26 | Rumah Manda

"Hai. Gimana keadaannya pagi ini?"

Mita menghadangnya di tengah ruangan.

"Baik," jawab Abel dengan gugup.

"Pusing? Perut sakit?" tanya Mita tidak membiarkan Abel lepas dengan mudah.

Abel menggeleng.

"Good. Ada obat yang harus diminum sesuai jam, kan?" tanya Mita yang dijawab Abel dengan mengangguk.

"Bagus. Nanti kita sarapan bareng-bareng." Mita tersenyum padanya, lalu menjauh seraya menempelkan ponsel ke telinga. "Jadi buat gaun yang dipesan kemarin..."

Abel merapatkan kardigannya dengan canggung, lalu berjalan ke taman kamboja. Namun begitu memasuki dapur, ia melihat Nugi sedang sibuk di sana. Lelaki itu mengenakan apron hitam dengan serbet menggantung di pinggang. Tangannya sedang mengiris jamur kancing dengan kecepatan yang membuat Abel merinding sendiri. Jika Abel yang melakukannya, ia yakin potongan jamur itu akan bercampur dengan jemarinya.

"Omelet? Sandwich?" Nugi menatapnya sekilas sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.

"Gue makan di luar aja."

Gerakan pisau Nugi berhenti ketika ia mengangkat wajah.

"Gue kira Manda bawa lo ke sini salah satunya adalah buat menjaga apa-apa yang lo makan," ucap Nugi. "Nggak ada gunanya kalau lo tetap makan di luar."

Abel menggigiti bibirnya dengan gelisah, namun menghentikannya kala sadar jika Nugi akan menegurnya jika lelaki itu tahu.

"Apa pun yang dibikin," ucap Abel pada akhirnya. Alih-alih melanjutkan pergi ke taman kamboja, Abel meletakkan laptopnya. "Bisa bantu apa?"

Mendengarnya, pisau Nugi berhenti sekali lagi. Manik kelam itu menatap Abel beberapa saat sebelum menunjuk sekeranjang penuh buah dengan ujung pisau.

"Iris sayuran, apa buah?"

"Ng...buah." Abel menarik keranjang buah-buahan, tapi tetap melirik pada Nugi yang kembali bekerja di hadapannya. "Jadi, mau masak apa?"

"Omelet," jawab Nugi singkat. "Fokus, Bel."

Abel mematuhinya. Sebab, pisau buah ini sepertinya benar-benar tajam. Untuk sesaat, keduanya bekerja dalam diam. Satu-satunya suara yang memecah keheningan hanyalah dengung mesin cuci di sudut ruangan.

Abel melirik Nugi sekilas. Lelaki itu tampak fokus pada bayam rebus yang kini sedang dicincangnya.

"Gi?"

"Hm?"

"Kalau gue ngontrak di sini, gimana?" tanya Abel pada akhirnya.

"Maksudnya?" tanya Nugi tanpa mengangkat wajah.

"Ngeganti seluruh hal yang gue dapat di sini dengan uang...atau apa pun yang nilainya sebanding." Abel mengeluarkan kegelisahannya. "Ini terlalu banyak buat gue."

"Oh...kepikiran itu rupanya," gumam Nugi masih tanpa memandangnya. "Jangan dipikirkan, Bel."

Abel menggigiti bibirnya dengan gelisah. "Tapi gue ngerasa nggak enak--"

Nugi meletakkan pisaunya hingga Abel terdiam.

"Mereka berharap lo cepat sembuh, Sabela. Manda berusaha menjamin kesehatanmu agar proyeknya bisa berjalan lancar," ujar Nugi. "Imbalan lo buat mereka, cukup dengan tetap baik-baik saja."

Abel menelan ludah ketika tatapan Nugi terasa menusuk.

"Dan berhenti gigit-gigit bibir begitu," gumam Nugi kembali mengiris bayamnya. "Nanti berdarah lagi."

Abel melipat bibirnya ke dalam, merasai sensasi amis kala kulit bibirnya mengelupas.

Gadis itu mengawasi Nugi yang mencampurkan adonan telur dengan susu, lalu menuangkannya di atas telfon dengan luwes. Ketika ia meraih cacahan sayuran, lelaki itu menyadari tatapan Abel.

"Kenapa?"

Abel buru-buru menggeleng. Hanya perasaannya saja, ataukah lelaki ini memang sedikit pendiam sejak tadi malam?

===

"Bel, perlu ke Athlas, nggak?"

