12 | Merah Jambu dan Berbulu

Abel berhenti pada alamat yang diberikan Nugi.

Rumah minimalis bertingkat dua itu terlihat teduh dengan tema abu-abu gelap. Taman kecil di depan rumah dipenuhi oleh palem-paleman dan krisan putih. Batu kerikil terhampar di jalan setapak menuju teras, sementara dinding-dindingnya dilapisi dengan keramik batu alam.

Gadis itu merogoh ponselnya, dan tetap tidak menemukan pesan apapun dari Arvin. Pesannya yang mengabarkan bahwa ia menemukan pengganti Sekar beberapa hari lalu, dibiarkan begitu saja dengan dua centang biru. Abel menghela napas panjang, dan memutuskan untuk beranjak. Lalu, ia berhenti kala melihat sesuatu yang ajaib di teras rumah itu.

Abel perlu meyakinkan diri jika lelaki yang memakai bando merah muda berbulu, sayap peri dan memegang tongkat peri yang bisa berbunyi itu adalah Nugi. Lelaki itu membelakanginya, sibuk bercerita pada seorang balita yang tergelak heboh.

Abel memegang dahinya. Perlahan sekali, ia memutar langkah.

"Gue pasti salah rumah," gumamnya linglung.

"Bel, udah sampai?"

Panggilan itu membuatnya merinding dari atas sampai kaki. Abel menelan ludah dan kembali berputar.

"Kenapa dahinya? Lo sakit, ya?" Lelaki itu meraih balita tadi dan mendekati Abel, masih dengan bando dan sayap perinya. Abel menarik satu langkah ke belakang dengan refleks, membuat Nugi menghentikan langkahnya. Tatapan lelaki itu terlalu memahami. "Dahi lo sakit?"

"Nggak..." Abel menggeleng, berusaha mengusir rasa linglung yang sempat membelenggu.

"Baguslah, bantu gue nemenin Talita. Mita baru sibuk, soalnya." Lalu ia tertawa melihat ekspresi Abel. "Canda, Bel. Kenalin, ini Talita. Princess gue."

Talita, balita itu mempunyai rambut keriting yang dikepang dua di sisi kepala. Ia menatap penasaran pada Abel dengan sepasang mata bulatnya. Tapi sungguh, bulu mata lentik yang tebal itu membuatnya jatuh hati.

"Halo manis," Abel membungkuk pada Talita. "Usianya berapa?"

"Satu tahun bulan ini," jawab Nugi memainkan tangannya. "Lucu, kan?"

"Mirip Mas Manda." Abel tersenyum samar kala Talita mengoceh ceria.

Ketika gadis itu menegakkan diri, dilihatnya Nugi menatapnya tanpa kedip.

"Kenapa?" Abel mengerutkan kening.

Nugi menggeleng canggung, membuat hiasan di bandonya bergoyang cepat.

"Ayo ke dalam."

Agaknya, ia memahami keengganan Abel yang masih memberi jarak diantara mereka. Lelaki itu masuk lebih dulu. Abel mengikutinya setelah membisikkan kata permisi.

Rumah itu beraroma seperti...roti? Manis. Seorang wanita menyambangi mereka dengan senyum lebar.

"Abel, ya?" tanyanya antusias seraya menjabat tangan Abel. Ia mengambil Talita dari gendongan Nugi. "Mita. Mas Manda dan Nugi udah banyak cerita tentang kamu. Terima kasih atas bantuannya untuk Comma."

Perempuan muda berwajah keibuan itu berbicara tulus, yang diangguki Abel dengan canggung.Gadis itu mengulurkan satu plastik penuh buah-buahan pada Mita.

"Makasih, Mbak. Maaf merepotkan."

"Nggak perlu sungkan." Mita membalasnya dengan berbinar. "Silahkan dipakai dapurnya. Yang pasti jangan lupa diberesin habis kalian acak-acak."

Setelah mengucapkan terima kasih, Abel mengikuti Nugi. Dalam setiap langkahnya, Abel bertanya-tanya pada diri sendiri apakah keputusannya sudah benar.

Aroma manis itu menguat kala ia memasuki dapur keluarga Mandala yang jauh, jauh lebih menarik ketimbang dapur miliknya. Aroma mentega, lelehan susu kental, dan aroma-aroma harum lainnya, Abel membauinya di udara.

