19 | Anomali
"Orang lain selalu punya ekspektasi, dan kita nggak selalu bisa memenuhi ekspektasi mereka sekeras apapun kita sudah berusaha. Terima dan bangkit lagi. Lo juga harus mulai menghargai diri sendiri, Sabela. Jangan ikut-ikutan memandang rendah diri sendiri. Kalau lo ikut-ikutan memandang rendah diri sendiri kayak gini, lo beneran tamat."
Meskipun Abel mendengarnya beberapa jam lalu, namun kalimat itu masih terngiang di telinga.
Bukankah kalimat itu terkesan membenarkan diri sendiri? Sejauh apa dia harus menghargai diri sendiri agar tidak menjadi egois? Bukankah batas antara menghargai diri sendiri dan egois itu tipis? Bukankah dalam sebuah hubungan, berkorban adalah hal yang normal?
Gadis itu meletakkan kepalanya di meja makan dan memandangi undangan kecil yang sedari tadi terletak di depan mata.
Menerima, ya.
Momen ketika Arvin memberikan undangan itu padanya, Abel sudah berjanji bahwa ia akan menerima semuanya. Abel berjanji bahwa ia akan berani menghadapi segala keputusan yang dipilih Arvin. Tapi ternyata, proses penerimaan tidak semudah itu. Dia tidak tahu jika berdamai dengan rasa rindu dan cemburu ternyata sesakit ini. Dia juga tidak tahu jika mematikan segala asa tentang mereka, ternyata adalah hal yang menyiksa.
Abel menyusurkan ujung telunjuknya pada motif vintage yang menghiasi undangan itu.
Bagaimana bisa benda sekecil ini mampu merenggut rasa bahagia bahkan ketika hari masih muda?
Mata Abel kembali memanas. Didorongnya benda itu ke tepi, lalu memutuskan untuk mandi.
===
Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi ketika Abel selesai menjemur cucian. Gadis berpiyama dengan rambut yang masih lembab itu baru akan berbalik ketika sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Nugi keluar dari sana, lengkap dengan kaus putih polos, celana training, dan snapback hitamnya.
Pemandangan tentang Arvin malam itu mengguncang kesadaran Abel hingga sesaat ia terpaku. Begitu seratus persen nalarnya kembali, ia baru menyadari posisinya yang sangat...mengerikan. Dan begitu saja, tubuhnya merinding hingga ia refleks menampar Nugi. Begitu berbalik, ia mendapati Manda menatapnya dengan syok seraya memegangi dada. Ia juga ingat beberapa pengunjung ternganga oleh adegan yang baru saja terjadi.
Sepanjang sisa pertemuan mereka, Abel tidak henti-hentinya meminta maaf. Manda tidak ambil pusing. Lelaki itu justru sibuk menertawakan warna merah di pipi Nugi. Untung saja, itu adalah malam terakhir ia bertemu mereka berdua.
Jadi ketika ia melihat Nugi pagi ini, perutnya melilit tidak keruan. Tapi lelaki itu sepertinya tidak terpengaruh oleh apa yang terjadi tadi malam. Ia berjalan mendekati Abel seraya menyelipkan satu tangannya ke dalam saku, sementara tangan yang lain tengah menenteng picnic container susun.
"Ada masalah sama desain?" tanya Abel begitu Nugi berhenti tepat di hadapannya. Mata gadis itu menjelajahi wajah Nugi, mencari-cari warna merah di sana.
"Nggak ada. Hari ini keluar jam berapa?"
"Sepuluhan, ketemu klien," jawab Abel penuh antisipasi. "Kenapa?"
Nugi mengangkat bawaannya. "Ayo sarapan bareng."
Abel yang belum terbiasa dengan kerandoman Nugi, mengerutkan kening.
"Terima kasih khusus dari gue karena lo udah mau ngebantuin Comma." Nugi tersenyum. "Manda bahagia luar biasa."
