23 | Ucapan yang Mengganggu
"Tifus?"
"Hm," gumam Nugi.
"Belum sadar?" Ali mengamati tubuh yang terbaring di hadapannya dengan jeli.
"Udah tadi. Cuma sebentar terus tidur lagi."
Sesuatu dalam suara Nugi membuat dokter bedah itu menoleh. Ia meletakkan sebungkus makanan di atas nakas, lalu ikut duduk di samping Nugi.
"Selamat."
Nugi mendengkus, namun tidak mengatakan apapun. Ia sedang berdamai dengan detak jantungnya saat ini.
"Asumsi gue udah mengarah kemana-mana waktu lo bilang ada darah di mulut. Ternyata apa? Itu luka di bibirnya, bukan dari saluran napas atau kerongkongan atau lambung seperti dugaan awal gue." Ali bersedekap. "Tapi kondisinya juga nggak bisa dibilang baik. Dia dehidrasi berat. Itu bahaya."
Nugi merinding hebat.
"Bahaya," ulang Nugi pelan sekali demi menyamarkan getar dalam suaranya. "Apa maksud lo dengan 'bukan kondisi yang bisa berkompromi sama waktu'?"
"Serius? Lo nggak ngerti maksud gue?" tanya Ali tidak percaya. "Tifus bisa jadi mematikan kalau terlambat ditangani. Tahap terminal bisa sampai perdarahan internal dan pecah usus, Gi. Keadaannya aja udah seburuk ini. Bayangkan kalau dia terlambat dapat penanganan sedikit aja."
Nugi mengurut pangkal hidungnya dan memejamkan mata. Dia tahu. Tentu saja dia langsung mengerti kata-kata Ali. Dia hanya tidak mau menyimpulkannya. Sebab kesimpulan itu, membuatnya takut.
"Dia memang punya kebiasaan gigit-gigit bibir," celetuk Nugi untuk mengalihkan topik.
"Iya? Kalau cemas, gitu?"
Nugi mengangguk. "Dari awal kami ketemu lagi, gue perhatiin dia selalu gigit bibir kalau ngerasa kurang nyaman."
"Apa BFRB?" Ali mulai menebak-nebak. "Gangguan ini memang cukup merusak. Cukup masuk akal kalau sampai bibirnya berdarah, gitu."
"Bisa jadi," gumam Nugi. Lelaki itu menatap Abel yang masih terbaring. Menggigit bibir hingga berdarah ketika badan terasa sakit, agaknya cukup masuk akal bagi Abel yang selalu menggigit bibirnya tanpa sadar ketika cemas. Tapi waktu membuka pintu tadi, wajah itu tidak hanya menyiratkan rasa sakit. Ada sesuatu yang lain di sana, sesuatu yang membuatnya menatap Nugi dengan nanar.
Rasa takut.
Apa? Apa yang bikin lo takut, Bel?
"Dehidrasi berat," gumam Ali. "Berapa kali dia mutah sama BAB? Makan apa aja seminggu terakhir? Ada riwayat makan di luar? Di tempat-tempat kurang higienis, gitu?"
Nugi menggelengkan kepala. "Ini pertama kalinya gue lihat dia lagi."
"Oh?" Ali mengangkat alis. "Kenapa? Kalian marahan sampai nggak mau ketemu? Imut amat."
Nugi mengelus pelipisnya, benar-benar lelah untuk meladeni Ali.
"Proyek Comma selesai. Nggak ada alasan kita ketemu," ucap Nugi. "Tapi Manda mau rebranding Athlas dan dia minta tolong gue buat nemuin Abel lagi. Paham?"
"Ah..." Ali nyengir lebar. "Begitu rupanya."
Sungguh, Nugi membenci cengiran itu. Namun ia memutuskan untuk tidak bicara apapun.
"Gimana tadi di jalan?" Ali memecah lamunan Nugi. "Ketemu kendala selain diri lo sendiri?"
Nugi menggertakkan gigi, yang diabaikan Ali. Lelaki itu justru berdiri dan mendekati Abel. Ia meletakkan tangannya di dahi gadis itu.