Manda bertanya ketika mereka semua sudah selesai makan. Abel mengangguk. "Riset suasananya. Biar lebih dapat."

"Kalau gitu bareng Nugi aja. Dia juga ke Athlas--

"Nggak," sahut Nugi hingga Abel menoleh ke arahnya. Nugi menatap Abel dengan senyum kaku. "Sori, maksud gue, keberatan nggak kalau naik ojek atau taksi aja?"

Abel segera menggeleng, meskipun kini sesuatu memberat di hati.

"Hmm...Kenapa nggak sekalian aja sama kamu, Gi? Repot harus pesan ojek segala, kan?"

"Aku nggak papa, Mbak. Nanti siang sekalian aku mau ambil motor di rumah," ucap Abel menenangkan Mita.

Manda menyipit, "Yakin bisa? Kalau ada apa-apa gimana? Atau nunggu gue aja nanti malam?"

"Aku bisa--"

"Jarak rumahmu kemari kan lumayan jauh, Bel. Kamu juga belum sehat betul."

"Tapi aku nggak--"

"Gi, nggak bisa anterin, gitu?" tanya Manda seraya berdecak kecil pada Nugi yang bungkam sedari tadi. "Gue nggak bisa keluar kalau udah di hotel."

"Akan lebih aman kalau Abel pakai taksi," gumam Nugi tanpa menoleh.

"Paling nggak ada yang ngawasin dia, Gi. Dia balik bawa motor sendiri kan, bahaya. Masih belum pulih gini." Mita mendengkus sebal. "Udahlah, kalau Nugi nggak mau, kemana-mana kamu sama aku aja, Bel. Nggak perlu ambil motor."

Dan merepotkan Mita yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk memikirkan butiknya? Mana mungkin?

"Mbak Mita, aku cuma dalam masa pemulihan aja, masih sangat bisa bawa motor." Abel menjelaskan pada Manda dan Mita yang seolah merasa bahwa Abel menderita penyakit parah hingga tergolek lemah di ranjang. "Daerahku rawan pencurian. Aku nggak bisa ninggalin motor begitu aja. Aku janji nggak kemana-mana selain ambil motor."

"Bukan begitu maksudku, Sabela," ujar Mita lembut. "Aku--"

"Gini aja." Manda mengurut pangkal hidungnya. "Biar gue sama Nugi yang ambil motornya nanti malam. Oke? Jangan kepikiran lagi."

Abel baru akan menjawab ketika Nugi meninggalkan meja makan lebih dulu, lalu kalimat yang hendak ia katakan sirna entah kemana. Tergantikan oleh sesuatu yang bercokol janggal di dalam dada kala melihat punggung itu menjauh.

===

"Ke sana jam berapa?" tanya Mita yang sedang menyuapi Talita.

"Mungkin agak siang. Pagi-pagi begini belum bisa riset pengunjung," jawab Abel. Gadis itu bersila di lantai, menyambut Talita yang berjalan ke arahnya dengan wajah cerah. 

Gimana kalau kamu berangkat bareng Mbak aja?"

Abel menggeleng. "Masih kepagian, Mbak. Nanti agak siangan aja."

Mita mengerucutkan bibir. "Beneran?"

Abel mengangguk yakin.

"Udah ngabari seseorang kalau kamu nginep di sini?" Pertanyaan Mita membuat Abel mengerutkan kening. "Pacar, gitu misalnya? Nanti dia nyariin kamu."

"Oh...Nggak ada."

"Gebetan? Orang yang baru dekat sama kamu?"

Abel menggeleng lagi. "Nggak ada."

"Hmm...belum minat, ya?"

Abel tersenyum tipis. "Iya. Sepertinya memang belum minat."

"Umurmu berapa, Bel?" tanya Mita tiba-tiba.

"Dua enam. Dulu seangkatan sama Nugi."

Mita mengerutkan kening. "Tapi Nugi dua delapan."

"Eh?" Abel terkejut. "Dia dua delapan?"

Mita terkekeh kecil. "Dia pernah bilang kalau dia agak terlambat masuk sekolah saking badungnya."

Abel tidak pernah tahu, sungguh. Dia tidak pernah mengenal teman-teman sekolahnya lebih dari sekedar nama. Apalagi Nugi. Jangankan mengobrol santai tentang usia dan keluarga, mendengar suara Nugi saja Abel memilih berlari pergi.

"Kenapa nama gue disebut-sebut?"

