30 | Deja Vu

"Ungu, gold, kuning, menurutmu bagusan yang warna apa?"

Mita bertanya sambil mengukur lingkar pergelangan tangan Abel.

"Ikut Mbak Mita saja. Semua warna bagus di mataku." Abel menjawab sembari mengamati ruang kerja Mita yang dipenuhi oleh manekin dan peralatan jahit.

"Tubuhmu itu bagus, cantik pakai model kebaya apa aja." Mita mengalungkan meteran ke leher, lalu meraih catatannya. "Udah selesai. Tinggal Talita, tapi dia masih tidur. Thank you, Sabela."

"Aku yang harusnya bilang terima kasih, Mbak," gumam Abel pelan hingga Mita kembali melirik lewat kacamata kotaknya. Wanita itu tersenyum hangat dan meraih lengan Abel.

"Yuk sarapan. Mas Manda masak tomyam pagi ini."

Abel patuh-patuh saja. Mereka menuju meja makan ketika melihat Nugi turun tangga dengan Talita tergolek di pundaknya.

"Dia naik?" tanya Mita ketika Nugi menyerahkan balita itu pada ibunya.

"Iya. Udah beli pagar belum?"

"Udah dibeli sama Mas Manda, tapi ketinggalan di hotel," jawab Mita. "Ayo sarapan dulu. Bel, yuk!"

"Iya," jawab Abel yang sedang menoel-noel pipi Talita. Balita itu memandangnya dengan sayu, namun nyengir lebar ketika Abel menggodanya.

"Lita udah mulai naik-naik tangga. Bahaya," ucap Nugi ketika ibu dan anak itu berjalan lebih dulu. Lelaki itu menoleh ke arahnya sambil tersenyum tipis.

"Pagi. Bisa tidur tadi malam?"

Abel mengangguk.

"Good," ucapnya sambil mengacak ringan rambut Abel sebelum berjalan lebih dulu. "Ayo makan."

Abel menatap pungung jangkung itu beberapa saat. Dilihat dari wajahnya, sepertinya ia baru bangun tidur. Lelaki yang memakai sweater longgar itu mengusap tengkuknya sambil berjalan.

Abel mengerjap pelan, lalu cepat-cepat melangkah menuju ruang makan. Manda yang masih memakai apronnya, membawa semangkuk besar tomyam ke meja makan, sementara Mita mendudukkan Talita di kursi makannya sendiri.

"Hari ini jadi ke panti, Yang?" Manda bertanya pada Mita setelah mereka selesai makan.

Mita mengangguk. "Udah jadwalnya, kan Mas."

"Pulangnya jangan malam-malam. Atau, nanti aku susul aja habis dari hotel?"

"Boleh," jawab Mita. "Gi, sekalian ikut?"

"Gue mau ke makam," gumam Nugi tanpa mengangkat wajahnya.

"Oh..." Mita berpaling pada Abel. "Bel, mau ikut ke panti?"

"Aku..." Abel berdeham. "Sebenarnya, hari ini aku mau pergi ke tambak."

Mita dan Manda mengerutkan kening bersama. "Tambak?"

"Ng...aku ada usaha lobster air tawar bareng teman dan hari ini sesuatu terjadi di sana. Lobster kami mati semua karena airnya mendadak beracun. Jadi, aku memang harus ke sana hari ini." Abel menjelaskan berita yang dibawa Saka subuh tadi. Lelaki itu menelfon Abel dengan suara yang nyaris hilang.

"Jauh?" tanya Manda.

"Sekitar dua jam dari sini," jawab Abel.

"Gi, bisa antar sebelum ke makam?" Manda menoleh pada Nugi yang terdiam sejak tadi. "Daripada--"

"Nggak." Nugi memotong dengan tajam hingga Abel terkejut. Lelaki itu menatap Manda dengan mata yang memerah, lalu tersenyum samar pada Abel. "Sori, Bel."

Selesai mengatakannya, Nugi bangkit dan membawa piringnya sendiri menuju dapur. Padahal, sarapannya belum habis. Abel mencengkram sendoknya dan berdeham sebelum kembali meneruskan makan.