Nugi ikut berjalan di sampingnya.
"Demamnya cukup tinggi," ucap Ali menarik tangannya. "Tadi pasti sakit sekali."
Iya, pasti sakit sekali. Melihat wajahnya yang sepucat itu, perutnya bahkan ikut tidak nyaman. Sudah berapa hari dia menahan sakitnya?
"Dia baik-baik aja, kan?" tanyanya lagi, teringat perkataan Ali tadi.
"Hm," gumam Ali. "Thanks to you. Yah, lo harus tahu bahwa keputusan lo buat segera bawa dia ke sini udah tepat. Lo berhasil, dan itu baik buat dia. Ngomong-ngomong, lo udah telfon Mas Manda?"
Nugi menggeleng. Ia duduk di samping ranjang. Lelaki itu mengusap dahi Abel, merasai panas yang masih membara dalam sentuhannya.
"Perlu gue telfonin anak-anak lain biar ke sini?" tanya Ali lagi. "Lo pasti sadar kalau dia cewek, kan?"
Sialnya, Nugi sadar sekali.
"Dia masih nggak nyaman sama yang lain," ucap Nugi. "Nanti biar gue yang beli apa-apa."
"Dia mungkin di sini untuk waktu yang agak lama," gumam Ali pelan. "Ada teman kantornya, mungkin? Buat dimintai tolong tentang kerjaannya?"
Nugi hanya tahu satu orang, Saka. Tapi dia bahkan tidak tahu cara mengontak lelaki itu atau teman Abel yang lain.
Ali menepuk pundaknya dengan pelan. "Ya sudah. Gue balik dulu. Sana makan biar nggak ikutan pingsan. Lo juga pucet, tahu nggak?"
"Hm."
Langkah kaki itu menghilang dengan cepat, meninggalkan Nugi dalam hening yang muram.
Padahal, Nugi memutuskan untuk tidak terlibat terlalu jauh kali ini. Dia akan melangkah dengan penuh antisipasi. Berbicara seperlunya lalu pergi.
Namun saat Abel tidak kunjung muncul di Athlas pada waktu yang disepakati, saat gadis itu tidak kunjung mengangkat ponselnya, lelaki itu tidak bisa menghentikan segala asumsi buruk yang bermain di kepala.
Dipandanginya Abel yang masih tertidur. Nafas gadis itu terlihat berat, dan matanya bergerak-gerak gelisah. Nugi mengulurkan tangan, mengusap-usap dahinya hanya agar Abel merasa tenang.
Dia masih ingat rasa takut yang mencengkramnya selama di perjalanan. Horor itu menyiksanya setiap detik, memaksa pikirannya menciptakan skenario paling mengerikan yang bisa terjadi di sepanjang perjalanan.
Maka, cukup hari ini saja. Besok-besok, ia tidak akan lagi mengemudikan orang lain dengan tangannya sendiri.
Terutama gadis ini.
===
Ah, jadi itu bukan mimpi.
Abel menatap langit-langit putih di atasnya. Dia ingat dia tadi melihat langit-langit yang sama persis, antara sadar dan tidak sadar.
Gadis itu mengerjap, berusaha membiasakan diri dengan cahaya. Kepalanya masih pusing, tapi tidak sehebat beberapa waktu lalu. Perutnya kini sudah tidak lagi melilit sakit, meskipun rasa nyaman itu masih tetap ada.
Hal terakhir yang ia ingat dengan jelas adalah kehadiran Nugi dan sensasi melayang yang ia rasakan. Abel berdecak pelan. Dia tidak boleh sakit, apalagi sampai masuk rumah sakit begini. Itu hanya akan membawa masalah baginya.
Tapi, siapa yang membawanya kemari? Apakah Nugi?
Abel mengangkat tubuhnya hingga terduduk di atas ranjang, lalu mendapati Nugi tengah tertidur di sofa dengan ponsel di dada.
Gadis itu menatap infusnya dengan putus asa, lalu mencari-cari ponselnya sendiri. Dia perlu memberitahu Kinan tentang keadaannya agar wanita itu bisa menyesuaikan jadwal untuk proyek mereka.
