3 | Permadi

"Kenapa, Ka?" tanya Abel di tengah kunyahan kwetiau goreng sebagai sarapannya. Ia menjapit ponsel di antara pipi dan pundak, sebab kedua tangannya sedang sibuk bekerja. Alis gadis itu bertaut mendengar perkataan Saka. "Harus gue, ya?"

"Permintaan anak-anak. Sharing aja, banyak wajah baru," ujar Saka. "Baru nugas, ya? Jam sembilanan kok. Sejam aja, deh."

Abel melirik jam dinding yang menujukkan pukul delapan pagi.

"Oke," jawab Abel pada akhirnya.

Satu jam kemudian, gadis itu berdiri di depan sebuah bangunan bekas ruko milik keluarga Saka yang disulap menjadi basecamp Dhalung. Gadis yang memakai kemeja loose berwarna krem dan celana jeans itu berjalan mendekat dengan ransel di punggung. Alih-alih penuh dengan barang, ruangan di dalam begitu lapang. Hanya ada satu loker besar di sisi ruangan yang biasa digunakan anak-anak untuk menyimpan barang pribadi.

"Hai Bel. Akhirnya keluar dari goa, heh?"

Abel nyengir pada Kinan, gadis asal Bali yang merupakan seniornya di Dhalung.

"Begitulah, Mbak," jawab Abel mengambil tempat di sampingnya.

"So, sesuai permintaan, Sabela Nawandini udah di sini," ucap Saka kala dirinya muncul di ambang pintu. "If you wanna ask something, go get her, okay? Sini terusin yang tadi. Bikin efek ini bisa dengan cara sederhana, sebenernya..."

Anak-anak itu nyengir pada Abel sebagai tanda sapa sebelum kembali ke masing-masing aktivitas. Beberapa berkerumun, beberapa bersila dengan fokus pada layar di depannya, beberapa tengkurap juga dengan laptop di depan mereka. Beberapa tertidur di pojok ruangan dengan jemari masih menempel pada keyboard. Mereka semua adalah mahasiswa atau mantan mahasiswa yang tergabung dalam komunitas Dhalung.

Dhalung adalah komunitas desain grafis kampus yang diprakarsai oleh Saka. Setiap anggotanya adalah freelance designer di Maddadesign. Meskipun lebih dari separuh anggotanya adalah anak DKV, namun Saka selalu mempersilahkan anak-anak dari jurusan lain bergabung dengan Dhalung. Dia selalu berpendapat bahwa kreativitas adalah milik semua orang.

Yofian Ajisaka, adalah pria lulusan DKV berusia 29 tahun. Di balik kesablengan dan jiwa recehnya, Saka tetaplah pribadi yang penuh kreativitas. Zaman sudah berubah, katanya. Akses internet mempermudah segalanya. Walau dia sudah meninggalkan kampus, komunitas Dhalung tetap tumbuh hingga sekarang. Saka masih menjadi pengurus mereka. Memberi waktu pada anak-anak Dhalung junior untuk berkenalan dengan dunia nyata yang begitu kompetitif, dan perlahan mengajari cara bertarung dengan kekuatan yang mereka punya.

"Mbak, gimana caranya biar sering dapat klien di Madda?" tanya salah satu anak yang mandekatinya. "Buat newbie kayak gue, apa bisa? Rasanya buat ngegaet satu klien aja, susah banget."

"Jangan begitu. Semua selalu ada prosesnya," jawab Abel segera. "Kamu bisa memulai dengan ngebangun portofolio seprofesional mungkin, sebab hal pertama yang klien lihat di profilmu adalah portofolio. Kerjain proyekmu dengan maksimal, puaskan klien. Dan jangan lupa, kamu perlu personal branding."

"Maksudnya?" tanyanya dengan dahi berkerut.

"Citra apa yang ingin kamu tanamkan pada pasar sebagai desainer grafis?" Abel membalik. "Dengan personal branding, klien maupun calon klien akan lebih mudah mengenali kamu. Kualitas kamu akan semakin terlihat kalau kamu mampu menjaga konsistensi pelayananmu, or make it better."

"Citra? Pencitraan, maksudnya?" tanyanya mengernyitkan dahi. "Itu pembohongan publik."

