37 | Amukan
Abel menelan ludah yang terasa kering, gadis itu meraba-raba di belakangnya dengan panik, lalu meraih selot jendela. Namun Alan meraih tangannya dengan cepat. Dihimpitnya Abel hingga gadis itu bisa merasakan hembusan napas Alan.
"Where are you going, Sabela?" bisik Alan. "Kamu tahu? Kamu cantik pakai itu. Apa ini sebuah sambutan untukku?"
Di tengah rasa takut yang mencekam, Abel mengayunkan clutch-nya dan memukul kepala Alan kuat-kuat hingga pria itu terhuyung. Gadis itu berusaha membuka jendela, lalu menjerit ketika rambutnya ditarik kuat. Ia menyeret Abel menjauhi jendela, dan menghempaskannya ke lantai.
Abel memberontak. Gadis itu mengayunkan clutch-nya lagi, namun Alan menghindarinya kali ini. Lelaki itu kembali meraih rambut Abel hingga seluruh kulit kepalanya terasa pedas. Dengan mata berair, Abel meraih apa pun yang bisa diraihnya, lalu menghantamkan helm ke kepala Alan hingga Alan melepaskannya.
Mencincing rok ketatnya, gadis itu berlari sambil berusaha meraih ponsel. Alan mengusap sisi kepalanya dan menggeram murka. Dalam beberapa langkah lebar, lelaki itu berhasil menangkap lengannya.
"Tolong!" teriak Abel sambil memukul-mukul Alan dengan clutch, namun Alan berhasil merampas clutch-nya. "To--"
Alan menamparnya hingga telinga Abel berdenging, lalu membanting tubuh Abel hingga menubruk rak buku sebelum tersungkur ke lantai. Dengan seringai puas, Alan menarik kaki Abel. Abel menjejaknya kuat-kuat hingga pegangan Alan mengendur. Merangkak, gadis itu meraih ponselnya yang terlempar. Namun Alan berhasil meraih kaki Abel hingga gadis itu kembali terjatuh dengan dagu menghantam lantai.
Nyeri hebat menguasai rahang hingga kepalanya terasa pening. Mata gadis itu memburam dengan cepat. Rambutnya yang sudah riap-riapan membuat Abel tidak bisa melihat dengan baik. dengan semuruh tubuh yang gemetar dan pandangan berkunang, ia berusaha membuka daftar panggilan dan menekan daftar paling atas.
Namun belum sempat Abel bersuara, Alan merampasnya dengan kasar. Seketika, wajah lelaki itu menggelap. Dibantingnya ponsel itu hingga layarnya retak dan mati.
Alan berusaha menyeret kaki Abel, dan Abel menggunakan posisi ini untuk menendang bahu Alan. Alan menggeram ketika Abel melepaskan diri dan merangkak menjauh. Lelaki itu kembali menariknya dengan kuat dan membalik tubuh Abel, lalu duduk tepat di atas perutnya hingga napas Abel terempas.
"Mengapa kamu membuatnya menjadi begitu sulit?" bisik Alan mencengkram rahang Abel dengan kuat dan menuangkan sesuatu di mulutnya hingga ia tersedak.
"Gadis pintar," bisik Alan dengan pandangan berkabut. Ia menarik kebaya Abel hingga terkoyak, lalu mendekatkan wajahnya. "Pelan-pelan saja, kita--argh!"
Abel menghantamkan punggung buku ke wajah Alan hingga mengenai mata lelaki itu. Abel segera membebaskan diri ketika pegangan di kakinya mengendur. Sekuat tenaga, gadis itu berlari menuju jendela, namun Alan kembali menangkap pergelangan kakinya. Ia menendang sembarangan, dan cekalan Alan terlepas. Abel mendorong dirinya sendiri keluar jendela, lalu jatuh bergulingan.