"Nggak perlu repot-repot," gumam Abel tanpa mampu menahan diri untuk tidak mengamati wajah Nugi, lalu diam-diam merasa lega ketika bekas tamparannya tidak ada lagi. "Athlas, gimana?"
"Adegan ciuman sama banting gelas kadang kejadian di sana. Cuma peluk sama tampar-tampar doang sih, nggak masalah," jawab Nugi ringan. "Jadi berhenti gigit-gigit bibir gitu, nanti berdarah. Athlas nggak akan kenapa-napa."
Abel menghentikan kegiatan yang dimulainya tanpa sadar, mendadak merasa sedikit kesal.
"Jadi? Gimana kalau kita sarapan dulu?" Ia mengangkat bawaannya lagi. "Gue laper banget."
Abel menatapnya datar hingga Nugi terkekeh. Lelaki itu duduk bersila di teras dan akan membuka bawaannya ketika Abel kembali bersuara.
"Lantainya masih basah. Di ruang tamu aja."
Mendengarnya, Nugi menatap Abel dengan ragu. "Lo yakin?"
Abel terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ingatkan Abel untuk membuka pintunya lebar-lebar nanti. Gadis itu mengambil beberapa piring sebelum kembali ke depan, dan tertegun kala Nugi sudah membuka pintunya dengan lebar hingga mereka terlihat jelas dari jalanan.
"Thank you," ucapnya tersenyum kecil. "Ada alergi? Udang? Kepiting?"
Abel menggeleng pelan.
"Baguslah." Nugi duduk bersila, mengurai satu persatu hidangan di atas meja. "Capcay seafood dari Mbak Mita, dan gue mau dengar pendapat lo tentang creme brulee ini. Salah satu menu yang akan tampil di Comma."
Tapi hidangan itu bukan hanya capcay dan creme brulee saja. Ada kepiting yang penuh dengan kuah saus berwarna cokelat dan beraroma gurih, juga dua cup salad buah yang masih terkubur dalam tumpukan es.
"Kenapa nggak pakai dry ice aja?" tanya Abel ketika Nugi mengeluarkan salad buah dan menyingkirkan tray penuh es yang mulai mencair.
"Nggak semudah itu bawa dry ice kemana-mana. Dia bisa berbahaya kalau salah penanganan. Pakai ini aja masih bisa." Nugi melepas topinya dan menyugar rambutnya dengan kasar. "Kepiting saus tiram dan salad buah ala gue. Dijamin aman. Jadi, bon appetit?"
Abel menatap Nugi dalam diam, membuat lelaki itu mengangkat alis. Abel menggeleng dan mengalihkan wajah, merasa bahwa sesuatu yang salah tengah terjadi di hidupnya. Sebab, sarapan berdua bersama Nugi jelaslah sebuah anomali.
Tapi,
Abel harus mengakui jika kepiting saus tiram ini adalah kepiting saus tiram paling enak yang pernah ia santap.
"Ini lo yang masak," gumam Abel.
"Hm, kenapa?" Nugi bertanya dengan cepat.
Abel menggeleng. Gadis itu kembali menyantap sarapannya dengan pelan. Apakah seseorang yang memasak dengan soulless bisa menghasilkan hidangan seenak ini? Bukankah itu membuat iri? Abel yang memasak dengan penuh determinasi saja selalu gagal.
"Gue penasaran." Abel memecah keheningan. "Kenapa lo bilang begitu sama gue?"
"Bilang apa?"
"Orang lain selalu punya ekspektasi, dan kita nggak selalu bisa memenuhi ekspektasi mereka sekeras apapun kita sudah berusaha. Yang perlu lo lakuin adalah menerima. Terima dan bangkit lagi. Lo juga harus mulai menghargai diri sendiri, Sabela. Jangan ikut-ikutan memandang rendah diri sendiri. Kalau lo ikut-ikutan memandang rendah diri sendiri kayak gini, lo beneran tamat."
"Tentang menghargai diri sendiri," gumam Abel.
