu mengusap dagunya.

"Masih sakit?" tanyanya pelan.

"Sedikit."

Lelaki itu menelan ludah, lalu kembali menunduk. Ketika sapuan itu terasa lagi, Abel kembali menutup mata. Abel masih bisa merasakan kegamangan pada sentuhannya, bercampur dengan rasa hangat dan lembut di saat yang sama.

Abel berusaha mengatur napas, mengikutinya dengan sabar. Kedua tangannya mencengkram erat kaus Nugi, mencoba tetap menguasai diri ketika panas terpantik di dada.

Ketika jemari Nugi memerangkap tengkuknya, desir darah Abel mulai menggila. Perlahan, dengan sama lembutnya, lelaki itu memperdalam ciuman. Gadis itu mulai kewalahan. Panas mengalir di seluruh lajur darah Abel hingga pikirannya mulai teraduk dan berceceran.

Gadis itu merengkuh leher Nugi, menjawab seluruh tuntutan lelaki itu dengan sama besarnya. Jemari Nugi yang semula sibuk memerangkap tengkuk kini berlari di pinggangnya. Mencengkramnya, memenjarakannya dengan kuat hingga gadis itu mendesah pelan.

Dalam nalar yang hampir hilang, Abel berjanji bahwa dia tidak akan pernah lagi menyepelekan kata 'semalam'.


*TBC*


He

Hehe

Hehehe

Haiii,

kalian keren banget 😭😭.

Terima kasih untuk semua apresiasi dan komentar untuk Gigi sama Bebel. Selamat sore semuanyaaa

Stay safe, stay healthy, and stay happy.

See you when I see you

I luv youu

❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top