"Ketinggalan?" batin Abel dengan gelisah.
Abel bergeser pelan, lalu perlahan turun dari ranjang. Gelombang vertigo menyerangnya hingga ia memejamkan mata beberapa saat. Setelah dirasa kuat, gadis itu meraih infus dan berjalan ke toilet.
"Bisa?"
"Astaga Tuhan," desis Abel memejamkan mata. Ia menoleh, dan mendapati Nugi berjalan ke arahnya dengan rambut awut-awutan. Tanpa kata, lelaki itu meraih infus yang ada di tangan Abel dan menyodorkan tangannya yang lain.
"Masih pusing?"
"Udah nggak separah tadi," gumam Abel memilih menopang tubuhnya di dinding.
Nugi tidak mempermasalahkannya. Lelaki itu mengawasi gadis di sampingnya dalam bungkam, diam-diam merasa lega. Nugi menggantungkan infus pada gantungan infus di dalam kamar mandi.
"Hati-hati," ucapnya sebelum keluar, meninggalkan Abel yang justru merasa canggung.
Salah satu hal yang membuatnya rumit adalah hal-hal pribadi semacam ini. Lupakan keluarga. Dia tidak punya teman sesama perempuan yang cukup dekat untuk dimintai tolong. Sangat tidak nyaman ada di rumah sakit sendirian.
Ketika gadis itu menegakkan diri, pusing kembali dengan lebih hebat kali ini. Ia sampai memegang tembok untuk menjaga tubuhnya. Abel keluar dengan perlahan dan mendapati Nugi bersandar di dinding.
"Boleh pulang jam berapa?" tanya Abel ketika Nugi meminta infusnya.
"Belum boleh. Lo masih pucet gitu."
"Nggak papa, biasanya juga nggak lama. Nanti di rumah sembuh sendiri," gumam Abel berkonsentrasi pada langkahnya. "Lo yang bawa gue ke sini? Gue tadi pingsan, ya?"
"Hm." Nugi meletakkan infus pada tempatnya.
Abel meraih pegangan ranjang, dan berusaha naik dengan hati-hati. Sekarang setelah rasa sakit di perut sedikit mereda, dia baru menyadari jika otot-ototnya terasa ngilu. "Thank you."
Wajah baru bangun tidur itu tampak diam kala duduk di sisinya. Ia menatap Abel beberapa saat, dan menghela napas panjang.
"Tahu sakit apa?"
"Gastritis kambuh. Gue pernah dirawat--"
"Tifus."
Ekspresi terkejut menggantikan ocehan Abel. "Tifus? Gue kena tifus?"
"Hm." Nugi balas menatapnya. "Sekarang gimana rasanya? Masih pusing?"
Abel mengangguk canggung. "Tapi udah jauh lebih baik. Beneran kena tifus?"
"Iya, Sabela. Kapan terakhir makan?"
"Ng--" Abel mengerjapkan mata, berusaha mengingat-ingat.
Hal terakhir yang ia ingat adalah ia menikmati crepes di mall kemarin pagi, lalu menelan ludah tanpa sadar kala mengingat pertemuannya dengan Alan. Abel berdeham, berusaha menyingkirkan sensasi sedang diawasi yang selalu menguasainya setiap ia mengingat Alan.
"Kemarin pagi," gumam Abel pelan.
"Kemarin pagi?" geram Nugi.
Abel memalingkan wajah. "Gue selalu muntah kalau makan habis itu."
Gadis itu menatap Nugi lagi, tidak mengerti mengapa Nugi harus seserius ini. "Jadi, kapan bisa pulang?"
"Gue takut masih beberapa hari lagi," ucap Nugi berusaha menjaga intonasinya. Ia meraih bubur dari rumah sakit yang masih terbungkus plastik wrap. "Makan, ya? Perutnya udah mendingan, kan?"