Mita menatap Nugi dengan cemas, lalu berpaling pada Abel. "Kamu bisa bawa mobil, Bel?"

Abel menggeleng. Gadis itu tersenyum samar. "Aku nggak lama."

Manda menggosok keningnya kuat-kuat. "Baiklah, kalian anak-anak muda. Kalau ada apa-apa, telfon. Oke?"

"Jangan lupa minum obatnya, dan jangan pikirkan reaksi Nugi. Dia memang selalu begitu," ucap Mita berusaha membesarkan hati Abel.

Abel menatap wanita itu beberapa saat, lalu mengangguk sebelum kembali menyantap sarapannya. Namun, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik punggung jangkung yang kini sudah duduk di depan televisi.

==

"Ngapain lo ke sini? Udah sembuh?"

Saka melotot sambil berkacak pinggang ketika melihat Abel memasuki tambak. Gadis yang siang ini memakai blus kuning dengan celana jeans itu menatapnya sejenak sebelum memalingkan wajah ke arah kolam.

"Gue nggak mungkin nggak ke sini, Ka," sahut Abel hingga Saka terbungkam.

"Kapan lo tahu? Gimana bisa?" Abel memandangi anak buah Saka yang sedang berusaha membersihkan kolam dari bangkai lobster. Aroma menyengat yang tidak wajar tercampur oleh bau amis daging lobster yang mulai tidak segar lagi.

"Gue nggak ngerti," bisik Saka. Wajah yang tadinya garang kini berubah. Lelaki itu menatap pemandangan di hadapannya dengan mata yang memerah. Sepanjang Abel mengenal Saka, ia tidak pernah melihat Saka seputus asa ini. "Tadi pagi anak-anak lapor kalau lobster pada mati. Udah, itu aja. Gue nggak pernah nyangka kalau semua kolam akan rusak gini. Lo bisa nyium, kan? Aroma nyengat ini? Ini bukan air yang sehat, Bel. Lobster kita keracunan."

"Kemungkinan besar diracun, Mbak. Saya selalu memastikan kondisi air kolam sebelum pulang," ucap salah satu anak buah Saka yang berdiri tidak jauh dari mereka. Mereka semua memasang wajah muram.

"Diracun?" bisik Abel. Gadis itu mendekati salah satu tumpukan bangkai lobster yang harusnya mereka panen minggu ini setelah berbulan-bulan dipelihara agar mencapai ukuran tertentu.

"Gue sebenarnya nggak pernah suka berasumsi ada keterlibatan orang ketiga yang sengaja ngejahatin tambak kita. Tapi tadi gue juga konsul sama temen gue yang orang peternakan, dan dia bilang cemarannya berasal dari zat kimia. Bukan dari bakteri, virus atau apapun." Bisikan Saka terdengar pecah. "Padahal minggu ini harusnya kita panen besar. Kita udah ngejanjiin bonus sama mereka."

"Nggak perlu cemas masalah duit. Kita udah bikin janji, dan mereka harus dapat," gumam Abel. Gadis itu mengusap matanya yang berair. " Yang perlu dipikirin, berapa lama waktu yang dibutuhkan buat recovery kolam sampai dia benar-benar bisa dipakai lagi?"

"Semingguan, mungkin," jawab Saka meraih satu lobster mati dan menimangnya di telapak tangan. Kehilangan besar tampak di wajah lelaki itu meskipun ia berusaha menguatkan diri. "Tapi itu baru kolamnya. Kita kehilangan semuanya. Semua bibit, semua indukan, semua lobster yang siap untuk dikirim. Kita kehilangan pasokan untuk enam bulan ke depan."

Abel mengedarkan pandangan. Tumpukan bangkai itu makin lama makin tinggi saja. Gadis itu menangkupkan telapak tangan di wajah, berusaha fokus sementara panas membakar kepalanya sejak tadi. Akhirnya, Abel memijat tengkuknya dan memilih untuk menepi.

"Udah coba periksa asuransinya? Gue mau bikin itung-itungannya dulu."

