34 | Rupanya

"Berarti, tinggal guidelines aja?"

Abel mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Manda.

"beberapa hari lagi selesai," ucap Abel. "Mas Manda bisa lanjutin proyek sama Bang Leo dengan tenang."

Manda mengerucutkan bibir, lalu membelai dagunya sambil menimbang-nimbang. "Leo masih lajang, kalau lo penasaran."

Abel mengerutkan kening, bingung dengan arah pembicaraan yang berubah tiba-tiba. "Terus?"

Manda mengawasi Abel dengan lekat. "Masih muda, kan? Seusia Nugi. Fyi aja kalau lo mulai naksir dia."

Abel terkekeh pelan. "Bang Leo orangnya kreatif dan antusias banget. Dia jelas orang yang asik buat diajak kerjasama. Tapi naksir, itu kata yang jauh sekali."

Manda nyengir lebar, lalu meregangkan tubuhnya sendiri. "Ngomong-ngomong, apa itu Insight Design and Studio? Gue lihat itu di buku sketsa tadi. Lo udah mulai nerima proyek lain?"

"Ini?" Abel membuka corat-coretnya tentang Insight. "Aku ada rencana ngebuka studio desain sendiri."

"Iya? It's good then. Khusus desain grafis aja atau meluas ke bidang advertising?" tanya Manda nampak tertarik.

"Aku baru kepikiran untuk fokus ke pelayanan desgraf dulu. Aku merasa lebih baik mengembangkan satu niche daripada berusaha membuka banyak niche tapi kualitas rata-rata. Desain grafis memang bisa diperluas ke banyak bidang. Tapi Insight, dia akan fokus ke desgraf dulu. Punya pasar yang kuat dulu."

Manda mengangkat alis. "You know what? Lo orang yang cukup bagus di bidang strategi marketing, Bel. Yang paling kelihatan adalah, lo orang yang handal dalam membaca pasar."

"Tolong tambahkan itu di testimoni instagramku ya, Mas." Abel tertawa pelan. "Desainer grafis nggak cuma coret-coret lalu jadi. Ada banyak proses di belakangnya demi menciptakan sebuah desain. Hal yang paling utama adalah, gimana caranya logo itu mampu berguna secara efektif bagi klien. Jadi, kami memang harus pandai-pandai baca pasar klien."

"Kan, otakmu itu udah otak bisnis," gumam Manda. "Jadi kapan mau buka?"

"Ng...mungkin tahun depan. Masih banyak yang perlu aku siapkan." Abel mengusap keningnya. "Rencananya mau ambil kerja remote buat nambah pengalaman."

Mendengarnya, Manda mengangkat wajah. "Remote?"

Abel mengangguk. "Aku kepingin banget nyoba hal baru di bidang desain grafis. Itu pasti akan menarik sekali."

Manda bisa menangkap antusiasme dalam suara maupun tatapan gadis pendiam itu. Tampaknya ia bersemangat sekali dalam merancang masa depannya.

"Bukan berarti lo perlu ke LN, kan?" tanya Manda. "Lo bisa mengerjakan semuanya dari sini."

Abel mengangguk. "Tapi ada beberapa perusahaan yang mengharuskan pegawai remote mereka belajar dulu tentang perusahaan selama beberapa bulan awal. Kavi kemarin, temanku yang juga anak desgraf, perlu empat bulan perkenalan sebelum akhirnya diperbolehkan remote."

Manda menatapnya, lalu mengangguk singkat. "Gue selalu senang ngedengerin anak-anak muda yang bercerita tentang mimpinya. Mereka terlihat bersinar. Di sisi lain, ada anak muda yang bahkan nggak pernah berpikir tentang masa depannya. It's kinda sad. Mungkin orang-orang yang bersinar seperti lo, bisa kasih sedikit pencerahan buat dunianya yang suram. Lo dan energi positif lo itu, mungkin bisa kembali mengingatkan dia jika di dunia ini masih banyak hal indah yang sayang kalau dilewatkan."

Manda tersenyum, lalu berjalan ke dalam rumah. Sementara, senyum Abel luntur perlahan ketika ia menyadari siapa yang dibicarakan Manda.

Padahal, dia bukanlah orang yang penuh dengan energi positif. Dia hanya berusaha mempertahankan secercah terang di dunianya yang begitu gelap. Sebab, desain grafis adalah satu-satunya hal yang membuat Abel merasa merdeka.

