32 | Kotak Pandora

"Hari ini gue nggak pulang. Gue rasa gue perlu bantu-bantu Ali," ucap Nugi sambil tersenyum tipis. "Jadi, tidur yang tenang. Jangan kepikiran macam-macam."

Abel mengalihkan pandangan dan mengangguk singkat. Gadis itu menutup pintunya dan taksi mulai melaju. Ia mencengkram slingbag-nya dengan erat, sementara suara Nugi terngiang di telinga.

"Namanya Ganis. Pradita Rengganis. Dia udah nggak ada. Ganis--udah meninggal..."

Abel tidak bisa melupakan ekspresi Nugi ketika lelaki itu mengatakannya. Caranya berbisik, caranya menatap Abel, seluruh rasa sakit itu tergambar jelas hingga Abel merasa sesak di dada.

"Hari ini gue nggak pulang. Gue rasa gue perlu bantu-bantu Ali. Jadi, tidur yang tenang. Jangan kepikiran macam-macam."

"Itu yang bikin lo nggak bisa tidur tadi malam? Yang bikin lo punya mata panda begini, gara-gara kepikiran gue nggak suka lo di sini?"

Air mata Abel merebak.

"Pak, bisa kembali ke rumah sakit?"

===

Wajah lelah Ali muncul setelah Abel mengetuk pintu.

"Kenapa Bel? Ada yang ketinggalan?"

Abel mencengkram paperbag miliknya hingga Ali menatapnya dengan waspada.

"Bel, lo kenapa? Nugi mana?"

"Nugi..." Abel berhenti ketika suaranya terdengar pecah. Ia berdeham sebelum melanjutkan, "Nugi udah balik duluan."

Dahi Ali semakin mengkerut. "Are you okay?"

Entah. Abel tidak tahu, dia pun tidak mengerti mengapa ia merasa takut. Yang ia tahu, ia perlu bertanya sesuatu pada Ali.

Abel menelan ludah ketika menatap sepasang mata yang dibingkai lensa itu. "Li...lo tahu alasan kenapa Nugi nggak bisa ngeboncengin orang lain?"

Lelaki itu menatap Abel beberapa saat sebelum memeriksa jam tangannya.

"Masih ada waktu," gumamnya sambil melebarkan pintu. "Come in. We need to talk."

Abel mematuhinya. Ia bisa mendengar Ali menghela napas panjang sebelum duduk di hadapannya. "Lo pernah tanya ini sama Nugi?"

"Dia nggak mau jawab."

Ali mengangguk singkat. "Sudah bisa diduga. Selama dua tahun ini, dia nggak pernah bisa ngomong apa pun tentang itu."

"Tentang apa?" tanya Abel dengan dentum jantung yang semakin bergemuruh. "Apa ini ada hubungannya sama istrinya? Sama Ganis?"

Mendengarnya, Ali mengangkat alis. "Tahu Ganis dari siapa? Mbak Mita? Mas Manda?"

"Nugi. Dia bilang--"

"Nugi?" tukas Ali tidak percaya. "Serius? Dia mau ngomong tentang Ganis sama lo?"

Abel membasahi kerongkongannya yang terasa kering. "Cuma bilang kalau...Ganis udah meninggal."

"Oh ya?" Ali menyipit. "Kenapa tiba-tiba bilang begitu sama lo? Ingat, nggak?"

"Ka--rena gue tadi..." Abel menggigit bibirnya ketika rasa bersalah itu melanda, "agak salah paham. Gue--punya memori buruk tentang berteman dengan pacar orang jadi...gue nggak mau hal itu terulang lagi sama Nugi. Nugi pernah bilang sama gue kalau dia nggak punya siapa pun tapi...tapi tadi waktu ngomong sama lo--dia..."

Suara Abel mengecil, dan akhirnya tidak sanggup melanjutkan kata-kata.