"Udah, tapi ada baiknya lo periksa ulang," gumam Saka yang mengikutinya. "Gue kacau sejak tadi."

Abel menghidupkan kipas angin mungil di atas mejanya, lalu menghempaskan diri di kursi. Gadis itu menatap Saka yang terlihat begitu gelisah, lalu meraih laptop dari ranselnya.

"Kita bisa recovery," gumam Abel.

"Tapi kita pasti bakal kehilangan pasar," sahut Saka. "Setelah ini, mereka bakal pindah pemasok karena nggak punya pilihan. Tapi satu atau dua pemasok ini akan lebih baik dari kita, dan kita akan kehilangan beberapa pelanggan."

"Konsekuensi," jawab Abel. "Sekarang fokus nyembuhin kolamnya dulu aja."

Saka menatap Abel beberapa saat, lalu menghela napas dalam. "Gue masih marah tapi...terima kasih udah ke sini. Paling nggak, lo ngebantu pikiran gue tetap waras. Ngomong-ngomong, gue dikasih tahu Yasa kalau lo tinggal di rumah Nugi."

"Rumah Manda, yang benar," ucap Abel sambil menghadapi sheet axcel. "Tapi karena lo nggak kenal siapa itu Manda, gue bilang Nugi aja."

"Cowok semua?"

"Nggak. Ada istrinya Mas Manda, Mbak Mita. Lo pernah ketemu dia waktu di rumah sakit." Abel menghentikan ketikannya dan melirik ke arah Saka. "Kenapa?"

Saka berdecak pelan dan menggeleng. "Pikiran gue berat  banget hari ini. Nggak napsu nyeramahin lo, Bel."

Abel mendengkus pelan. Gadis itu memijit tengkuknya beberapa saat sebelum kembali berkonsentrasi.

===

Abel membuka pintu rumah Manda dengan sekujur tubuh yang gemetar hebat. Gadis itu segera berlari ke toilet, lalu muntah sejadi-jadinya.

Masalah di tambak ternyata lebih serius dari dugaan Abel. Gadis itu baru bisa pulang sore hari. Belum hilang pusing karena terkena panas di perjalanan, Seharian tadi ia membantu Saka dan yang lain untuk menguras tambak. Hasilnya, sore ini tubuhnya kacau sekali. Belakang bola matanya seperti ditusuk paku, dan lehernya kaku sekali. Kepalanya berdenyut hebat hingga perutnya terasa mual.  Abel bahkan perlu bersyukur karena ia bisa kembali ke rumah Manda tanpa lecet sedikit pun.

Gadis itu memuntahkan seluruh isi perut hingga pangkal lidahnya terasa pahit. Dengan sisa-sisa tenaga, ia berganti pakaian dan mencari sesuatu yang bisa mengisi perutnya. Abel memaksa dirinya untuk menelan meskipun rasanya ingin muntah saja. Lalu, ia menyerah. Terhuyung, gadis itu meringkuk di kasur dan terlelap tidak lama kemudian.

Sebuah sentuhan perlahan menyadarkan Abel dari sebuah mimpi yang mengerikan. Gadis itu membuka mata, menggigit bibir ketika kepalanya terasa seperti ditusuk-tusuk.

"Hei..." Nugi berjongkok tepat di hadapannya sambil memandanginya dengan cemas. "Sori lancang masuk kamar. Tapi lo udah tidur hampir empat jam, Bel."

Lelaki itu menyingkirkan rambut Abel yang menempel di wajah karena keringat, menyadari betapa pucatnya gadis itu.

"Kenapa?" Nugi duduk di lantai sehingga pandangan mereka sejajar. "Kambuh lagi?"

Abel menggeleng. "Sekarang jam berapa?"

"Delapan malam," ucap Nugi. "Minum obat, terus makan, ya?"

Abel mengangguk pelan. Gadis itu bangun dengan hati-hati, mengantisipasi vertigo yang bisa saja menyerangnya sewaktu-waktu. Kemudian, ia mengerutkan kening ketika menyadari rumah yang sangat sepi.

"Yang lain kemana?" Abel mengeratkan kardigannya.

