11 | Fakta Ketiga

Semburat jingga nyaris binasa di atas sana. Namun perkebunan karet yang terletak di belakang sekolah itu, tampak riuh oleh suara segelintir siswa.

"Lo di sini aja sampai malam. Ah...nggak usah pulang ajalah, nggak ada yang nunggu lo, juga."

Seorang remaja merebut paksa tasnya. "Pinjem cutter lo. Jijik banget gue lihat tas buluk kayak gini."

Terikat di pohon, ia tidak mampu melakukan apa-apa selain melihat tasnya dikoyak dengan beringas. Gadis itu hanya bisa menggigit bibir dengan air mata yang mulai terbit. Berteriak pun tidak ada gunanya. Lelaki yang tertawa di sana itu, akan semakin tertawa mendengar teriakan Abel.

"Apaan ini?" sahut remaja perempuan yang meminjamkan cutter-nya.

"Wah...rajin amat," ucap lelaki itu. "Tapi nggak ada gunanya."

Dan ia, menginjak buku-buku itu hingga robek di sana-sini. Bukannya berhenti, anak-anak lain justru mengikutinya. Kepuasan besar tercipta di wajahnya. Ia menoleh pada Abel dengan senyum miring. Tatapan tajam itu terasa membakar.

"Besok lagi, jangan lewat di depan gue. Gue jijik sama anak haram macam lo," bisiknya dingin sebelum berbalik meninggalkan Abel. Tasnya dilemparkan begitu saja sebelum anak-anak lain mengikuti lelaki itu.

Abel menggigit bibirnya sendiri hingga berdarah, namun ia tidak berhasil menahan air mata kali ini. Gadis itu menangis dalam diam. Tali pramuka yang melilit pergelangan tangannya kini mulai terasa sakit. Ia berusaha melepaskan diri dari simpul itu, namun sia-sia. Berjam-jam Abel berdiri di sana hingga lututnya terasa gemetar. Tubuhnya lunglai, namun kekangan di tangan membuatnya tetap berdiri. Wajahnya menunduk, membuat rambut panjangnya yang sudah kusut kini tambah kusut kena keringat.

Suara binatang malam mulai terdengar tanpa wujud. Angin bersiul melewati jajaran pohon karet, mengirim dingin yang membekukan. Tanpa cahaya, Abel bahkan tidak mampu membedakan apakah dia memejamkan mata atau tidak. Abel sudah pasrah jika dia baru akan ditemukan esok pagi oleh para petani karet. Namun, Pak Abid menemukannya lebih dulu.

Sensasi dingin itu menyentak kesadarannya hingga Abel membuka mata. Kamarnya masih terang benderang. Laptopnya terbuka dalam mode sleep. Rupanya, ia tertidur sesaat setelah menyelesaikan sesi konsultasi dengan klien. Abel mengangkat pipi dari buku sketsa yang terbuka, dan menyadari jika ia masih menggenggam pensil.

Kegelisahan akan permasalahnya dengan Arvin mengganggu pola tidurnya. Abel nyaris tidak bisa tidur dengan nyenyak sejak hari itu. Belum lagi, kalimat tidak tahu diri yang ia katakan pada Nugi membuat pikirannya tambah ruwet.

Abel mengacak rambutnya dan mengerang putus asa. "Gue gila, gue pasti udah gila! Gimana bisa?? Dia Nugi, Bel! Lo beneran mau ngurung diri sama dia? Udah lupa, apa?"

Gadis berkamisol merah marun itu mengambil air minum sebelum kembali ke meja kerjanya. Ia memutar leher, berusaha mengusir pegal dari sana. Jam dinding menunjukkan pukul setengah lima pagi. Menekuk lututnya di atas kursi, gadis itu menyesap minumannya perlahan.

Mimpi yang baru saja ia alami cukup mengganggu. Abel melirik pergelangan tangannya, dengan enggan mengingat lecet melingkar yang tercipta di sana setelah kejadian waktu itu. Ia ingat, yang merawat lukanya adalah Pak Abid dan asisten rumah tangga yang lain. Mara tidak bertanya satu katapun mengapa Abel pulang larut malam dalam keadaan berantakan.

"Tawaran lo, masih berlaku?"

Nugi langsung menatapnya kala itu, membuat Abel tesadar.

"Nggak...lupain. Kita bahas Comma Cafe aja," ucap Abel buru-buru, gemas pada dirinya sendiri.

Lelaki itu tersenyum tipis. "Masih. Tapi, ada baiknya lo periksa kartu nama yang gue kasih. Kalau lo udah yakin, gue ada di sini. Nggak kemana-mana."

