18 | A Dead Man Walking
SmallvilleProject.pdf"
This project's protected by NDA. Client will send us completed brief after we collect the signed NDAs. The DL's 2w. Gimme your answer ASAP. "
Pesan dari Sharga adalah hal pertama yang menyapa Abel di pagi itu.
NDA atau Non Disclosure Agreement bukanlah hal yang asing di Maddadesign. NDA adalah perjanjian hitam di atas putih antara klien dan desainer agar desainer tidak membeberkan informasi apapun tentang perusahaan sang klien. Biasanya proyek-proyek yang disertai dengan NDA adalah proyek yang menyangkut SOP perusahaan. Sisi negatif dari proyek dengan NDA adalah, Abel hanya bisa memasangnya sebagai portofolio terbatas. Sisi positifnya, proyek dengan NDA mempunyai harga yang tinggi.
Abel membaca berkas terlampir dengan teliti, dan mengirimkan balasan pada Sharga.
"Sure."
Tidak berapa lama, pemberitahuan dari Paypal terpampang di layar ponselnya. Gadis itu membacanya sekilas, lalu jemarinya pergi ke sebuah ruang chat nyaris tanpa berpikir. Ibu jari Abel berhenti tepat di atas nama Arvin ketika gadis itu menghela napas panjang. Dia benar-benar perlu berhenti melakukan ini.
Abel mengusap mata dan duduk bersandar di tumpukan bantal.
"Hi Sabela, I like this one. But I need some refinement in colour and company's name."
Salah satu logo yang ia jual di Maddashop telah menarik seorang klien. Abel membalasnya dengan singkat, dan lanjut memeriksa email-emailnya yang berisi materi revisi dari klien maupun beberapa tawaran proyek baru.
Membuka studio desain sendiri adalah impiannya sejak dulu. Sebab tidak sekali dua kali ia merasa kewalahan dengan tawaran-tawaran proyek yang masuk. Namun impian itu sempat kabur kala ia menjalin hubungan dengan Arvin. Berhadapan dengan pria itu, membuat Abel merasa egois jika harus mempertahankan impian-impiannya sementara mereka harus berjuang meluluhkan Leah.
Abel memejamkan mata, berusaha menepikan nama Arvin dari pikirannya sebentar saja. Gadis itu meraih kardigan dan dompetnya, lalu bergegas membeli nasi goreng di depan kompleks. Hari ini, dia ingin bekerja di rumah saja.
===
Abel tampak kasual malam itu.
Sebuah sling bag tergantung manis di pundak kirinya. Kaus putih polos mengintip dari outer jeans yang tidak dikancingkan. Lengan jeansnya dilipat sedikit di atas pergelangan tangan. Mules berpita tipis menyempurnakan celana pensil yang membalut kaki jenjangnya.
Ia masih ingat tempat ini, dan ia masih ingat perasaannya kala itu. Dia, yang belum pernah berkencan siapapun, mendadak merasa begitu gugup. Namun senyuman Arvin membuat semuanya menjadi lebih baik. Mengerikan ketika memori itu masih terasa segar di ingatan saat nyatanya, kenangan itu akan hancur sebentar lagi.
Abel membenahi poninya yang sedikit berantakan, lalu melangkah ke dalam restoran. Matanya langsung menemukan sosok Arvin, sedang menunduk serius pada layar ponselnya. Lelaki itu mengangkat wajah kala Abel menarik kursi di hadapannya.
"Kamu datang," sapanya tersenyum tipis.
Mendengar suaranya saja, dada Abel begitu bergemuruh. Abel mengangguk singkat.
Ah...kemana saja rasa hangat yang dulu pernah ada? Apakah semua hanya ilusi saja? Nyatanya meskipun mereka kini bertatap muka, jurang di antara mereka tampak begitu menganga. Mereka seperti sepasang manusia yang baru pertama kali bertegur sapa.
Atau begitulah yang Abel rasa.
Arvin menatap Abel lama, lalu menyugar rambutnya. Ia bertopang dagu dan menatap sekitar.
"Masih sama, ya?" celetuknya.
Abel mengikuti pandangannya. "Hm. Nggak banyak yang berubah."
"Kamu tahu alasan aku ajak kamu ketemu di sini?"
Abel menatap Arvin beberapa saat, lalu mengangguk.
"Kamu selalu jadi perempuan kuat dari dulu, Bel. Jujur aja, itu yang aku kagumi dari kamu."
