15 | Efek Rasa Lapar

Sinar matahari yang menerobos sela tirai mengganggu tidurnya. Abel membuka matanya yang terasa berat dan bengkak, lalu merasakan seluruh tubuhnya dingin dan ngilu. Ingatan tadi malam menyerangnya tanpa ampun, membuat mata Abel kembali merebak.

Setengah sadar, tahu-tahu saja Abel sudah keluar dari kamar mandi dan berganti baju. Hari ini, dia harus bertemu dengan Arvin dan menjelaskan semuanya. Dhalung adalah hal penting baginya, seperti Leah dalam hidup Arvin, Abel tidak bisa mengesampingkan Dhalung begitu saja. Jika dijelaskan, Arvin pasti akan mengerti, lelaki itu pasti akan memaklumi...

Racauan Abel berhenti sebentar kala ia menyadari jika pintunya tidak dikunci sejak semalam. Sejujurnya, dia bahkan lupa bagaimana caranya ia sampai di rumah. Seluruh pikirannya sedang mati rasa. Gadis itu mengusap matanya, lalu membuka pintu dengan gemetar.

"Oh, udah bangun? Sini makan dulu."

Itu,

adalah kalimat pertama yang Nugi katakan begitu pintu terbuka.

Lelaki itu bersila di teras rumah dengan seplastik penuh kue bolen. Ia masih memakai kemeja tadi malam, terlapisi jaket hitam. Rambutnya tampak kusut dengan wajah bangun tidur. Maemunah tergeletak di sampingnya.

Abel bahkan tidak bisa memberi ruang bagi otaknya untuk merasakan sebuah ketidakberesan ini. Seluruh keberadaan tentang lelaki itu tidak penting. Abel hendak meraih motornya ketika dihadang oleh Nugi.

"Mau kemana?"

"Nggak perlu tahu," gumam Abel dengan suara yang nyaris hilang. "Minggir!"

"Mau ketemu cowok yang tadi malem?" Nugi masih berdiri dengan keras kepala.

"Minggir, Gi!"

Nugi menatapnya dengan cemas. "Lo berantakan gini, Bel. Tadi ibu-ibu sayur udah kasih pesenan lo. Gimana kalau kita makan dulu? Gue masakin, ya? "

"Lo tuh..." Abel menggigit bibirnya dengan erat untuk menahan air matanya. "Nggak berhak bilang gitu. Lo nggak ngerti apa-apa, jadi jangan ikut campur urusan gue."

Abel melewati Nugi yang terdiam di tempat. Gadis itu menuntun motornya keluar gerbang, sebelum lagi-lagi Nugi menahannya.

"Gue anter, oke?" Nugi terlihat ragu sesaat. Lalu meraih stang motor dan duduk di depan. Ia mengulurkan plastik makanan pada Abel. "Lo makan ini. Dompet gue ketinggalan, jadi hari ini gue antar kemanapun lo mau tapi lo perlu bayar gue. Deal?"

Melihat Abel yang masih berdiri seraya mendelik padanya. Sungguh, Nugi perlu memotretnya sebagai bukti jika Sabela Nawandini bisa berekspresi seperti ini.

"Bel, lo baru nggak konsen. Bisa bahaya di jalan," ucapnya serius. "Lo juga perlu makan agar lo nggak pingsan waktu gue boncengin. Gue janji antar lo kemanapun lo mau. Tapi, lo harus makan. Lo perlu pikiran jernih buat menyelesaikan apapun masalah lo sama dia, kan?"

Lelaki itu mengambil satu helm lagi dari almari helm untuk dipakainya sendiri. Sementara, Abel menatap camilan yang masih terasa hangat di genggamannya.

Nugi benar. Dirinya sedang kacau. Kalau dia mati di jalan, seluruh usahanya sia-sia. Lagipula dengan begini, Abel jadi punya waktu mengirim pesan pada Arvin untuk mengajak lelaki itu bertemu.

Sarapan bareng?

Tangan Abel terkulai setelahnya. Yang tadi malam itu, mungkin mimpi. Mungkin karena Abel terlalu memikirkan permasalahannya dengan Leah, mimpi itu hadir dengan begitu mengerikan. Dia perlu bertemu Arvin, dia perlu meyakinkan diri jika adegan tadi malam hanya terjadi di dalam kepalanya saja.

Depan kantor.