Lamunan Abel diinterupsi oleh sebuah dering dari nomor yang membuat bulu kuduk Abel berdiri. Itu, adalah panggilan ke delapan selama sepagian ini. Gadis itu segera menolak panggilan, lalu buru-buru masuk ke dalam rumah.

Tapi rasa takut itu luntur ketika ia melihat Nugi sedang bermain gitar bersama Talita. Mereka berdua duduk di karpet bulu di depan televisi. Meskipun terbata, gadis cilik itu mengikuti lagu Twingkle-Twingkle Little Star yang dinyanyikan Nugi. Sementara di hadapannya, Nugi yang masih setia dengan sweater kedodoran dan celana trainingnya mengiringi duet maut mereka dengan petikan gitar. Wajah lelaki itu masih beraroma bantal, dan rambutnya masih acak-acakan, tapi ada senyum yang menggantung di ujung bibir ketika memandu Talita bernyanyi.

Tinggal menghitung hari sebelum proyek benar-benar selesai dan Abel harus pergi dari sini. Tapi mendadak saja, ia jadi takut pulang ke rumah.

Rumah itu, pasti akan terasa sepi. Tidak akan ada hal yang bisa melunturkan rasa takutnya seperti saat ini. Tidak akan ada lagi sosok Manda yang selalu bertanya 'apa agenda hari ini' setiap selesai makan. Tidak akan ada Mita yang mengajarinya memasak dengan sabar. Tidak akan ada Talita yang memanggil Abel dengan suara imutnya.

Dan tidak akan ada lagi Nugi yang memasuki dapur dengan sweater kedodoran, training hitam dan handuk tertangkup di rambutnya yang masih basah.

Padahal, Abel sudah memperingatkan diri untuk tidak terlena pada kehangatan keluarga ini. Tapi tetap saja dia tidak bisa. Seperti seseorang yang ditawari selimut ketika kedinginan, Abel tetap meraihnya dengan rakus.

Abel menunduk ketika sadar jika matanya berair. Gadis itu mengusap pipinya, lalu berjalan menuju Talita dan menciuminya dengan gemas.

"Bebel!" Talita menunjuk gitar Nugi sembari menatapnya dengan penuh harap. "Gigi?"

"Sini Bel," gumam Nugi yang mengencangkan senar gitarnya. "Nyanyi apa? Yang Lita ngerti, tapi."

"Gue nggak bisa nyanyi," ucap Abel yang masih menyerang Talita dengan ciuman di pipi. "Sama Lita aja. Suara gue nggak bagus."

Nugi menyipit tidak setuju, dan Abel tertawa kecil.

"Nggak bohong. Lo bakal ngeri kalau denger suara gue." Abel berkata di sela tawa. Gadis itu memberi ciuman terakhir di pipi Talita sebelum kembali mendudukkannya di karpet bulu. "Nyanyi sama Om, ya. Tante mau masak."

Abel hendak bangkit ketika Nugi meraih ujung kausnya. Abel menatap jemari Nugi, lalu menoleh ke arahnya.

"Kenapa, Gi?"

Nugi menatapnya beberapa saat, sementara manik kelam yang menatapnya dalam diam itu mulai mengganggu irama jantung Abel.

Tanpa melepaskan Abel, lelaki itu berkata, "Lo belum pernah kenalan sama Mae."

"Mae?" Abel mengerutkan kening.

Nugi mengangkat gitarnya. "Maemunah."

"Oh...nice to meet you, Mae." Abel membelai gitar itu sesaat. "Udah kenalan. Jadi, boleh pergi? Mau bantu Mbak Mita."

Nugi melepaskan ujung kausnya dan mengangguk. Ketika Abel sudah berjalan beberapa langkah, didengarnya lelaki itu kembali berkata.

"Kalau udah selesai, ke sini lagi. Ditunggu Lita."

Abel tidak menjawab, namun ia tidak bisa menahan senyuman kecil di bibirnya.

===

"...masih tidur!"

"Bangunin, lah. Udah harus ngisi ini."

"Nggak, ah. Nggak berani. Dia...kayaknya mimpi buruk--"

"Ck! Ya udah, nanti aku aja yang ngebangunin! Kamu handle tamu dulu sana!"