Abel menepuk jidatnya sendiri, gemas setengah mati. Gadis itu menyesap air putihnya hingga tandas, lalu menghela napas panjang.

"Kayaknya belum gue buang..." Abel mengingat-ingat, lalu beranjak ke kamar sebelah. Ia menemukan kartu nama itu di tumpukan kartu nama klien-kliennya. Kartu nama itu berwarna hitam doff dengan sentuhan emas pada tulisannya, tampak elegan dan berkelas. Waktu Nugi memberikannya, Abel sama sekali tidak berminat mengamatinya dengan jeli.

NOIRE BISTRO
by Mahawisnu Rahagi

Abel mengerjap, memastikan jika kantuknya memang sudah hilang saat ini.

"Noire Bistro," gumamnya sambil menulis di mesin pencari. Dalam sekejap, berbagai informasi yang mengandung nama Noire Bistro terpampang di layar.

"Through Noire Bistro, Mahawisnu Rahagi captures the beauty of autumn in Paris. Surrounded by elegant athmosphere, Noire Bistro offers French cuisine from noon till night. Beautiful place for a simple meal or more elaborate..."

"As the founder of Noire Bistro, Mahawisnu Rahagi would like to share his secrets for his achievement at such a young age. He, who recently drew attention to his cooking demo as a guest chef at a cooking competition, graduated from Le Cordon Bleu Paris..."

Abel membaca setiap artikel satu persatu dengan dagu yang semakin jatuh. Hingga ia menemukan sebuah artikel dari sebuah web food traveler Australia yang mengabarkan tentang penutupan Noire Bistro dua tahun yang lalu.

Abel menutup layar laptopnya dengan keras.

"Gue...nggak pernah nemuin lubang di pohon..." gumam Abel memejamkan mata, mengingat-ingat. "Gue juga nggak pernah ketemu sama kelinci, nggak pernah ketemu ulat gendut warna biru, nggak pernah ketemu kucing macam si Cheshire..."

Abel mencubit pipinya lagi, dan mengusapnya karena terasa sakit. Sekali lagi ia mengamati kartu nama di tangannya.

Sungguh, jika ini adalah jawaban dari permasalahannya dengan Arvin, maka Tuhan memang senang bermain-main dengannya.

"Aku udah dapat pengganti Sekar." Abel mengirimkannya pada Arvin.

==

"Bel?"

Abel mengangkat wajah dari layar laptopnya.

"Mas," balas Abel tersenyum tipis. Lelaki yang memakai seragam chef itu menatap Abel dengan heran. "Kenapa nggak ngabarin? Ada masalah sama desain? Seingatku ini bukan jadwal ketemu kita."

"Nggak ada masalah apa-apa," kata Abel gamang. "Nugi biasa perform jam berapa?"

"Oh, lo mau ketemu dia?" Manda meraih kursi di hadapannya tanpa peduli tatapan penasaran dari pengunjung. "Dia nggak perform hari ini. Tapi sebentar lagi dia pulang kerja."

Abel mengangguk dengan lega. Salahnya juga karena tidak menghubungi Nugi lebih dulu. Hanya saja, dia bahkan belum percaya seratus persen jika dirinya meminta bantuan lelaki itu secara sukarela.

Dilihat dari sudut manapun, ini terlalu absurd.

Tapi, well...permasalahannya dengan Arvin benar-benar membuat Abel perlu berkompromi dengan masalah pribadinya sendiri. Termasuk mempertimbangkan Nugi sebagai pengganti Sekar.

"Lo mau pesen apa lagi?" tanya Manda menyadari potato wedges yang tinggal separuh di hadapan Abel.

"Ini cukup, dan Mas Manda, nggak perlu repot-repot. Aku ke sini karena urusan pribadi, bukan urusan desain," ucap Abel ketika Manda beranjak. "I am a customer. So, please take it easy."

Manda tertawa kecil. "As you wish. Kalau gitu, sebagai pemilik Athlas, boleh dong gue kasih rekomendasi?"

"Sure," jawab Abel. "Apa yang enak?"

"Wait!" Manda mengambil buku menu dan kembali duduk di hadapan Abel. "Berdasarkan rating, Dory Fish and Chips, sop buntut dan menu varian noodles kami paling banyak diminati. Kalau dessert, kita punya apple tart tatin, Mango Cheesecake sama Berries trufle. Jadi, mau pilih yang mana?"

"Hmm...tart tatin?" ucap Abel akhirnya.

Manda menjentikkan jemarinya. dengan puas. Lelaki itu hendak beranjak, namun kembali berbalik seakan lupa sesuatu. Ia membungkuk sedikit sambil menatap Abel dengan serius. "Another Nugi's recipe, this apple tart tatin."