"Begitu rupanya." Ali tersenyum samar. "Nugi nggak pernah mau ngomong tentang Ganis sama siapa pun. Bagi kami yang kenal dekat sama dia, nama Ganis harus diucapkan dengan cukup hati-hati, bahkan terbilang tabu. Tapi Bel, akhir-akhir ini lo memang selalu jadi pengecualian buat Nugi. Dia yang mau nganterin lo ke sini, dia yang berusaha buat ngurangin keluyuran di malam hari agar lo nggak kepikiran yang aneh-aneh lagi, dan sekarang ini. Gue cuma berharap ini mengarah ke hal yang baik tapi...yah, manusia selalu butuh proses untuk pulih dari luka. Iya, kan?"

Ali memandangi Abel dengan senyum mendung.

"Sebelum gue menjawab pertanyaan awal lo, izinkan gue meluruskan satu hal. Ganis bukan istri Nugi. Dia calon istrinya," ucap Ali. "Dan dua tahun lalu, Ganis meninggal dalam kecelakaan mobil yang dikemudikan sama Nugi."

Ali pasti melihat kengerian di wajah Abel, karena ia meringis kecil. "Nggak ada yang cerita ini sama lo? Mbak Mita? Mas Manda?"

Abel menggeleng pelan, berusaha mencerna kata-kata Ali. "Cerita...apa?"

"Sebenarnya, ini bukan hak gue. Tapi nunggu Nugi cerita saat ini, ibarat nunggu Gardan nurunin berat badan. Nggak tahu kapan. Dan melihat efek kehadiran lo buat dia..." Ali membelai dagunya beberapa saat, lalu menghela napas panjang. "Singkatnya, mereka pacaran lebih dari tiga tahun sebelum Nugi memutuskan buat melamar Ganis."

Ali mengusap lehernya.

"Nugi nggak pernah bercanda kalau soal hubungan kayak gitu. Jadi, udah bisa dipastikan kalau hubungan mereka memang serius. Nggak lama setelah lamaran, mereka sibuk dengan persiapan pernikahan. Gue, Gardan, Raka dan yang lain ikut ngebantu, tentu. Gedung udah disewa, katering udah dipesan, undangan pernikahan udah disebar, pokoknya semuanya udah siap. Tapi lima hari sebelum hari pernikahan, Nugi sama Ganis kecelakaan."

Ali tersenyum pahit.

"Kecelakaan tunggal di jalan tol. Mobil menabrak pembatas jalan sampai terlempar keluar jalur--" Ali menghela napas sejenak, "dan Ganis meninggal di tempat. Sementara Nugi kritis selama tiga hari. Tulang rusuk patah, kepala retak dan perdarahan hebat. Dia butuh tranfusi banyak banget waktu itu. Tapi itu semua belum ada apa-apanya, sama sekali belum ada apa-apanya dibandingkan waktu dia sadar dan panggil-panggil nama Ganis tanpa henti. Demi Tuhan, gue yang dengar ikutan sakit sampai rasanya nggak tahan. Waktu dia tahu kalau Ganis meninggal, seketika itu juga kami tahu seberapa rusak Nugi di dalam sana."

Sesuatu menyekap dada Abel hingga gadis itu kesulitan bernapas.

"Dia...dipenjara lima bulan karena meskipun Nugi juga merupakan korban, kecelakaan itu murni kelalaian si pengemudi. Dan Nugi sama sekali nggak menampik. Seperti yang lo lihat di gue, semua persiapan ini bikin gue dan Kezia lelah lahir dan batin. Tapi, siapa sih yang bakal kalah sama rasa lelah ketika lo ingat kalau seminggu lagi lo nikah sama orang yang lo sayang?" Ali tertawa suram. "Dia kurang istirahat karena sibuk sama persiapan pesta pernikahan mereka. Besar kemungkinan dia kurang konsentrasi ketika mengemudi saat itu. Dengan kecepatan tinggi di jalan tol, kehilangan konsentrasi adalah hal yang bahaya. Itu kenapa dia tadi marah banget sama gue. Kondisi gue yang super lelah ini pasti mengingatkan dia sama kecelakaan dua tahun lalu."

