13 | Gerai Gelato

Abel memasuki pekarangan rumah putih itu seraya membawa beberapa sisir pisang ambon. Dari dulu, Windu selalu susah makan jika sakit. Pria itu lebih suka makan pisang ditemani segelas teh lemon madu.

"Aku udah pesan ojek online. Sebentar lagi sampai." Abel menarik turun maskernya kala bertemu Ratri di teras rumah. Sebuah tas besar sudah disiapkan di sana.

"Makasih, Mbak," ujar Ratri dengan lega. "Saya bener-bener bingung waktu Pak Abid bilang kalau Mbak Jani harus segera dioperasi."

"Bagus kalau langsung ditangani." Abel menenangkan Ratri. "Papa demam kenapa?"

"Kelelahan, sepertinya. Radang tenggorokan juga. Bu Mara udah ke luar kota seminggu ini. Ini kalau Mbak Jani nggak operasi, Bu Mara belum jadwalnya pulang. Jadi yang ngurus pabrik daerah sini ya, Bapak sendiri. Bolak balik pulang malam. Tapi Mbak Abel, Mbak dari mana? Kenapa kausnya basah semua?"

"Dari kerjaan. Aku ganti dulu." Abel memberikan satu buah paperbag berisi banyak yogurt pada Ratri. "Buat Mbak Jani. Jangan bilang kalau itu dari aku."

Abel buru-buru mengalihkan pandang dari Ratri yang menatapnya dengan sendu. Selepas berganti pakaian, gadis itu pergi ke dapur.

"Mbak," gumam Abel. "Bapak udah makan?"

Ratri menggeleng lelah. "Bapak nggak mau makan. Dari kemarin susah banget."

"Minum? Bapak suka teh lemon madu. Udah dibuatin?" tanya Abel lagi.

"Udah tadi pagi. Siang ini belum lagi. Takutnya nanti maag Bapak kumat karena seharian nggak makan tapi minum yang kecut-kecut." Ratri mengeluarkan barang-barang Abel dari paperbag yang lain. "Ini..."

"Itu oatmeal buat Papa," ucap Abel. Ratri ber-oh paham sebelum mengulurkannya pada Abel.

Membuka resep singkat di ponselnya, Abel menuangkan oatmeal dan susu pada mangkuk, lalu menuangkan sedikit yoghurt dan potongan pisang di atasnya. Setelahnya, ia meminta tolong Ratri untuk membuatkan segelas teh lemon madu hangat. Bukannya apa-apa, tapi Abel tidak pernah berhasil membuat teh lemon madu seenak buatan Ratri.

Hah...memang kapan sih gue bisa enak bikin sesuatu? Ohh...ada satu. Mi instan rasa apapun.

Abel menertawakan batinnya sendiri. Gadis itu memperbaiki letak maskernya dan naik ke kamar Windu. Pria itu terbaring di atas dipan dengan selimut terhampar hingga ke dagu. Tangan kirinya tersambung dengan infus. Lelaki itu diam, namun matanya menatap langit-langit dengan kosong. Ia menoleh ketika Abel melangkah masuk, lantas langsung berpaling.

Semangkuk bubur di atas nakas itu sudah dingin, namun belum tersentuh.

"Papa, kenapa buburnya nggak dimakan?" Abel bertanya dengan basa-basi hanya agar kecanggungan ini segera memudar. Gadis itu duduk di kursi dan memamerkan bawaannya. "Coba ini ya, Pa."

"Pergi," tukas Windu tanpa menatap Abel.

Abel menggigit bibirnya, berusaha meredam getar yang menyesakkan.

"Abel pergi kalau Papa sudah makan," gumam Abel pelan. "Papa belum makan dari pagi, nanti nggak sembuh-sembuh. Siapa yang mengawasi pabrik kalau Papa sakit dan Mama pergi ke luar kota begini?"

Mendengarnya, Windu terdiam. Perlahan, ia menoleh pada Abel. Pria itu menatap Abel dengan tatapan yang kosong, tanpa binar.