Nugi menunggunya sambil bersandar di pantry. Lelaki itu sudah menanggalkan segala hal yang berwarna merah jambu dan berbulu, menyisakan celana training dengan kaus abu-abu yang melekat pas di tubuhnya.

"Untuk urusan ini," Nugi membuka percapan, "gue rasa kita perlu ngobrol sebentar agar gue tahu apa yang kepingin lo capai, dan metode yang bakal gue pakai. Di situ?"

Nugi menunjuk taman kecil di samping rumah yang hanya dihiasi oleh satu pohon kamboja besar sebagai peneduh. Di bawahnya, terdapat dua buah meja yang mirip dengan meja dan kursi yang ada di Athlas.

Nugi keluar membawa satu set teh poci dan cookies. Ia duduk di hadapan Abel.

"Jadi?" tanyanya menuang teh di masing-masing cangkir mungil yang terisi es batu.

"Gue nggak tahu," gumam Abel pelan. "Yang gue pengen adalah, gue bisa masak."

"Hmm..." Nugi meraih cookies-nya. "Skill memasak itu tentang kebiasaan."

"Gue cuma pengen bisa masak masakan rumahan." Abel kembali merasa gelisah. Bayangan tentang kekecewaan Leah dan Vera kini menari di hadapannya. "Sup, soto, opor, sesuatu yang sering dimasak dalam skala rumah tangga."

Nugi menatapnya dalam diam. Sosok jenaka yang ada di teras tadi pergi entah kemana, digantikan wajah serius yang sedikit banyak membuat Abel teringat masa lalu. Walaupun, kesan jahat itu sudah tidak lagi ada di sana. Hanya ada tatapan lekat dari sepasang mata sekelam malam, seperti rambutnya.

"Hmm...udah pernah ikut kursus masak sebelum ini?" tanya Nugi kemudian.

Abel mengangguk.

"Ambil yang apa? Sampai mana?"

"Short course? Gue ambil sekitar tiga bulan lalu." Abel tidak yakin. "Tapi karena satu dua hal, kami harus berhenti. Sekar kasih waktu khusus buat gue, dan sama Sekar, semua materinya lebih fleksibel. Makanya, susah nyari yang seperti Sekar ini."

"Hmm...pada dasarnya, cooking class selalu punya langkah-langkah. Apalagi basic course," ucap Nugi mengamati Abel. "Secara garis besar, basic course meliputi pengenalan alat-alat dapur, hygiene sanitation, pengenalan bahan makanan lokal, perencanaan menu, cutting method, cooking method, baru kita nyoba berkembang ke masakan-masakan nusantara. Jadi, menurut lo, apakah ada yang terlewat?"

"Gue nggak ada waktu, Gi," gumam Abel gelisah. "Gue minta sama Sekar buat langsung eksekusi resep."

Bagaimana bisa Abel membuang-buang waktu dengan...apa itu tadi? Perencanaan menu, bla bla bla sementara Leah sudah menuntutnya untuk bisa memasak ini itu? Dia tidak bisa. Dia tidak punya waktu.

Lelaki di hadapannya mengelus dagu. "Gitu, ya? Mari kita lihat sampai mana penguasaan lo di kursus yang lalu agar gue bisa tahu gue harus memulai dari mana."

"Nggak bisakah kita langsung eksekusi resep?" tanya Abel lagi.

"Bel, proses memasak bukan cuma tentang memasak di atas kompor. Gue perlu tahu--"

"Gi, please."

Mendengarnya, Nugi memejamkan mata. "Don't beg me, Sabela." Lelaki itu berdecak pelan sebelum kembali membuka mata. "Oke oke...kita ikut apapun yang lo mau. Tapi, gue perlu tahu sejauh mana penguasaan lo di kursus yang lalu agar gue tahu kita harus mulai dari mana. Deal?"

"Deal."

Abel menyesap tehnya. Secara teori, semua hal tentang memasak tidaklah susah. Tinggal melihat video atau mencari resep di internet, semuanya akan terasa mudah.

Tapi memasak bukan cuma tentang menghapal bumbu dan memasukkan sayuran, terus masakan gue sempurna, 'kan? Ada sesuatu nggak kasat mata yang ikut andil dalam proses itu. Feeling? Intuisi? Sesuatu yang akan bikin gue berpikir 'ini udah pas, ini kurang empuk, bla bla bla...soto dan rawon gue berantakan bahkan setelah gue patuh sama resep.