Abel terkekeh. "Tergantung kamu ngebangunnya gimana. Sebagai orang yang berjualan, personal branding ini dibutuhkan. Tapi, personal branding perlu dibangun sesuai dengan kemampuanmu. Jangan menampilkan apa-apa yang wah, tapi kamunya keteteran. It is a big no. Yang ditingkatkan adalah kemampuanmu, bukan ngomong besar tapi kemampuan kosong. Klien bisa kabur kalau sekali saja mereka menilai kamu nggak bisa dipercaya."

"Terus contohnya gimana?"

"Sebagai awalan, manage portofoliomu semenarik mungkin, lalu tulis layanan grafis yang kamu kuasai. Apakah kamu desainer yang mumpuni di bidang logo, icon, UI/UX, atau sekalian visual identity designer? Lalu hal-hal apa yang klienmu dapatkan kalau kerja sama kamu? Di tempatku misalnya, selalu kasih jadwal kerja agar mereka juga tahu progres proyeknya. Aku juga kasih tiga proposal desain yang berbeda dengan dua kali revisi. Hal-hal lain yang nggak kelihatan tapi nggak kalah penting adalah softskill. Attitude, kemampuan komunikasimu, kemampuan negosiasimu, itu semua softskill yang penting. Jadi jangan disepelekan."

"Ah...tapi kasih tiga proposal desain itu banyak banget," celetuk yang lain. "Satu kadang kita ribet mikirnya, Mbak."

"Selling point. Di industri kreatif begini, kamu harus aktif kalau mau survive. Buatku, ngasih tiga alternatif desain buat klien adalah salah satu cara untuk kasih pelayanan terbaik buat mereka."

"Hng...provide web design service? Mbak Abel bisa desain web?" tanya anak lain kala melihat profil Abel di Madda.

Abel menggeleng. "Kerjasama sama desainer lain. Aku pegang di UI aja--"

"Mbak Abel! Gue, gue mau tanya!" seru Kavi menyeruak di kerumunan. " Gue mau beli Corel dong. Ajarin. Gue deg-degan."

Bukannya merasa terganggu, kerumunan kecil Abel agaknya justru tertarik dengan kerusuhan Kavi. Namun kali ini, Abel mengangkat alis hingga Kavi nyengir. Wajah pemuda itu berbinar bangga.

"Akhirnya gue bisa beli software ori," ucapnya saling mengusapkan telapak tangan dengan tidak sabar. "Thank you Inkscape, you saved my life."

"Ah iya. Aku belum pasang Inkscape," celetuk salah satu anak dengan cemas.

"Nggak perlu khawatir. Sini buka laptopnya," ucap Abel.

"Gue mau lihat Mas Kavi dulu. Mas, kemarin menang di lomba logo waterboom, kan? Lihatin, dong."

"Boleh, sini sini!" Kavi memberi ruang.

Dan dengan begitu, kerumunan kini terpecah jadi dua. Kerumunan di sampingnya sungguh antusias dan berisik, tapi begitu hidup. Abel terkekeh geli, membiarkannya saja. Kavi akan menjadi tutor yang baik untuk adik-adiknya. Abel bergeser sedikit, mencurahkan perhatian pada si anak yang meminta bantuannya.

Dhalung cukup keras dengan penggunaan software bajakan. Mereka yang sudah lama di Dhalung, terbiasa dengan ini. Namun anak-anak yang masih baru, biasanya akan kaget.

"Masih banyak software gratis lain yang bisa digunakan buat cari uang. Pakai itu, terus nabung buat beli software asli. Dhalung pasti bantu lo," ucap Saka pada salah satu newbie Dhalung dulu sekali. "Kalau lo mau belajar Corel, Ai atau software lainnya, lo tinggal bilang sama gue. Lo mau nyoba main di Madda pakai Ai, bilang sama gue. Gue kasih waktu dengan senang hati. Nggak perlu nanti-nanti buat belajar menghargai karya orang, paham?"

Coba, bagaimana mungkin Abel tidak menghormatinya?

Kalimat penjelasan Abel terhenti kala nama Ratri muncul di layar ponselnya. Abel cepat-cepat mengangkatnya.

"Mbak Abel, Bapak masuk rumah sakit!"

"Rumah sakit mana?" tanya Abel balik dengan kewaspadaan yang meningkat. Abel terdiam sejenak, lalu menatap kerumunan di hadapannya dengan senyum tipis. "Maaf, kayaknya aku perlu pamit sekarang."

