14 | Itu Tadi Apa?
Sudah hampir dua minggu Arvin tidak membalas pesannya. Padahal, lelaki itu masih rajin update di instagram bersama Leah dan Linda dengan wajah yang tersenyum lebar. Sore tadi, Abel memutuskan pergi ke Dhalung. Abel berharap suasana di sana mampu membuat permasalahannya dengan Arvin sedikit menepi. Seperti biasa, Arvin sangat ahli mendiamkan Abel jika sedang marah.
Nggak papa, dia baru marah. Nanti pasti baik sendiri.
Abel meletakkan ponsel dan meneruskan pekerjaannya sebelum tiba-tiba saja, seseorang menarik-narik tangannya.
"Mbak Abel, temenin aku ya Mbak...please."
Nandini, salah satu junior Dhalung meraih tangan Abel dan mengayun-ayunkannya.
"Apa yang kamu takutin, Din? Kamu udah pro banget kalau urusan bikin kontrak sama klien," ucap Abel pada yang sedari tadi merasa gelisah karena mendapat klien offline untuk pertama kali.
Nandini menggeleng kuat-kuat. "Kan beda, Mbak. Ini pertama kalinya aku bikin kesepakatan sama klien tanpa pihak ketiga. Kadang kalau denger cerita yang lain tentang klien offline, aku agak takut. Lagipula, aku masih ngerasa risih ketemuan sama orang asing sendirian, cowok pula."
Melihat Nandini yang benar-benar merasa cemas, akhirnya Abel merasa tidak tega. Nandini mengingatkannya pada Abel muda yang juga jantungan saat pertama kali harus bertemu klien secara offline. Akhirnya gadis itu mengangguk, membuat bocah dua puluh tahun itu memekik ceria dan memeluk lehernya erat-erat.
"Makasih Mbak Abel! Mbak Abel emang yang terbaik! Nggak kayak Mas Yasa. Wleee!" Nandini menjulurkan lidah pada Yasa yang ada di seberang ruangan. Yang disebut mengangkat wajah dengan bingung.
Abel tidak bisa tertawa melihatnya. Pikirannya masih saja melayang ke arah lelaki bernama Arvino Destara yang gemar mendiamkannya selama satu abad.
"Ayo Mbak, sekarang aja. Sekalian cari makan malam," ucap Nandini memainkan alis.
Abel menganggukinya dengan segera. Mungkin suasana baru akan membuat hatinya sedikit ringan.
Matahari sudah benar-benar tenggelam kala mereka sampai di tempat pertemuan setengah jam kemudian. Nandini membenahi ranselnya dan masuk ke dalam restoran. Abel merapatkan hoodie sweater-nya, lalu mengikuti Nandini.
"Klienmu orang daerah sini?" tanya Abel seraya menunggu hidangan makan malam mereka.
Nandini mengangguk. "Mau bikin e-commerce khusus produk-produk tembikar."
"Udah sampai mana briefingmu sama dia?"
"Belum ada sama sekali. Dia minta tatap muka. Itu kenapa aku belum punya bayangan tentang logo yang dia mau."
Abel mengangguk paham. Dalam pekerjaannya, brief memegang peran penting agar desainer grafis mampu meraba produk grafis yang diinginkan oleh klien. Akan cukup sulit ketika bertemu dengan klien yang hanya memakai kata 'terserah' atau 'ikut anda saja'. Itu mengapa, kemampuan berdiskusi sangat perlu untuk 'memancing' informasi agar para desainer mempunyai gambaran tentang logo yang akan mereka desain.
Abel sedang menyantap makan malam seraya mendengarkan curhatan Nandini kala sesuatu tertangkap di matanya.
Nugi keluar dari sebuah pintu bersama seseorang lainnya. Ia memakai kemeja berwarna biru muda. Kedua lengan kemejanya sedikit ditekuk di atas pergelangan tangan, sementara kancing paling atas kini diepas. Keringat tampak di keningnya, dan ia berkacak pinggang kala berbicara dengan serius.
Sepertinya, si orang asing itu adalah salah satu koki di sini. Ia tampak masih sangat muda. Si orang asing itu mendengarkan Nugi dengan seksama sebelum mengatakan sesuatu yang membuat Nugi tertawa kecil. Nugi menepuk bahu orang asing itu sebelum membiarkannya naik ke area outdoor di lantai dua. Lalu, seseorang memanggilnya--sepertinya begitu, karena ia menoleh dengan tiba-tiba--dan kembali masuk ke dalam.