Tapi itu nggak cukup buatmu.
Abel mengalihkan pandangan ke buku menu ketika kerongkongannya mengering. "Kamu udah pesan?"
"Aku nggak pesan, karena aku nggak akan lama." Arvin meletakkan selembar undangan di hadapan Abel. "Kamu boleh ajak teman Dhalungmu itu. Aku mau kita mengakhirinya baik-baik. So, please come. Kamu bisa, kan?"
Undangan itu berwarna putih gading dan beraksen perak, terlihat mewah sekaligus elegan. Nama Arvin dan Indira terpampang di sana, tertulis indah dalam huruf berliuk dan berwarna emas.
Abel sudah berjanji bahwa ia akan menjadi berani malam ini. Maka dengan pelan, Abel meraihnya. Dibacanya satu persatu kata dari atas hingga selesai, dari nama hingga doa, sebanyak dua kali.
"Nggak butuh waktu lama buat memutuskan, sepertinya," gumam Abel berusaha terlihat baik-baik saja meskipun matanya kian memanas. "Selamat, ya."
"Mama yang mengusulkan. Dan aku pikir, nggak ada gunanya juga menunda-nunda. Aku dan dia sudah sama-sama siap."
Abel menggigit bibir bagian dalamnya, lalu mengangguk pelan.
"Akan aku usahakan," ucap Abel mengacungkan undangannya. "Sekali lagi, selamat."
Arvin menatap Abel lama sekali, lalu menghela napas panjang. Sesaat, kegelisahan hadir di wajah itu.
"Sorry...Bel--"
"Please, Arvin. Stop apologizing," gumam Abel pada akhirnya. "It's okay. It's okay. If you wanna leave, just leave."
Arvin menatap Abel dengan putus asa. Lelaki itu memejamkan mata sebelum bangkit.
"Sure," Arvin mengulurkan tangan tanpa sadar, namun berhenti beberapa senti dari puncak kepala gadis itu. Ia kembali menariknya. "Please be happy, Sabela."
Abel tidak bisa mengabaikan ketulusan dalam suara Arvin. Gadis itu memejamkan mata dan menghempaskan diri di punggung kursi.
Abel menggigit bibir dalamnya kala matanya memanas. Kalau saja dirinya bisa menjadi sempurna, dia tidak perlu kehilangan Arvin. Kalau saja otaknya bisa diajak kerjasama dan lolos tes CPNS, pasti namanya yang ada di undangan itu. Kalau saja dirinya pandai memasak seperti Indira, pastinya Indira tidak akan pernah punya kesempatan mengganggu Arvin. Kalau saja dirinya berasal dari keluarga baik-baik, pastinya Leah tidak akan berpikir dua kali untuk memberikan restu.
Pada kenyataannya, terlalu banyak hal yang tidak mampu Abel rengkuh di dunia ini. Sekuat apapun Abel berusaha, sehebat apapun ia berjuang, dia akan tetap menjadi Sabela. Si anak jahat yang menjadi duri di keluarga Permadi.
===
Abel langsung pergi ke Athlas dari restoran. Gadis itu duduk pada satu-satunya bangku yang tersisa. Malam minggu, lantai dasar Athlas selalu dipenuhi muda-mudi.
Abel sekuat tenaga mengalihkan pikirannya dari Arvin dengan berkonsentrasi pada Nugi. Malam ini, lelaki itu memakai kaus kerah berwarna coklat dan topi hitam. Seperti biasa, ia duduk dengan gitar di pangkuan.
Ketika bercakap-cakap biasa, suara lelaki itu ringan. Namun ketika menyanyi seperti ini, jenis suaranya berubah menjadi berat. Lelaki itu terlihat begitu santai bernyanyi diiringi petikan gitar, sesekali tersenyum kala pengunjung ikut menyanyikan satu dua bait lagu Fall For You milik Secondhand Serenade.
Waktu memang berlalu tanpa terasa. Jika melihat Nugi yang sekarang, Abel ragu akan ada orang yang percaya tentang Nugi di masa lalu. Dua-duanya seperti orang yang berbeda.
"Sori, malam minggu begini resto selalu penuh."
Abel menoleh pada Manda yang entah sejak kapan duduk di sana.
"Dia selalu berkelit kalau disuruh ngurusin dapur. Lihat aja, dia lebih suka di sana daripada nge-QC makanan," gumam Manda seraya menyipit ke arah Nugi. "Kalau nggak gue seret ke Indo, dia nggak bakal mau pulang."