===

Abel sampai di rumah sakit dengan tergesa. Namun kata perawat di UGD, pasien bernama Windu Laksmana Permadi sudah pulang setelah mendapat pertolongan pertama.

Senja tengah meraja kala Abel sampai di depan gerbang kokoh yang menyembunyikan rumah megah di baliknya. Sudah lewat enam bulan sejak terakhir kali Abel melihat rumah bercat putih itu. Ketika Pak Abid membukakan gerbang dengan tergesa, Abel memastikan masker terpasang sempurna di wajahnya.

"Mbak," sapa Pak Abid sambil sedikit membungkuk. "Mau jenguk Bapak?"

"Iya, Pak. Kenapa bisa luka?" tanya Abel seraya menuntun motornya ke dalam garasi kecil, di samping motor kuno Pak Abid yang sudah dipreteli sana sini.

"Tadi pagi naik motor, terus jatuh dan kena tonggak," jelas pria kurus yang sudah mulai beruban itu.

Abel mengangguk paham, lalu berterima kasih. Sekali lagi, Abel memastikan masker sudah terpasang sempurna sebelum menuju rumah utama yang besar dan megah bak istana.

Nama Windu Laksmana Permadi bukanlah nama biasa. Sebagai pemilik usaha garmen yang sukses, nama Permadi dikenal di kalangan luas. Mereka yang menyandang nama Permadi, akan mendapat hormat dan basa-basi santun kemanapun mereka pergi.

Namun tidak dengan Abel. Dia hanya...Abel. Hanya Sabela Nawandini.

Abel menaiki teras, dan berhenti di depan pintu ganda yang terbuka.

Tawa yang sebelumnya terdengar riuh kini sirna. Seluruh pasang mata menatapnya dengan sorot yang berbeda. Terkejut, benci, jijik, dan ekspresi ketidaksukaan lainnya. Padahal, Abel kenal mereka semua. Sepupu, Bibi dari ayah, Om dari ibu...

Ah, seharusnya tadi lewat pintu belakang aja.

"Mbak Jani! Ada yang nyari!" Salah seorang sepupunya berteriak, lalu bangkit sambil menggerutu. "Ganggu aja."

Gerutuan itu disusul oleh sepupunya yang lain. Sementara mereka yang lebih tua hanya menyingkir tanpa kata. Satu-persatu, mereka yang berkerumun kini membubarkan diri seolah Abel adalah kuman pembawa bencana.

Ketika seorang perempuan yang lebih tua dua tahun darinya muncul, Abel memastikan jika maskernya sudah terpasang sempurna untuk ketiga kalinya.

Kalinda Anjani Permadi, adalah gadis cantik yang membuat model manapun berdecak iri. Badannya tinggi, langsing dengan lekuk tubuh yang sempurna. Berkulit seputih porselen dengan rambut yang tergerai lurus hingga ke punggung.

"Mau apa ke sini?" tanya Jani dengan suara sedingin air mukanya. Ia berdiri di hadapan Abel dengan tangan bersedekap.

"Papa--"

"Papa?" potongnya semakin dingin.

Abel diam sejenak, lalu melanjutkan. "Dia juga papaku, Mbak."

"Saya bukan kakak kamu. Jijik banget," bisik Jani. "Windu sudah baik-baik saja, dan menderita seperti biasa. Kamu lebih baik balik--"

"Jan, siapa?"

Jani mendengkus.

"Oh, hai Bel. Mau jenguk Papa?" Seorang lelaki mendekati mereka dengan semringah. "Lama nggak kelihatan. Sibuk, ya?"

"Begitulah, Mas." Abel sengaja tidak meraih jabat tangan lelaki itu, sebab Jani tidak pernah suka Abel menyentuh apapun yang menjadi miliknya. "Mas Yudhis jenguk Papa?"

"Iya, Om udah baikan. Tapi tetep belum boleh banyak gerak," ucapnya tidak ambil pusing dengan reaksi Abel. Dia justru mengusap puncak kepala Jani dengan lembut.

Namun yang ada, Jani menepis tangan Yudhis dengan kasar dan pergi dari sana. Yudhis mengikuti punggung Jani yang menjauh, lalu menghela napas panjang. Ia tersenyum menyemangati.

"Di atas," ucapnya sebelum pergi mengikuti Jani.