Si pegawai yang lebih muda memasang wajah resah, namun pergi juga. Sementara si pegawai yang lain kembali menghadapi Abel dengan senyum ramah.

"Maaf. Selamat siang, selamat datang di Athlas. Silakan daftar menunya, Kak."

"Terima kasih." Abel menerimanya.

Gadis itu memesan menu dan membayarnya sebelum kembali ke meja. Abel mengeluarkan laptop dan segala berkas yang berkaitan dengan proyek Athlas. Tapipercakapan dua pegawai tadi membuyarkan konsentrasinya. Ujung pensil Abel tergantung beberapa milimeter dari atas kertas ketika ia kembali teringat perkataan Manda berbulan-bulan lalu.

"...dia bekerja tanpa, apa ya kalau gue bilang? Tanpa rasa? Jiwa? He is a dead man walking. Soulless. He's still good, tho. Bahkan dengan setengah hati, dia udah hebat. Tapi lo bisa lihat, dia selalu melarikan diri kalau ada kesempatan."

Melarikan diri.

Apakah...dia memang selalu seperti ini ketika pamit pergi ke Athlas atau Comma?

Abel tahu dia bermain asumsi. Dia bahkan tidak yakin siapa yang dimaksud oleh dua orang tadi, tapi ngisi, itu maksudnya mengisi segmen menyanyi di kafe, kan? Siapa lagi cafe singer Athlas jika bukan Nugi? Dan mimpi buruk, adalah dua kata yang selalu mengingatkan Abel pada Nugi.

Namun asumsinya terjawab dengan cepat.

Nugi muncul tidak lama kemudian. Rambutnya yang berantakan terlihat sedikit basah, sementara matanya masih tampak merah. Lelaki itu memakai kaus hitam polos yang dilapisi kemeja biru dengan lengan kemeja yang dilipat hingga ke siku. Ia menyugar rambutnya beberapa saat, dan duduk sambil memangku Maemunah.

Tepuk tangan merambah ketika lelaki itu berbasa-basi, dan Abel mendengkus geli. Gadis itu bertopang dagu, mengamati tingkah laku Nugi. Petikan pertama terdengar lembut, dan Nugi mulai mengalunkan lirik pertama lagu Here Without You milik 3 Doors Down dalam versi akustik.

Beberapa pengunjung tampak terbawa suasana, mereka bahkan ikut bernyanyi. Namun ekspresi dan cara Nugi bernyanyi, tidak bisa Abel abaikan begitu saja. Gadis itu menelan ludah, lalu memalingkan wajah ketika merasa tidak mampu lagi. Dengan tangan gemetar, Abel berusaha fokus dan kembali melanjutkan sketsanya.

Dulu ketika mendengar Nugi bernyanyi untuk pertama kali, Abel hanya fokus pada kenyataan bahwa Nugi bisa membuat orang-orang tersenyum karenanya. Tapi setelah mendengar tentang Ganis, mungkin semua lagu yang dibawakan Nugi dipersembahkan untuk mendiang gadis itu.

Abel mengusap dada. Sebuah rasa tidak suka menyelusup halus di sana, membuatnya begitu terkejut hingga Abel segera mengenyahkan pikiran itu jauh-jauh.

Gadis itu bergeser sedikit demi menutupi pandangannya ke arah Nugi. Ia meneguk minumannya, lalu berusaha kembali berkonsentrasi. Hingga beberapa saat kemudian, pesan Nugi muncul di layar ponselnya.

"Kapan berangkat ke Athlas?"

Abel menggigit bibirnya sejenak, lalu membalas, "Udah di sini."

"Di lantai atas?"

"1"

"Di mana? Nggak kelihatan."

"Baru konsen. Lanjutin nyanyi, Gi."

Abel meletakkan ponselnya dengan sedikit kesal, lalu mengusap keningnya ketika ponselnya kembali berdenting.

"Udah makan?"

"Nanti."

Abel mendesah pelan, bertanya-tanya dalam hati mengapa ia merasa kesal saat ini.

Di depan sana, Nugi kembali bernyanyi Don't Wanna Miss A Thing milik Aerosmith. Gadis itu melirik ponselnya yang sudah terdiam lagi, lalu melanjutkan aktivitas dengan perasaan yang sedikit kacau. Beberapa puluh menit berlalu dengan Abel yang tenggelam dalam susunan guidelines-nya, hingga sepiring fish and chips lengkap dengan salad dan saus tar-tar mendarat di meja.