"Kantor ESDM," gumam Abel pada Nugi yang bungkam sejak tadi.

Abel tidak ingin percaya jika Arvin melangkah pergi dari hidupnya. Semuanya terlalu mendadak. Terlalu...tiba-tiba. Rasanya seperti Abel tidak lagi punya tempat berpijak. Pikirannya kusut dan isi perutnya terpuntir dengan tidak nyaman sejak tadi malam.

Mereka sampai tidak lama kemudian. Nugi mengawasi Abel yang turun sambil terhuyung, lalu menghempaskan plastik cemilan dengan sembarangan hingga Nugi menangkapnya dengan panik. Camilan ini adalah wujud dari remah-remah rupiah terakhir di kantongnya setelah tadi malam membuntuti Abel menggunakan taksi. Lelaki itu meneliti jumlah cemilannya, lalu berdecak lirih.

"Nggak dimakan," gumamnya menggigit satu buah. Setelahnya, ia melipat tangan dan menumpukannya di kepala motor, menyipit pada Abel yang menemui seorang lelaki beberapa meter di depannya.

Arvin tersenyum tipis kala Abel mendekat. Sementara di hadapannya, Abel gemetar hebat. Gadis itu memaksa kakinya melangkah.

"Hai Bel, mau bicara apa?" tanya Arvin memasukkan kedua tangannya ke dalam saku.

"Yang tadi malam itu...prank, kan? Kamu nggak serius kan, Vin?" gumam Abel dengan suara nyaris hilang. "Kita sarapan, yuk?"

"Sayangnya, aku serius, Sabela. Hubungan kita cukup sampai di sini. Sudah cukup lama aku nunggu kamu, tapi sepertinya kamu yang nggak pernah mau berusaha."

Abel menggeleng pelan, membuat titik air matanya berjatuhan tak beraturan. "Ayo...sa--rapan bareng, Arvin."

Arvin menghela napas dalam, lalu maju satu langkah untuk membelai kepala Abel dengan pelan.

"Maaf jika kesannya terlalu mendadak." Arvin berucap dengan suara bergetar. "Tapi aku sudah memikirkan semuanya, dan aku rasa ini keputusan yang paling baik. Aku harap setelah ini, kamu nggak kirim-kirim pesan pribadi lagi, Bel. Kita benar-benar sudah selesai."

Selesai.

"Sama Indira..." Abel tersendat. "Se--sejak kapan?"

"Kamu berpikir kalau aku selingkuh?"

Bisikan sarat emosi itu berhasil membuat Abel mundur satu langkah ke belakang. Jantungnya teremat kencang di luar kendali, sebagai respon dari jiwanya yang memilih bungkam daripada berkonfrontasi dengan Arvin. Tapi kali ini, dia menahan rasa takut itu. Mencengkram erat sling bag-nya, gadis itu bersikeras membalas tatapan Arvin yang mulai membara.

"Aku nggak selingkuh, Sabela. Aku berusaha mati-matian mempertahankan kamu sampai sejauh ini. Kami bahkan nggak pernah jalan bareng kecuali waktu malam itu, karena aku nggak punya pilihan lain ketika Mama meminta aku ajak Indira."

Arvin menyugar rambutnya dengan frustrasi.

"Bayangkan saja, aku harus bertemu dengan Indira setiap hari. Dia gadis dewasa, Sabela. Dia masak buat aku hampir setiap hari. Dia ada di rumah, mengobrol dengan Mama, dan Mama nyaman dengannya. Awalnya aku enggan meladeni Indira, tapi rasa nyaman ketika kami ngobrol bersama...hal-hal seperti itu akan sangat sulit dihindari. Dia datang bahkan tanpa aku sadari."

Arvin mendesah pelan, tanpa pernah tahu hancurnya Abel di dalam sana.

"Sebenarnya, ini bisa dihindari kalau kamu bisa menjawab permintaan Mama lebih cepat. Mama nggak akan punya kesempatan menempatkan Indira di antara kita. Aku nggak akan terusik dengan kehadirannya."

Salah gue.

"Jadi be--gitu." Abel menggenggam tangannya dalam debar yang mengerikan. "Jadi memang itu keputusanmu."