"Oh itu." Nugi bergumam pelan. "Ingat kata-kata lo tadi malam? Lo menyalahkan diri sendiri."
"Karena gue emang salah." Abel berdecak, sedikit menyesal telah mengangkat topik ini. "Lupain. Dilihat dari manapun, gue emang salah."
"Kenapa lo merasa salah?"
"Lupain, Gi--"
"Abel, kalau lo terus-terusan memandang rendah diri sendiri, lo bisa terpenjara sama pikiran-pikiran lo. Percaya sama gue, itu bahaya," ucap Nugi. "Jangan terlalu lama menyalahkan diri sendiri, terutama di hal-hal yang emang nggak sepatutnya lo salahin."
"Gue gagal jadi PNS," gumam Abel dengan bibir mulai bergetar. "Gue nggak bisa masak, gue anak nggak bener. Itu semua salah gue, Gi."
"Sabela, jangan bilang sama diri sendiri kalau 'gue anak nggak bener'. Jangan," ucap Nugi hati-hati sekali.
"Kenapa?" Abel terkekeh singkat, matanya menggenang dengan cepat. "Lo pernah bilang itu sama gue. Lo pernah minta anak satu kelas teriakin itu ke gue setiap gue masuk kelas, Nugi. Gue tahu lo bahkan ngancem mereka yang memperlakukan gue dengan manusiawi. Gue tahu, Gi."
Demi Tuhan, Abel tidak pernah berniat menghakimi masa lalu Nugi. Ketika lelaki itu datang kembali dengan sikap yang jauh lebih baik, bagi Abel semuanya tidak perlu dibahas lagi. Namun mendengar lelaki itu berbicara dengan begitu bijak seolah-olah dia tidak pernah melakukan hal yang sama, hati Abel terasa panas.
Tapi Nugi, sepertinya tidak terkejut sama sekali. Lelaki itu justru tersenyum tipis dengan penuh pemakluman. Sorot matanya melembut.
"Itu kenapa, jangan sampai mengulangi hal jahat yang pernah gue lakuin. Dibilang begitu sama orang lain sangat nggak enak. Jadi jangan sampai lo ikut-ikutan bilang begitu sama diri sendiri." Nugi berkata. "And I am sorry. Untuk kesekian kalinya, gue minta maaf."
"Udahlah, Gi. Jangan diterusin. Gue mau makan."
"Nggak ada yang salah sama lo, Bel. Kalaupun lo mau cari pihak yang salah, itu adalah orang tua lo. Bukan lo," lanjut Nugi tanpa mengindahkan Abel.
Abel memejamkan mata. "Lo...mending pulang aja. Gue mau istirahat--"
"No, Bel...please." Nugi menatap Abel dengan cemas. "Dengerin gue. Lo nggak bisa milih lo lahir dari siapa, atau dalam keluarga seperti apa. Nggak ada satu orang pun yang berhak mengutuk keberadaan lo di dunia. Nggak ada."
"Ada. Mama, Jani, Tante Leah."
"Kita tahu alasannya, tapi bukan berarti itu bisa dibenarkan," ucap Nugi sabar. Mengherankan bagaimana lelaki itu mengatakan semuanya dengan nada bicara yang masih terkontrol sempurna. "Kadang manusia lupa, kalau benci bisa merembet kemana-mana, termasuk hal yang seharusnya nggak dibenci. Sayangnya, Bel...lo kena getahnya. Lo dipandang salah meskipun pada kenyataannya, lo nggak pernah salah."
"Apa itu penting?" gumam Abel dengan suara tercekat. "Nggak peduli siapa yang salah, gue tetep dibenci."
"Ini penting. Ini berhubungan sama cara lo memandang diri sendiri." Nugi berkata dengan sabar, meskipun dia benci sekali kala melihat mata gadis itu berkaca. "Eksistensi lo di dunia ini, bukan salah lo. Lo berhak bernapas seperti orang lain, berhak bahagia seperti orang lain. Lo berhak hidup tenang, terutama tanpa penghakiman dari pikiran lo sendiri. Itu udah sangat membantu buat bertahan."