Obyek pembiacaraan mereka tiba-tiba muncul di ambang pintu. Abel menggeleng cepat dan mengalihkan tatapan, sementara Mita terkikik geli.

Nugi mengerutkan kening, namun tidak bertanya lebih jauh. Lelaki itu memakai outfitnya yang biasa : kaus lengan pendek, celana training dan snapback hitam. Ia memperbaiki letak gigbag gitar di punggung, lalu berjongkok di samping Abel dan meraih Talita.

"Om pergi dulu. Mana kiss-nya?"

Talita segera mencium kedua pipi Nugi diiringi suara 'mwah' yang terlalu imut di telinga Abel. Setelahnya, ia mencium telapak tangannya sendiri, lalu ditempelkan di jidat Nugi yang menunduk agar Talita bisa menggapainya. Setelah ritual itu selesai, lelaki itu balas mencium kedua pipi dan dahi Talita. "Jadi gadis baik buat Mama, oke?"

"Jadwal hari ini kemana aja?" tanya Mita.

"Athlas, Comma, Saga." 

"Saga Hotel? Pelatihannya belum selesai, ya?"

"Belum." Nugi mengembalikan Talita di pangkuan Abel sebelum menatapnya. "Ke Athlas jam berapa?"

"Agak siang. Gue mau pelajari briefnya dulu."

Nugi tersenyum tipis. "Hati-hati."

Gadis itu mengawasi mobil Nugi hingga menghilang dari pandangan, lalu sentuhan Talita di pundaknya menyadarkan Abel.

"He seems to love you," gumam Abel pada Talita yang menatap Abel dengan penuh minat. "Iya, cantik? Kamu juga sayang sama Ommu, sepertinya."

"Gigi?" Talita memiringkan kepala.

"Iya." Abel tertawa. "Talita sayang Gigi?"

"Bebel."

"Bebel loves you too." Abel menciumi pipi Talita dengan gemas hingga Mita tersenyum kecil.

"Dia memang sayang sama Lita," ucap Lita kembali menyuapi Talita. "Kalau pulang, yang dicari cuma anak ini. Jahat sekali."

Ucapan Mita bernada main-main. Namun ia justru teringat kalimat Manda beberapa bulan lalu.

"Dia jadi musafir di sana. Nyanyi dari satu kafe ke kafe lain, ambil klien cuma sekali dua kali. Luntang-lantung kayak jiwa tersesat di negeri orang, ngehancurin reputasinya sendiri. Yah, sekarang pun nggak ada bedanya, walaupun dia udah lebih baik dalam beberapa hal. Paling nggak, sekarang dia udah mau ambil klien."

"Sebenarnya, Nugi tinggal di mana?" tanya Abel kemudian.

Mita menggeleng. "Dia jual satu-satunya apartemen di Australia, dan dia nggak punya bangunan pribadi atas nama dirinya. Anak itu benar-benar bisa disebut tunawisma. Mas Manda sampai bingung jelasin waktu Kepala Desa tanya. Akhirnya ditulislah alamat ini di KTP-nya dia."

"Kenapa dia begitu?" Abel mengerutkan kening.

"Ka--rena...dia memang terlalu cuek." Mita mendengkus kecil.

Abel terkekeh. "Mbak Mita orangnya peduli sekali."

Mita ikut tersenyum. "Apa yang kamu harapkan dari anak yatim piatu yang tumbuh di panti asuhan, Bel? Kami menganggap satu sama lain sebagai saudara, selalu seperti itu."

"Panti asuhan ini kelihatannya spesial," gumam Abel. "Anak-anak PE, Nugi juga sering menyebut panti asuhan ini."

Mita menyuapkan makanan pada Talita yang menerimanya dengan lahap. Gadis kecil itu kini duduk di pangkuan Abel, tampak serius dengan kelopak bunga yang baru saja dipetiknya.

"Lebih dari spesial, Bel. Kalau aku boleh bilang, panti asuhan itu adalah penyelamat hidupku." Mita tersenyum kecil. "Dulu aku sama Mas Manda tinggal di pinggir sungai. Kerjaan kami mengamen di pagi hari, dan jadi pemulung di sore sampai malam hari. Terkadang, kami bahkan harus berurusan dengan polisi karena terpaksa menjambret demi beli makanan. Dulu, hidupku berantakan sekali."