Arvin mengangguk singkat. Anggukan yang membuat Abel benar-benar percaya jika tadi malam bukanlah mimpi belaka. Anggukan dan tatapan Arvin tampak begitu final, tidak terbantahkan. Abel menggigit bibirnya erat-erat. Kali ini, dia berusaha untuk menahan tangis di depan Arvin. Sebab entah bagaimana, sesuatu dalam tatapan Arvin terlihat tidak lagi memperbolehkannya.

Abel menelan ludah, dan mengangguk-angguk. "Aku pergi."

"Hati-hati," ucap Arvin sesaat setelah Abel berbalik, membuat pelupuk mata Abel memburam sebelum tumpah di pipi. Gadis itu menunduk dalam-dalam, berusaha menahan isakan yang mencekik lehernya. Rasanya sakit sekali.

"Jangan nunduk." Gumaman itu membuat Abel terhenti di depan sepasang kaki. Dagunya ditarik ke atas, dan ia berhadapan dengan manik legam milik Nugi. " 'Kalau saja kamu bisa menjawab permintaan Mama lebih cepat, Mama nggak akan punya kesempatan menempatkan Indira di antara kita. Aku nggak akan terusik dengan kehadirannya.' Di telinga gue, itu kalimat yang nggak bertanggungjawab."

Nugi mendekatkan wajahnya seraya menatap Abel dengan lekat. "Jadi jangan nunduk, jangan kalah. Lo akan baik-baik saja."

===

Nugi menempelkan plastik berisi es batu di pipi dan memutar-mutarnya.

"Tenaganya lumayan juga," gumam Nugi. Lelaki itu mencoba membuka mulutnya, lalu cepat-cepat menutupnya kembali kala nyeri melanda hingga ke tulang rahang.

"Jadi jangan nunduk, jangan kalah. Lo akan baik-baik aja."

Sesaat setelah mengatakannya, kepala Nugi berdengung karena Abel yang mengenai sisi kanan kepalanya. Gadis itu juga tampak terkejut, lalu cepat-cepat berjalan sambil mengusap mata dengan kasar.

"Ada apa ini?" Satpam berkumis mendatangi mereka dengan tatapan curiga. "Masnya ngapain? Mau aneh-aneh, ya?"

"Saya...temannya. Permisi, Pak!" Nugi mengejar Abel dan menahan sling bag-nya. "Nggak papa, nggak papa. Gue nggak akan ngamuk. Gue yang kurang ajar karena udah nyentuh sembarangan. Abel, gue nggak marah, oke?"

Abel berhenti di samping motor mereka, tampak menghindari tatapan Nugi.

"Jangan khawatir, nanti bekasnya hilang sendiri," ucap Nugi seraya mengulurkan helm pada Abel. Namun gadis itu masih saja bergeming. Akhirnya, Abel memasangkan helm di kepala gadis itu. "Gue anter pulang."

Sampai rumah tadi, Abel membuka pintu pagar dan masuk tanpa menoleh, lalu mengunci diri di kamarnya. Nugi hendak bertanya harus ia apakan belanjaan yang terbengkalai di teras, namun ia mengurungkan niatnya kala mendengar isakan samar dari dalam.

Lelaki itu meletakkan kompresnya, lalu kembali menyiapkan bumbu untuk mangut. Jika Nugi tidak salah tebak, kantung plastik di pagar tadi berisi bahan dan bumbu untuk memasak mangut lele. Lelaki itu menarik salah satu sudut bibirnya kala menyadari betapa seriusnya Abel untuk bisa menguasai masakan mangut lele.

Walaupun tidak bisa disandingkan dengan dapur Manda, namun dapur gadis itu rapi dan bersih. Sebenarnya, rumah gadis itu rapi dan nyaman. Perabotan yang didominasi warna putih, seputih cat dindingnya, membuat rumah minimalis itu tampak bersih. Pengharum ruangan berbunyi sesekali, menyebarkan aroma lavender ke berbagai sudut rumah.

Tadi malam setelah memberi pelatihan pada pegawai kliennya, Nugi berniat menikmati malam sebelum pulang. Ia naik ke lantai dua dengan segelas minuman di tangan, namun keberadaan Abel dan dua orang lainnya menarik perhatian Nugi. Lelaki itu mengambil tempat di belakang Abel, mendengarkan dengan penuh minat kala gadis itu beradu pendapat dengan seorang lelaki yang sepertinya klien mereka.