Abel melangkah ke dalam rumah megah itu. Rumah dengan pilar-pilar kokoh dan berhias, seperti istana. Langit-langitnya tinggi dengan lampu besar yang antik sekaligus cantik. Dia pernah menyebut bangunan ini sebagai rumah selama bertahun-tahun. Namun, Abel tetap tidak bisa bersikap biasa. Dinding-dinding pucat itu selalu mengintimidasi. Sensasi dingin ketika kaki telanjangnya menapak lantai marmer rumah ini selalu memberi kesan yang sama : sepi dan terasing.

"Kamu ngapain baik-baikin dia?" seruan Jani terdengar samar. "Kamu kalau nggak ngerti...pulang aja, sana!"

"Jani, ssst, jangan keras-keras--"

"Kamu ngebela dia lagi, Dhis! Di depanku! Kamu ngebela pelacur itu?"

"Jani-nya Yudhis, nggak boleh bicara begitu--"

Abel tertawa menyedihkan di dalam hati. Hanya dengan sosoknya saja, Abel berhasil membawa ketidaktenangan di rumah ini. Dia hanya akan memastikan Windu baik-baik saja, lalu menghilang seperti biasa.

"Eh, Mbak Abel," Ratri, perempuan berusia tiga puluh tahun itu memekik kala mereka bertemu di luar ruangan. Ia membawa wadah berisi perban, kasa dan sebagainya.

"Papa di dalam?"

Ratri mengangguk gugup seraya mencuri pandang ke dalam ruangan. "Masih ada Ibu." Ratri meringis tidak enak.

"Iya. Aku nunggu di sini aja."

Ratri mengangguk cepat dan segera pamit. Abel mempersilahkannya. Gadis itu menyatukan tangannya di belakang punggung dan bersandar di dinding, menunduk seraya mengamati jemari kakinya dengan main-main.

Kata orang, rumah adalah tempatmu pulang ketika dunia membuatmu lelah. Kata orang, keluarga adalah orang pertama yang mengulurkan tangan ketika dirimu terpuruk menyedihkan. Begitukah? Sebab bagi Abel, rumah hanya sekedar tumpukan kayu dan batu yang dilapisi cat warna. Keluarga hanya sebatas darah yang mengalir di pembuluh, tanpa kehangatan yang katanya menentramkan.

Tak lama kemudian, seorang wanita keluar. Abel jelas terlalu besar untuk tidak terlihat. Namun Mara melintas di depannya tanpa menoleh. Abel mengawasi punggungnya hingga menghilang di tangga, lalu memutuskan untuk beranjak.

Garis wajah Windu tidak pernah berubah sejak dulu. Tegas dan bertulang pipi tinggi. Dipadu dengan tatapan tajam dan tubuh tegapnya, sosok Windu Laksmana terlalu memikat banyak orang. Pada usia yang menyentuh setengah abad, pesona sosok itu belum sepenuhnya sirna. Namun Abel tahu, jiwa dalam raga itu semakin layu.

Windu duduk di tepi ranjang, terlihat bungkuk dan melamun. Ia menoleh ketika Abel memasuki kamar. Keterkejutan melintas di matanya, lalu ia membuang wajah dengan kaku.

"Ke sini?"

"Iya."

Benar-benar, obrolan macam apa ini? Batin Abel tertawa menyedihkan.

"Jadi, Papa baik-baik aja?" Abel meletakkan buah-buahan di atas nakas dan mengamati perban yang membalut betis Windu. "Dijahit berapa tadi? Udah minum obat?"

"Hmm...baru diambilkan--ah..."

Mara masuk kembali ke kamar, berikut hawa dingin yang menyergap dada Abel dengan tiba-tiba. Mara mengulurkan segelas air putih dan obat-obatan yang diterima Windu dengan patuh.

Berbeda dengan Windu yang kehilangan gairah hidup, Mara terlihat begitu bersinar dalam balutan pakaian yang elegan. Diusianya yang lebih muda delapan tahun dari Windu, sosok itu masih terawat, cantik dan energik. Mara tidak terlalu menyukai banyak perhiasan. Hanya ada cincin kawin dan anting panjang di kedua telinga. Namun siapapun yang melihatnya, akan tahu jika Mara bukanlah wanita biasa. Setiap tindak-tanduknya terukur. Bibir itu jarang mengulas senyum, dan tatapannya masih seperti dulu : tajam, fokus, dan membekukan.

"Diminum," ucapnya singkat. "Jangan ke pabrik dulu. Nanti aku yang ke sana."