"Janji kamu pergi setelah saya makan?" bisiknya dengan serak.

"Janji. Sini Papa minum dulu, biar enak tenggorokannya."

Pria itu mengangkat tubuhnya dengan perlahan. Abel membantunya dengan menyelipkan bantal di belakang punggung. Selama melakukannya, Abel bisa merasakan betapa tidak nyamannya Windu berada dekat dengannya. Maka, Abel berusaha agar tidak menyentuh kulitnya.

"Itu...apa?" bisiknya setelah menyesap tehnya. Ia melirik curiga pada mangkuk di pangkuan Abel.

"Pisang." Abel tersenyum menyemangati. Gadis itu mengulurkan sesuap pada Windu, namun Windu menepisnya.

"Saya bisa sendiri," bisiknya lagi. "Kamu keluar saja."

"Aku harus lihat Papa habisin makanannya. Itu perjanjian kita, kan?"  Abel berusaha berbicara lancar dengan bibir yang gemetar.

Mata merah Windu menatapnya lama, lalu lelaki itu menatap mangkuk di pangkuannya. Ia mengambil sesuap, dan Abel menantikan reaksinya dengan hati berdebar.

Tuhan, tolong sekali iniii aja...please...

Windu berhenti di tengah kunyahan, membuat Abel mencengkram erat tepi kursinya. Namun Windu meneruskan kunyahannya, dan Abel bernapas lega. Abel pura-pura mengamati sekitar ruangan hanya agar Windu merasa tidak terlalu canggung. Namun, gadis itu tidak bisa menyembunyikan senyum samar ketika melihat Windu meneruskan santapannya. Tidak lahap, tidak. Lelaki itu menyantapnya dengan perlahan dan sedikit-sedikit. Tapi paling tidak, Windu akhirnya mau memasukkan sesuatu ke perutnya.

"Sudah makan?"

Suara itu membuat Abel kaku di tempat. Mara memasuki ruangan masih dengan mantel bepergiannya. Langkahnya mendekati Windu dengan anggun. Diliriknya bubur dingin yang masih utuh di atas nakas, lalu menatap Windu dalam diam. Seketika, hawa di ruangan itu menjadi dingin karena kebungkaman Mara.

"Kenapa buburnya nggak dimakan?" tanya Mara lembut, kelembutan yang menyembunyikan bahaya.

Dan seperti biasa, Windu begitu menghamba di bawah tatapan Mara. Lelaki itu menunduk seraya mencengkram mangkuknya.

Abel bangkit dengan perlahan. Ia berjalan keluar sebisa mungkin tanpa mengeluarkan suara. Namun baru beberapa langkah, suara nyaring mangkuk menghantam lantai membuat Abel terperanjat. Oat, pisang dan segala cairannya terciprat ke mana-mana, termasuk ke kaki Abel.

"Kamu harus makan agar cepat sembuh." Mara berkata tenang seolah tidak terjadi apa-apa. Ia duduk di samping Windu dan menyendokkan bubur dingin padanya.

"Iya, Mara," jawab Windu dengan patuh. "Perjalananmu lancar?"

"Sangat lancar. Jangan khawatir tentang bisnis kita. Semuanya aman di bawah kendaliku." Mara meraih gelas teh yang masih terisi separuh dari atas nakas, lalu kembali membantingnya dengan ekspresi datar. "Nanti aku buatkan teh lemon madu. Makan dulu yang banyak."

"Iya, Mara."

Sesak terkumpul begitu cepat di dada Abel. Gadis itu menatap lantai yang kotor dengan mata memburam, lalu menghela udara dalam-dalam lewat bibirnya yang bergetar. Ia keluar dari kamar dan membersihkan diri sejenak, lalu meraih jaket dan tasnya di ruang tamu.

Suara memekakan dari piring yang beradu dengan lantai nyatanya masih berdengung di telinganya, menusuk kalbunya sedemikian hebat hingga rasanya nyeri sekali.