Abel mengangkat wajah, dan menemukan Nugi menatapnya datar.

"Nanti kapan? Ini udah lewat jam makan siang."

Abel meraih minumannya demi mengalihkan tatapan. Didengarnya Nugi menghela napas dalam.

"Gue yang bikin ini, jadi jangan khawatir. Lo sedari tadi cuma pesan minum kan, Bel? Masih takut makan di luar?"

"Gi..." geram Abel pelan. Gadis itu merendahkan tubuh karena orang-orang mulai menatap mereka dengan ingin tahu.

"Lo sakit mereka nggak peduli, Bel. Dihabiskan," gumam Nugi.

Abel menarik piring sambil mencebik kecil.

"Jangan gitu bibirnya." Nugi tersenyum tipis sambil mengusap puncak kepala Abel. "Dimakan, oke? Gue ke Comma."

"Sekarang?" Abel mengerutkan kening. "Bukannya barusan manggung?"

"Ketiduran lama tadi," kekehnya pelan. "Pulangnya hati-hati."

Lelaki itu menjauh sambil memakai topinya. Maemunah bertengger di punggung, dan kasak kusuk pelan mulai membumbung di sekitar Abel. Wajah Abel membara. Gadis itu mengunyah kentang gorengnya sambil menunduk dalam, sadar sekali sang kasir menjulur-julurkan leher dengan ingin tahu ke arahnya.

Dia memang tidak berminat di sini lama-lama. Dia hanya ingin merasakan vibe Athlas sambil menikmati Americano ala Athlas yang menjadi favoritnya, lalu kembali ke rumah Manda.

Ponselnya berdering kali ini. Abel langsung menyahutnya ketika melihat nama Ratri di layar.

"Kenapa, Mbak?" tanya Abel dengan jantung yang mulai bertalu.

"Mbak, Bapak masuk rumah sakit," gumam Ratri pelan dengan tergesa.

"Papa kenapa?" tanya Abel cepat. "Bukannya beberapa hari lalu masih baik-baik aja?"

"Bapak..." Kalimat Ratri terjeda sesaat. "Ng...Bapak tiba-tiba pingsan di kamar mandi, dan langsung dibawa ke rumah sakit kemarin sore. Ja--di....kata Dokter, Bapak ada kanker usus dan...perlu operasi segera karena ternyata udah pendarahan atau gimana gitu tadi kata Bu Mara."

Tubuh Abel mendingin. Sesaat, pikirannya membeku. Ratri berkata sesuatu, namun otak Abel tidak mampu memproses apapun kecuali pikiran tentang Windu.

"Rumah sakit mana?" cicit Abel mulai membereskan barang-barangnya dengan tangan yang gemetar.

Ratri menjawab dengan cepat, sementara Abel mencari-cari kunci motornya dengan kalut.

"Siapa yang nunggu Papa?"

"Saya, Mbak," kata Ratri kikuk. "Mbak Jani masih kerja, dan Bu Mara barusan balik ke pabrik, makanya saya berani telfon Mbak Abel. Bapak jadwal operasi satu jam lagi. Ini masih puasa. Saya takut, Mbak. Bapak pucet banget."

Mata Abel memanas, namun gadis itu berusaha menahannya. "Makasih, Mbak. Aku ke sana. Mbak Ratri udah makan?"

"Ah...saya gampang, Mbak. Yang penting saya udah ngabari Mbak Abel," ucap Ratri. "Saya tutup dulu ya, Mbak. Ada dokternya."

Abel segera beranjak dari sana, meninggalkan makan siang yang baru separuh dimakan. Gadis itu berjalan ke kasir dengan tergesa, membayar menu yang dibuatkan Nugi untuknya sekaligus memesan beberapa bungkus nasi goreng.

"Kak Abel, ya? Fish and chip-nya tadi udah dibayar, Kak," gumam si kasir seraya mencuri lirikan  ingin tahu ke arah Abel.

"Kalau gitu nasi gorengnya aja. Makasih," ucapnya tergesa.