"Masih di panti. Mbak Mita punya agenda bikin baju buat anak-anak panti enam bulan sekali," jawab Nugi yang mengiringi langkahnya. "Mungkin datang satu dua jam lagi. Tadi Mbak Mita bilang lo nggak angkat telfon, jadi gue ngebangunin lo setelah empat jam lo nggak keluar kamar."

Abel menggigit bibirnya lagi. Gadis itu meraih kaus Nugi hingga lelaki itu berhenti.

"Tolong jangan bilang Mbak Mita kalau gue sakit," pinta Abel.

"Dengan satu syarat," ucap Nugi. "Bilang sama gue, lo kenapa? Tifus lo kambuh? Perlu periksa sekarang?"

Abel tidak segera menjawab karena pandangannya sedikit berputar. Gadis itu menghela napas dalam, lalu duduk di kursi.

"Nggak perlu. Hari ini panas banget, dan tadi ikut nguras tambak. Mungkin pusing karena kepanasan. Bukan tifus, rasanya beda," jawab Abel sambil mengambil nasi. Gadis itu menatap sup jamur dengan potongan tahu, dan telur gulung sebagai lauknya. Rasa bersalah kembali menerpa Abel ketika sadar bahwa ia tidak membantu apa-apa. "Dan...maaf nggak bantu masak tadi."

"Nggak perlu dipikirkan, Bel. Makan, yang banyak. Terus istirahat lagi."

"Lo nggak makan?"

"Udah tadi," jawabnya singkat.

Gadis itu tidak terlalu memperhatikan Nugi yang menemaninya tanpa suara, sebab perutnya langsung mual begitu ia menelan suapan pertama.  Sebisa mungkin ia melahap makanannya hingga habis, sadar sepenuhnya jika perutnya akan semakin memprihatinkan jika ia tidak makan.

"Sini gue aja," pinta Nugi ketika Abel berjalan menuju wastafel.

"Cuma satu," gumam Abel.

Nugi bersandar di samping Abel, menunggu.

"Gue tidur." Abel berusaha sekuat tenaga agar tidak jatuh ketika seluruh pandangannya terombang-ambing mengerikan. 

Ia tidak punya daya bahkan untuk bicara ketika Nugi merapikan selimut di badannya. Gadis itu memeluk guling, berusaha mereguk rasa hangat banyak-banyak. Lalu, Abel kembali membuka mata ketika sentuhan terasa di kepala.

"Gue mau tidur," bisik Abel.

Bukannya pergi. Lelaki itu justru menyandarkan dagu di tepi kasur. "Gue temenin."

Abel menatap manik kelam itu dalam diam, sedikit bertanya-tanya sejak kapan usapan tangan bisa terasa senyaman ini.

"Nggak kedinginan?" tanya Abel kemudian.

"Gue udah biasa tidur di tempat yang lebih dingin dari ini," ucap Nugi. "Tadi di jalan juga kepanasan, ya? Itu yang bikin lo tambah nggak enak badan?"

Abel hanya terdiam, namun itu cukup bagi Nugi.

"Maaf," bisiknya. "Gue bukannya nggak mau antar tapi--gue nggak bisa. Jangan kepikiran kalau gue masih benci lo gara-gara ini, Bel."

"Dulu gue kira begitu, dan itu rasanya nggak nyaman banget. Makanya gue mau pulang aja."

"Jangan coba-coba," geram Nugi.

Abel menatapnya sejenak, lalu meneruskan, "Tapi akhirnya gue sadar kalau lo bukannya takut naik mobil. Lo juga nolak antar Mbak Mita kemarin. Jadi, gue pikir lo memang nolak buat ngeboncengin orang lain."

Usapan di keningnya berhenti sejenak ketika Nugi terpaku.

"Kenapa?" tanya Abel lagi.

Untuk sesaat, Abel menangkap getar samar di sepasang manik kelam itu. Hanya sesaat sebelum Nugi meneruskan usapannya. "Biar gue aja yang mati."

Nugi pasti melihat keterkejutan di mata Abel hingga ia tersenyum tipis. "Omongan gue jangan dipikirin banget-banget, Bel. Lo perlu tenang biar bisa tidur. Lihat? Lo mulai demam."