Abel menatap manik legam di hadapannya dalam diam, lalu membelah kepitingnya dengan gemetar.
"Saya hanya takut anak saya kena sial."
"Arvin penah bilang hal yang sama," gumam Abel seraya mengusap pipinya. "Tapi Tante Leah--ibunya, ternyata berpendapat berbeda."
"Seperti yang pernah gue katakan. Ekspektasi orang lain. Dan..." Nugi menghela napas panjang. "Jujur aja, gue agak nggak suka waktu dia nyalahin lo atas perasaannya yang berubah. Kalau memang berubah, akui aja, nggak perlu menyalahkan orang lain. He has manipulative issue for some reasons."
"Manipulative issue?"
"Sifat manipulatif. Yang jelas, ketika dia nyalahin lo karena perasaannya yang berubah, gue langsung bisa menyimpulkan kalau mantanmu ini punya sifat manipulatif. Sifat manipulatif ini somehow...berbahaya." Nugi mengaduk minumannya. "Terutama buat lo yang punya kepercayaan rendah terhadap diri sendiri."
"Maaf?"
Nugi tersenyum hangat. "Ketika lo merasa nggak percaya diri sama diri lo sendiri, penilaian negatif dari orang lain akan membuat lo menyalahkan diri sendiri. Lo nggak punya tameng, nggak punya filter untuk mempertimbangkan lebih dulu apakah lo memang benar seperti yang mereka bilang apa nggak. Ini berbahaya, Abel."
Abel memperlambat kunyahannya dalam diam, memberikan waktu pada dirinya sendiri untuk kembali memikirkan hubungannya dengan Arvin.
"Gue nggak mau merasa lebih baik dengan cara menyalahkan orang lain. Cukup gue tahu kalau gue salah," gumam Abel sambil mencari-cari udang di dalam capcaynya. "Lagipula nyatanya, gue yang banyak kekurangan di sini. Nggak bisa masak, contohnya."
" Lo bukannya nggak bisa masak, tapi belum bisa." Nugi menusuk beberapa udang dan meletakannya di piring Abel. "Nyatanya, lo udah bisa masak mangut lele tanpa lihat catatan."
"Serius, Gi? Itu cuma satu menu."
"Kenapa? Itu tetep pencapaian," sahut Nugi. "Memangnya kenapa kalau satu menu? Abel yang dulu nggak bisa masak mangut, Abel yang sekarang bisa tanpa nge-cheat. Kalau mau membandingkan, bandingkan diri lo versi yang sekarang dengan versi lo yang dulu. Setiap orang punya titik start yang berbeda, setiap orang punya support system yang berbeda, jadi nggak adil kalau membandingkan diri sendiri dengan orang lain secara membabi buta. Orang bilang pencapaian orang lain adalah motivasi. Itu bukan sepenuhnya salah, tapi juga bukan sepenuhnya benar. Salah-salah, kita justru bisa nggak percaya sama diri sendiri. Kita jadi minder dan merasa nggak akan pernah bisa layak. Padahal ketika lo udah berusaha, sebenarnya lo udah berubah menjadi versi diri lo yang lebih baik."
Abel mencengkram erat sendoknya kala matanya memburam.
"Apa gunanya?" gumam Abel dengan suara gemetar. "Sekuat apapun gue berusaha dari titik start yang gue punya, kemampuan gue tetep kurang dari Indira. Tante Leah sama Arvin nggak suka itu."
"Ekspektasi. Semua orang punya standar. Dan sialnya, Bel...lo pengen banget bisa masak karena standar ini."
"Salahkah?" balas Abel dingin.