Tapi rupanya, semua tidak berhenti sampai di sana. Tepat setelah pertemuan tiga orang itu selesai, Abel justru pindah ke sebuah meja tempat seorang lelaki menunggunya. Awalnya, Nugi bersiap turun dan pulang. Namun wajah Abel yang tertangkap oleh matanya, membuat Nugi justru pindah tempat duduk di belakang Abel .

Ketika Abel berlari menuruni tangga, ia mengikutinya. Ia menunggu Abel menenangkan diri sambil bercengkrama dengan tukang parkir. Sampai tahu-tahu, Abel berdiri menuju motornya, menyalakannya lalu melaju begitu saja.

"Kartu parkirnya, Mbak!!" seru si tukang parkir dengan panik.

"Besok saya bawakan. Yang sekarang, tolong maklumi dulu," Nugi menyelipkan beberapa lembar uang di tangannya dengan tergesa.

Melihat Abel yang sepertinya sedang kehilangan kesadaran, Nugi memutuskan membuntutinya dengan taksi yang kebetulan sedang lewat. Ia menatap lekat punggung Abel yang hilang timbul di antara pengemudi lain. Nugi berdecak cemas kala gadis itu kentara sekali kehilangan konsentrasi, berkali-kali ia melaju di tengah dengan kecepatan rendah, berkali-kali mendapat klakson dari pengemudi yang lain, berkali-kali hendak bersenggolan dengan pengemudi lain.

Mengerikan.

Lalu sampai di tujuan, dia baru menyadari jika dia hanya membawa ponsel. Untung saja di dalam kantung jaketnya, masih tersisa selembar seratusribuan dari Manda yang bayar hutang. Ia bergegas mengikuti Abel, hanya untuk mendapati gadis itu menutup pintu tepat di hadapannya.

Gerbang belum dikunci, dan ia tidak yakin gadis itu mengunci pintu rumahnya. Maka, Nugi menghamparkan jaketnya di teras, dan berbaring sambil memeluk Maemunah.

===

Seluruh masakan sudah siap di atas meja makan kecil yang lagi-lagi, berwarna putih bersih. Nugi berjalan ke kamar Abel dan mengetuk pelan pintu kamarnya.

"Bel, sarapan," ucap Nugi, lalu menyadari jika jam sepuluh sudah bukan waktunya sarapan lagi. Tidak ada sahutan dari dalam. "Abel? di-pause coba nangisnya. Kita makan dulu, nanti boleh disambung lagi."

Masih tidak ada jawaban. Nugi menghela napas dalam. Gadis itu belum makan apa-apa sejak tadi pagi. Tapi mungkin dia masih membutuhkan waktu untuk mengatasi kehilangan yang baru saja ia alami.

Sambil menempelkan kompres di pipi, Nugi berjalan keluar. Tapi langkahnya justru terhenti kala melihat Abel duduk meringkuk di sofa ruang tamu. Pipi gadis itu terkulai hingga menyentuh pundak, tertidur dengan kedua kaki dilipat di depan dada. Bekas air mata tampak samar di ujung matanya. Hidung, mata dan bibirnya memerah. Sepertinya ia menangis lama sekali.

Nugi duduk bersila di lantai di hadapan Abel, memutar-mutar kompres di pipi sambil menatap gadis itu. Sebuah tonjokan hadir di dada Nugi kala menyadari bahwa mungkin saja ia pernah membuat Abel sesedih ini di masa lalu, walaupun dengan alasan yang berbeda.

Abel dewasa tampak sedikit berbeda dengan Abel versi remaja. Dulu rambutnya panjang, kusut dan berwarna tembaga tidak sehat. Abel yang dulu tidak mungkin berani menamparnya seperti tadi, Nugi terkekeh getir. Abel yang dulu bahkan tidak pernah berani menatapnya.

Bentuk wajah gadis itu bulat dengan pipi yang lebih berisi, tidak tirus dan kurus seperti dulu. Cocok dengan potongan rambut pendek setengkuknya. Meski kini tertutup, ia hapal benar bentuk mata Abel : bulat dengan iris cokelat gelap. Hidungnya tidak terlalu mancung, namun cocok bersanding dengan bibir mungilnya.

Nugi menopang dagu, mengamati Abel dengan satu tangan memutar kompres di pipi. Dia tidak bisa berlama-lama di sini, namun meninggalkan Abel sendirian sepertinya bukan pilihan baik. Menilik dari Abel yang berubah jadi mayat hidup seperti semalam, Nugi tidak pernah tahu apa yang akan dilakukan gadis itu jika ia ditinggal sendirian.