Gadis itu bangkit dan berusaha menjauh secepat mungkin. Ia terisak hebat. Wajahnya merah padam dan basah. Rambutnya kusut masai. Dengan tangan gemetar dan jantung yang bertalu kencang, Abel meraih gembok gerbangnya, lalu menangis ketika gemboknya terkunci.
"Tolong..." gumam Abel ketika tubuhnya mulai terasa lemas.
Gerbang tinggi yang tertutup setengah itu justru kini jadi penjara. Gadis itu menggoyangkannya dengan putus asa.
Jalanan sepi dan gelap. Pada perumahan yang masih sepi penghuni begini, beberapa blok masihlah berupa lahan kosong yang penuh semak belukar. Ada tetangga di sebelah rumah dan di depan rumah, namun pintunya tertutup.
"Tolong." Abel terduduk ketika ia tidak bisa merasakan kaki-kakinya. Sesuatu yang panas dan sangat mengganggu mulai menjalar di sekujur tubuh Abel.
Dalam pandangan yang mulai berkunang, ia melihat pintu terbuka. Alan muncul di sana dengan mata yang memerah. Memar kemerahan muncul di kening akibat terhantam punggung buku. Namun Lelaki itu mendekati Abel dengan tenang.
"Jangan begini, Sayang." Alan berjongkok. "Orang-orang akan menyangka kita sedang bertengkar."
Abel ingin berteriak dan memberontak, namun seluruh ototnya terasa tidak berdaya. Sekuat apa pun ia mendorong pita suaranya, gadis itu tidak bisa berbicara. Abel semakin meringkuk ke pagar ketika Alan menjulurkan tangannya.
Alan membelai pipi Abel, dan sengatan panas membuncah di dadanya. Gadis itu bergerak gelisah, sementara rintihan lirih keluar dari mulut Abel tanpa mampu ditahan gadis itu. Abel menangis. Gadis itu menggigit bibirnya kuat-kuat demi menghalau monster yang mulai menggeliat di dalam tubuhnya. Senyum Alan mengembang dan membopong gadis itu dengan mudah.
"Let's play a game, Sabela."
Alan bersenandung pelan. Ia menutup pintu dengan kakinya, bertepatan dengan sebuah mobil yang berhenti tepat di depan rumah Abel.
===
Nugi terbangun karena tangisan Talita. Balita itu memanggil nama Abel berkali-kali, dan Mita sedang menenangkannya.
Jadi, Abel sudah pulang?
Baguslah.
Lelaki itu menatap langit-langit mobil. Kepalanya sedikit pusing karena ia kurang tidur tadi malam. Sebab selepas Abel pergi, lelaki itu kembali menjadi buronan Manda di setiap malam.
Getar ponsel menarik atensinya. Nugi membaca nama Abel di sana, lalu menghela napas. Kemudian, ia mengangkatnya.
Suara gemeresak, siapan keras, lalu sambungan mati.
Nugi menatap ponselnya lagi, lalu balas menelfon kali ini. Tapi, ponsel Abel justru tidak bisa dihubungi.
"Nda, balik," ucap Nugi.
"Hm?" Manda menatapnya dari spion. "Balik ke mana?"
"Ke rumah Abel," kata Nugi singkat. Lelaki itu kembali melakukan panggilan. "Sekarang, Nda."
Mita ikut menoleh ke belakang. "Ada apa, Gi--"
Nugi menatap Manda dengan tajam. "Balik. Sekarang!"
Manda menatap Nugi beberapa saat, lalu berbalik arah. Mita yang melihat ketegangan di wajah Nugi, ikut meraih ponselnya. Namun, nomor Abel tidak bisa dihubungi. Mita berusaha menenangkan Talita yang masih rewel meskipun ia mulai merasa cemas. Mereka belum begitu jauh, jadi seharusnya mereka bisa sampai di rumah Abel dengan cepat.
Nugi langsung keluar dan berusaha membuka gerbang, lalu menghempaskannya.
"Masih kekunci," gumam Nugi. Lelaki itu berusaha menjauhkan Talita yang berhenti menangis dan memainkan gerbang dengan penuh harap.