"Ini bukan tentang salah atau nggak salah. Nggak peduli lo mulai belajar sejak di usia berapapun, belajar selalu butuh waktu," ucap Nugi dengan sabar. "Gue nggak akan banyak komentar tentang Tante Leah. Seperti yang gue bilang, semua orang punya standar, dan berdasarkan standar itu, mungkin lo nggak cukup baik buat memenuhi standar ibunya Arvin. Tapi bukan berarti lo payah. Lo punya niat belajar dan buktinya, lo bisa kalau belajar pelan-pelan. Yang nggak lo punya adalah kesempatan, yang nggak ibunya Arvin punya adalah toleransi, yang nggak Arvin punya adalah keberanian buat menjadi penengah antara lo dan ibunya."
Abel menatap Nugi, lama.
"Dan tentang ASN atau non ASN, keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Cukup sampai di situ, nggak perlu menjatuhkan satu sama lain. Hanya karena lo bukan ASN, bukan berarti lo cewek dengan masa depan suram."
Abel terbungkam. Nugi yang melihatnya, menghela napas panjang.
"Sabela, introspeksi diri memang perlu. Lo tahu kekurangan-kekurangan diri sendiri, itu bagus." ucap Nugi dengan tegas. "Tapi lo perlu tahu kapan harus berhenti menyalahkan diri sendiri. Menyalahkan diri sendiri bukan solusi dari apapun. Memperbaiki diri, itu baru namanya solusi. Di hubungan kemarin, lo punya target bisa masak dan bisa masuk PNS. Lo udah sangat berusaha memperbaiki diri, Sabela. Lo mau belajar masak sama gue, padahal gue tahu waktu itu lo takut banget ketemu gue. Tapi lo tetep terusin itu karena lo menilai gue adalah kesempatan terakhir yang lo punya. Lo bahkan belajar buat ujian di sela kesibukan lo. See? Lo nggak kekurangan effort. Seperti yang gue bilang, yang nggak lo punya, adalah kesempatan."
Abel masih tetap diam ketika Nugi lagi-lagi menambahkan banyak udang di piringnya.
"Gimana cara gue memperbaiki asal usul gue?" gumam Abel dengan mata memanas. "Gue putus asa untuk hal yang satu itu."
Keterdiaman Nugi mengundang kekehan Abel. "Nggak bisa, kan? Gue akan selalu punya satu kekurangan yang nggak akan bisa gue perbaiki."
"Itu bukan kekurangan," sahut Nugi. "Udangnya habis. Mau cumi?"
Abel mengangguk singkat.
"Asal usul, itu bukan kekurangan. Nggak akan pernah jadi kekurangan," jawab Nugi mulai memilah potongan cumi," ucap Nugi. "Jadi Bel, berhenti memandang rendah diri sendiri. Hal pertama yang jadi benteng kesehatan mentalmu adalah persepsi terhadap diri sendiri. Beri ruang untuk menerima seluruh kurang dan lebih diri sendiri. Fokus sama sesuatu yang lo raih, fokus sama kemampuan diri sendiri. Hargai pencapaian-pencapaian lo. Mengikuti standar bahagia orang lain akan bikin lo lelah."
Standar bahagia orang lain, ya...
"Lo...bisa menilai Arvin dan Tante Leah. Tahu dari mana?" tanya Abel ketika lelaki itu meletakkan beberapa potongan cumi di piringnya.
"Luckily, I am a good listener," jawab Nugi ringan, membuat Abel ingat jika Nugi pernah mengobrol dengan Saka.
"Standar bahagia," gumam Abel lagi. "Sejauh apa gue harus menghargai diri sendiri? Bukannya gue bisa jadi manusia super egois kalau gue terlalu menghargai diri sendiri?"
"Egoisme dikaitkan dengan sikap yang nggak bisa berkompromi dengan kepentingan orang lain. Beda konsep dengan menghargai diri sendiri. Menghargai diri sendiri, menurut gue, adalah bagian dari mencintai diri sendiri. Self-love, kalau bahasa modernnya. Self-love, berkaitan dengan penerimaan diri. Lo berani jujur pada diri sendiri tentang semua kekurangan-kekurangan lo. Lo paham diri lo punya kekurangan, dan lo menerima itu. Tapi alih-alih menyalahkan diri, lo menjadikannya bahan evaluasi dan berusaha memperbaiki diri. Lo menghargai setiap perkembangan yang lo peroleh sekecil apapun itu, tanpa standar orang lain sebagai acuannya."