Abel mengusap dagunya, dan baru sadar jika ia menangis entah sejak kapan.

"Sori, tisu gue baru habis," ucap Ali menyesal. "Say, Bel. Orang selalu bilang 'nggak papa, nggak sengaja. Lain kali lo bisa melakukannya dengan lebih baik'. Orang-orang selalu bilang begitu sebagai upaya untuk memaafkan diri sendiri. Tapi di kasus Nugi, lo nggak bisa. There's no way back. Semenyesal apa pun dia, sesakit apa pun rasanya, nggak akan pernah ada yang namanya lain kali. Di kasus ini, dia nggak cuma kehilangan orang yang penting di hidupnya. Tapi kenyataan kalau orang yang dia sayang meninggal karena dia, karena kelalaiannya, berhasil menempatkan Nugi dalam rasa bersalah yang terlalu dalam. Dia nggak pernah bisa memaafkan diri sendiri. Nugi berhenti. Dia benar-benar ngebuang hidupnya setelah kejadian itu. Keluar dari kerjaan, ngebuang Noire, tidur di pinggir jalan, di teras rumah orang, di bawah jembatan, di mana pun. Selama setahun penuh, dia bahkan nggak pernah nyentuh dapur. Dia...berusaha mematikan hal-hal yang menjadi pendar di hidupnya."

Ali mendesah panjang dengan wajah yang tidak nyaman. "Dia merasa bahwa dia nggak berhak untuk hidup. Nggak berhak buat merasa bahagia, bahkan nggak berhak buat punya harapan. Setelah kehilangan Ganis dan memusnahkan seluruh harapan gadis itu untuk bahagia, Nugi nggak pernah mengizinkan dirinya untuk berharap apa-apa. Dia...cuma napas aja, tanpa punya tujuan hidup. Kami bahkan takut kalau-kalau dia nyoba bunuh diri."

"Pernah?" bisik Abel dengan suara tercekik.

Ali menggeleng. "Gue nggak ngerti apakah ini hal yang patut disyukuri atau nggak, cuma...dia pernah bilang kalau dia nggak berhak mati dengan penuh persiapan sementara Ganis dulu meninggal dengan cara yang...yah, brutal. Lo sadar nggak kalau kalimat itu sebenarnya berbahaya? Gue curiga kalau keinginan bunuh diri itu tetap ada walaupun dijalankan dengan cara yang berbeda. Ditabrak sampai mati ketika mengemudi, misalnya."

"Biar gue aja yang mati."

Tubuh Abel merinding luar biasa.

"Antara trauma dan keinginan buat mati sendirian, gue curiga dua hal itu adalah alasan Nugi nggak mau ngeboncengin siapa pun." Ali melirik Abel. "Kehilangan orang yang dicintai, rasa bersalah, semua itu nggak pernah Nugi izinkan pergi karena dia merasa nggak berhak buat sembuh. Luka itu selalu terasa baru buat dia. Seperti kulit yang baru saja tersayat, darah segarnya masih mengalir. Itu kenapa dia nggak pernah sanggup cerita tentang Ganis sama siapa pun."

Abel tidak kuat lagi. Gadis itu segera menunduk dengan air mata yang semakin deras terjatuh dari pelupuk.

"Keluarganya Ganis?"

"Ganis anak tunggal," gumam Ali. "Waktu pemakamannya, gue, Gardan sama Mas Manda yang hadir. Seperti layaknya orangtua mana pun yang kehilangan anaknya, mereka hancur. Waktu ketemu Nugi di persidangan, ibunya pingsan dan ayahnya ngehajar Nugi habis-habisan. Dan anak itu nggak melawan sedikit pun."

Abel tidak tahu lagi harus seberapa banyak rasa sakit yang ia terima. Gadis itu membungkuk demi meredam perih yang menusuk-nusuk sejak tadi.