Suara Mita sedikit gemetar sebelum meneruskan. "Suatu malam banjir bandang datang dan kami kehilangan semuanya. Rumah, saudara, teman...orang tua. Aku sama Mas Manda adalah dua dari beberapa orang yang selamat. Kami sudah pasrah dengan masa depan kala itu, benar-benar menyerahkan hidup pada aliran waktu saja. Sampai akhirnya Mas Qatar menemukan kami dan membawa kami ke panti asuhan. Kami nggak cuma diberi tempat tinggal yang layak, tapi diberi bekal untuk mempersiapkan masa depan. Sesuatu yang nggak pernah ada di kepalaku sebelumnya. Hebatnya adalah, Mbak Nala dan suaminya--mereka ini yang bertanggung jawab di Panti--bukanlah orang yang punya hubungan kekerabatan sama kami. Mereka mengurus panti semata-mata karena peduli. Itu...bikin aku percaya bahwa kebaikan bisa membawa dampak besar bagi hidup orang lain. Itu juga alasan kenapa kami nggak bisa melepaskan Nugi begitu saja meskipun dia nggak punya hubungan darah sama aku atau Mas Manda. Bagiku, dia adik kecil yang sedang kehilangan arah."

Wanita itu membelai pundak Abel dengan lembut. "Jadi Bel, jangan sungkan lagi tinggal di sini. Kamu adik Mbak sama seperti Nugi. Titip Lita dulu ya, mau nyiapin air mandinya."

Abel menatap Mita yang masuk ke rumah, lalu memeluk Talita ketika matanya memanas.

Adik, ya...

Akan sangat menyenangkan jika Jani juga menganggapnya demikian.

===

Gadis berbalut kemeja kuning itu memandangi bangunan kafe di hadapannya. Tidak banyak yang berubah setelah empat bulan berlalu. Kafe itu masih tetap sama : bernuansa hitam dan elegan.

Abel memasuki kafe, dan melihat Nugi sedang berada di atas panggung. Lelaki itu tersenyum tipis kala bersitatap dengan Abel, lalu kembali fokus pada petikan gitarnya.

"Maaf Kak, tempat duduk sudah penuh." Salah satu pegawai mendekatinya dengan ramah.

"Lantai dua?"

"Sudah dipesan untuk acara kantor," jawabnya.

"Begitu ya, terima kasih," ucap Abel dan si perempuan muda tadi undur diri dengan sopan.

Abel memutuskan untuk keluar dan duduk di kursi tukang parkir. Gadis itu membuka buku sketsanya, mulai menuangkan sesuatu yang terbentuk di otak sebelum bayangan seseorang menaunginya. Abel mendongak, namun Nugi keburu menjejalkan snapback-nya di kepala Abel.

"Jangan panas-panas. Di ruangan Manda, mau nggak?" 

Keterdiaman Abel membuat Nugi menghela napas.

"Ruangannya kosong. Daripada di sini kepanasan, mending masuk aja, fokus di sana. Buat Athlas juga, kan?" Nugi memberi isyarat pada Abel untuk mengikutinya. Canggung, Abel melangkah di belakang Nugi.

Nugi memperkenalkan Abel sebagai desainer grafis Athlas demi meredam lirikan-lirikan penuh ingin tahu dari para pegawai, lalu membawanya pada sebuah ruangan yang berada tepat di samping dapur. Sebuah kaca besar menjadi satu-satunya partisi antara ruangan Manda dan dapur yang penuh aktivitas itu, membuat Abel bisa melihat dengan leluasa apa-apa yang terjadi di dapur. Bahkan pintunya pun terbuat dari kaca tebal yang juga tembus pandang.

Abel mengagumi ide ini dalam hati.

"Di sini aja dulu," ucap Nugi menyalakan pendingin ruangan, lalu meraih masker dan apron dari loker yang ada di sisi ruangan. "Gue tinggal sebentar."

Nugi menutup pintu, dan seketika suara-suara dari dapur kini tidak lagi terdengar. Tapi Abel tetap bisa melihat segala aktivitas dari sini. Ia bisa melihat Nugi meraih sebuah teflon kala salah satu juru masak menyambanginya. Ia tampak bertanya tentang sesuatu, dan menunjukkan pada Nugi salah satu masakan yang sedang menggelegak di atas panci. Nugi mengambil sendok dan mencicipinya, lalu meraih sebuah bumbu dan menambahkannya di masakan itu. Ia kembali berbicara pada si juru masak tadi, yang mengangguk dengan wajah yang lebih cerah.

