17 | Debar yang Ilegal
Nama Manda muncul, menutupi ruang chatnya dengan Arvin.
Gadis itu menghela napas, lalu memutuskan untuk menyudahi tingkah menyedihkannya pagi ini. Padahal ia meraih ponsel karena ingin memeriksa email dari kliennya, tapi ia justru berakhir dengan memandangi pesan terakhir dari Arvin. Sebuah kebiasaan yang belum bisa Abel tinggalkan, sebentuk penawar semu dari rindu yang masih bersemayam di sudut kalbu.
Jika dia berkata bahwa Abel sudah berhasil merelakan Arvin, maka Abel berbohong. Seharusnya, hal pertama yang ia lakukan adalah menghapus semua kenangannya dengan Arvin, termasuk pesan-pesan dari lelaki itu. Namun nyatanya, ia masih sering memandangi ruang chat mereka tanpa sadar, membaca satu persatu pesan dengan senyuman, lalu berakhir dengan isakan.
Abel tahu semua ini butuh proses. Rasa sakit itu masih berkecamuk di dalam dada, dibumbui dengan kalimat-kalimat dari Leah, rasanya luka ini akan sembuh untuk waktu yang lama.
Namun...Abel berusaha. Dia sungguh berusaha untuk lepas dari harapan-harapan yang masih tersisa.
"Halo, Sabela. Ini Mita. Abel sayang, hari ini ada waktu? Ada pesta kecil-kecilan di rumah, syukuran ulang tahun ibunya Talita." Mita mengatakannya dengan sangat antusias, sementara Abel mengerutkan kening.
Ibunya Talita kan, dia.
"Gimana, Bel?" tanya Mita dengan antusiasme yang gagal disembunyikan. "Iya! Ah...bumbu barbekyunya...sebentar ya, Abel. Ini ngomong sama Mas Manda dulu!"
"Jadi, begitu," gumam Manda kalem, berbanding terbalik dengan nada bicara Mita. "Kalau lo sibuk, nggak juga nggak papa, Bel."
Gadis itu memainkan pensil yang ada di genggamannya.
"Aku bisa," jawab Abel akhirnya. "Jam berapa?"
"Sepuluh pagi ini." Manda berdecak. "Sori. Mita kasih tahunya dadakan. Dia bilang kepingin pesta barbekyu."
Abel melirik jam dinding. Satu jam lagi. "Bisa."
"Benar?" balik Manda. "Kalau beneran bisa, kita sekalian ngobrolin kerjaan aja. Daripada harus ketemu nanti malam?"
"Sure. Nanti aku bawa berkas-berkasnya."
"Oke. Gue akan kasih tahu mamanya Lita kalau lo bisa hadir. Dan Bel, makasih karena udah mau memenuhi undangan Mita padahal gue tahu lo pasti banyak jadwal di sana. See you here," ucap Manda sebelum menutup sambungan.
Abel menatap ponselnya.
"Aku yang seharusnya bilang terima kasih, kan?"
===
"Oh, udah datang--lo sakit?"
Abel segera membuang wajah ketika Nugi mendekat. Gadis itu masih sibuk melepaskan tali yang membelit dua buah kado besar di jok belakang motornya kala Nugi keluar rumah. Seperti biasa, lelaki itu memakai kaus putih polos yang dipadu dengan celana training. Samar aroma barbekyu tercium kala ia mendekat.
"Sini." Nugi mengambil alih tali rafia dan melepaskannya dengan mudah. Tanpa kata, ia membopong keduanya dan menoleh pada Abel. "Kapan terakhir makan?"
"Tadi pagi," tukas Abel singkat.
"Jam?"
Abel berdecak lirih, namun tetap menjawab dengan pelan. "Delapan."
"Are you sure you're okay?"
"Nggak perlu khawatir."
Nugi menyipit, dan Abel tidak perlu memberitahunya jika sebelum sarapan jam delapan tadi pagi, makanan terakhir yang mendarat di perutnya adalah nasi goreng kemarin siang.
Lo...gimana kalau lo jalan di belakang gue dulu?"
"Kenapa?"
Nugi menatapnya dengan gelisah. "Temen-temen gue ada di dalam."
"Terus?"