Lelaki itu menarik tubuhnya dengan tiba-tiba hingga Abel mengerjap.

Apa maksudnya itu tadi?

Telfon dari Saka menyela keheranan Abel.

"Laporan bulanan," ucap Saka tanpa basa-basi.

"O...ke..." dengan cepat, gadis itu mengganti sheet corel draw di hadapannya dengan sheet excel. Menjapit ponsel di antara pundak dan pipinya, Abel mengetik angka-angka yang dilisankan Saka.

"Itu...dan gue minta pertimbangan lo buat ngebuka satu-dua kolam pembesaran lagi," ucap Saka. "Kolam pembesaran, bukan pembenihan."

"Sure," jawab Abel mencatat permintaan Saka di notesnya.

"Lo juga paham kan kalau kita nambah kolam lagi, kemungkinan kita juga perlu nambah pegawai."

"Iya." Abel mengetik dengan cepat. "Besok gue kasih rin--ciannya..."

"Bel?" panggil Saka kala suara Abel menghilang di tengah kalimat. "Sehat?"

"Ng...sehat," gumam Abel tidak melepaskan tatapan dari Nugi yang tiba-tiba duduk di hadapannya. Lelaki itu mengangkat alis.

"Lo dimana, deh?" Saka berdecak di seberang sana. "Jangan kenapa-napa dulu, gue masih butuh analis keuangan dengan harga miring."

Kalimat Saka menyadarkan Abel hingga gadis itu mendengkus pelan. "Besok gue kirim, Pak Ajisaka. Udah dulu."

Saka terkekeh. "Baik...baik. Jangan lupa kasih laporan ya, dan bilang sama Jani kalau gue kangen dia."

Abel berdecak pelan. Gadis itu melepaskan ponsel dan menutup laptopnya sebelum ia menghadapi Nugi. Lelaki itu tidak bersama gitarnya seperti biasa. Malam ini, penampilannya sedikit berbeda. Ia tampak lebih formal berkat kaus putih polos yang dibalut dengan jas blazer abu-abu. Rambutnya disisir lebih rapi. Sebuah jam tangan melingkar di tangan kirinya. Samar-samar Abel membaui aroma apel yang bercampur dengan vanilla dan citrus, mengirimkan aroma ringan yang menyenangkan di udara sekitarnya.

Gue tadinya nggak mau ganggu. Siapa tahu lo baru kencan. Tapi kata Manda, lo nyari gue."

"Nggak masalah," gumam Abel.

Lelaki itu mengusap leher belakangnya dengan gugup, lalu berdeham. "Jadi?"

"Lo minta gue nyari tahu tentang Noire," ucap gadis itu seraya meletakkan kartu nama Noire di atas meja, "karena lo tahu gue nggak akan semudah itu percaya sama lo."

Nugi mengangguk pelan. Manik kelamnya menatap kartu nama yang ia mainkan di tangan. "Itu bukan sesuatu yang bisa lo percaya dengan mudah, gue paham. Jadi alih-alih gue ngejelasin semuanya sama lo, akan lebih baik kalau lo cari informasinya sendiri. Sisanya, lo bisa tanya sama gue."

Abel mendesah pelan. Demi semesta, bahkan detik ini sebagian besar jiwanya masih menolak keberadaan Nugi.

"Thank you, Bang," ucapnya ketika seorang waiter membawakan pesanan mereka. "Jadi, lo juga punya bisnis lain selain menekuni bidang desain grafis ini? Gue denger sekilas tadi."

"Lobster," gumam Abel singkat. "Air tawar."

Nugi mengangguk-angguk. "Itu bagus. Ketersediaan lobster air tawar siap konsumsi di Indonesia masih kurang banget dibanding permintaan. Pembenihan aja? Apa sama pembesaran?"

"Pembenihan dan pembesaran," ucap Abel tanpa sadar, lantas terdiam kala menyadari betapa lancarnya percakapan di antara mereka.

"Salah! Ini salah banget! Gue pamit aja--" batin Abel ketika kecanggungan di antara mereka begitu kentara.

"Jangan gitu, Sabela. Ingat Arvin! Ingat Arvin!" gumam Sabela kecil berbaju putih dengan halo di atas kepala.

"Sulit dipahami, ya?" Nugi memecah keheningan kala Abel kembali bungkam. "Gue paham. Nggak perlu merasa bersalah."

Tatapan Abel pasti penuh dengan ketidakpercayaan hingga Nugi tertawa garing. "Itu kenapa, gue kasih tahu tentang Noire. Karena kalau tiba-tiba gue bilang gue punya background yang mumpuni buat bantu lo, bisa jadi lo malah anggap itu sebagai...yah, jebakan."