"Memang selama ini dia di mana?"
"Australia," jawab Manda.
"Oh. Sibuk sama Noire?"
Manda tertawa garing dan menggeleng. "Noire udah tutup lama. Dia jadi musafir di sana. Nyanyi dari satu kafe ke kafe lain, ambil klien cuma sekali dua kali. Luntang-luntung kayak jiwa tersesat di negeri orang, ngehancurin reputasinya sendiri. Yah, sekarang pun nggak ada bedanya, walaupun dia udah lebih baik dalam beberapa hal. Paling nggak, sekarang dia udah mau ambil klien."
Abel menyesap minumannya dengan pelan, mencerna perkataan Manda seraya mengamati Nugi.
"Tapi dia kelihatan antusias waktu jadi tutorku," gumam Abel. "Bukannya dia juga pegang Athlas sama Comma?"
"Harus diakui, Nugi akhir-akhir ini mulai mau gerak. Tapi awal dulu, gue perlu kerja keras hanya agar dia mau terlibat di menu-menu Athlas." Manda bersedekap seraya melirik Nugi yang hampir menyelesaikan liriknya. "Mesin akan rusak kalau lama nggak bergerak. Begitu juga manusia. Dia akan kosong tanpa semangat. Lo pernah bicara tentang passion dan orang-orang yang bekerja di passion mereka. Nugi adalah salah satunya. He's so brilliant when it comes to menus. Tapi satu dua hal terjadi dan...dia berubah. Dia bekerja tanpa, apa ya kalau gue bilang? Tanpa rasa? Jiwa? He is a dead man walking. Soulless. He's still good, tho. Bahkan dengan setengah hati, dia udah hebat. Tapi lo bisa lihat, dia selalu melarikan diri kalau ada kesempatan."
Melarikan diri, ya...
"Dia--heii!"
Manda melotot kala Nugi tiba-tiba saja Nugi sudah sampai di hadapan mereka. Lelaki itu meraih tangan Abel dengan tergesa. "Kita ngobrol di ruangan Manda aja, oke?"
Abel melepaskan tangannya dengan cepat. "Di sini cukup, Gi."
"Bel, lo nggak lihat kafe rame banget kalau malam minggu? Meja yang lo pakai ini, bisa dipakai buat customer," ucap Nugi dengan tegas.
"Ah...begitu," gumam Abel tersadar. "Ya sudah, kita ke--manapun yang nggak ganggu kafe."
"Sebenarnya di sini pun juga nggak ganggu." Manda bersedekap dan menyipit pada Nugi. "Tapi di tempat yang lebih privasi bagus juga. Cuma ruangan gue masih berantakan, ngomong-ngomong."
"Kita cari tempat di lantai dua, kalau gitu," tukas Nugi meraih laptop dan berkas-berkas yang masih berserakan di meja, lalu meraih tangan Abel. "Yuk, ke atas. Gue kepingin ngenalin menu-menu yang belum lo coba."
Abel melepaskan tangannya tanpa basa-basi hingga Nugi menoleh ke arahnya dengan gemas. "Oke, sori. Kalau lo mau nampar lagi, tunggu sampai kita di atas."
"Dulu itu refleks," bisik Abel dengan pipi memanas, khawatir kalau-kalau Manda mendengarnya.
"Tenaga lo kuat juga." Nugi balas berbisik di dekat telinga Abel. "Lo ikut bela diri?"
"Yasa pernah ngasih tahu gue kuncian-kuncian yang berguna," jawab Abel saat menaiki tangga.
"Oh...baguslah," sahut Nugi. "Yasa siapa?"
"Teman," jawab Abel singkat hingga Nugi meliriknya tidak puas.
Lantai dua Athlas didesain untuk pertemuan-pertemuan yang lebih privasi. Keempat dindingnya dipenuhi jendela-jendela besar yang menyajikan pemandangan jalanan kota. Berbeda dengan lantai bawah, lantai atas adalah ruang tertutup yang dibagi menjadi dua bagian oleh partisi bambu yang berisi tanaman Anggrek Bulan. Bagian yang satu dipenuhi oleh meja-meja bundar dengan kursi elegan, bagian yang lain nampak bersekat-sekat untuk pertemuan yang melibatkan banyak orang. Beberapa pasangan tampak menghabiskan malam dengan penuh canda, sementara para pekerja kantoran nampak memenuhi ruang bersekat di sebelah sana.