Sebuah panggilan membuatnya beranjak ke teras.

"Dimana?" suara berat Manda menyapanya dengan tergesa.

"Gue di rumah A--temen." Nugi buru-buru merubah kalimatnya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan ingin tahu yang bisa terjadi.

"Hmm...Mau ke rumah, nggak? Gue mau ke panti, Mita mau ke butik."

Nugi melirik Abel yang masih tertidur pulas. "Gue mau ke tempat Ganis. Talita gimana?"

"Lita ikut gue. Perlu ditemani?"

"Nggak perlu. Gue baik-baik aja."

Manda terdiam sesaat sebelum meneruskan, "Tadi malem tidur di mana?"

"Guess where?"

"Panti atau Athlas?" desak Manda.

"Dimanapun yang bisa buat tidur. Lo telfon cuma buat ngasih tahu yang tadi?"

"Hm. Beneran nggak ikut?"

"Kapan-kapan aja."

Hening sesaat, lalu Manda menghirup napas panjang. "Oke. Jangan aneh-aneh. Gue berangkat dulu. Rumah nggak ada makanan. Masak dulu kalau mau makan."

Nugi terkekeh kecil kala Manda mematikan sambungan. Lalu, ia mengangkat wajah kala sebuah mobil melambat dan berhenti tepat di depan gerbang rumah. Seorang lelaki dengan kaus berkerah keluar dari sana.

"Permisi. Sabela ada?"

"She's here," ucap Nugi melirik ke dalam. "Tapi saran saya, jangan dibangunkan."

Lelaki itu mengerutkan kening. "Dan Anda adalah?"

Nugi menyadari jika lelaki di hadapannya ini sedang meneliti keberadaannya.

"Nugi." Nugi mengulurkan tangan. "Te---kenalan Abel sejak SMA, dan kliennya."

"Oh...klien." Lelaki itu menyambutnya dengan antusias. "Saka, teman Abel. Lo bilang dia---eh, pakai lo-gue nggak papa, kan?"

Nugi mengacungkan jempolnya.

"Abel kenapa?" tanyanya sambil beranjak ke dalam. "Dia nggak angkat telfon gue sejak tadi dan dia nggak kelihatan di grup Dhalung. Terakhir dia begitu, itu waktu gastritisnya kumat. Lo yakin dia---kenapa tidur di sini?"

Saka menyipit kala melihat wajah Abel yang begitu berantakan. Nugi memberi kode pada Saka agar keluar, dan Saka mengikutinya dengan raut wajah yang berubah cepat.

"Apa terjadi sesuatu?" kembali menatap Nugi dengan tajam. "Dia kenapa?"

Nah, gue harus jelasin gimana? Apa yang dia dengar tadi malam seharusnya adalah privasi Abel, dan dia tidak mungkin mengatakannya pada Saka.

"Alvin?" Nugi coba-coba melempar clue.

Saka mengerutkan kening. "Arvin?"

"Mungkin yang benar memang Arvin," gumam Nugi. "Terjadi sesuatu dan kami berakhir di sini. Lebih jelasnya, lo tanya Abel aja."

Saka berdecak. "Dia selalu berantakan kalau ada masalah sama Arvin. Dia udah makan, belum?"

Nugi menggeleng, menyesalkan hal yang sama. "Biarin tidur dulu. Tadi malam dia kacau."

"Kenapa bisa tahu?" tanya Saka kembali curiga.

"Karena gue ngikutin dia pulang, dan gue nggak bisa ninggalin dia sendirian dengan gerbang dan pintu yang nggak dikunci," jawab Nugi akhirnya. Dia tidak perlu menjelaskan betapa mengerikannya Abel mengendarai motornya tadi malam.

Saka mengangkat alis, lalu mengangguk singkat. Tanpa kata, lelaki itu duduk bersila di lantai dan membuka bawaannya. Seketika, perut Nugi berbunyi tidak tahu diri. Saka tertawa kecil.

"Lo juga pasti belum sarapan," ucap Saka. "Sini duduk, dan kita ngobrol."

Aroma nasi bakar benar-benar menyiksa jiwa dan raga Nugi. Ia menerima uluran Saka dengan penuh terima kasih.