Mungkin benar kata Nugi, bahwa kebiasaan adalah kunci utama seseorang bisa mempunyai skill memasak. Tapi dengan deadline Leah yang menggantung di atas kepalanya, Abel perlu mengesampingkan itu semua. Dia perlu menjadi sempurna di hadapan Leah.

"Tangan lo kenapa?" tiba-tiba Nugi bertanya. Abel melirik empat jarinya yang dibebat plester penutup luka, lalu menurunkannya ke pangkuan.

"Nggak papa," jawab Abel.

Nugi menatapnya dengan penasaran, namun tidak lagi mengejar. "Hari ini kita lihat seberapa jauh teknik-teknik dasar yang udah lo pelajari. Udah punya resep yang mau dicoba?"

"Mangut ikan," celetuk Abel memutar-mutar cangkirnya.

"Nggak nyoba resep yang simpel-simpel dulu?"

Abel menggeleng. "Sebelum itu, berapa biaya sesi kursus kita?"

Mendengar pertanyaan itu, wajah Nugi memerah hingga telinga. "Buat lo, gratis...Bel."

"Gue menyetujui ajakan lo bukan demi kasih lo kesempatan menebus dosa," ucap Abel datar. "Gue menyetujuinya karena gue butuh jasa yang lo tawarkan. Jadi, gue menganggap ini sebagai hubungan profesional antara penjual dan pembeli."

Nugi terbungkam beberapa saat, lalu mengangguk perlahan. "Bisa diterima. Gue kirim ke lo sekarang."

Abel meraih ponselnya. Tak berapa lama kemudian, sebuah email masuk.

"Udah masuk?"

Abel mengangguk canggung. "Thanks."

Nugi kembali menyesap tehnya, membiarkan keheningan melingkupi keduanya. Sementara Abel, berusaha setengah mati untuk menenangkan diri.

===

"Lho, Gi! Ini jam tangannya siapa?" Mita melongok keluar sambil mengacungkan sebuah jam.

Nugi mengamatinya sesaat. "Punya Abel. Ketinggalan, ya?"

Mita yang akhirnya duduk di sebelahnya, mengangguk. "Lo masih ingat rumahnya?"

"Masih. Nanti gue balikin."

"Jadi, dia tadi beneran ke sini?" Manda bertanya untuk kedua kalinya. Lelaki yang baru saja sampai di rumah itu menatap Nugi dan Mita dengan tidak percaya. "Beneran ke sini? Lo beneran jadi tutornya?"

Mita meraih cookies dengan santai. "Abel ini orangnya jarang senyum, ya?"

"Tadi dia senyum sama Talita," ucap Nugi, mengingat betapa tidak percayanya ia kala melihat Abel tersenyum. Karena...demi apapun, Nugi tidak pernah menemukan Abel yang tersenyum dalam ingatannya. Gadis itu selalu menunduk, muram dan menjauhi keramaian."Kalau udah kenal, dia lumayan asik diajak ngobrol."

"Oh...tapi dia emang pendiam dari dulu?"

"Apa yang lo harapkan dari orang-orang yang pernah gue risak, Mbak? Gue adalah mimpi buruk di memori mereka." Lelaki itu menenggelamkan jemarinya di sela rambut dengan penuh sesal. "Dia udah pendiam dari dulu dan berengseknya, gue salah satu orang yang bikin dia selalu punya ekspresi kayak gitu. Gue bahkan masih hapal ekspresi nangisnya."

Nugi teringat ekspresi Abel kala gadis itu bertandang ke kafe beberapa waktu lalu. Ekspresi sedih dengan mata memerah itu terlalu ia kenali.

Lelaki itu menarik salah satu ujung bibirnya dengan getir. "Hah...gue berengsek banget."

Mita bertukar pandang dengan suaminya, lalu meninju bahu Nugi dan berdecak. Namun tidak mengatakan apapun.

"Kelakuan buruk selalu meninggalkan konsekuensi," ucap Manda dengan pelan. "Walau lo udah berusaha sekuat mungkin untuk memperbaiki diri, konsekuensi itu nggak serta merta hilang dari hidup lo."

"Mas!" tegur Mita.

Namun Manda hanya mengangkat bahu. "Gue nggak mau Nugi langsung merasa benar ketika dia sudah memperbaiki diri, Sayang. Ada sakit hati yang mungkin belum sembuh sampai saat ini. Ada dendam yang mungkin masih tersimpan sampai saat ini."