Gadis itu terdiam sejenak, berusaha melawan pening di kepala ketika sesuatu mulai mengusiknya.

"Tadi ke makamnya siapa?"

Nugi terdiam cukup lama meskipun usapannya tidak berhenti kali ini. Lelaki itu menggeleng pelan dan kembali tersenyum. "Jangan tanya-tanya lagi. Hidup gue nggak semenarik itu."

Abel menatap Nugi dalam diam hingga lelaki itu menghela napas dalam-dalam.

"Gue bukan orang baik, Bel," ucapnya tanpa melepas usapan dari kening Abel. "Jadi, jangan dekat-dekat. Cukup begini saja."

Dikuasai rasa kantuk dan pening yang begitu mengganggu, sesuatu di dada Abel terasa sakit ketika mendengarnya. Gadis itu berusaha mempertahankan kesadarannya hanya demi memandangi manik lekat yang menatapnya dengan hangat. Tapi pada akhirnya, ia menyerah.

"Lo orang baik," gumam Abel dengan mata yang tinggal segaris. "Nugi yang sekarang, orang baik."

Nugi terdiam, lalu terkekeh tanpa suara. Ia menunduk dalam-dalam ketika matanya memanas dengan cepat.

Lelaki itu mengusap wajahnya dan berusaha menguasai diri. Ia ikut merebahkan kepala di tepi kasur, memandangi Abel yang sudah terlelap seraya mengusap kepalanya tanpa henti. Hingga pada akhirnya, Nugi mulai takut berada di sini lebih lama lagi.

Nugi memastikan jika Abel memang sudah tidur. Dipandanginya Abel selama beberapa saat, lalu mencium singkat kepala gadis itu.

Singkat saja. Sebab setelahnya, sebentuk wajah menyeruak di sela ingatan, meremukkan jantungnya sedemikian rupa hingga Nugi melepaskan diri dan keluar dari ruangan secepat mungkin.

===

Abel membuka mata dengan terkejut ketika ular raksasa itu hampir melahapnya. Bernapas cepat, Abel menyadari jika seluruh kejadian tadi hanyalah mimpi.

Ia meraih ponselnya yang terabaikan entah sejak kapan, lalu menemukan beberapa panggilan tidak terjawab dari Mita dan pesan dari Saka.

Pukul dua dini hari. Abel menilai kondisi tubuhnya sendiri dan merasa jauh lebih baik. Paling tidak, kepala dan perutnya sudah tidak sakit lagi. Sedikit banyak, gadis itu merasa kapok sudah bepergian jauh di saat ia seharusnya berisitirahat untuk memulihkan diri. Tapi, kasus kemarin memang tidak bisa ia abaikan begitu saja.

Gadis itu menatap tepi kasurnya, bertanya-tanya dalam hati apakah Nugi benar-benar menemaninya tidur ataukah hanya ilusi saja.

"Jangan dekat-dekat. Cukup begini saja."

Abel pun ragu kalimat itu berada di alam nyata atau hanya mimpi belaka. Tapi di alam yang mana saja, Abel tidak menyukainya.

Abel berdecak pelan ketika sadar jika pikirannya sudah berkelana kemana-mana. Pipinya memanas kala mengingat usapan Nugi di kepala. Sejujurnya untuk yang ini, ia berharap semua hanya ilusi saja. Sebab Abel terlalu malu jika harus mengakui bahwa usapan itu terasa hangat dan menenangkan.

Abel menggosok dahinya keras-keras. Gadis itu meraih tumblernya dan membuka pintu, lalu berhenti ketika melihat Nugi tertidur di depan kamarnya. Lelaki itu tampak pulas di sofa ruang tamu yang entah sejak kapan berada di sana.

Abel meraih ponsel yang kemungkinan besar terjatuh ketika Nugi tertidur, lalu menyadari sesuatu.

Seperti di rumah sakit, lelaki itu menangis dalam tidurnya.

*TBC*

Haiii, selamat siang.  Please be safe, be healthy, be happy.

I luv you, I really do 

❤❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top