"Temen-temen gue," ulang Nugi memberi penekanan. "Temen-temen SMA gue ada di sini."
Mendengarnya, Abel berhenti. Ia menatap Nugi dalam bungkam kala wajah lelaki itu dipenuhi kegelisahan. Manik legamnya menatap Abel dengan cemas.
"Lo pasti di perjalanan waktu gue telfon. Tapi gue bahkan nggak tahu kalau mereka bakal kasih kejutan buat Mbak Mita," ucap Nugi mengawasi wajah Abel. "Tujuan gue bilang ini, adalah karena gue nggak mau lo merasa kaget, lalu merasa takut atau terancam nantinya. Gue di sini, dan gue akan hajar mereka kalau berani nyakitin lo. Tapi...kalau lo mau pulang sekarang, gue paham. Nanti gue kasih tahu Mbak Mita."
Abel mencengkram tali tanselnya tanpa sadar. "Siapa?"
"Raka." Nugi menjawab. "Ali, Kezia, Gaby, Gardan. Anak-anak PE dari sekolah sebelah."
Anak-anak PE, dan Nugi memanggilnya teman?
Tapi kesampingkan soal itu. Anak-anak PE adalah musuh bebuyutan Nugi dan gengnya. Tidak ada hari yang mereka lewatkan tanpa saling melempar konfrontasi, lalu berujung tawuran. Nugi adalah masalah di dalam sekolah, dan anak-anak PE adalah masalah di luar sekolah. Mereka sering menghadang Abel sepanjang perjalanan pulang, dan bermain-main dengannya.
"Oke. Kita pulang." Nugi meletakkan kado di atas sofa begitu melihat raut wajah Abel. "Ayo pulang, gue antar---"
"Abel!"
Seseorang, memekik entah dari mana. Tahu-tahu saja, tubuhnya dipeluk sangat erat.
"Waktu Nugi bilang Abel, gue nggak pernah nyangka kalau yang dia maksud beneran lo." Gadis itu mengeratkan pelukannya. "God, I am so sorry, Sabela. Buat semua kalimat jahat yang pernah gue ucapin, gue bener-bener minta maaf!"
"Zi, lepasin. Kamu bikin dia nggak bisa napas."
Abel benar-benar terpaku di tempat ketika ia melihat lelaki berkacamata memasuki ruangan dengan kalem. Ia tersenyum canggung pada Abel sebelum menarik tangan wanita yang memeluknya.
"Nggak mau!" Wanita yang memeluknya bersikeras. Suaranya pecah oleh isakan. "Aku bener-bener kepingin minta maaf sama Abel--ALI!"
"Hai, Bel," sapa Ali tersenyum tipis, sama sekali tidak terganggu pada Kezia yang berada di panggulannya.
"Turunin, nggak! Aku mau ketemu Abel!" Kezia menggerung seraya memukul punggung Ali. "Batalin nih, nikahannya! Batalin!"
"Welcome, and sorry," ucapnya sebelum berbalik. "Batalin nikah? Memang kamu mau nikah sama siapa? Hm? Hm?"
"Aku...aw! ALI NGGAK SOPAN!! MAS MANDA! ALI NGGAK SO--HMPHH!!" Jeritan Kezia bergaung bahkan setelah mereka hilang dari pandangan.
Abel mengerjap dengan cepat kala dadanya berdentum kencang. Ia hampir berbalik ketika Mita dan Talita masuk dalam pandangannya.
"Ya Tuhan," gumam Mita cemas.
Mita, wanita itu menatap Abel dengan wajah bersalah, sementara Talita mengawasi Abel dengan sorot ingin tahu lewat mata bundarnya. Dan Abel, teringat pada boneka beruang besar yang sudah ia beli untuk Lita.
"Selamat ulang tahun, Mbak, " ucap Abel masih berusaha mengendalikan diri.
"Gue antar pulang sekarang. Nggak perlu memaksakan diri," ucap Nugi yang diangguki Mita.
"It is okay, Sabela." Mita mengusap bahunya dengan lembut. "Kapan-kapan kita adain pesta berdua aja, aku janji."
Nada tulus itu terdengar begitu kentara dari suara Mita. Abel menatap ibu muda itu beberapa saat.