Abel termangu sambil menyesap minumannya. Sejak pertama mereka bertemu, Abel tahu tidak banyak yang berubah dari lelaki itu. Rambutnya hitam pekat, sepekat matanya. Menatap mata Nugi, mengingatkan Abel pada warna malam tanpa cahaya. Kelam, hingga tidak mampu membedakan apakah ia memejamkan atau membuka mata.
Posturnya masih sama, tinggi dengan bahu yang lebar. Postur tubuh yang tidak bisa dianggap remeh mengingat kebiasaannya baku hantam dengan anak-anak sekolah sebelah. Tidak jarang Abel melihatnya masuk kelas dengan memar dan bekas darah di ujung bibir. Tapi seperti anggota gengnya yang lain, Abel tidak pernah melihat sorot takut di manik sekelam malam itu. Dia pernah melihat sendiri kepalan tinju lelaki itu melayang beberapa kali pada anak-anak sekolah sebelah. Sebuah kejadian yang membuat Abel buru-buru mencari jalan lain untuk pulang.
Sudah empat sesi memasak bersama Nugi berlalu. Abel harus mengakui jika penjelasan Nugi lebih baik daripada Sekar. Selama empat sesi ini, Abel bersikeras menguasai menu mangut ikan, dan Nugi mengabulkan kekeraskepalaan Abel. Terkadang, Abel takut Nugi akan hilang kendali karena pengetahuan Abel yang sangat minim tentang bumbu-bumbu dasar. Tapi ketakutannya tidak berdasar, lelaki itu justru memberitahunya dengan sangat sabar. Sesuatu yang, sekali lagi membuat Abel perlu memastikan bahwa ia sedang tidak bermimpi.
Namun pertemuan mereka hanya berisi itu saja, tanpa basa-basi yang tidak perlu seperti minum teh atau berjalan-jalan ke kedai gelato, sebab Abel perlu membagi waktu untuk belajar soal-soal dan mengerjakan desain-desainnya. Juga, ia masih merasa tidak nyaman dengan Nugi. Walaupun harus Abel akui, ketidaknyamanan itu memang sudah sedikit berkurang dibanding pertemuan pertama mereka.
Abel kembali mengingat percakapan mereka di kedai gelato beberapa hari lalu. Tuhan memang selalu punya cara untuk membalikkan kehidupan seseorang. Keluarga Nugi termasuk keluarga berada, setidaknya itulah kesan yang didapat ketika pengambilan rapor. Mobil kelas atas dan ibu Nugi yang begitu anggun dengan berbagai perhiasannya.
Mengapa Abel tahu? Karena Abel selalu menunggu Pak Abid di luar kelas ketika pria itu mengambilkan rapor untuknya.
"Mbak, klienku udah datang." Nandini melotot pada ponsel di tangan. "Dia ada di lantai atas, meja enam belas."
Abel mempersilahkan Nandini memimpin langkah hingga mereka tiba di lantai dua yang berkonsep outdoor. Di atas sana, bintang mengerlip cerah tanpa gerumbul awan, mempersilahkan bulan memantulkan sinar matahari dengan leluasa hingga malam nampak ceria.
Seorang lelaki berusia empat puluhan duduk di meja nomor enam belas, nampak begitu rapi dengan kemeja batik, jam tangan dan rambut yang tersisir rapi. Begitu mereka mendekat, lelaki itu menyambut dengan senyuman. Tiga gelas minuman dan satu piring makanan kecil sudah tersaji di atas meja.
"Nandini?" tanyanya memastikan.
Nandini mengangguk. "Teman saya, Sabela. Saya harap anda tidak keberatan."
"Oh...tidak. Jangan khawatir," ucapnya antusias. "Langsung ke pokok pembicaraan saja, ya. Saya harus ke tempat lain setelah ini. Ah, mari silahkan dinikmati dulu sebelum kita membahas tentang pekerjaan."
Nandini melirik Abel, yang memberi anggukan demi menguatkan gadis itu.
Berbeda dengan menghadapi klien online, menghadapi klien offline cukup menyulitkan bagi individu pemalu seperti Nandini. Berkali-kali ia meraih baju Abel untuk meminta dukungan, berkali-kali pula Abel perlu turun tangan untuk membantu menjelaskan. Namun, Abel tidak keberatan. Nandini adalah Abel bertahun-tahun lalu.