"Gue tahu," gumam Nugi pada pria yang lebih tua beberapa tahun darinya itu. "Gue cuma penasaran, mungkin pada suatu saat di masa lalu, waktu Abel bener-bener nggak tahan sama sikap jahat gue sama dia, dia berdoa sama Tuhan agar gue nggak pernah bahagia."

Mita, perempuan yang sudah ia anggap kakak itu menepuk-nepuk bahunya dengan simpati. "Adikku udah berusaha dengan baik, dan aku bangga. Ngomong-ngomong, aku seneng lihat kamu di dapur kayak tadi. Kelihatan lebih hidup."

"Gue pikir gue perlu all out tentang ini," gumam Nugi. "Sebagai penebus dosa walau dia nggak mau gue kasih gratis."

"Wah, iya? Dia bukan tipe cewek yang gampang luluh, kayaknya." Mita tertawa singkat. "Dia manis lho, Gi. Aku suka matanya, cantik."

"Gue cuma ngebantuin dia aja, nggak ada niatan lain." Nugi terkekeh sebelum memejamkan mata dan bersandar ke tembok. "Gue masih kangen banget sama Ganis."

Sekali lagi, Mita meninju Nugi hingga lelaki itu mengaduh pelan. Manda mengamati keduanya, dan memilih untuk menikmati cookies dalam bungkam.

Namun jauh di dasar hati, mungkin dia perlu berterima kasih pada Abel.

===

"Tangan lo kenapa deh, Bel?"

"Efek dari upgrade skill."

Saka mendengkus kecil. Lelaki itu mengamati keempat jemari Abel yang terbebat plester penutup luka hingga gadis itu kesulitan memegang aquarium kaca.

"Dan lo ke sini naik motor sendiri?" tanya Saka di tengah kesibukannya menyebar kecambah rebus ke arah kolam.

"Memang masalahnya di mana?" Abel meraih selang dan membersihkan aquarium kaca.

Setelah pelajaran memasak perdananya, Abel memutuskan pergi ke tambak. Dia yakin dirinya tidak bisa berkonsentrasi dengan baik di rumah. Yang ada, keheningan rumahnya akan terasa menyiksa. Maka, Abel memutuskan menjenguk anak-anaknya setelah berbulan-bulan dia hanya memantau lewat laporan Saka.

Pada suatu siang tiga tahun lalu, Yofian Ajisaka mendekati Abel dengan serius untuk bertanya usaha apa yang sekiranya masih mempunyai prospek bagus di Indonesia. Abel memberikan beberapa jawaban, termasuk budidaya lobster air tawar yang penawarannya masih jauh di bawah pemintaan. Hanya butuh satu menit bagi Saka untuk memutuskan usaha apa yang akan dirintisnya, dan hanya butuh satu menit berikutnya bagi lelaki itu untuk memilih Abel sebagai partner usaha sekaligus penasehat keuangannya.

Tambak itu berada di pinggir kota, dan Saka bekerjasama dengan masyarakat desa terdekat untuk mengurusi usahanya. Beberapa pemuda tampak sedang membersihkan kolam, beberapa sedang mengemas lobster untuk dikirim.

Gadis yang memakai training itu memindahkan aquarium dan duduk mengipasi diri.

"Hei adiknya Jani!" Saka melemparkan sebotol minuman dingin padanya. "Nih! Lo bawa ganti, nggak? Baju lo basah semua."

Abel mengamati bajunya yang memang basah di sana sini.

"Bawa," ucap Abel sebelum meneguk minumannya. "Gue emang kayak pengangguran, ya? Jam segini biasanya wanita-wanita seusia gue sibuk di kantornya, pakai blazer atau kemeja yang rapi sambil bawa dokumen. Gue? Pakai baju training gotong-gotong akuarium. Enggak banget."

Saka yang sedang memonyong-monyongkan bibir ke lobster berwarna biru elektrik di dalam akuarium hias, mengernyit. "Sejak kapan lo sering ngebanding-bandingin diri gini?"

Abel memutar-mutar botolnya. "Obrolan gue akhir-akhir ini diisi kayak gituan. Gue cuma berusaha memahami dari sudut pandang mereka."