"Gue bawa ini karena gue kira gastritis Abel kambuh," ucap Saka. "Tapi dia perlu dibangunin. Bisa bahaya kalau skip makan kelamaan."

"Gastritisnya parah?"

"Hmm...dia pernah muntah darah sampai masuk rumah sakit." Saka mengernyit tidak nyaman, sementara Nugi berhenti makan. "Apalagi kalau ada masalah dengan Arvin, bisa dipastikan pola makannya keganggu."

Nugi kembali menyuap dengan pelan.

"Lo musisi?" tanya Saka kemudian. "Lo bilang lo klien, tadi malam ketemu karena sesi konsultasi?"

Nugi melirik Maemunah yang terbaring seksi di sampingnya. "Bisa dibilang begitu. Dan nggak, kebetulan aja gue di sana waktu semuanya terjadi."

Saka mengamati Nugi dalam diam, lalu menghela napas dalam. "Gue selalu menahan diri untuk nggak ikut campur urusan pribadi Abel, tapi gue harus berterima kasih sama lo karena udah memastikan Abel baik-baik aja sampai rumah. Jangan salah sangka. Gue sayang Abel seperti gue sayang adek gue."

"Nggak salah juga gue nggak masalah," sahut Nugi membuat Saka terkekeh lagi. Nugi terdiam sejenak, berpikir-pikir. Lalu keingintahuannya menang. "This Arvin guy, orangnya gimana?"

Saka mengamati Nugi sejenak. "Pertama lihat Arvin dan lo udah mencurigai sesuatu. Great. Gue rasa pertengkaran tadi malam memang cukup luar biasa." Saka berdecak. "Ada yang salah dengan hubungan mereka. Awalnya gue baik-baik saja melihat Arvin sama Abel. Setelah semua yang gadis itu alami, gue ikut bahagia waktu lihat dia bisa bahagia. Tapi...gue rasa makin ke sini hubungannya dengan Arvin makin nggak sehat."

Setelah semua yang gadis itu alami. Nugi meletakkan nasi bakarnya, merasa tiba-tiba hilang selera.

"Kadang gue ngerasa Abel tertekan secara psikis, tapi dia nggak sadar. Alih-alih ngedengerin Yasa, dia selalu mencari alasan untuk membenarkan tindakan Arvin. Lo tahu, dia sampai belajar masak karena tuntutan dari ibu Arvin. Anak itu bahkan sampai tertekan gara-gara gagal PNS. Padahal PNS bukan impiannya, itu permintaan Arvin dan ibunya. Dia bahkan...menahan diri buat menerima kerja remote karena selalu mempertimbangkan Arvin." Saka berkata cepat, sejalan dengan raut mukanya yang semakin emosi. Nampaknya lelaki di hadapannya sedang mencurahkan isi hatinya saat ini. "Di satu sisi, itu baik. Gadis itu berusaha memperlebar dunianya dengan belajar membangun hubungan. Tapi di sisi yang lain, Abel belum bisa membedakan antara kompromi dan kebutuhan untuk membela diri. Cuma...gue nggak sampai hati kasih tahu dia. Demi Tuhan, gue seneng banget dia kelihatan hidup dan dipenuhi banyak harapan."

Tonjokan keras mendarat di perut Nugi, membuatnya berdeham kecil untuk menyamarkan rasa bersalahnya.

"Jadi sebagai klien yang juga sebagai teman, gue harap lo bisa paham perilaku Abel tadi malam. Masalahnya dengan Arvin mungkin lebih parah dari biasanya sampai dia bersikap begini." Saka mengulurkan cup mika berisi es teh padanya. "Minum?"

Ah, jika Saka tahu seperti apa Nugi yang dulu, dia tidak yakin Saka akan sebaik ini padanya.

"Lo tahu banyak tentang Abel," gumam Nugi.

"Oh, kita satu komunitas desainer grafis," jawab Saka dengan ringan. "Dari dia, gue jadi bisa pacaran sama Jani. Lo kenal?"

Mata Nugi melebar. "Kalinda Anjani? Lo mantannya Jani?"

"Sudah gue duga. Kalau kalian temen SMA, harusnya lo juga tahu Jani." Saka tertawa.

Namun, bukan itu yang jadi perhatian Nugi. "Lo pacar Jani, dan lo dekat sama Abel?"