Setelah memastikan proses negosiasi berjalan lancar dan Nandini mulai bisa mengatasinya sendiri, Abel merasa sedikit rileks. Gadis itu meraih ponselnya, melihat-lihat foto tentang hasil masakannya, lalu berniat mengirimkannya pada Arvin untuk sekedar iseng.
Hingga tanpa sengaja, ia melihat Arvin muncul di puncak tangga sambil tertawa, dengan Indira di sampingnya.
Arvin memakai kemeja batik, terlihat formal dan rapi. Sementara Indira memakai baju terusan yang membuatnya tampak begitu cantik. Polesan lipstik merah hati memulas bibir Indira dengan manis, sementara rambut yang biasanya lurus itu kini bergaya curly.
Dua orang itu duduk cukup jauh dari meja Abel. Indira meraih daftar menu, lalu bertanya pada Arvin. Arvin tampak canggung dalam duduknya, namun ia menjawab singkat.
Dalam sekali tekan, Abel mengirimkan foto hasil masakannya pada Arvin. Arvin meraih ponselnya. Bersamaan dengan itu, pesan Abel berubah jadi centang biru. Lelaki itu diam sesaat, lalu meletakkan ponselnya di meja sebelum kembali melihat-lihat menu bersama Indira.
Abel mencengkram ponselnya dengan erat, menghitung detik demi detik yang terasa berat. Namun balasan dari Arvin tidak kunjung datang.
Nggak papa, nggak papa, dia baru marah, Bel. Mungkin dia juga cari suasana untuk menenangkan diri--
Namun racauan hati Abel terhenti kala melihat Arvin tersenyum tipis pada Indira. Indira menyodorkan daftar menu pada Arvin, yang disambut Arvin hingga pada akhirnya bahu mereka kini tidak berjarak.
Sesuatu meninju dada Abel dengan keras. Tangannya yang masih memegang ponsel kini sedikit gemetar. Udara di sekitarnya terasa mampat, sementara telinganya dipenuhi dengung keras yang membuat Abel tidak mampu mendengar apapun. Sekali lagi, gadis itu mengirimkan pesan.
Arvin, kamu di mana?
Arvin kembali meraih ponselnya, lalu menyapu ruangan dengan cepat. Kala mata mereka bertemu, Abel melihat keterkejutan di mata Arvin.
===
Nandini mengerti ketika Abel berkata bahwa dia masih ada urusan di sini, dan memutuskan untuk pulang lebih dulu. Sementara, Arvin sepertinya meminta Indira memberi ruang mereka berdua untuk bicara. Yang pasti, kini Arvin dan Abel duduk berhadapan di meja Arvin dalam keheningan yang membekukan.
Abel merasa penampilannya kontras sekali dengan Arvin yang menawan. Gadis itu hanya memakai sweater hoodie, paperbag pants dan sandal jepit berbulu. Dia bahkan tidak memakai riasan apapun selain lipbalm--jika lipbalm bisa disebut sebagai riasan--mengingat niatnya kemari hanyalah menemani Nandini.
"Kamu ngapain di sini?" Nada tidak suka menyelip di suara Arvin.
"Aku nemenin Nandini ketemu klien," jawab Abel dengan gemetar yang tidak kunjung hilang. "Kamu...mau kemana?"
"Dhalung lagi," kekehnya suram. "Dhalung lagi, Bel."
"Vin kamu...mau mana?" tanya Abel berusaha menguasai sesak di dada.
"Habis dari nikahan teman." Arvin menyandarkan diri ke punggung kursi, tiba-tiba tampak letih sekali. "Abel, gimana kalau kita sudahi saja semuanya sampai sini? Kita nggak akan bisa kemana-mana."
Gadis itu mengerjap, berusaha menerjemahkan kalimat Arvin yang tiba-tiba menjadi kalimat paling sukar dimengerti abad ini.
"Gimana...Vin?" Abel berbisik karena pangkal lidahnya terasa perih. Abel perlu mendengarnya sekali lagi, dia tidak paham, tidak mengerti--
Arvin tersenyum tipis. Kesedihan dan rasa sakit terpancar dari sepasang mata favorit Abel. Lelaki itu mengulurkan tangan dan mengusap sisi kepala Abel dengan begitu lembut.
"Ada satu orang di dunia ini yang harus aku bahagiakan bahkan sampai aku mati," gumamnya dengan bibir gemetar. Abel bisa melihat, mata itu memerah perlahan. "Dia adalah rumah pertamaku, guru pertamaku, dan surgaku. Tahu nggak aku panggil dia siapa? Aku panggil dia Mama."