Abel menerima semangkuk bubur yang diulurkan Nugi. Sudah dingin, tapi aroma gurih cukup menggodanya. Ia menata duduknya dengan susah payah karena geraknya terbatas, mengernyit samar kala sendinya terasa sakit semua.
"Ponsel gue?"
"Nggak kebawa," gumam Nugi mengawasi Abel. "Coba dihabiskan. Bahaya kalau gastritisnya juga kambuh."
"Gue perlu reschedule jadwal gue," gumam Abel menyendok sesuap, merasa-rasa mulutnya sendiri.
"Nanti gue ambilin, kalau itu bisa bikin lo lega. Tapi jangan kerja dulu, Bel. Lo perlu istirahat."
"Gue bisa istirahat di rumah. Dikasih obat juga nanti reda."
Nugi mengelus pelipisnya, berusaha menerjemahkan penjelasan Ali dengan bahasa yang lebih gampang agar gadis keras kepala ini bisa memahaminya.
"Masalahnya, Bel. Kata dokter tifusmu ini bukan lagi gejala awal. Lo merasa baikan karena dapat pengaruh obat. Tapi lihat, masih pucat, gini." Nugi memperbaiki selimut untuk menutupi betis Abel. "Jadi tolong di sini dulu sampai bener-bener sembuh. Kalau butuh apa-apa, bilang gue aja."
Abel menggeleng pelan. "Gue nggak suka di sini lama-lama."
Sentuhan hangat di dahi membuat gadis itu mendongak. "Masih panas. Nggak ada pulang, Sabela. Di sini dulu sampai sembuh."
Abel mendesah pelan. Lelaki ini tidak paham, sungguh. Bagaimana bisa dia mengatakannya semudah itu?
"Lo...nggak bisa, Gi," gumam Abel pelan dengan wajah panas.
"Please, don't be so ridiculous, Mahawisnu."
Kezia masuk ruangan dengan cepat, memotong kalimat Nugi sebelum berdecak pelan. Lalu di belakangnya, Raka, Gardan dan Gaby ikut masuk.
"Yo, Bel," sapa Raka.
"Hai," sapa Gaby dengan gugup, namun ia mendekati Abel dengan senyum. "Kami bawa baju dan peralatan mandi. Kata Ali, kalian buru-buru kemari."
Abel langsung bungkam dengan jemari mencengkram mangkuk erat-erat.
Kezia melepas jaket dan meletakkan beberapa paperbag di atas nakas, lalu melotot pada Nugi yang masih terkejut.
"Panas sendiri kuping gue ngedengerin ini dari tadi. Tolong dipahami, Bapak. Abel cewek dewasa. Dia juga butuh hal-hal pribadi yang nggak mungkin dia bilang di depan lo. Dari nadanya tadi, jelas-jelas dia ngerasa nggak nyaman, gimana sih?"
Nugi mengerjap. "Ah...gitu--"
Kezia dan Gabu memutar bola mata bersamaan.
"Udah. Abel biar makan dulu," ucap Gardan mengulurkan ponsel Nugi. "Gi, bukain! Gue mau lanjutin tetris yang kemarin."
Nugi menempelkan jari telunjuknya di sensor sidik jari, dan kembali menghadapi Abel. Sementara anak-anak lain kini duduk di sofa dengan kegiatannya masing-masing.
"Maaf. Harusnya gue juga kepikiran itu," gumam Nugi. "Gue nggak masalah kalau harus ngebeliin alat mandi, pembalut atau...pakaian--lo tahu, hal-hal pribadi buat cewek. Bukan masalah buat gue. Lo butuh, gue bakal cariin. Lagipula gue juga nggak ngerti temen-temen cewek lo siapa aja. Tapi harusnya gue tahu lo nggak akan nyaman."
Abel kembali menatap Nugi dengan wajah yang sudah membara. Ia melirik empat orang yang berdesakan di sofa, lalu kembali melihat Nugi. "Terima kasih udah paham."
Nugi mengelus belakang lehernya dengan canggung. "Dimakan buburnya--"
"Menu selanjutnya mau apa? Menurutmu bukannya kita udah punya cukup menu main course?"