"Kalau lo jadi keluarganya Ganis, besar kemungkinan lo akan benci banget sama Nugi. Lo mungkin akan mengutuk dia dengan segala kesialan yang ada di semesta. Dan gue...gue nggak bisa ngebela dia dengan membabi buta karena dia memang salah. Dan Nugi tahu itu. Dia tahu sekali bahwa dia nggak berhak mendapat maaf dan pembelaan dari siapa pun."

Ali mendesah pelan dan memejamkan mata. Kisah yang baru saja ia ceritakan, bukanlah kisah yang menyenangkan. Bahkan ketika bercerita, benak Ali terlempar di masa lalu. Mobil terbalik yang ringsek tidak keruan, Nugi yang bertarung antara hidup mati, dan raga Ganis yang tengah dibersihkan di kamar jenazah.

"Itu dibawain Nugi juga, kan?" Ali berusaha memecah suasana yang terlalu suram. Lelaki itu menunjuk paperbag di tangan Abel. "Gue sebenernya penasaran kenapa kalian tadi bisa bareng. Nganterin lo, ya?"

Abel menyapu wajahnya dan mengangguk.

"Dia tadi datang..." terus nemenin gue.

Abel berhenti bicara ketika sadar jika kalimat itu terlalu aneh untuk dikatakan. Namun Ali mengangkat alis dan membuka sandwich-nya yang terakhir.

"Dia tadi datang, terus nemenin lo dulu ketimbang nganterin makanan buat gue," gumam Ali menggigit sandwich-nya banyak-banyak. "Dhwasar temanh ngak thahu dhiri."

Sambil mengunyah, Ali mengetukkan jemarinya di meja.

"Ada lagi yang kepingin lo tahu?" tanya Ali setelah menelan makanannya.

"Dia...pernah dibawa ke psikolog?"

Ali tersenyum kecut. "Psikiater, karena dulu dia sempat depresi sampai nggak bisa ngapa-ngapain. Tapi nggak lama. Karena setelahnya, dia justru ngilang ke Australia dan menolak dibawa ke psikiater maupun ke psikolog. Dia...menolak untuk sembuh. Kadang, gue yang konsultasi sama temen gue tentang Nugi, berharap gue bisa kasih satu dua hal yang secara nggak langsung bisa membantu dia. Dan minum, Bel. Lo kelihatan agak kacau."

Abel menggeleng. Dia tidak yakin bisa minum dengan baik sementara kerongkongannya saat ini menyempit hingga terasa perih. Pikirannya penuh dengan banyak hal, dan hatinya sakit untuk sesuatu yang belum mampu ia jelaskan.

"Nggak kelihatan, kan? Sekilas pandang, orang nggak akan sadar tentang keadaan Nugi. Raganya sangat baik-baik aja," celetuk Ali kemudian. "Luka psikis memang seperti itu. Nggak kelihatan, tapi kerusakannya nyata."

Setelah Ali mengatakannya, Abel teringat kali pertama ia bertemu Nugi lagi. Lelaki itu tertidur di meja kafe dengan gitarnya. Dia tidak terlihat seperti orang yang membuang hidupnya. Dia mungkin akan tetap menganggap Nugi baik-baik saja jika dia tidak pernah memergoki lelaki itu menangis dalam tidurnya.

"Tapi, Bel...gue boleh tanya sama lo?" Pertanyaan Ali membuat Abel kembali menatapnya. "Kenapa lo merasa perlu tanya hal ini sama gue?"

Gadis itu terpaku, lalu Ali tersenyum kecil.

"Orang yang tadi nemenin lo itu, hancur dari dalam. Walaupun dia ketawa, lo akan selalu nemu ruang kosong di matanya," gumam Ali. " Nggak ada satu orang pun yang benar-benar paham sekuat apa energi negatif yang tinggal di dalam dirinya kecuali dia sendiri. Jadi, Bel...gue rasa gue perlu bilang kalau lo harus hati-hati. Ada alasan kenapa orang sakit tetap dibawa ke dokter meskipun mereka punya keluarga di rumah."

===

Pisau terlepas dari jemari ketika rasa perih bercampur ngilu muncul di jari Abel. Otomatis, Abel menggenggam jarinya yang teriris.