"Aku udah bawa ini jauh-jauh dan penuh perjuangan," gumam Abel pelan. Gadis itu mengambil kado dan memberikannya pada Talita. "Sia-sia kalau aku nggak lihat Talita ngebuka kadonya. Dan ini, buat Mbak Mita."
"Sabela." Nugi menggeram kala menyadari maksud dari Abel.
"Lo bilang mereka udah baik-baik aja, kan?" ucap Abel meskipun ia masih berusaha menenangkan diri. Gadis itu berjongkok di hadapan Talita dan membantu membuka kadonya.
"Abel sayang, kamu nggak perlu merasa nggak enak," ucap Mita ikut berjongkok di hadapannya. "Aku paham kalau kamu mau pulang."
Tidak terlalu sulit mencari tahu mengapa Mita tahu jika dirinya sedang tidak baij-baik saja saat ini. Mungkin, Nugi pernah bercerita tentang hubungan mereka di masa lalu.
Abel meloloskan sebuah boneka beruang besar berwarna merah muda untuk Talita. Talita memekik heboh dan memeluk boneka yang tengah menggembung berkali lipat lebih besar ketimbang tubuh mungil balita itu. Abel tersenyum tipis pada Talita yang bertingkah begitu menggemaskan.
"Jujur saja, ini pertama kalinya aku diundang di pesta ulang tahun seseorang." Abel melipat tangannya di atas lutut, lalu menatap Mita. "Aku penasaran apakah rasanya memang menyenangkan, datang dan ramai-ramai masak barbeque bareng orang lain."
Mita menatapnya beberapa saat, lalu tersenyum penuh kehangatan meskipun manik matanya bergetar. "Sangat menyenangkan. Terima kasih hadiahnya, Tante. Kenapa bisa samaan sama hadiah dari Om Nugi di ulang tahunnya Lita kemarin, sih?"
Abel melirik Nugi yang mengangkat bahu.
Mita tertawa pelan. "Terima kasih juga untuk kadonya. Ayo ke belakang. Ah! Kuenya!"
Mita buru-buru berlari ke dapur. Abel meraih Talita dan si boneka besar dalam rengkuhannya, lalu berjalan di belakang Nugi dengan penuh antisipasi.
Nugi berjalan dengan tangan di dalam saku, tampak kaku sekali. Ketika mereka muncul di taman kamboja, Nugi berdiri tepat di hadapannya, membelakanginya. Dan Abel, perlu berterima kasih untuk itu. Sebab, tatapan kelima orang itu terasa menembaknya bagai peluru.
Lima orang itu masih sama, dengan versi yang lebih dewasa. Mereka melirik Nugi sejenak sebelum kembali menatap Abel, yang tanpa sadar sedikit bergeser sehingga ia hanya bisa mengintip dari pundak Nugi.
"Hai, Bel." Gaby, yang tidak pernah absen mengecat rambutnya, kini tersenyum canggung seraya melambaikan spatula.
"Ati-ati, By!" Raka meraih tangan Gaby sambil berdecak. Ia melirik Abel sejenak sebelum kembali berkonsentrasi pada panggangan, walaupun kini telinganya merah padam. "Yo, Bel. Ayo manggang daging bareng-bareng."
Sementara Ali menahan blus Kezia agar gadis itu tetap diam di sampingnya. Kezia melirik Ali dengan bengis sebelum menatap Abel dengan senyum canggung.
"Lo mau yang mana, Bel?" tanya Kezia dengan gugup. "Sosisnya? Apa daging panggangnya...tapi dagingnya kurang mateng. Li, yang bagian sini lho--"
"Hei."
Suara pelan di samping Abel membuatnya terlonjak. Nugi berbalik dengan satu tangan terulur, menjadi pemisah antara Abel dan tamu baru itu.
"Ck!" Nugi berdecak pada lelaki tambun yang membawa ransel itu. "Sana ikutan manggang."
Namun Gardan mengabaikan Nugi. Lelaki itu menatap Abel yang bersembunyi di belakang Nugi dengan penuh minat.
"Hei manis. Kamu lupa sama Om ganteng ini?" tanya Gardan pada Talita, yang menatapnya penuh rasa ingin tahu. Gardan terkekeh sebelum kembali menatap Abel. "Ada akun yang perlu lo retas? Ada nomor ponsel yang pengen lo mata-matai? Ada rekening yang pengen lo rampok?"