Tepat sekali.

"Jadi...astaga, gue kayak mau ngelamar kerja aja," gumamnya mengusap wajah. "Jadi...karena sekarang lo udah tahu tentang Noire, gue harap lo nggak sungkan lagi sama gue."

"Kenapa tiba-tiba lo kasih tawaran sama gue?" tanya Abel pada akhirnya.

"Gue yakin lo udah sebel dengernya, tapi...gue tahu dulu gue brengsek banget." Nugi berkata dengan senyum samar. "Sampai satu persatu kejadian datang di hidup gue. Beberapa menyenangkan, beberapa menyebalkan, beberapa bikin gue hampir putus asa. Dan tahu-tahu aja, gue menyesali semua perbuatan gue di masa lalu. Jadi, gue harap lo mau kasih kesempatan apapun sama gue buat menebus semuanya."

Beberapa orang bisa berubah, itu adalah sesuatu yang Abel pelajari di komunitas Dhalung. Seburuk apapun masa lalu, masa depan setiap orang adalah kanvas putih yang belum ternoda. Tinggal bagaimana niat yang bersangkutan, apakah mau berubah atau tidak. Yang pasti, seseorang selalu punya peluang. Tapi membayangkan Nugi berubah sama saja seperti memaksa magnet berkutub negatif berubah menjadi positif. Semustahil itu.

"Tapi itu bukan urusan gue," gumam Abel. "Semua rasa bersalah lo, itu bukan tanggungan gue. Jadi kenapa gue harus bertanggung jawab dengan rasa penyesalan dan aktivitas tebus dosa lo? Gue nggak punya kewajiban buat kasih lo kesempatan apapun."

Mata sekelam malam itu menatap Abel tanpa berkedip. Lalu perlahan, kedua sudut bibirnya membentuk senyum tipis.

"Lo bener," ucapnya, lalu kembali menatap Abel dengan tatapan ramah. "Sori. Kadang gue bisa sangat egois. Jadi, lupakan soal Noire ataupun tawaran yang gue kasih. Lo nggak perlu terima itu kalau lo nggak nyaman."

Lelaki itu mengangkat cangkirnya kepada Abel. "Ayo...nikmati aja. Setelahnya, urusan kita cuma tentang Comma. Sekali lagi, sorry."

Abel masih tetap mengamati Nugi yang menandaskan minumannya dalam tegukan besar. Ketidaknyamanan terpancar dari gerak gerik lelaki itu. Gadis itu memainkan sendoknya, membiarkan keheningan kembali melingkupi meja mereka beberapa saat. Lalu, Abel menghirup napas panjang.

"Jadi, kemana gue harus pergi?"

Nugi tersedak. Lelaki itu memencet hidungnya karena matchalatte yang ia minum masuk ke rongga hidung, membuatnya terasa perih sekali. "Apa?"

"Lo kasih tawaran sama gue, apa lo punya tempat kursus atau semacamnya?" ulang Abel.

Keterkejutan melintas di wajah Nugi hingga ia berhenti memencet-mencet hidungnya.

"Bener juga," ucapnya serak dengan mata yang berair. "Nggak punya, tapi kita bisa pakai dapurnya Manda. Gue nggak perlu tempat khusus buat ngasih training. Biasanya, gue yang diundang ke dapur mereka."

Melihat Abel yang melemparkan pandangan bertanya, Nugi menimbang-nimbang sejenak. Lelaki itu kembali menarik sebuah kartu nama dari saku kemejanya. Abel meraihnya. Gadis itu membaca satu persatu huruf dengan saksama. Sensasi tidak percaya itu datang lagi, seperti tadi pagi ketika ia membaca fakta tentang Noire dan Nugi.

"Cafe singer, bistro owner , food consultant. Setelah ini, ada lagi?"

"Itu yang terakhir." Nugi berbicara sambil menerawang pada gelas di tangannya. "Lo udah tahu gue yang versi manapun."

Abel menatapnya dengan ragu beberapa saat, lalu kembali mengamati kartu nama di tangannya.

Membayangkan dirinya harus kembali berurusan dengan Nugi adalah sesuatu yang tidak pernah Abel pikirkan, sesuatu yang nampaknya sangat mustahil. Tapi seperti yang sudah biasa terjadi, semesta selalu punya cara untuk merumitkan jalan hidupnya.

Jadi jika ini bisa membuatnya menjadi lebih baik di hadapan Leah dan Arvin, maka Abel akan menerimanya.















*TBC*

Selamat pagi semua.
Semoga selalu berbahagia
❤️❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top