Mita memencet bel dua kali, namun tidak ada tanggapan dari dalam, sementara Manda berkacak pinggang sambil menjulur-julurkan kepala.
"Kenapa? Lo dapat telfon dari dia?" tanya Manda.
Nugi tidak menjawab. Ia justru mendekati Mita. "Mbak, japit rambut kecil. Dua."
"Tapi Gi, itu nggak sopan--"
"Mbak," ucap Nugi tajam.
Mita segera melepaskan dua japit rambut dari sanggulnya, lalu menatap cemas pada Nugi yang segera mengutak-atik gembok gerbang Abel. Mita menelfon Abel sekali lagi, namun nihil.
Gerbang menjeblak terbuka tidak lama kemudian. Nugi melangkah masuk dan mengetuk pintu rumah.
"Bel?" panggil Nugi. "Sabela--"
Panggilan Nugi terhenti ketika ia melihat jendela di samping pintu yang bergoyang karena tertiup angin. Ketika menyadari jika tirainya terkoyak, wajahnya mengeras. Lelaki itu mencoba membuka pintu, lalu sadar jika pintu itu tidak terkunci. Ia mengepalkan tangan kala melihat ruang tamu yang berantakan.
"Kamu jangan masuk. Hidupkan mobil, buat jaga-jaga," pinta Manda pada Mita yang menggendong Talita. Tampak kecemasan pada wajah itu, namun Mita tetap mengangguk.
"Abel!" Nugi melangkah ke dalam rumah, lalu murka saat melihat ponsel Abel tergeletak pecah di lantai. "SABELA!"
Nugi meraih pintu kamar Abel, lalu menendangnya ketika pintu itu terkunci. Sekali, dua kali, tiga kali, dan pintu menjeblak terbuka pada tendangannya yang keempat. Nugi merangsek masuk, lalu terpaku.
Manda mengikutinya dengan tergopoh. "Gimana, Gi--"
"Jangan masuk," ucap Nugi datar sebelum menutup pintu dan mengganjalnya dengan kabinet kayu.
"GI!! EH BOCAH! BUKA PINTUNYA! SIALAN!" Raungan Manda menyertai gebrakan di pintu itu, namun Nugi tidak mendengarnya.
Karena saat itu, sesuatu yang besar tengah terayun ke kepalanya. Nugi menghalau dengan cepat hingga lampu meja itu terlempar dan pecah. Alan menggeram. Pria dengan seluruh kancing kemeja yang terbuka itu mengeluarkan pisau kecil dari dalam sakunya, lalu mengayunkannya dengan membabi buta.
Nugi menangkap lengan Alan dan menghempaskannya ke kabinet kayu. Ia menahan punggung Alan dengan kakinya, lalu memuntir tangan Alan hingga Alan berteriak dan pisau terlepas dari genggaman.
"RAHAGI! Tahan tangan, Gi! Dammit! BUKA PINTUNYA!" Raungan Manda masih bergema di depan sana, diiringi gedoran pada pintu hingga Alan meringis kesakitan karena tubuhnya yang terhentak.
Tapi seperti tadi. Indera pendengaran Nugi tuli untuk semua suara kecuali laju darah yang menggila di gendang telinga. Wajah lelaki itu datar, namun kemurkaan tergambar jelas pada tatapan dingin itu. Mengepalkan tinjunya, Nugi malayangkan pukulan di siku bagian luar Alan sebanyak satu,
dua,
tiga kali hingga lengannya patah.
Alan berteriak keras, tapi Nugi belum selesai. Masih dalam diam, Lelaki itu membalik tubuh Alan dan menahannya di kabinet, lalu melayangkan pukulan di antara kedua matanya hingga tubuh Alan mengejang.
Tendangan Manda berhasil mendobrak pintu. Lelaki itu merangsek masuk dengan tidak sabar, namun sesuatu yang besar menimpanya hingga ia terhuyung keluar kamar.