"Jadi minoritas nggak pernah mudah, tapi itu bukan dosa yang bikin lo harus menyalahkan diri atau membenarkan deskriminasi. Lo nggak melanggar hukum agama, nggak melanggar hukum negara, juga nggak merugikan orang lain. Lo cuma memutuskan buat mengambil jalan yang nggak populer aja."

Abel tersenyum sedih. Dia tahu, sungguh. Tapi dalam prakteknya, hal itu sulit untuk dihadapi.

"Jadi, lo udah dapat pengganti Sekar?" Saka bertanya sambil memasukkan jari ke dalam akuarium dengan main-main.

"Hm..." gumam Abel kembali gelisah. "Ka, lo...percaya nggak kalau seseorang yang tadinya jahat bisa berubah jadi baik?"

Saka mengangguk tanpa ragu. Ia menunjuk kepalanya. "Kunci seseorang merubah kelakuannya, adalah pola pikir dan kesadaran diri."

Abel tersenyum kecut. Begitu, ya...

Abel mengingat-ingat momen pagi tadi dengan enggan. Hasil potongannya benar-benar kasar dan berantakan, tidak semulus yang dicontohkan Nugi. Namun lelaki itu selalu bilang "nggak papa. Cuma perlu terbiasa. Ayo latihan lagi."

Lamunan Abel harus disela dengan dering ponsel Abel di meja. Ketika ia membaca nama Ratri di sana, jantungnya bergermuruh kencang.

"Papa kenapa?" tanya Abel dengan tergesa hingga Saka ikut menoleh.

"Itu...Mbak Jani masuk rumah sakit tadi pagi. Kata Pak Abid kena usus buntu dan harus langsung dioperasi." Ratri mengabarkan dengan nada yang hampir menangis. "Bapak Windu demam udah tiga hari ini, nggak mau makan bubur dan diinfus di rumah. Ibu Mara belum pulang dari luar kota, tapi sudah dikabari. Saya...nggak berani telfon budhe pakdhe. Terus Mas Yudhis juga baru sibuk...ini...saya harus gimana?"

"Mbak, tenang dulu," ucap Abel meskipun dirinya mulai panik. "Yang nemenin Mbak Jani siapa?"

"Pak Abid, tapi Pak Abid ke rumah sakit tanpa persiapan. Nggak bawa apa-apa. Saya harus jaga Bapak di rumah." Akhirnya Ratri menangis. "Tadi Mbak Jani sampai pingsan. Saya takut dimarahi Ibu Mara."

"Mbak Ratri siapin aja apa yang perlu dibawa, nanti biar saya antar..." Abel berhenti kala menyadari sesuatu. "Nanti saya yang pesankan jasa antar online biar dikirim ke rumah sakit."

"Kenapa?" tanya Saka cepat.

"Mbak Jani masuk RS dan Papa sakit." Abel mengemasi barangnya dengan tergesa. "Gue pamit dulu."

"Ha? Sakit apa? Bel! Gue ikut---AUH!!" Saka menarik cepat tangannya dari dalam akuarium. "Jeno! Durhaka kamu sama orang tua! Arrgh!!"

Abel memutar bola mata saat Saka memegangi ujung jarinya yang berdarah.

"Gue nggak ke RS. Malah ribet kalau Mbak Jani nggak mau pegang apapun yang gue bawa," ucap Abel. "Gue mau ke tempat Papa. Udah ya, gue balik. Sana dipakein plester."

"Tapi Jani gue sakit. Tapi kalau gue muncul, gue pasti ditabok Jani." Lelaki itu menatap sedih pada Jeno yang menggerak-gerakkan sungutnya tanpa rasa bersalah. "Ini lagi, bad Jeno! Bad Jeno!"

Abel mengabaikan Saka yang masih mengibaskan jari di belakangnya. Gadis itu menggigit bibirnya, lantas meraih ponsel.

"Mbak...makanan buat orang sakit selain bubur, apa? Dia suka pisang."

Abel mengirimkannya pada Sekar. Namun, langkahnya kembali berhenti kala mengingat kemungkinan Sekar tidak bisa membalasnya. Menunduk, matanya mengawasi satu nama.

Keengganan itu menguasainya beberapa saat. Lalu dengan gigitan yang semakin keras, Abel mengirimkan pesan yang sama padanya.









*TBC*




Ninuninuninu~~

Selamat pagi,
semoga selalu berbahagia
❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top