"Gimana bisa? Kita hidup di dunia, pasti bersinggungan dengan banyak standar. Gimana bisa gue hidup tanpa mengindahkan standar-standar yang membelenggu gue?" tanya Abel dengan pahit.
"Lo denger gue. Tanpa standar orang lain sebagai acuannya. Manusia selalu punya prinsip, mungkin satu atau dua prinsip itu, nggak sejalan dengan standar yang ada. Semua tergantung cara menyikapinya. Sejujurnya, nggak sepenuhnya standar masyarakat itu buruk. Tapi pada suatu kondisi, dia bisa jadi sangat judging. Bedanya adalah, jangan sampai standar-standar ini bikin lo merasa terbelenggu dan harus mengikutinya dengan membabi buta. Seperti yang gue bilang, setiap orang punya titik awal yang berbeda-beda. Lo perlu lihat esensi dari standar yang dipasang ini. Kenapa harus begitu? Seberapa penting urgensinya? Apakah kalau nggak gitu, gue nggak sukses? dan lain sebagainya. It's all about you and your point of view."
Begitu, ya...
"Konsep self-love ini...bukankah juga akan jadi egois kala kita terikat di suatu hubungan, terus nggak mau kalah karena alasan self-love?" tanya Abel lamat-lamat.
"Bukannya nggak mau kalah, tapi lo perlu kompromi. Sebab ketika lo udah terikat hubungan dengan orang lain, ada sesuatu yang perlu lo jaga. Namanya komitmen," ucap Nugi. "Tapi manusia akan selalu punya keinginan, Sabela. Jadi kalau lo udah menjalin hubungan dengan orang lain, kompromi adalah salah satu bentuk menghargai pasanganmu, juga bentuk menghargai diri sendiri. "
"Bentuk...menghargai diri sendiri?" gumam Abel mengernyit, sebab dirinya tidak bisa melihat contoh konkret dari kalimat itu.
"Hmm..." Nugi tersenyum tipis. "Mengungkapkan keinginan diri sendiri dan mengkompromikannya dengan pasanganmu, itu salah satu usahamu untuk mengakomodasi penghargaan pada diri sendiri. Berkompromi, bukan memaksakan. Hubungan selalu tentang timbal balik. Kalau dia cuma mau didengar tanpa mau mendengar, lo bisa terjebak dalam hubungan yang nggak sehat. Toxic relationship."
"It's kinda toxic for me."
Kalimat Yasa terulang di kepala. Jadi, apakah hubungannya dengan Arvin dulu memang benar hubungan yang tidak sehat?
"Kalau udah terlanjur?"
"Itu akan jadi rumit sekali."
Abel menatap Nugi dengan datar, membuat lelaki itu mengangkat bahu.
"Apa yang lo harapkan? Merubah kebiasaan adalah hal yang susah. Bukan mustahil, tapi susah. Bisa jadi, justru lo yang akan capek sendiri. Gue nggak bisa kasih banyak saran sama orang yang udah terlanjur masuk ke dalam hubungan yang nggak sehat. Daripada begitu, akan lebih baik kalau kita hati-hati dari awal, kan? Sebab hubungan nggak seremeh itu. Salah-salah, lo bisa rusak sendiri. Physically or mentally. Or worse, both of it."
Abel masih menunduk pada makanannya , walaupun Nugi yakin gadis itu mendengarkan. Untuk sesaat, poni rambut yang sedikit berantakan itu terlihat menggemaskan.