"SHIT!" Seru Manda terkejut ketika tubuh Alan ambruk di atasnya.
Nugi kembali menutup pintu dan menyugar rambutnya dengan kasar. Lelaki itu menutup matanya, berusaha meredam dentum jantungnya yang menggila karena amarah. Ia menghela napas sebanyak dua kali sebelum melangkah mendekati Abel.
Gadis itu berbaring di sana, masih dengan pakaian lengkap meskipun kebayanya sudah terkoyak. Roknya tersibak hingga ke paha. Tangan kanan dan kedua kakinya terikat ke kaki tempat tidur, sementara tangan kirinya terkulai dengan sebuah tali di sisi. Wajahnya begitu berantakan. Manik coklatnya mengikuti Nugi dalam diam, menangis.
Nugi memperbaiki rok dan pakaian gadis itu, lalu menutupinya dengan selimut.
"Aman, lo aman," gumam Nugi gemetar. Lelaki itu menaiki ranjang dan melepaskan satu persatu simpul yang memenjarakan Abel. Pintu terbuka, dan Manda melotot sebelum berbalik dan menendang tubuh Alan dengan jijik.
Nugi mencari-cari luka yang sekiranya mengeluarkan darah, tapi tidak menemukannya. Hanya saja, memar di pergelangan tangan dan dagu itu terlalu kentara hingga Nugi perlu menghela napas lagi agar bisa mengendalikan diri. Dengan lembut, lelaki itu membopong Abel beserta selimutnya.
"Abel perlu dibawa ke rumah sakit, Gi. Lo tunggu di sini sampai Raka--" Manda menduduki tubuh Alan yang tertelungkup di lantai.
"Lo jaga dia," ucap Nugi melewatinya. "Jangan sampai gue lihat dia lagi."
Manda mengangkat alis ketika punggung jangkung itu menjauh. Ia menggaruk dahi dengan grogi, lalu menoleh pada Alan. "Bung, lo salah lawan."
Mita terbelalak kala melihat mereka berdua. Namun, hal yang paling membuatnya waspada adalah ekspresi Nugi.
"Kenapa?" bisik Mita. "Mas Manda mana?"
"Manda di dalam. Dia perlu nunggu Raka sampai di sini...dan Mbak, Mbak Mita--" Nugi memejamkan mata untuk menenangkan diri. "Aku bawa dia ke rumah sakit dan--tolong baju-bajunya. Mbak yang paling tahu...dompet, barang-barang pribadi, apa pun yang perlu--"
"Iya, ngerti." Mita menepuk pundak Nugi dan mengusap dahi Abel. "Bawa ke rumah sakit. Nanti kami nyusul."
Nugi berterima kasih dan mendudukkan Abel di dalam mobil. Lelaki itu duduk di kursi kemudi, lalu mencengkram rambutnya dengan frustasi. Namun ketika ia menoleh ke arah Abel, Nugi berusaha menenangkan diri.
Perlahan, mobil melaju dalam kegelapan malam.
===
Malam semakin larut, namun bilik kamarnya riuh dengan bisik-bisik beberapa orang.
Butuh satu jam sebelum Abel mampu menggerakkan seluruh otot-ototnya dengan penuh kesadaran.
Jujur saja, hal terakhir yang mampu ia ingat dengan baik adalah ia yang melompat dari jendela, lalu putus asa ketika sadar jika gerbang masih terkunci. Setelahnya, kesadaran Abel seperti teraduk dan berceceran. Ia ingat Alan membopongnya ke kamar. Sambil berucap entah apa, pria itu mengikat tangan dan kaki Abel, lalu berhenti ketika gebrakan keras terdengar olehnya. Seseorang masuk, namun Abel tidak bisa melihatnya dengan jelas. Hanya saja, aroma citrus itu sangat ia kenali. Lalu suasana berganti cepat seperti film yang di-fast forward. Tiba-tiba saja semuanya menjadi serba putih dan berbau antiseptik. Kemudian mual tidak terkira menyerangnya seiring dengan kemampuan Abel meraih kendali diri.