Abel bertopang dagu kala Nugi kembali menghadap telfonnya. Seperti tadi pagi, ia mengiris daging, wortel dan bawang bombay dengan kecepatan yang tidak mungkin Abel tandingi. Ia menumisnya sebentar sebelum memasukkan beberapa mangkuk nasi di sana. Sesekali, juru masak mengajaknya bicara, yang dijawab lelaki itu tanpa meninggalkan masakannya.

Jika dipikir-pikir, Nugi yang sedang berada di dapur mempunyai aura yang berbeda dengan Nugi yang ada di atas panggung. Ia terlihat lebih serius, dengan gerakan yang hati-hati dan terukur. 

"Lo pernah bicara tentang passion dan orang-orang yang bekerja di passion mereka. Nugi adalah salah satunya. He's so brilliant when it comes to menu. Tapi satu dua hal terjadi dan...dia berubah. Dia bekerja tanpa, apa ya kalau gue bilang? Tanpa rasa? Jiwa? Seperti itulah. Soulless."

Soulless...ya?

Ketika salah satu juru masak meliriknya dengan ingin tahu, Abel berdeham canggung. Gadis itu menyudahi pengamatan dan meraih buku sketsa. Ia mulai merangkai kembali konsep yang sempat diinterupsi oleh Nugi hingga lagi-lagi, sapuan pensilnya harus berhenti ketika Nugi membuka pintu dan meletakkan dua piring omurice di hadapannya.

"Makan siang dulu." Nugi melepas maskernya. "Tadi coret-coret apa? Udah punya konsep?"

Abel menyerahkan konsepnya, lalu sadar jika ia masih memakai topi. Ia baru saja meletakkan topi itu di meja ketika Nugi mengerutkan kening.

"Insight desain studio...lo punya proyek lain?" celetuk Nugi. "Yakin kuat? Lo masih masa pemulihan, Sabela."

"Lihat yang mana sih, Gi?" Abel mengembalikan lembar sketsanya. "Jangan dibalik-balik. Ini yang buat Athlas. Yang tadi itu proyek pribadi, nggak perlu khawatir. Athlas tetap jadi prioritas gue."

"Proyek pribadi?"

"Gue kepingin punya studio desain sendiri," ucap Abel.

Nugi menatapnya beberapa saat, lalu meletakkan buku sketsanya di atas meja. "Ayo makan."

Abel meliriknya sekilas, dan mematuhi Nugi. Merasakan dengan sangat iri ketika nasi goreng bisa jadi seenak ini. Padahal Abel sudah mendeklarasikan dengan percaya diri jika nasi goreng di depan perumahan adalah nasi goreng paling enak sedunia.

"Kapan dibangun studionya?" tanya Nugi tiba-tiba.

"Belum dalam waktu dekat," jawab Abel. "Masih butuh banyak biaya. Rencananya, gue pingin terima kerja remote kalau nantinya ada tawaran. Nambah pengalaman juga. Lumayan buat portofolio."

Nugi tersenyum tipis. "Poin bagus."

"Lo...gimana?" balik Abel. "Ada rencana bikin kafe kayak Mas Manda begini? Atau restoran sekalian? Atau bikin kantor konsultan khusus bisnis makanan?"

"Cita-cita gue cuma satu," ucap Nugi tanpa menatap Abel. "Tapi Tuhan pun nggak akan mau ngabulin itu buat gue."

Abel mengerutkan kening, namun Nugi hanya tersenyum samar. "Jangan dipikirin omongan gue. Makan dulu. Bawa obatnya, nggak?"

Abel mengangguk, lalu kembali melahap makan siangnya. Meskipun kini beberapa hal berputar di kepalanya gara-gara omongan Nugi.

Saat itu, si pegawai perempuan yang tadi memberitahu Abel bahwa kafe penuh, tiba-tiba saja muncul di dapur dan mengetuk pintu dengan sopan.

"Kenapa?" tanya Nugi.

"Itu, Mas...udah ada meja yang kosong buat kakaknya." Perempuan itu tersenyum manis.

"Oh..." Nugi kembali menatap Abel. "Gimana? Mau di sana atau di sini?"

"Di sana aja, makasih, ya," ucap Abel lega. Pasalnya, sedari tadi ia sangat sadar bahwa beberapa orang di dapur mencuri pandang ke arahnya.

Si pegawai mengangguk sopan. "Kalau begitu saya beri tanda di meja ya, Kak."

"Diminum dulu obatnya," ucap Nugi setelah si pegawai tadi pergi. "Habis dari sini langsung balik ke rumah Manda, kan?"