"Kalau gitu selanjutnya kita susun menu dessert. Mille-feuille, gimana?"
"Setuju. Aku suka Mille-feuille yang kamu buat. Tapi jangan dikasih buah-buahan, Gi--"
Suara itu berhenti karena Nugi yang segera bangkit dan menyahut ponsel dari tangan Gardan.
"Ups?" Gardan mengerut di bawah tatapan tajam Nugi. "Itu--udah ada waktu gue nyalain terus kepencet...sori."
Nugi tidak berkata apa-apa. Lelaki itu justru berjalan keluar ruangan emosi yang menguasai wajahnya, meninggalkan Abel yang mendadak disergap rasa dingin hingga ke tulang-tulang.
Anak-anak PE menatapnya dengan cemas, tapi Abel belum bisa mencernanya. Di alam bawah sadarnya, semua hal tentang anak PE masihlah berbahaya.
"Bel, Ng---"Gaby memainkan tangannya dengan gelisah. "Itu--"
Kalimat Gaby berhenti karena Nugi kembali lagi. Lelaki itu berkacak pinggang dan menatap empat orang lainnya dengan begitu tajam hingga Gardan meneguk ludah. Pelan, Gardan mengangkat sebuah kotak kecil dari ransel yang ia letakkan di bawah.
"Main monopoli?" tanyanya sambil meringis.
Tiga yang lain melirik Nugi yang masih terlihat sangar di ambang pintu, lalu buru-buru menyetujui ajakan Gadran. Tidak butuh waktu lama, empat orang itu berkerumun di lantai. Nugi menghela napas dalam-dalam, dan duduk di samping Abel.
"Maaf," gumamnya seraya tersenyum tipis. "Maaf, nggak lagi. Gue di sini. Dimakan buburnya, dihabiskan."
Abel menelan ludah. Tatapan gadis itu jatuh pada Raka dan kawan-kawan yang sudah mulai bermain monopoli. Saat itu, Gaby menoleh ke arahnya.
"Mau ikut, Bel?" tanyanya. "Nggak usah ke sini. Biar diwakilin Nugi."
Abel menggeleng pelan. Gaby tersenyum hangat, lalu kembali berkonsentrasi pada dadunya.
"No lip biting, Sabela."
Suara Nugi membuat tatapannya kembali pada manik legam yang sedari tadi mengawasinya. Lelaki itu menyentuh mangkuk, mengingatkan Abel untuk kembali menyantap makanannya.
"Lo tahu? Lo perlu aware sama kebiasan yang satu itu. Tadi Ali mikir macem-macem karena ada darah di bibir. Tapi ternyata--"
Abel menghentikan racauan Nugi kala gadis itu justru menarik lengan kaus Nugi. Pelan, gadis itu berbisik di telinganya.
"Jangan pergi," bisik Abel nyaris tanpa suara. "Jangan pergi kayak tadi."
Nugi terdiam, merasai jarak di antara mereka yang pasti sirna dalam sejengkal saja. Samar aroma wangi tercium dari rambut dan tubuh gadis itu, membuat Nugi kembali menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri.
"Gue nggak kemana-mana." Nugi melepaskan diri dan kembali duduk. "Gue di sini. Tapi Kezia benar. Lo tetep butuh temen cewek. Kalau Kezia bikin lo nggak nyaman, coba siapa temen Dhalung yang bisa dihubungi? Nanti gue telfonin."
Abel menggeleng. "Nggak ada. Makanya gue nggak suka di sini lama-lama."
Nugi menatap perempuan yang menyantap buburnya sambil menunduk itu, sadar bahkan mungkin dia sudah menanyakan hal yang salah.
"Kezia nggak akan jahat sama lo lagi," ucap Nugi. "Gue ada di sini, nggak kemana-mana."
"Nggak bisa pulang aja?" bisik gadis itu lagi.
Nugi menggeleng. "Jangan buru-buru pulang. Kondisinya nggak memungkinkan."