Mata Abel memburam dengan cepat, sementara bibirnya justru terkunci rapat. Nyeri mulai merambati perutnya, perlahan menikam jantungnya, lalu mencekik lehernya hingga Abel merasa tercekat.
"Aku sayang banget sama kamu." Arvin meneruskan dengan suara tercekat. "Aku juga nggak mau nyakitin kamu, Sabela. Tapi aku pikir, kita nggak bisa berusaha lebih jauh lagi. Bagiku, kata-kata Mama adalah doa, berkat, dan segalanya. Dan jujur saja, aku lelah, Bel. Kamu nggak pernah bisa diajak kerja sama. Aku nggak melihat progres dalam hubungan kita."
Sesuatu yang panas terkumpul di pelupuk mata, membuat matanya memburam. Namun tangan gadis itu membeku di pangkuan. Dirinya masih meraba di tengah rasa sakit dan perih yang menyerangnya dari segala sisi.
"Tapi aku udah belajar masak," cicit Abel dengan begitu menyedihkan. "Dan...aku, juga masih belajar buat ujian. Aku berusaha, Vin."
"Aku tahu. Tapi mau berusaha sampai kapan?" baliknya. "Kamu nggak pernah mau melepaskan Dhalung dan berusaha maksimal untuk solusi yang aku tawarkan."
"Aku nggak bisa lepasin Dhalung. Aku sayang mereka. Tapi mereka bukan hambatan--"
"Aku mau nyoba sama Indira," potong Arvin meremat jantung Abel tanpa ampun.
"In--dira?" gumaman Abel terasa asing.
"Seminggu terakhir ini aku berpikir ulang tentang hubungan kita. Aku mempertimbangkan keengganan Mama, dan kamu sadar? Kita punya banyak perbedaan dalam memandang sesuatu," ucapnya pelan. "Tapi Dira, pemikirannya sesuai dengan pemikiran Mama, sesuai dengan pemikiranku. Mau nggak mau aku mulai merasa bahwa penilaian Mama itu benar. Jadi, ya. Aku akan mencobanya dengan Indira. Kalau Mama merasa bahwa dia baik untukku, maka itu pasti baik. Aku nggak punya alasan menentangnya."
Jemari Abel tergenggam erat di pangkuan. Gadis itu menatap Arvin dalam diam, terlalu kewalahan mengatasi sakit yang menusuk tubuhnya dari dalam seperti ribuan jarum. Jenis sakit yang belum pernah ia rasakan, jenis sakit yang...membuat napas tercerabut dari batang tenggorokan.
"Jadi, kita sudahi saja sampai di sini," ucapnya sebelum membelai kepala Abel. "Terima kasih untuk waktu menyenangkan kita. Aku pulang dulu."
Arvin pergi.
Gumaman kecil itu menyeruak dari sudut hati. Abel mengerjap, dan mendapati tempat duduk di hadapannya kini sudah kosong. Gadis itu mengusap wajahnya dan menyapu ruangan dengan cepat. Persetan dengan mereka yang berbisik seraya mencuri pandang ke arahnya. Dia masih perlu melihat Arvin.
Seperti kesetanan, Abel berlari menyebrangi ruangan dan menuruni tangga. Gadis itu berlari ke depan dengan tergesa.
Lalu langkahnya terhenti ketika melihat Arvin membukakan pintu mobil untuk Indira. Seulas senyum hangat terlukis di wajahnya sebelum ia membelai singkat kepala Indira. Terpaku, Abel menyaksikan keduanya berlalu.
"Mbak?"
Seorang tukang parkir menyentuh bahunya, lalu terkejut kala melihat wajah Abel. Abel menunduk. Mengurut dadanya yang mendadak sesak, gadis itu berjalan pelan menuju kursi panjang milik si tukang parkir.
Itu tadi...apa?
Sesak di dada Abel semakin menjadi, begitu menyakitkan dan membuatnya susah bernapas hingga Abel membungkuk dalam-dalam.
Lalu, hembusan angin terputus kala sesuatu beraroma citrus menaunginya hingga menutupi kepala.
"Nangis aja, nggak ada yang lihat."
Suara itu membuat Abel meremas sweaternya, namun cekikan panas di lehernya semakin menjadi.
Pada akhirnya, ia menyerah. Dalam naungan jaket itu, Abel melepaskan rasa sakit bersamaan dengan air mata yang merebak tidak tertahan.
*TBC*
Ahh~~why why whaaayyyyy??
Selamat sore semuanya. Really, really luv u. Jangan lupa bahagia.
❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top