"Mulai lagi, Dan," celetuk Ali lelah. "Nggak sopan, tahu nggak? Mending lo ke sini, bantuin gue manggang daging karena Kezia baru nggak mau jadi calon istri yang baik--Aduh, kan...kan!"
Gardan tersenyum singkat pada Abel sebelum mendekati Ali yang sibuk menghindari tabokan Kezia. "Lo lo pada, termasuk lo, Mahawisnu Rahagi, tahu kalau kata maaf itu nggak berguna. Jadi daripada buang napas buat bilang maaf tanpa solusi, mending ngelakuin sesuatu yang bikin Abel untung secara materiil maupun moril. Paham lo pada?" Gardan membalik dagingnya dengan santai. "Cuma butuh satu 'oke' dari lo, gue bisa kasih sosial media siapapun yang lo mau. Gimana? Atau nomor rekening--ADUH! Beneran deh By, lo sama Kezia perlu latihan jadi cewek seanggun angsa dan sesuci kue mochi. Gimana kalau kepala gue jadi nggak simetris lagi habis ini?!"
"Ini panggang, Dan! Panggang!" geram Gaby sebelum ditarik kembali oleh Raka.
"Jangan kemana-mana dulu! Sosisnya tambahin, By. Kita nambah anggota, kan--"
"Ah maaf maaf! Gaby sayang, jangan lempar-lempar spatula. Dan Li, itu rosemary-nya jatuh semua." Mita muncul bersama Manda. Ia menarik Lita dari pelukan Abel dan mengucapkan terima kasih. "Katanya ada urusan sama Mas Manda?"
"Hmm..." Manda mengangguk. "Di sini aja, Bel. Gue sambil ngawasin para bocah pensiunan setan ini."
"Tolong bahasanya, Papa Manda," tukas Mita.
"Ah lupa. Jangan dimasukin kepala ya, Sayang. Kamu harus tetap seputih kapas sampai kapanpun," ucap Manda manis sebelum mencium dahi Talita dengan gemas.
Nugi, menghela napas panjang. Lelaki itu menghadapi Abel.
"Selamat berkenalan dengan anak-anak Panti. Seperti yang lo lihat, nggak ada yang waras di sini," bisiknya lelah. "Lo mau apa? Gue bawain."
Oh, tentu saja. Semenjak bando merah jambu dan berbulu itu, harusnya Abel sudah tahu berapa besar tingkat kewarasan anak-anak panti ini. Namun Abel memilih tidak mengatakannya.
Abel menggeleng pelan. Dirinya sedang kehilangan nafsu makan saat ini. Akui saja, Abel benar-benar merasa sedang melemparkan diri di tengah-tengah sarang penjahat. Jika bukan karena kehadiran Manda, Mita dan aroma menggoda dari daging panggang itu, Abel yakin dirinya pasti lebih memilih pulang.
===
"Desainnya masih lama?"
Abel menggeleng pelan. "Sekali dua kali pertemuan lagi harusnya selesai. Mas Manda masih sering ganti-ganti pilihan."
"Karena proposal lo bagus semua. Lo tahu? Dia ngebanggain desain-desain lo di hadapan anak-anak Athlas. Dia bahkan ngadain voting," ucap Nugi sebelum berkonsentrasi pada panggangannya.
Panggang memanggang itu masih berlanjut. Setelah merasakan daging panggang yang begitu lezat di sesi pertama, Abel sebal dengan dirinya sendiri yang justru mendamba porsi kedua.
Tapi dia tidak sendiri, untunglah. Anak-anak yang lain juga sama antusiasnya. Gardan bahkan sudah menjelma menjadi mesin penggiling yang tidak berhenti mengunyah sedari tadi. Jika Ali tidak mengomel tentang kolesterol dan sebagainya, Gardan mungkin tidak malu-malu menambah porsi lagi dan lagi.
Maka setelah pekerjaannya bersama Manda selesai, ia mendapat tugas memanggang daging bersama Nugi. Raka, Gaby dan Gardan masih heboh di depan panggangan yang lain. Mita dan Ali menyiapkan kentang panggang, Manda dan Kezia menyiapkan saus di dapur, dan Talita sibuk bergulingan dengan boneka barunya.