Nugi berdeham demi menyadarkan pikirannya yang sedang berkelana. "Toxic relationship nggak perlu nunggu salah satu pihak harus babak belur dulu. Ketika lo tertekan secara mental karena pasangan yang selalu merendahkan, misal, itu udah masuk ke dalam toxic relationship."
Abel menatap Nugi yang kembali menyantap sarapannya dalam diam, lalu membuang pandangan ke jalanan kala matanya memanas.
Nugi yang terbatuk membuat Abel tersadar bahwa ia belum menyediakan air putih untuk mereka. Gadis itu masuk ke dalam, namun pikirannya melayang ke mana-mana.
Pada dasarnya, Abel bukan gadis yang gampang curhat ke sana sini. Selama ini, ia terbiasa memendam semuanya sendirian. Bahkan pada Yasa dan Saka. Mereka berdua hanya mengetahui Abel sebatas apa yang mereka lihat, tanpa pernah Abel jadikan tempat untuk mencurahkan kegalauan. Jika boleh berkata, justru Arvin lah yang pernah ia jadikan tempat berbagi. Sebab, lelaki itu pernah menjadi tempat paling nyaman bagi Abel.
Ia tidak pernah membayangkan akan duduk di meja makan dengan Nugi, membahas sesuatu sedalam ini, berdua.
Jangan terlalu lama menyalahkan diri sendiri, terutama di hal-hal yang emang nggak sepatutnya lo salahin.
Hal yang paling menyiksa dari perpisahan mereka adalah kenyataan bahwa Abel tidak cukup baik untuk Arvin. Rasa bersalah itu menderanya tanpa ampun, membuatnya selalu menghujat diri sendiri, membuatnya selalu memandang rendah diri sendiri.
Barangkali benar seperti kata Nugi.
Setiap orang selalu punya standar. Seperti Abel yang punya standar untuk beberapa aspek dalam hidupnya, orang lain juga demikian. Pun Arvin dan Tante Leah. Jika Arvin menilai bahwa ia perlu seorang pendamping hidup yang bekerja sebagai PNS dan pandai memasak, Abel akan menerimanya. Jika Leah menilai bahwa ia butuh menantu yang berasal dari keluarga baik-baik, maka Abel pun akan menerimanya. Abel sudah berusaha, tapi ternyata hasilnya tidaklah berakhir bahagia. Yang perlu ia lakukan adalah menerima dan merelakan, lalu berhenti menyalahkan diri sendiri.
Selama ini, ia tidak tahu bagaimana caranya hidup di dalam masyarakat sebagai pribadi yang normal. Ia bahkan tidak tahu bagaimana cara dan rasanya menjadi anggota normal sebuah keluarga. Selama dua puluh enam tahun hidupnya, eksistensi Abel adalah musuh keluarga dan masyarakat luas. Hal itu cukup membuatnya menyingkir dan memilih kesendirian. Dhalung adalah satu-satunya komunitas manusia paling besar yang pernah Abel tinggali, dimana Abel bisa berperan cukup baik di dalamnya. Maka, dia benar-benar buta akan cara menyikapi standar-standar sosial yang membelenggunya. Dia menjadi sensitif dengan berbagai penolakan, dan cenderung menginginkan adanya penerimaan.
Abel menghela napas panjang, lalu membawa dua gelas air putih ke depan.
"Harusnya gue nggak banyak omong waktu makan," bisik Nugi dengan wajah memerah. "Thank you."
Gadis itu mengamati Nugi yang sedang berusaha berdamai dengan jalan napasnya. Mungkin dia perlu berterima kasih kepada Nugi kali ini.
Ah, lagi-lagi sebuah anomali.
===
Wajah Abel berubah datar ketika gadis itu menyadari apa yang membuat Nugi menghentikan langkahnya. Namun lelaki itu tidak berkata apapun tentang undangan dari Arvin. Ia meletakkan tumpukan piring kotor di tepi wastafel, sementara tangan Abel sudah penuh busa sedari tadi.