Dia tidak bisa memikirkan apapun selain satu nama : Windu. Begitu pesanannya datang, Abel segera berlari ke parkir motor dan menuju rumah sakit.

===

Langkah Abel melambat ketika melihat Ratri bercakap dengan seorang lelaki di depan ruangan. Ketika Abel mendekat, lelaki itu  tersenyum kecil.

"Bel. Gimana kabarmu?" tanyanya ramah.

"Baik," jawab Abel sambil berusaha menjaga jarak. Ia mengulurkan bawaannya. "Makan siang. Kenapa pucat, Mas? Kalah sidang?"

Yudhis terkekeh. "Nih Mbak Ratri yang belum makan. Makan, Mbak. Gantian dulu sama Abel."

Pemuda itu masih memakai jas dan sepatu formalnya, tampak sekali sedang berada di tengah jam kerja. Wajahnya terlihat kuyu seperti orang yang tidak tidur selama berhari-hari. Ia mengajak Ratri duduk di kursi panjang di pinggir lorong, bercengkrama lirih.

Aroma obat-obatan menyergap hidung Abel ketika ia membuka pintu. Windu terbaring dengan selimut hingga ke dagu. Mulutnya terbuka, dan napasnya cepat. Begitu Abel mendekat, ia menyadari jika ayahnya tampak jauh lebih kurus dibanding waktu mereka bertemu terakhir kali.

Mata cekung yang tadinya menatap langit-langit itu melirik ke arah Abel. Abel buru-buru memasang maskernya, lalu mendekat.

"Pa," sapa Abel. "Abel temani--"

"Pergi."

Abel menelan ludah, lalu menggeleng. Ia mendekati ranjang Windu.

"Abel mau di sini sama Papa," ucap Abel dengan kerongkongan yang perih sekali.

Mata sayu Windu itu menatap Abel beberapa saat, lalu berbisik pelan sekali. "Mengapa wajahmu harus mirip dengan dia? Itu akan membuat istriku semakin sedih."

Abel memandangi Windu dengan mata yang mulai memburam. Tidak ada suara yang keluar, namun sepasang bibir di balik masker itu bergetar pelan.

"Kamu hanya membawa kenangan buruk untuk saya," gumam Windu lemah sambil memunggungi Abel. "Pergi. Jangan ke sini lagi."

"Pa--"

"Pergi!"

Abel memandangi punggung itu beberapa saat, lalu menghapus air mata yang mengalir di pipi.

"Papa cepat sembuh," ucap Abel dengan suara gemetar. "Papa jangan sakit lagi--"

Abel memejamkan mata, lalu akhirnya ia meninggalkan ruangan.

"Udah ketemu, Mbak?"

Abel mengangguk. Menunduk, Abel duduk di sebelah Ratri.

"Gantian sama aku, Mbak," gumam Abel. "Mbak Ratri bisa pulang dulu."

"Jangan!" Ratri menggeleng panik dengan mulut penuh nasi goreng. "Nanti kalau Bu Mara tahu, bisa bahaya."

"Ah...iya." Abel terkekeh kaku. "Mas Yudhis, dikasih tahu Mbak Jani?"

"Saya yang kasih tahu, Mbak. Setiap hari lho, Mas Yudhis tanya kabarnya Mbak Jani. Jadi waktu tadi telfon, sekalian saya kasih tahu kalau Bapak mau ope--rasi..." Ratri meringis ketika Yudhis menatapnya dengan datar. "Maaf, keceplosan."

Yudhis menghela napas panjang dan tersenyum kecil. "Yah, begitulah."

Yudhis mengatakannya dengan getar di pupil mata, membuat Abel mengerti ada kesedihan besar yang terperangkap di belakang manik itu. Yudhis berdeham dan kembali menyantap makan siangnya.

"Athlas, ya?" Yudhis mengangkat nasi gorengnya.

Abel mengangguk. "Enak, kan? Rasanya nggak mudah dilupain. Padahal itu cuma nasi goreng seafood biasa."

"Kenapa Pak Abid?" Ratri meletakkan nasi gorengnya dengan kikuk, lalu buru-buru menjauh. "Eh, kemarin aku taruh di gudang, kok. Coba dicari di sana--"

Keheningan melanda dua orang itu untuk beberapa saat. Abel bergeser hingga ke ujung yang berlawanan dengan Yudhis, lalu Abel memejamkan mata.