"Ah! Sini sini!" Mita segera meraih jari Abel dan mencucinya di bawah wastafel, lalu menekannya. "Ditekan begini agar darahnya nggak banyak keluar. Mbak ambilin penutup luka dulu."

Abel menggigit bibirnya ketika nyeri itu semakin terasa. Ia sudah menekannya seperti instruksi Mita, tapi darah segar tetap saja merembes dari sana. Mita kembali dengan kotak P3K. Wanita itu mengamati jari Abel dengan saksama, lalu meringis.

"Wah, lumayan dalam," gumam Mita sambil meraih kasa. "Kepikiran apa, Bel? Mbak perhatikan kamu agak diam sesorean ini."

Abel menggeleng sambil tersenyum tipis meskipun dadanya terasa sesak sekali. Mita meliriknya sekilas.

"Tadi dokter beneran bilang begitu?" tanyanya lagi. "Bilang kalau kamu udah nggak perlu kontrol lagi?"

"Iya," gumam Abel.

"Hmm..." Mita mengerucutkan bibir. "Udah selesai. Yuk buahnya dibawa ke depan aja."

Keduanya pergi ke teras, dimana Talita sedang bermain dengan Manda yang baru saja pulang kerja.

"Bebel!" seru Talita. Balita itu berjalan antusias ke arah Abel. Kedua tangannya memegang bandana mungil yang terpasang di kepala. "Bebel!"

"Iya, sekarang kita sama," ucap Abel yang juga memakai bandana.

Talita nyengir lebar sambil terus memamerkan bandana kecil berwarna ungu yang dibelikan Abel untuknya. Bandana itu terbuat dari bahan yang sangat elastis, berhiaskan kelopak bunga mawar yang membuat balita itu tambah manis.

"You're so cute." Abel mengangkat Talita ke pangkuan.

Talita mengerjapkan matanya. "Gigi?"

"Om Nugi belum pulang," ucap Abel dengan sedikit tonjokan di dada. "Dia pasti kaget banget lihat Lita cantik begini."

"Gigi!" seru Talita dengan riang.

"Dia pasti gitu. Ada japit rambut baru, dipamerin sama Nugi. Ada baju baru, dipamerin sama Nugi," komentar Mita yang sedang menyuapkan sepotong melon pada Manda. "Centil sekali anak Mama."

"Oh wow, aku kaget," ucap Manda dengan mulut penuh. "Talita kira-kira meniru siapa?"

Mita mencebik hingga Manda tertawa keras.

"Tapi kenapa Ommu belum pulang, sih? Padahal akhir-akhir ini dia pasti pulang cepat. Ada kabar, Mas?"

Manda menggeleng. Wajah Jenaka itu berganti muram. "Terakhir kali aku lihat dia di Comma. Ditunggu setengah jam lagi. Kalau belum balik, aku telfon."

"Nggak sekarang aja?" tanya Mita dengan khawatir.

Manda menatap istrinya sejenak, lalu mengangguk. Lelaki itu mengeluarkan ponselnya dan menelfon Nugi, lalu mendesah panjang.

"Ponselnya mati," gumam Manda masih mengutak-atik ponselnya. "Aku telfon anak Comma—"

"Nugi ke rumah Ali," gumam Abel pada akhirnya. Manda dan Mita menatapnya bersamaan, sementara Abel berdeham gugup. "Tadi, dia bilang begitu."

Manda langsung kembali mengutak-atik ponselnya, sementara Mita mendekatkan wajah dengan penasaran.

"Tadi?"

"Tadi...ketemu di rumah sakit," jawab Abel sambil menahan tubuh Talita yang menarik bandana dari kepalanya. "Dia antar makanan buat Ali."

"Halo? Li? Nugi sama lo?" suara Manda membuat Abel dan Mita menoleh. Manda menatap istrinya sesaat, lalu berkata, "Oke. Nggak papa. Salam buat Nenek."

"Gimana? Di sana beneran?" tanya Mita dengan cemas.