Nugi kembali lagi dengan sebuah rantang kecil yang berbeda. Tanpa basa-basi, ia meraih wajan dan menuangkan porsi besar kepiting saus tiram.
"Buat apa?" tanya Abel seraya mengerutkan kening.
"Buat lo," ucap Nugi seraya memanaskannya. Lelaki itu mengaduk pelan menggunakan spatula. "Panasin setiap kali mau makan. Pelan-pelan aja ngaduknya."
"Thank you," ucap Abel pelan. "Sampaikan terima kasih gue buat Mbak Mita juga. Capcaynya enak."
Nugi mengangkat alis. "Kalau kepitingnya? Saladnya? Creme Brulee-nya?"
"Enak juga. Gue suka creme brulee-nya," jawab Abel tanpa menoleh.
Nugi mengamati punggung gadis itu sebelum terkekeh pelan. Alasannya kemari, jelas tidak sesederhana tadi. Keadaan Abel tadi malam cukup membuatnya khawatir. Walaupun, dia lega melihat Abel tidak sekacau yang ia kira. Paling tidak, hari ini gadis itu tidak berubah menjadi mayat hidup.
"Do you love her?"
Nugi menggertakkan gigi dengan jengkel. Lelaki itu mematikan kompor dan ikut beranjak ketika Abel selesai.
"Gue pamit. Thank you for today," ucap Nugi mengenakan kembali topinya.
"Lo ke sini beneran cuma karena ngajak gue sarapan?" tanya Abel pada akhirnya.
"Kenapa memangnya?" Nugi balik bertanya. "Sebagai tanda terima kasih khusus dari gue karena udah ngebantu Comma. Gue bahkan sampai rela hunting kepiting pagi-pagi banget ke pasar ikan."
"Oke," geram Abel lirih hingga Nugi tertawa.
"I mean it, Sabela. Thank you for everything. Thank you for Comma."
Abel mengangguk singkat. Klien datang dan pergi, itu sudah biasa. Maka Abel mengikuti Nugi keluar dalam diam, lalu ikut berhenti ketika lelaki itu kembali menghentikan langkah di tengah teras.
Nugi diam sejenak sebelum berbalik badan. Untuk sesaat, manik kelam itu menatap Abel dalam diam di bawah naungan topi hitamnya.
"Jangan merasa rendah diri lagi. Jangan merasa kalau diri lo nggak berharga. Sabela Nawandini bukan eksistensi yang salah di semesta," gumam Nugi dengan pelan. "Sabela yang gue kenal adalah sosok yang penuh dengan ide kreatif. Dia paham cara bertarung di dunia dengan kemampuannya sendiri. Dia gadis yang kuat dan pembelajar yang baik."
Nyaris saja. Nyaris saja Nugi melayangkan tangannya untuk mengusap puncak kepala gadis itu. Tapi kesadaran keburu datang, dan ia menyimpan tangannya tetap di dalam saku.
"Jadi, jangan nangis lagi." Nugi tersenyum tipis. "See you when I see you, Bel."
Abel hanya terdiam kala punggung itu berjalan menjauh. Ketika sampai di depan gerbang, lelaki itu berhenti. Nugi mengusap lehernya dengan gugup dan menoleh.
"Jangan lupa cek gerbang tiap malam," ucapnya canggung, lalu masuk ke mobil.
Abel mengikuti mobil itu hingga menghilang dari pandangan. Lalu menghirup napas dalam-dalam.
Sabela Nawandini bukan eksistensi yang salah di semesta.
Bagaimana bisa kalimat itu keluar dari seorang Mahawisnu Rahagi?
Abel mengusap pipinya dan berbalik ke dalam rumah.
Ck,
Mengapa hari ini begitu penuh dengan anomali?
*TBC*
Masih selamat setelah 3700 kataaa?? Duh gemes 😤😤
Jadii...
Sharga?
Nugi?
Saka?
Yasa?
Atau balikan sama Arvin?
😶😶
Please be happy, guys
Love you soo much
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top