Abel menatap manik kelam itu dalam diam, lalu mengalihkan tatapan pada buburnya. Sayangnya, ia harus mengakui jika tifus memang berbeda dengan gastritis. Saat ini saja, ia masih bisa merasakan tusukan di perut dan denyutan menyiksa di dalam kepalanya.
"Gue pinjem hpnya," gumam Abel berusaha fokus ketika ruangan mulai berputar lagi. "Gue bisa ngehubungin Mbak Kinan lewat grup, dan gue bisa ngobrol sama klien gue lewat email. Dan...maaf buat proyek kita yang tertunda. Nanti gue perlu ngomong sama Mas Manda--"
"Sama gue udah cukup," ucap Nugi seraya menyerahkan ponselnya. "Ini, jadi berhenti khawatir."
Abel menerimanya. Tidak butuh waktu lama bagi Abel sebelum mengembalikannya.
"Thank you..." Abel mengernyit.
"Kenapa?"
Abel menggeleng pelan dan memegang perutnya, sebuah gestur yang membuat Nugi langsung waspada. Nugi mendekatkan diri, bermaksud membantu kalau-kalau Abel ingin berbisik di telinganya. Tapi yang ada, Abel justru meremas bahunya dan merintih pelan. Wajahnya mengeriut kesakitan.
"Tidur!" perintah Nugi. Abel mematuhinya, dengan wajah yang kembali pucat. Gadis itu meringkuk membelakangi Nugi sambil mencengkram perutnya erat-erat. Tarikan napasnya terdengar cepat, menjadi bukti jika gadis itu tengah menahan sakit saat ini.
Nugi memperbaiki selimutnya, memastikan seluruh tubuh gadis itu tertutupi. Lelaki itu mengulurkan tangan dengan canggung ke arah rambut Abel, namun pada akhirnya ia mengurungkan niat. Diawasinya Abel hingga gerakan bahunya lama-lama menjadi rileks dan nafasnya teratur.
"Tidur?" bisik Kezia di bahunya. "Dia kelihatan kepayahan tadi. Sakit banget kelihatannya."
Nugi mengangguk. Ucapan Kezia mengingatkan Nugi pada raut gadis itu tadi siang.
"Gue telfon Mbak Mita dulu," gumam Nugi. "Dan jangan ganggu dia."
"Iya iya," tukas Kezia kembali duduk bersama tiga anak lainnya.
"Ya?" sahut Mita. "Kenapa, Gi?"
"Mbak," sapa Nugi seraya memandangi warna jingga di langit. "Malam ini aku nggak bisa pulang."
"Iya, Mbak tahu. Tadi Ali udah telfon."
"Hm...nanti aku minta tolong anak-anak PE buat nginep di rumah. Jangan khawatir."
"Nggak usah dipikirin. Mbak baik-baik aja," tukas Mita.
"Jangan, Mbak." Nugi mengurut pangkal hidungnya. "Nanti anak-anak ke sana."
Mita terkekeh. "Baik, baik. Ali juga bilang kalau dia minta Kezia sama Gaby ke sana. Abel...nggak papa?"
"Itu kenapa dia nggak bisa ditinggal sendiri."
"O--oh...ya sudah. Besok Mbak ke sana. Dan Gi?"
"Hm?"
"Selamat, ya. Ali udah cerita semuanya. Dan Mbak bangga sama kamu--"
Dalam panas yang menelannya, Nugi nyaris membanting benda pipih itu sebelum akhirnya menguasai diri. Ia mematikan ponsel dan menyugar rambut dengan kasar.
Ada apa dengan orang-orang?!
Mengapa mereka menanggapinya dengan mudah? Bagaimana bisa Mita meminta Nugi menjemputnya seenteng itu? Bagaimana bisa Manda memintanya mengantar ke bandara dengan nada seringan itu? Bagaimana bisa Ali merasa baik-baik saja ketika tahu bahwa Nugi akan membawa Abel dengan tangannya sendiri?
Tidakkah mereka takut bahwa Nugi akan membunuh mereka seperti ia membunuh Ganis?
*TBC*
BFRB : Body focused-repetitive behaviour
Luv u guys
❤️❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top