Windu mengangguk patuh. "Terima kasih."

Mara menipiskan bibirnya. Lalu, perlahan sekali, ia membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan sang suami.

"Berterimakasihlah untuk semuanya, Permadi," bisiknya. Mata cokelat itu memaku Windu dalam dingin yang membekukan tulang. "Siapa yang menopangmu selama ini?"

"Kamu, Mara," jawab Windu seperti kerbau dicocok hidungnya.

"Siapa yang salah ketika kamu jatuh?"

"Aku."

"Kamu tahu sebabnya?"

"Karena aku kehilangan pilarku."

"Dan dia adalah?"

"Kamu."

Mara bangkit tanpa melepaskan tatapan dari Windu, lalu ia berbalik. Namun langkahnya terhenti kala melihat buah-buahan yang dibawa oleh Abel.

Cepat, wanita itu melemparkannya ke luar jendela. Abel memejamkan mata kala mendengar debam pelan buah-buahan membentur genting sebelum jatuh ke tanah. Ia baru berani membuka mata ketika suara langkah Mara keluar dari ruangan ini.

"Saya tidak apa-apa. Kamu bisa pergi dari sini."

Windu mengatakannya sambil menatap lantai. Sekali lagi, Abel mengamati Windu demi meyakinkan diri jika tidak ada luka yang luput dari matanya.

"Terima kasih sudah baik-baik saja, Papa. Aku pergi dulu." Abel berpamitan dengan senyum getir.

Seperti janjinya, Abel akan pergi setelah memastikan Windu baik-baik saja. Ia keluar dari kamar tanpa protes. Gadis itu tenggelam dalam diam, matanya mengamati telapak kaki yang menyusuri tangga dengan perlahan.

"Makin glowing aja. Banyak duit, kayaknya."

"Vin," sapa Abel. Calvin, salah satu sepupunya bersandar di kaki tangga. Ia dua tahun lebih muda daripada Abel, bekerja sebagai jurnalis di salah satu media massa.

"Oh, lo inget," seru Calvin takjub. "Gue kira otak lo isinya cuma duit kayak dia. Jadi, siapa yang barusan nge-booking lo? Hm? Pejabat? Pengusaha? Kira-kira gue tahu, nggak?"

Abel tidak menjawab. Namun Calvin justru mengimbangi langkah Abel dan kembali bertanya dengan tergesa. "C'mon, Bel. Lo pasti tahu satu dua, lah. Dan, jangan kasih gue alasan tentang jadi desainer grafis bla bla bla. Itu semua terdengar bullshit di telinga gue. Lo bisa beli rumah juga karena tidur sama atasan lo di perusahaan sebelumnya. Ya, Bel, ya? Please! Gue janji bakal nyamarin nama lo--Ah, Abel nggak asik!"

Gadis itu mengabaikan ocehan Calvin dan keluar rumah.

"Udah mau balik, Mbak?" tanya Pak Abid begitu Abel mengeluarkan motornya. Abel mengangguk. Ia mengulurkan paperbag besar penuh mainan pada Pak Abid.

"Buat Nathan," ucap Abel ketika Pak Abid berusaha menolak. "Bilangin kalau Abel kangen sama Nathan."

Sorot mata pria itu melembut. Pak Abid tersenyum kecil seraya mengusap pelan pundak Abel. Tanpa kata, namun mampu membuat mata Abel memanas. Ah, betapa ia merindukan pria renta ini.

"Nggak perlu pakai masker kalau di depan saya, Mbak," ucapnya hangat. "Nggak bilang tinggalnya di mana? Biar cucu saya bisa main, gitu?"

Abel menggeleng, berusaha keras untuk mengendalikan air matanya. Gadis itu hendak menjawab ketika suara Calvin bergaung di halaman.

"Ah, Pak Abid mau-mau aja dikasih barang yang dibeli pakai uang nggak bener. Buang aja Pak, ini saya ganti. Nanti Nathan kena tulah."

Suara Calvin terdengar jelas di belakang Abel. Abel terpaku sejenak, lalu tersenyum tipis pada Pak Abid tanpa berkata apapun.

Mengabaikan rasa panas yang bercokol di dada, Abel cepat-cepat pergi dari sana.

*TBC*

Footnote :

Tulah : Kemalangan karena kutukan.


Selamat pagi, selamat hari rabu ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top