"Thyme?" Nugi celingukan, lalu menoleh ke arah Gaby dan Raka. "Ka, masih sisa thyme nggak?"
Keduanya ikut mencari-cari, lalu Gaby menggeleng. "Kayaknya habis."
"Oke, Bel...mau nyoba manggang? Gue mau ambil Thyme dulu di dapur."
Dan membiarkan daging premium ini rusak di tangan gue? Nggak, terima kasih.
"Gue aja yang ambil. Di mana?"
"Oh, di pot kecil di dekat jendela. Itu, kelihatan dari sini, kan?" Nugi menunjuk singkat, yang membuat Abel mengerutkan kening.
"Pot?" ulangnya takut salah dengar.
"Hmm...ada tulisannya, jadi lo nggak bingung ngebedain sama yang lain." Nugi meneruskan, seolah tidak mengerti rasa aneh Abel.
Abel mengangguk. Abel melirik Kezia dan Manda yang sibuk di depan kompor, sesekali bercakap dengan serius tentang masakannya. Lalu, gadis itu membungkuk pada sekumpulan pot-pot dengan tanaman yang nyaris mirip. Aroma samar tercium kala ia mendekat, membuat Abel menyadari jika tanaman-tanaman ini adalah herbs yang dipangkas rapi. Ia meraih pot bertuliskan Thyme, lalu membawanya keluar.
"Thank you," ucap Nugi memotong beberapa batang Thyme. "Padahal yang ini masih berusaha hidup. Yang besar dibawa Manda ke Athlas. Lo nggak mau nyoba? Ini masih ada capitan nganggur."
Abel menggeleng. "Nanti dagingnya gosong."
"Nggak akan," kata Nugi seraya tersenyum samar. "Ada gue. Gue kasih tahu kapan harus ngebalik dagingnya. Jadi, mau masak bareng-bareng?"
Abel menatap lelaki itu sesaat, lalu meraih capitannya sendiri. Ia berdeham.
"Jangan sampai gosong. Kayaknya ini daging mahal," desis Abel menyentuh-nyentuhkan ujung capitan dengan kikuk pada sebuah daging.
Mendengarnya, Nugi tertawa pelan. "Nggak akan, Bel. Rileks. Manggang daging nggak banyak tenaga, tapi butuh konsentrasi. Dilihat dulu, kalau udah agak cokelat, baru dibalik. Ngebalik sekali aja, biar juice-nya nggak banyak yang ilang."
Abel mengintip bagian bawah dagingnya. "Masih merah."
"Ditunggu aja--"
"Bel, boleh minta Thyme-nya--heii!"
"Mundur," bisik Nugi sambil mengacungkan spatulanya tepat di depan hidung Gardan, yang menjauhkan diri dengan enggan.
"Ah, si bapak galak amat," rajuk Gardan dibuat-buat sebelum menatap Abel dan mengedip kecil.
"Mundur, Dan!" desis Nugi hingga Gardan mengangkat tangannya. Nugi memberikan pot pada Gardan. "Nih."
Gardan mencebik. "Galaknya dikurangi coba, Gi. Nggak bagus buat kulit wajah."
Nugi tidak menurunkan spatulanya hingga Gardan benar-benar sudah berada di samping Raka. Lelaki itu kembali membalik dagingnya, meskipun ekor mata masih mengawasi tiga orang yang berada satu meter di sampingnya.
"Anak-anak PE." Abel berbisik pelan sekali. "Teman."
"Aneh ya?" gumam Nugi. "Lo...mungkin juga sadar kalau ada momen dimana anak PE tiba-tiba jadi kalem. Mereka bilang, itu waktu mereka kenal Panti. Gue pernah bilang tentang bencana di keluarga gue. Raka, dia yang ngajak gue ke Panti. Waktu keluarga gue kena kasus, orang pertama yang jenguk gue di rumah adalah Raka. Si sableng itu ngedobrak kamar gue dan nyeret gue ke Panti tanpa basa-basi. Sempat baku hantam di jalan, sih, tapi pada akhirnya dia berhasil bawa gue ke panti. Dagingnya, Bel. Coba dilihat."