"Jangan nangis! Jangan nangis!" Abel berjalan cepat sambil menunduk dalam-dalam. "Lo ke sini buat jenguk Papa! Jangan disesali. Jangan disesali, Sabela--"

Namun pada nyatanya, air mata itu tetap merebak tidak tertahan. Abel mengusap matanya dengan kasar dan mempercepat langkahnya menuju motor, ketika sepasang celana training hitam menghadang langkahnya.

Gadis itu mendongak, dan menemukan wajah Nugi tepat di hadapannya. Pemilik manik kelam itu menunduk, menatap Abel tanpa suara, lalu ia menghela napas dalam.

"Gelato, mau?"

===

Sabela Nawandini masih pendiam seperti dulu.

Nugi mengawasi sosok yang duduk di hadapannya. Celana gadis itu tampak basah di bagian lutut ke bawah. Rambut pendeknya disila ke belakang telinga, membuatnya melengkung hingga ke ujung kala ia menyendok gelatonya sambil menunduk. Poninya rebah seperti tirai, menutupi wajahnya.

Mereka berakhir di gerai gelato yang terletak tidak jauh dari perumahan. Abel tidak merespon ajakan Nugi. Gadis itu justru membuang wajah. Namun begitu Nugi berjalan ke luar gerbang, Abel mengikutinya dengan tetap menjaga jarak.

Dia tahu sekali jika Abel sangat berhati-hati dengan kehadirannya. Dan Nugi, akan memberikan waktu sebanyak yang gadis itu butuhkan.

Lelaki itu menyendok gelatonya sendiri, mengingat kejadian di supermarket beberapa waktu yang lalu. Sebuah percakapan yang tidak sengaja ia curi dengar membuatnya sedikit banyak tahu apa yang dihadapi Abel walau gadis ini tidak pernah menceritakan apapun padanya.

"Jadi, Om Windu mau makan?" Nugi memutuskan membuka percakapan setelah dua puluh menit berlalu dalam keheningan.

Abel mengangguk singkat, masih dengan posisi menunduk. "Resepnya gampang diikutin. Thank you."

"Bagus lo tanya gue," celetuk Nugi membuat Abel mengangkat wajah. "Kalau lo tanya Manda, resepnya bisa lebih panjang ketimbang itu. Dia akan bilang kalau resep tadi bakal pucet banget, lebih baik dikasih bubuk cokelat, berries atau irisan kiwi."

Abel menatapnya tanpa ekspresi sebelum gadis itu kembali menunduk. Nugi menyerah. Mungkin, keheningan adalah apa yang dibutuhkan gadis ini setelah apapun kejadian buruk yang menimpanya.

Nugi tidak akan pura-pura menutup mata. Sebagai orang yang pernah dekat dengan Jani, Nugi tahu betul bagaimana keluarga Permadi memperlakukan Abel selama ini. Maka ketika ia mendapati Abel keluar dari rumah putih itu dalam keadaan menangis, Nugi tidak terkejut. Walaupun, ada rasa tidak suka ketika ia melihat sepasang mata itu bengkak dan memerah. Nugi merasa diingatkan akan betapa berengseknya ia di masa lalu.

"Mas Manda dari LDC?" Abel mengangkat wajahnya sekilas. "Gue lihat fotonya tadi di dapur."

"Le Cordon Bleu Perancis," jawab Nugi. "Tiga tahun di atas gue."

"Hmm...ada ulasan tentang lo di artikel Noire."

"Nggak percaya banget Bel, wajahnya." Nugi tertawa pelan. "Tapi wajar. Gue juga nggak pernah nyangka bakal jadi seperti sekarang. Gue, Manda, Mita, kami pernah tinggal di panti asuhan yang sama. Sesuatu yang, sekali lagi, nggak pernah ada di pikiran gue."

Nugi tersenyum tipis kala melihat keterkejutan di wajah Abel.