"Kata dokter, kanker usus memang sering terdeteksi saat sudah memasuki stadium lanjut," ucap Yudis tiba-tiba. "Gejala awal terkadang diabaikan oleh pasien. Om Windu bilang kalau BAB sering ngikut darah, tapi beliau mengira itu karena wasirnya. Sakit perut yang selama ini menjadi sinyal pun, dianggapnya hanya sakit perut biasa. Orang rumah baru sadar kalau ada yang salah sama Papamu ketika beliau pingsan di kamar mandi."

Abel mendesah pelan, namun tidak berkata apa-apa.

"Ngomong-ngomong, mau nunggu sampai selesai operasi apa--"

"Ngapain di sini?"

Suara sedingin es itu membuat keduanya menoleh. Jani mendekati mereka dengan tatapan penuh amarah. Ia menatap Yudhis dengan senyum miring, lalu bersedekap.

"Jadi, ternyata Yudhistira selalu bertemu dengan si pelacur di belakang punggungku. Dan dia selalu berkata bahwa dia orang yang jujur?"

Yudhis menatap Jani sesaat, lalu berdiri dan berjalan pergi begitu saja. Jani memandangi punggung itu sebelum menatap Abel dengan tajam.

"Lo juga, pergi," desis Jani.

Abel menggigit bibirnya sambil menggeleng. "Aku mau nemenin papa--"

Perkataan Abel tidak pernah selesai karena Jani langsung masuk ke dalam ruangan. Abel menghela napas dalam, lalu kembali menghempaskan diri di kursi. Dia tahu keadaan akan semakin memburuk untuknya ketika Mara datang.

Tapi,

Windu juga ayahnya. Bukankah ia juga berhak mengkhawatirkan Windu? Bukankah ia juga berhak berada di sini dan menemani pria itu?

===

"Sori, nanti malam gue kirim," gumam Abel pada Saka sore itu. Gadis itu memasuki rumah Manda dengan letih. "Udah kok, udah jadi."

"Oke. Agak cepat ya, Bel. Kalau bisa sore ini, sih."

"Oke, sore ini."

Abel mematikan sambungannya, lalu memijit kepalanya yang terasa pusing.

Dia menunggu Windu selesai operasi meskipun ia harus selalu menjaga jarak dengan Mara dan Jani. Seperti biasa, Mara menganggapnya tidak ada. Abel seperti hantu yang berdiri di sisi sepi sementara Jani dan Mara saling mengobrol. Namun Abel berusaha menguatkan diri. Papanya sedang menghadapi hal yang sulit. Setelah memastikan bahwa Windu berhasil melewati semuanya dan kembali ke bangsal, Abel baru berani pulang.

Dilihatnya sepasang sandal hitam milik Nugi, bersanding dengan sepasang sepatu yang tidak dimiliki oleh penghuni rumah Manda, namun Abel tahu sepatu ini milik siapa. Ketika di rumah sakit tadi, Nugi berkata bahwa Raka akan mampir ke rumah sore hari. Seperti biasa, ia akan memberitahu Abel jika ada anak PE yang akan mampir di rumah.

Setelah pikiran yang begitu penuh dengan Windu, juga tekanan yang diberikan Mara dan Jani, Abel harus berterima kasih pada perhatian kecil yang ditunjukkan oleh Nugi. Sebab, dia memang belum bisa terbiasa dengan kehadiran anak-anak PE. Terutama para lelakinya. Bahkan dengan Ali pun, Abel berlum terbiasa. Dulu ia memberanikan diri menghadapi Ali karena ada yang ingin ia tanyakan pada Ali.

"...telah tadi malam, kan? Nggak lucu kalau pas nikahan jadi mayat hidup."

Abel langsung berjalan dengan gugup. Ia menuju dapur karena haus sekali, tapi justru mendengar suara Raka di taman kamboja. Nugi tertawa pelan diiringi petikan gitar yang main-main.

"Lo kapan ngelamar Gaby?" tanya Nugi.

"Minggu depan," jawab Raka mantap. "Gue nunggu Papa pulang dulu. Yah, kalau dia beneran pulang. Kalau nggak, gue tetap ngelamar dia. Yang penting papa gue tahu."

"Good," jawab Nugi singkat.