Abel mengerjap, lalu membalik dagingnya. Sekilas, ia melirik Raka yang bercengkrama dengan Gaby.
"Terus, lo tinggal di Panti setelahnya?" tanya Abel lirih sekali.
"Semua aset keluarga gue habis disita. Tapi gue punya wali. Cuma, gue emang lebih suka tinggal di Panti. Setiap tahunnya, Halid--perusahaan yang menaungi Panti--selalu ngebuka beasiswa penuh bagi anak-anak yang mau belajar ke luar negeri, dan gue dibolehin ikut ambil bagian. Gue ambil kesempatan itu buat belajar di LCB." Nugi berdeham. "Jadi, begitulah kira-kira kalau lo mau bikin biografi tentang gue."
Abel mendengkus singkat, yang disambung Nugi dengan kekehan. Saat itu, tiba-tiba saja Mita menyela.
"Gi, titip Mita sebentar! Istrinya Pak Burhan meninggal. Aku sama Mas Manda diminta ke sana," ucapnya cemas. "Abel, maaf. Tapi rumahnya pas di sebelah. Kami nggak akan lama. Titip rumah dulu, anak-anak!"
"Siap, Mbak!" seru Gardan, sementara Nugi mengacungkan jempol.
"Good," ucap Nugi kala Abel mengangkat dagingnya. "Lo bisa, gitu."
"Hmm..." Abel berdeham, tiba-tiba menyadari situasi yang akan terjadi. "Gue juga mau balik."
"Oh, sekarang?" tanya Nugi dengan pelan, cukup tahu alasan Abel yang tiba-tiba merasa tidak nyaman.
"Gue udah makan banyak tadi." Abel merasa gugup kala Ali bergeser sedikit agar Abel bisa meraih tasnya dengan mudah.
"Wait! Dan, titip daging gue!" ucap Nugi sebelum berlari ke dalam.
Gardan hanya mengacungkan jempol ketika Abel menjauhi panggangan. Gadis itu membuang wajah dengan canggung, dan memilih menyambangi Talita. ia berjongkok di depan Talita yang masih bermain dengan boneka.
"Aku pulang dulu, ya."
Balita itu menjawabnya dengan celoteh riang. Ia bangkit dan menjulurkan tangan dengan terhuyung hingga Abel cepat-cepat meraihnya. Aroma bayi yang menyegarkan segera menyergap hidung Abel, membuat gadis itu membenamkan hidung di pipi Talita dengan gemas.
Abel berhenti menempel-nempelkan ujung hidungnya pada pipi Talita ketika ponselnya berdering.
Nama Arvin berhasil merebut seluruh perhatiannya. Untuk sesaat, gadis itu terpaku. Abel mengusap layarnya, dan menempelkan ponsel ke telinga. Menunggu.
"Bel?"
Pandangan Abel memburam dengan cepat.
"Kenapa, Vin?" Setengah mati Abel mengontrol suaranya agar terdengar baik-baik saja.
"Gimana kabarmu?"
Kabar? Kabar?!
"Baik."
Kebungkaman Arvin Abel gunakan untuk menenangkan diri. Sekuat apapun Abel berusaha melupa, usahanya runtuh seketika kala mendengar suara lelaki ini. Rindu tak tertahan menyeruak ke rongga dada, membuatnya begitu tersiksa. Walaupun, sehelai nalar membuat Abel tetap mampu menyadari bahwa sesakit apapun rasanya, ia tak lagi berhak merasa rindu.
"Bisa kita ketemu?"
"Ada perlu apa?" gumam Abel. Apakah Arvin akan mengajaknya membahas tentang sikap Abel pada Leah beberapa waktu lalu?
"Undangan pernikahan."
Tubuh Abel mendingin. "Un-dangan?"
"Ya. Aku dan Indira. Aku rasa, aku perlu mengantarkannya sendiri buat kamu. Bagaimana kalau besok malam? Di restoran tempat kita kencan pertama kali?"
Sepertinya, Arvin benar-benar ingin menghapus seluruh kenangan indah yang mereka punya. Abel terdiam sejenak demi meyakinkan diri jika suaranya akan terdengar baik-baik saja sementara kerongkongannya mulai sesak. "Sure."
"Thank you, Sabela. See you there."