Mendengarnya, Saka terdiam. Ia mengamati Nugi sekali lagi. "Gue jadi penasaran seberapa deket lo sama mereka sampai tahu kalau Jani dan Abel adalah dua orang yang nggak mungkin jadi satu."

"Cukup lo tahu bahwa gue tahu kalau Jani nggak pernah suka Abel menyentuh apapun yang jadi miliknya."

"Ah ya. Jani gue memang begitu." Saka menyipit tidak suka. "Jadi bilang sama gue, lo pacar Jani waktu SMA?"

Nugi menggeleng singkat, tiba-tiba merasa gugup. "Gue--"

Semangkuk besar mangut lele memotong kalimat Nugi.

"Ayo makan," gumam Abel tanpa melihat mereka, lalu masuk dan kembali lagi sambil memeluk ricecooker dan setumpuk piring. "Gue laper."

Gadis itu sepertinya sudah cuci muka. Jejak air mata sudah sirna, namun bengkak di matanya masih samar tersisa. Ia duduk bersila dan mengulurkan piring masing-masing pada Saka dan Nugi.

"Makan," ucapnya pelan. "Ka, ini Nugi. Dia tutor masak gue."

Saka menatap Nugi dengan terkejut, sementara Nugi hanya mengangkat bahu.

"Lo sepertinya punya banyak profesi," tukas Saka ringan. "Dan lo, Sabela! Makan! Yang banyak! Gue ikut ke belakang sebentar."

"Thank you." Abel berkata pelan begitu Saka menghilang. "Makasih karena nggak ngebiarin belanjaan gue sia-sia, sori karena ngebiarin lo tidur di luar kayak tadi dan sori buat pipi lo. Bayaran buat ojeknya habis gue makan. Gue laper banget."

Sepertinya, nyawa gadis ini sudah kembali. Suaranya tidak serapuh tadi pagi.

Nugi terkekeh. "Gue ngerampok es batu lo buat kompres. Tentang bayarannya, gue anggap sepiring nasi plus mangut lele di piring gue ini setara. Lo nggak ngerti gue hampir mati kelaparan sebelum Saka datang, kan? Nasi bakarnya jadi penyelamat gue."

"Terus lo pulang gimana?"

"Selama gue pegang ponsel, hidup gue aman."

Abel berdecak pelan kala menyadari alasan utama Nugi menawarkan ojek dadakan padanya. "Gue mau berhenti kursus masak. Gue masih ada hutang?"

Nugi mengerutkan kening. "Kenapa berhenti? Lo ambil paket, Bel."

Abel menggeleng. Tidak ada gunanya lagi ia belajar memasak. Untuk apa pula? Arvin sudah memutuskan pergi dari hidupnya.

"Gue masih ada hutang?"

Nugi menghembuskan napas tidak sabar. "Nggak ada. Udah lunas semua di awal. Nanti gue kirim uang yang nggak kepakai. Tapi Bel, kapanpun lo merasa butuh gue sebagai tutor di dapur, lo tahu kemana harus nemuin gue. Kalau suatu saat lo merasa bahwa lo butuh upgrade skill memasak untuk diri lo sendiri dan bukan untuk memenuhi harapan orang lain, lo tahu pasti gue ada di mana. Oke?"

Tatapan tidak terbaca Abel membuat Nugi gugup. "Misalnya dunia sedang dilanda zombie apocalypse, lalu keadaan membuat lo terkurung di rumah dan harus mengandalkan skill memasak lo buat survive..." Ia menggaruk keningnya. "Pokoknya ketika lo merasa bahwa memasak sendiri akan menjamin keberlangsungan hidup lo--wah, gue diketawain. Ha. Ha!"

Padahal, Abel tidak tertawa lebar. Gadis itu hanya mengulum senyum karena tidak tahan dengan pemilihan kata Nugi.

Nugi mengawasi Abel dengan kesal. Senyum masih terulas di bibir gadis itu, walaupun dia harus mengakui jika lesung yang tercipta di kedua pipi membuatnya tampak berbeda.

Sejak kapan dia punya lesung pipi?

"Gue paham, Nugi. Thank you."

"Anytime." Nugi cepat-cepat menyuapkan sesendok besar nasi ke mulutnya demi menghindari hawa panas yang mulai merambati leher.

Ini pasti efek rasa lapar.












*TBC*

Selamat hari Senin,
selamat makan siang

❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top