"Akui aja, kita bukan teman dekat di kelas," ucap Nugi kecut. "Waktu kita ujian kelulusan, bencana datang di keluarga gue. Papa gue ketangkap karena kasus korupsi dan Mama minta cerai. Sejak hari itu, gue nggak pernah ketemu Mama lagi. Gue sendirian di rumah. Sodara-sodara gue nggak ada yang mau ngurusin gue karena gue...yah, troublemaker."

Abel menelan ludah. "Lo punya kakak, kan?"

"Abang gue udah dipenjara duluan karena banyak kasus. Narkoba, penganiayaan, pemerkosaan, penipuan. Gue bener-bener sendirian, secara harafiah." Nugi memainkan sendoknya. "Singkatnya, gue diajak ke sana sama Ra--seseorang. Dan di sana, gue baru sadar kalau selama ini gue sakit. Gue menemukan banyak hal justru ketika gue kehilangan banyak hal. Dan semuanya, gue dapat dengan cara yang nggak pernah gue bayangkan. Perlahan, gue mulai memperbaiki diri, dan seseorang bikin gue punya mimpi. Akhirnya gue dapat beasiswa. Lo percaya? Gue, dapat beasiswa."

Abel menatapnya tanpa ekspresi, benar-benar membuat canggung.

"Gue cerita karena lo kelihatan kaget banget gue tinggal di panti, bukan buat narik simpati atau membenarkan perilaku jahat gue. Gue berlaku nggak baik, dan itu sepenuhnya salah gue."

Gadis itu meliriknya sekilas, lalu mengangguk singkat.

"Noire?"

Nugi terdiam beberapa saat kala memori tidak menyenangkan hadir di kepalanya. Namun ia berdeham.

"Gue pengen punya tempat sendiri yang menyajikan menu-menu ala gue, dengan tempat dan nuansa yang ala gue. Tapi seperti yang lo lihat, Noire nggak bertahan lama."

"Food consultant," gumam Abel tanpa mengangkat wajah. "Apa yang lo lakuin, tepatnya?"

Nugi menatap Abel beberapa saat, menimbang-nimbang kalimatnya.

"Klien gue bervariasi. Cafe dan restoran, hire gue buat menyempurnakan menu-menu mereka, atau kasih training bagi para koki dan pelayan," jawab Nugi enggan. "Terkadang gue juga diundang untuk masak privat dining di acara keluarga, kantor, atau gathering. Kerjaan gue seputar itu."

Abel memecah waffle di cup kertas miliknya, namun mendengarkan Nugi dengan seksama.

Pola pikir, dan kesadaran diri.

Abel menghela napas dalam, lalu mengangkat wajah pada Nugi yang masih menikmati gelatonya.

"Makasih buat jam tangannya."

Nugi terpaku sejenak pada nada hangat yang terdengar samar, lalu mengangguk canggung. "Nggak masalah. Untung gue masih ingat rumah lo."

"Gue udah nggak tinggal di sana lagi. Gue ke sana jenguk Papa." Abel menyendok remahan cone-nya.

"Terus di mana?" Nugi mengerutkan kening. "Seingat gue, alamat yang ada di kartu nama lo itu, alamat ini. Apa gue salah?"

Abel menghentikan kunyahannya sebelum kembali mengunyah dengan pelan, lalu menggeleng.

"Nggak, lo nggak salah." Abel kembali menunduk.

Sebab Abel belum siap kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Setipis apapun benang yang menghubungkan mereka, sesalah apapun nama hubungan yang menyatukan mereka, Abel masih ingin mempertahankannya.

Sebab dia masih ingin punya jawaban ketika seseorang bertanya 'siapa nama ayahmu?', 'siapa ibumu?', 'berapa saudaramu?'.

Sebab rasanya mengerikan ketika Abel membayangkan jika dirinya harus ditinggal sendiri di dunia yang luas ini.





*TBC*

Selamat siang semuanya. Please be healthy, be happy. Luv you ❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top