Abel masih menempelkan ponsel di telinganya bahkan ketika sambungan sudah terputus. Gesekan rambut Talita di dagu menyadarkan Abel. Gadis itu mengerjap, lalu menyadari Nugi bersandar di kusen pintu sambil menatapnya lekat.
"Siapa?" tanyanya mendekat dan ikut duduk bersila. "Manda minta ketemuan?"
"Urusan pribadi. Gue balik dulu."
Namun langkahnya terhenti kala Nugi mengulurkan sebuah kotak padanya.
"Salah satu menu yang akan muncul di Comma. Macaron," ucap Nugi kala Abel membukanya. "Gue akan senang hati ngedengerin komentar lo tentang menu satu ini."
Abel kembali menutup kotak penuh macaron warna warni itu sebelum tersenyum samar pada Nugi. "Thank you. Dah, Talita!"
Abel mengusap pipi Talita sebelum beranjak dari sana, dan menghilang dari pandangan Nugi.
"Aduduh!" Remasan jemari Talita di pipinya membuat Nugi tersadar. Dengan mata berair, Lelaki itu menjauhkan tangan Talita. Rupanya Talita tertarik pada coretan saus yang menempel di pipi.
"Kenapa dia kelihatan sedih gitu?" Nugi bertanya serius pada Talita, yang balas menatap Nugi dengan mata bulatnya. "Siapa tadi yang telfon? Kamu sempat dengar, kan?"
Talita mengedip lucu, membuat Nugi menempelkan dahi mereka dengan main-main. Setengahnya untuk menghibur Talita, setengahnya lagi untuk meredam sesuatu yang menggeliat di perutnya.
"Gi! Lo punya macaron! Kok nggak nawarin gue?" Suara Gaby membuyarkan lamunannya. "Ah...tapi lo harus cerita gimana awalnya lo ketemu Abel. Aduh, gue mati kutu. Nggak berani ngajak omong dia karena sadar banget gue punya banyak salah."
"Gue juga," sahut Kezia dengan cemas. "Gue paling benci merasa bersalah. Tapi Gi, Lo tahu rumahnya? Mungkin kami butuh waktu. Gue...bener-bener pengen nebus semuanya."
"Jangan ganggu dia, Zi. Kasih dia ruang," ucap Nugi.
"Ah, Nugi suka banget main rahasia-rahasiaan," tukas Gardan. "Ka, bagi sausnya. Gue masih laper."
"Lo perlu mulai diet. Lingkar perut lo berapa, coba?" sahut Ali.
"Ya ampun, Pak Dokter jahat banget. Mumpung ada makanan gratis, gitu, Li..." Gardan merajuk lagi, yang membuat Kezia mencubiti perutnya dengan sebal.
Nugi membiarkan yang lain ribut sendiri, sebab ia perlu menata otaknya agar tidak semakin gila.
Sabela Nawandini masih saja mengejutkannya.
Sebagai orang yang mengenalnya sejak SMA, Nugi tahu ekspresi apa yang sering ada di wajah gadis itu. Suram, pendiam, dengan tatapan datar yang cenderung dingin. Jangankan tawa, senyum saja tidak pernah ada di sana.
Ketika ia kembali bertemu dengan Abel dewasa, dia tahu jika Abel mempunyai lebih banyak ekspresi. Walaupun, ekspresi itu seperti sebuah menu premium yang tidak bisa ia dapatkan sesuka hati. Senyum berlesung pipi itu, misalnya. Hanya muncul sekali setelah berkali-kali mereka bertemu.
Jadi ketika Abel mengusap pipi Talita dengan senyum hangat dan tatapan lembut seperti itu, Nugi terpaku.
Sebelum tanpa permisi, sebentuk wajah dan rasa sakit menyela debar yang sempat hadir.
Nugi menghela napas panjang. Berani-beraninya dia membiarkan debar itu bertalu di rongga dada. Sekarang, nanti, atau kapan pun, debar itu tidak boleh ada.
Tidak akan pernah ia izinkan hadir di sana.
*TBC*
Jadii, sudah kejawab ya Panti Asuhan yang dimaksud Nugi, hehe...
Karena masih banyak yang menanyakan, saya jawab di sini yaa...
Please be happy,
be healthy,
and stay safe
I love you, I love you, I love you
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top