"Sekarang, cukup tentang gue. Gimana kemajuan lo sama Abel?"

Gelas tergelincir dari jemari Abel. Untungnya, Abel bisa menangkapnya tepat waktu. Abel menelan ludah, sementara jantungnya berdentam dengan sangat tidak tahu diri.

"Untuk kesekian kalinya, kami nggak ada apa-apa," gumam Nugi. "Gue cuma berusaha menebus dosa masa lalu gue sama dia."

"Gi--lo...berusaha denial atau apa?" tanya Raka dengan nada tidak percaya. "Nggak sehat, denial-denial begitu! Shit, man! Lo pikir gue sebego apa sampai nggak bisa ngebaca tingkah laku lo buat dia selama ini?"

"Apa?" gumam Nugi. "Gue baik sama dia terus lo artiin itu sebagai tanda kalau gue suka Abel dengan cara yang istimewa, begitu?"

"Nggak?"

"Nggak," ucap Nugi pelan. "Ganis masih di atas segalanya. Ganis harus di atas segalanya."

"Tapi Gi--"

Nugi memotong kalimat Raka dengan tawa kecil. "Gue ini orang yang dimurkai Tuhan, Ka. Gue berusaha sebisa mungkin bikin Abel nggak susah, ngebantu dia dengan segala hal yang gue bisa, karena gue memang mau menebus dosa gue sama dia. Gue...punya banyak salah sama dia. Banyak banget. Waktu ketemu dia lagi, gue pikir itu kesempatan yang diberi Tuhan untuk menebus dosa masa lalu gue."

Hening sesaat, lalu terdengar suara Raka.

"Gi...lo nggak mau berusaha, gitu?" tanya Raka dengan nada khawatir yang kentara. "Maksud gue, tepikan karma dan tebus dosa. Dua tahun itu waktu yang cukup lama. Lo udah cukup lumutan di satu titik yang sama--"

"Apa masalahnya?" gumam Nugi. "Ganis bahkan nggak bisa menikmati masa depannya karena gue. Gue cuma mau menebus dosa gue. Barangkali dengan begitu, Tuhan berhenti nyiksa gue, lalu berbaik hati ngambil gue dengan cara yang sama dengan apa yang udah gue lakuin ke Ganis."

"Tapi Ali bilang--"

"Lo mau nambah kopi, nggak?"

Raka berdecak keras. "Sekalian!"

Seharusnya, Abel menyingkir begitu langkah kaki itu mendekat. Namun Abel tidak bisa. Tubuhnya terpaku di lantai dapur, sekujur tubuhnya mendingin, dan otaknya terasa macet.

Ketika sepasang manik legam itu menatap Abel dengan terkejut, tidak ada yang mampu Abel lakukan selain menatapnya dalam diam. Lelaki itu menatapnya sejenak, lalu mendekatinya perlahan.

Aroma citrus yang bercampur dengan vanila mulai memenuhi rongga hidungnya ketika Nugi berhenti tepat di hadapan Abel. Lelaki itu menunduk, menatapnya tanpa suara untuk beberapa saat lamanya. Ketika jemari lelaki itu terjulur ke pipinya, Abel menepis kuat-kuat.

Nugi terpaku sejenak, lalu menyisipkan tangannya ke saku.

"Udah pulang?"

Abel menggigit bibirnya keras-keras demi menahan sesak di dada. Gadis itu mengusap pipinya yang basah, lalu berdeham.

"Tahu nggak, Gi?" Abel menatap sepasang manik legam itu. "Lo nggak perlu repot-repot."

Abel berjalan ke kamarnya dan menutup pintu dengan cepat, lalu membungkuk ketika perih menusuk dada dengan kuat. Gadis itu menggigit bibirnya hingga berdarah, sementara air mata mulai mengalir ke dagu tanpa suara.

Tuhan,

ada apa dengannya?

Mengapa rasanya sakit sekali?


*TBC*




I could stay awake,
just to hear you breathing.
watch your smile while you're sleeping,
While you're far away and dreaming.
I could spend my life in this sweet surrender~~

Jadiii, hariku ditemani sama dua lagu di atas. Armageddon is one of my fav movie.

Happy friday, sayang-sayangku. Please becareful, be happy, be healthy, be safe.

Do not forget to love yourself, my dear.

I luv yuuu
❤️❤️❤️












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top