"Iya. Mereka baru sama anak-anak lain. Jadi nggak perlu khawatir malam ini. Aku mandi dulu," celetuk Manda sambil meregangkan tubuhnya. "Tinggalnya di rumah siapa, pamitnya sama siapa. Iya nggak, Bel?"

Abel langsung menoleh ke arah punggung Manda yang menjauh. Gadis itu hanya membuka tutup mulutnya tanpa bisa berkomentar, sementara Mita terkikik pelan di sampingnya.

===

Abel membuka mata dengan terkejut. Jantungnya berdegup kencang, dan sekujur tubuhnya terasa dingin. Gadis itu menegakkan diri, lalu sadar jika ia tertidur dengan kepala terkulai di atas meja.

Sudah pukul enam pagi, padahal dirinya tadi sengaja bangun pukul empat agar bisa mengerjakan sketsa dengan pikiran yang lebih segar. Gadis itu menyugar rambutnya, berusaha mengingatkan diri sendiri bahwa ia aman berada di kamar ini, bukan di mobil yang sedang melaju kencang. Gadis itu bergidik pelan, lalu memutuskan untuk keluar saja. Jam segini, Mita dan yang lain biasanya sudah beraktivitas.

"Bebel!"

Talita berlari heboh ke arahnya, sementara Nugi mengejar di belakangnya dengan main-main. Balita itu memekik dan memeluk kaki Abel erat-erat.

"Oh, nggak bisa," tukas Nugi meraih Talita dalam gendongannya. Lelaki itu menunjuk noda kecap yang memanjang di pipinya. "Ini dihapus dulu."

Lelaki itu memakai kaus lengan pendek dan celana training. Rambutnya terlihat masih lembab dan sedikit berantakan. Nugi memeluk Talita erat-erat dan menggigiti pipinya dengan main-main. Talita terkikik. Balita itu mendorong-dorong dagu Nugi agar menjauh darinya, lalu mengulurkan tangan ke arah Abel dengan putus asa. "Bebel!"

Nugi melepaskan Talita yang ngos-ngosan. Lelaki itu terkekeh pelan, lalu menoleh pada Abel.

"Pagi," sapanya sambil tersenyum. "Bisa tidur?"

Ketika manik kelam itu menatapnya, seketika itu juga seluruh kejadian yang diceritakan Ali berputar cepat di dalam kepala.

"Orang yang tadi nemenin lo itu, hancur dari dalam. Walaupun dia ketawa, lo akan selalu nemu ruang kosong di matanya..."

Abel memutus tatapan dan mengangguk singkat. Ia meraih Talita dalam gendongannya, membuat balita itu memeluk lehernya erat-erat dan bersembunyi di sana. Abel mengambil tisu dari atas meja, lalu memberikannya kepada Nugi.

"Pulang jam berapa?" tanya Abel.

"Tiga," gumam Nugi menyeka noda di pipi. "Udah?"

Abel meraih tisu yang lain, lalu menyeka sisa noda yang luput dari sapuan Nugi. Gadis itu membuang tisunya ke tempat sampah.

"Udah," gumam Abel sebelum berbalik menuju dapur dengan jantung yang bergemuruh semakin kencang dalam setiap langkahnya.

"Kenapa lo merasa perlu tanya hal ini sama gue?"




*TBC*

Jadi, gimana?

Still love Nugi?

Or hating him?

why?

Jadi, tadinya mau masukin video Demons punya Imagine Dragons di multimedia, tapi nggak bisa karena dia kerjasama dengan V*vo, yg nggak memperbolehkan videonya di share di wp. Padahal kalau mulmed-mulmed gini sebisa mungkin aku masukin official videonya, biar kita tetap berkunjung ke situs resmi sebagai bentuk apresiasi. 

I think Demons by Imagine Dragons suits for Nugi's character. Sama seperti Love is Gone punya Slander kemarin, Demons adalah salah satu lagu yang masuk playlist CP.

Sekian chitchat Nao sore ini.  Please stay healthy, stay happy, and stay safe.

Luv yu all ❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top