Abel tidak langsung menjawab. Sebenarnya, dia tidak ingin mengatakannya, tapi berhubung Nugi bertanya, maka...

"Gue mau ambil motor," ucap Abel menghabiskan makan siangnya.

"Bel--"

"Gue nggak mungkin nyusahin Mbak Mita sama Mas Manda lebih dari ini, Gi," ucap Abel. "Dan jujur aja, rasanya nggak aman ninggalin motor gue cuma di dalam gerbang. Gue juga nggak mungkin nggak kemana-mana selama tinggal di rumah Mas Manda, kan? Minimal gue perlu belanja kebutuhan pribadi. Nggak mungkin gue nunggu lo, atau Mas Manda, atau Mbak Mita cuma buat pinjam kendaraan atau minta diantar."

Abel meminum obatnya, lalu kembali meneruskan kala Nugi masih tetap menatapnya dengan tajam.

"Gue masih kuat kalau cuma bawa motor dari rumah ke tempat Mas Manda." Abel berusaha meyakinkan Nugi yang menatapnya lekat-lekat. "Ng...jangan khawatir, nanti gue pakai ojol lagi, kok. Gue--ke depan dulu."

Abel mengalihkan tatapan dengan canggung dan melarikan diri dari ruangan itu secepat kilat, meninggalkan Nugi yang berdecak pelan.

"Keras kepala sekali."

===

Nugi memasang earphone di telinga ketika melihat nama Manda di layar.

"Kenapa?" tanyanya tanpa melepaskan pandangan dari punggung gadis bermotor di hadapannya.

"Dimana?" tanya Manda. "Kata anak Comma, lo belum datang."

"Baru mau jalan ke sana."

"Oh...sekalian ambilin seragam anak-anak baru di penjahit, Gi. Udah dibayar, tinggal ambil aja."

"Oke."

Nugi mengikuti Abel yang berbelok ke jalan perumahan menuju rumah Manda, lalu menghentikan mobilnya. Gadis itu membuka gerbang rumah Manda, dan menghilang dari pandangan Nugi.

Nugi menghela napas dalam, lalu kembali melajukan mobilnya menuju Comma.

===

"Di mana?"

Kantuk Abel hilang ketika mendengar geraman Manda dari taman kamboja. Gadis yang sedang mengisi tumblernya itu mengerutkan kening.

"Bukan alasan, Gi. Pulang!" sentak Manda. "Tadi--Gi? Bagus!"

Manda masuk ke dalam rumah dan melihat Abel. Ia menghela napas dalam-dalam, tampak sekali berusaha mengendalikan amarah.

"Kenapa belum tidur jam segini?" tanya Manda.

"Haus," jawab Abel jujur. Ia terbangun karena merasa haus.

"Oh...Bel, hari ini kapan terakhir ketemu Nugi?"

"Tadi siang, di Athlas. Nugi kenapa?"

Manda menggeleng. "Nggak papa. Tidur lagi, Bel. Masih jam dua, ini. Lo perlu banyak istirahat."

Abel mengangguk, mempersilahkan Manda kembali ke kamarnya. Gadis itu mematikan lampu, lalu bejalan ke kamarnya sendiri.

Meskipun kini, sesuatu tengah mengganggu otaknya.

Abel ingat ekspresi dingin Nugi kemarin pagi. Dia juga ingat penolakan Nugi untuk mengantar dirinya. Bukannya Abel ingin dimanja atau sejenisnya, hanya saja mendengar lelaki itu menolak keberadaannya dengan begitu tegas, sedikit banyak mengingatkan Abel pada masa lalu.

Abel menggigiti bibirnya dengan gelisah.

Sampai tidak pulang segala, mungkinkah Nugi sebenarnya tidak suka jika Abel menginap di sini, tapi tidak ingin mengatakannya?

Ah, betapa tidak pekanya Abel. Orang yang mengizinkan ia menginap di sini hanyalah Mita dan Manda. Jika diingat-ingat, dia tidak pernah mendengar Nugi berkata setuju tentang dia yang menginap di sini.

Abel meraih ponselnya, menimbang-nimbang. Lalu memutuskan untuk mengirim pesan.

"Gi, nggak pulang?"

Sedetik, dua detik, tiga detik...

"Tidur, Bel. Masih malam."

Abel memandangi jawaban itu dengan mata memanas.

*TBC*


Selamat siang semuanya. Stay healthy, stay safe and be happy.


Luv yuu
❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top