Berbeda dengan lantai satu yang riuh, lantai dua terasa lebih hening meskipun sesekali tawa terlepas di udara. Nugi memimpin ke salah satu meja yang berada tepat di samping jendela, memungkinkan mereka menikmati pemandangan jalanan kota pada malam hari.
"So, this is it," ucap Manda membuka pertemuan mereka. Lelaki itu meraih berkas final Comma mulai dari logo hingga desain buku menu. "Gue makin cinta sama Comma. Website-nya juga udah fix."
Abel mengangguk hingga Manda tersenyum puas. Ia menoleh pada Nugi yang sedang meneliti sebuah berkas yang dibendel tersendiri.
"Ini apa?" tanyanya.
"Brand guidelines," jawab Abel. "Di situ tercantum kode-kode warna, font-font, icon, juga responsive logo yang memungkinkan logo Comma bisa dipasang di berbagai media."
"Oh...gue nggak nyangka bakal dapat ini." Manda membuka-bukanya dengan antusias. "Apa lo ngasih kayak gini ke semua klien?"
"Nggak. Cuma paket gold aja yang gue kasih itu."
Manda mengangguk pelan. "Gimana Gi?"
"Gue oke. Mau ke dalam dulu," jawab Nugi membuat Manda tersenyum puas.
Mendengarnya, Abel mengeluarkan kontrak kerja mereka dan membukakannya pada halaman terakhir.
"Hal terakhir dalam rangkaian kontrak kerja kita," ucap Abel menjelaskan. "Design handover. Please."
Nugi menatap lembar di hadapannya sambil mengetukkan pulpen di meja. Ia melirik Abel sejenak sebelum membubuhkan tanda tangan di sana. Abel membubuhkan tanda tangannya sendiri sebelum menyerahkan satu lembar pada Manda.
"Sisa pembayaran udah gue transfer." Manda mengacungkan ponselnya. "Jadi, gue nggak bakal ketemu lo lagi. Ah...sayang sekali. Setelah ini, lo ada klien offline lain, Bel?"
Abel mengangguk. "Dari kota sebelah. Pabrik teh kemasan. Mas Manda bisa mempelajari guidelinesnya dulu, siapa tahu ada yang mau ditanyakan ke aku. Aku permisi sebentar."
Abel meninggalkan Manda yang sepertinya antusias sekali dengan desain final Comma. Gadis itu pergi ke toilet, lalu berdecak kecil kala toilet terlihat penuh. Ia memutuskan untuk pergi ke toilet bawah saja.
Lalu,
langkahnya berhenti kala melihat Indira keluar dari toilet dengan tergesa.
Seharusnya, semua urusan dengan Arvin sudah selesai ketika Arvin memberikan undangan pernikahan itu padanya. Jadi seharusnya, Abel membiarkan saja Indira berlalu dari hadapannya.
Tapi seperti tadi. Sesuatu dalam dirinya begitu keras kepala untuk memenuhi rindu yang belum juga sirna. Maka, Abel mengikutinya seperti boneka. Abel keluar dari Athlas dengan jantung berdentum kencang. Seberapa kuatnya Abel berusaha menahan, namun manik mata Abel menyapu halaman yang luas itu, mencari-cari sosok yang familiar baginya...
Lalu tak jauh dari sana, ia menemukannya. Di dalam mobil yang sangat ia kenal, Arvin tengah mencium Indira.
Dingin merambat di sepanjang tulang belakangnya, menyekap paru-parunya hingga napas Abel memendek. Gadis itu berusaha menarik udara dengan tersengal sementara sesuatu mulai mencekik lehernya.
Suara kecil di kepala memerintahkan Abel untuk berbalik saja. Namun alih-alih mematuhinya, Abel justru diam di sana. Dengung samar mulai memenuhi pendengarannya, memisahkan Abel dari realita hingga yang ada hanya ia dan apa yang ada di hadapannya. Memaksa Abel melihat keduanya memejamkan mata kala berpagutan dengan penuh perasaan, memaksa Abel untuk melihat jemari Arvin yang bermain di rahang Indira sebelum tenggelam di rambutnya...
"Shh...jangan nangis, jangan nangis!"
Suara itu datang bersamaan dengan sesuatu yang menghalangi pandangan. Namun gadis itu bahkan tidak berkedip. Pandangannya masih terpaku pada satu titik.