Mungkin, memang lebih baik dia tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Sebab, dia pasti akan jijik sekali dengan tubuhnya.
Mita, Manda, dan anak-anak PE berlalu lalang. Raka datang bersama beberapa orang berwajah serius. Mereka menanyai keluarga Manda satu-persatu, lalu pamit untuk bertanya pada dokter. Gaby pun juga datang. Ia bercakap dengan Nugi sejenak, lalu pergi.
Satu-satunya orang yang tidak pernah meninggalkan sisi Abel hanyalah Nugi.
Sejak ia dibawa kemari hingga sekarang, lelaki itu duduk di samping Abel sembari menggenggam tangannya. Ia hanya pergi ketika Abel berganti pakaian, lalu kembali duduk di sampingnya.
"Biarin tidur dulu. Kata dokter udah bagus sekarang. Mas, tadi kata Raka--"
Suara Mita terdengar berbisik-bisik ketika Abel memejamkan mata. Ia mendengar tirai yang tertutup mengelilinginya, lalu bisik-bisik itu menghilang. Padahal, ia tidak tertidur. Dia hanya berusaha meredam pusing di kepala.
"Nggak ikut keluar?" tanya Abel ketika genggaman di jemarinya tidak ikut menghilang.
"Gue temenin," gumam Nugi, dan Abel merasakan belaian ringan di kepala. "Tidur."
Gadis itu membuka mata, lalu menatap Nugi. Wajahnya terlihat kacau dengan kantung mata tebal sekali.
"Kenapa lo bisa datang?"
"Lo telfon gue, ingat?"
"Iya?" Abel berusaha mengingat-ingat, namun kepalanya justru nyeri hebat. "Gue...nggak tahu, gue panik banget. Gue nggak sempat baca daftar nama, jadi gue buka daftar panggilan. Gue pencet paling atas, harusnya itu waktu gue ngobrol tentang tambak pagi tadi sama Saka--"
"Bukan Saka. Itu gue," ucap Nugi. " 'Hei, thank you for the cupcake?' Nggak ingat juga? I am your last call, Sabela."
Abel mengerjap.
"Ingat?" tanya Nugi lagi.
Abel mengangguk. "Thank you, I guess."
"Dia orang yang selama ini ganggu lo?" tanya Nugi tiba-tiba dengan rahang yang kembali mengeras. "Lo sering kelihatan takut tanpa alasan."
Abel menelan ludah. Gadis itu menatap langit-langit, lalu mengangguk singkat. Nugi menggeram.
"Kenapa--" Nugi menghentikan kalimatnya, lalu menghela napas panjang. "Sorry. Nggak perlu diingat-ingat lagi. Just sleep."
"Gue udah nggak papa. Lo bisa nunggu di luar."
Bibir Nugi menipis. Lelaki itu menggeleng sambil terus membelai kepalanya. Abel menatapnya sejenak, lalu menyerah untuk berdebat. Ia letih lahir dan batin.
"Terima kasih." Abel memejamkan mata. "Apa pun alasannya, terima kasih sudah datang. Gue udah baik-baik aja. Jadi lo nggak perlu merasa harus di sini, Nugi."
Nugi menggeleng lagi, lalu merebahkan kepalanya di sisi tempat tidur.
"Kalau gue keluar dari sini sekarang, gue cuma akan cari dia," gumamnya kembali meraih jemari Abel. "Besok gue pergi. Malam ini gue mau di sini."
Abel mendengarnya, namun tidak menjawab. Ia sudah kewalahan melewati hari ini, dia tidak punya sisa tenaga untuk menangani carut marut hatinya karena sikap Nugi.
Dibiarkannya hening berkuasa, lalu Abel menyerahkan diri pada kelam yang menjemputnya.
*TBC*
Haiiii,
Selamat siang, selamat hari Rabu
Please be careful my dear. Stay safe, stay healthy, and stay happy.
I luv youu
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top