"Seminggu terakhir ini aku berpikir ulang tentang hubungan kita. Dan kamu sadar? Kita punya banyak perbedaan dalam memandang sesuatu. Tapi Dira, pemikirannya sesuai dengan pemikiran Mama, sesuai dengan pemikiranku. Mau nggak mau aku kepikiran pertimbangan Mama tentang kita, dan aku rasa beliau benar. Jadi, ya. Aku akan mencobanya dengan Indira. Kalau Mama merasa bahwa dia baik untukku, maka itu pasti baik. Aku nggak punya alasan menentangnya."
"Saya hanya takut anak saya kena sial."
"Kita balik ke atas aja--"
"Gue emang seburuk itu, ya," gumam Abel tiba-tiba. "Bukan PNS, nggak bisa masak, anak nggak bener."
"No, you're not, Sabela." Nugi memandangnya dengan penuh kecemasan.
"Jujur saja, aku lelah, Bel. Kamu nggak pernah bisa diajak kerja sama. Aku nggak melihat progres dalam hubungan kita."
"Iya--Gi," bisik Abel mulai sadar bahwa ia tengah terisak. "Lo...denger sendiri malam itu, 'kan? Arvin bilang kalau--"
Kalimat Abel terputus kala Nugi meraih kepala Abel hingga dahi gadis itu menabrak dadanya.
"No, you're not," bisik Nugi di telinganya."Sejak gue ketemu lo lagi, gue melihat Sabela yang tahu tujuan hidupnya, yang tahu mimpi-mimpinya, yang keren dengan semua ide-ide desainnya. You're shining in your own way. Lo, bukan cewek yang penuh dengan kegagalan."
Nugi berdecak pelan dan mengeratkan dekapannya, menyembunyikan gadis itu dari tatapan ingin tahu orang-orang kala isakannya masih terdengar.
"Setiap orang selalu punya ekspektasi, dan kita nggak selalu bisa memenuhi ekspektasi mereka sekeras apapun kita sudah berusaha. Terima dan bangkit lagi, lo nggak akan kenapa-napa. Lo akan baik-baik saja," gumam Nugi. "Lo juga harus mulai menghargai diri sendiri, Sabela. Jangan ikut-ikutan memandang rendah diri sendiri. Kalau lo ikut-ikutan memandang rendah diri sendiri kayak gini, lo beneran tamat."
===
"Sakit, Gi?"
Nugi menggertakkan giginya seraya menempelkan gelas berisi Mojito di pipi. Manda kian tertawa.
"Lo juga, ngapain peluk-peluk anak gadis orang? Di depan Athlas, pula." Manda berdecak kala tawanya mereda. "Gue nggak mau Athlas kena skandal macem-macem. Lo perlu hati-hati."
Nugi terdiam sambil memainkan kursinya. Ruangan Manda berada tepat di samping dapur. Kedua ruangan itu hanya dipisahkan oleh sebuah kaca tembus pandang yang memungkinkan Manda mengawasi kinerja anak buahnya. Seperti sekarang, Nugi bisa melihat para pegawai beraktivitas di dapur.
"Say, lo udah tahu kalau mantan pacarnya di bawah?" tanya Manda menyipit. "Lo tiba-tiba tarik dia ke atas, gitu."
"Hmm," gumam Nugi menyugar rambutnya. "Siapa yang tahu dia malah ke bawah waktu gue nggak awas, ck!"
"Jadi, lo sepertinya cukup tahu masalah Abel sampai peluk-peluk begitu," gumam Manda sambil meraih map Comma yang berisi desain-desain mereka. "Dia kelihatan kurang baik setelah tadi. Tapi sampai rumah dengan selamat, kan?"
"Hm," gumam Nugi singkat, lalu meletakkan gelasnya. "Gue mau mandi dulu."
"Jadi, apa lo udah memutuskan buat serius sama Abel?"
Nugi membuka loker miliknya dan meraih sebuah handuk yang masih terlipat. Lelaki itu menyampirkan handuk di lehernya dan menatap Manda dengan tajam.
"Apa yang gue lakuin, murni tebus dosa masa lalu gue sama dia. Jadi, berhenti tanya hal seperti itu sama gue."
Manda mengangkat alis. Ekor matanya mengikuti siluet itu keluar ruangan.
"Mirni tibis disi misi lili." Manda mencibir. Lelaki itu menatap foto Mita dan Talita di atas mejanya dengan putus asa. "Mita sayang, bocah kita satu ini harus diapain lagi?"
*TBC*
Happy monday, my dear
Stay safe, stay healthy, be happy
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top