three
Suasana kedai kopi perlahan mulai ramai seiring berjalannya waktu. Banyak anak muda dari berbagai sekolah yang ada di Jakarta memilih singgah di tempat instagramable ini. Entah untuk melarikan diri dari mata pelajaran yang membosankan. Ada yang sekadar mampir untuk ngopi atau, singgah untuk mencari gratisan wifi. Apa pun alasannya, mereka tetap menjadikan Ruang Ngopi sebagai sebuah tujuan.
Salah duanya adalah dua gadis yang telah menganti seragamnya; Desya dan Tania. Ya, hanya mereka berdua karena Nidya masih berpegang teguh pada pendiriannya, ada di jalan lurus. Ia juga teringat ada jadwal latihan paskibra. Iya, jadwal tambahan yang dikhususkan untuk memersiapkan lomba PBB se-Jakarta.
“Gimana, Tan, jadi anak 'nakal' enak juga kan?” tanya Desya menaikan satu alisnya.
Desya-Tania duduk di salah satu bangku indoor Ruang Ngopi. Dekat jendela, dua sahabat itu duduk menikmati ice matcha dan croissant.
Tadinya Tania sempat merasa berdosa ketika memilih meninggalkan waktu belajar. Ia juga takut kalau aksi bolosnya ketahuan oleh ayahnya. Namun,semua ketakutan dan rasa bersalahnya sirna, saat Tania merasakan kebahagiaan yang selama ini tak pernah dirasakan.Ada rasa lain ketika mobil Desya berhasil keluar dari pos penjaga sekolah. Ada kebahagiaan lain saat ia mengelilingi dua mall sekaligus.
Tania sempat merasa was-was. Ia takut jika satpam penjaga mengetahui identitas sekolah. Untungnya, Desya selalu membawa beberapa setel baju di dalam mobil. Alhasil, mereka mengganti seragam sebelum masuk mal. Percayalah ini adalah hal terseru sekaligus paling menegangkan yang pernah Tania lakukan. Bisa jadi membuatnya ketagihan.
“Boleh juga, Sya,” jawab Tania menyeruput es matcha.
Desya menyungingkan senyum lebar. Ia ikut senang melihat temannya senang. Ya, meskipun jalan kesenangan mereka salah, tapi tidak apa-apalah.
“Btw, Tan, tumben banget lo mau ikut gue bolos?” tanya si tukang bolos, heran.
Sebenarnya tadi Tania sudah menjawab, tapi Desya tidak puas dengan jawaban yang dilontarkan. Ada yang mengganjal dan ia menangkap sinyal itu.
“Lagi pengen aja,” jawab Tania masih sama.
Desya menggeleng-gelengkan kepala, tetap saja masih penasaran. Alasan macam apa itu? Hatinya masih berteriak. “Kita temenan udah lama lho, Tan,” katanya, sambil mengaduk es kopi yang dia pesan. “Kalau boleh tahu lo anggap gue ini apa?” lanjutnya penasaran.
Tania menghentikan aktivitas minumnya. Ia menatap wajah Desya. Temannya ini benar-benar dangkal sekali pemikirannya. Tania menyunggingkan senyum kecut.
“Lo ngomong apa deh, Sya?!”
Desya mengedikkan bahu. “Ya abisnya, lo sama Ninid main rahasia-rahasiaan. Gue emang ember, tapi masih bisa jaga rahasia temen deket gue, lo dan Ninid misalnya.”
Memang begitu Desya, ember. Bahkan dia rela dikeluarkan dari Elegan Pink karena merasa hanya Nidya dan Tania yang bisa mengerti keadaanya. Namun, sedikit kecewa, kenyataannya, dua sahabatnya itu belum sepercaya itu padanya.
Tania menggeleng. Tangannya terulur untuk menyentuh telapak tangan Desya. “Pikiran lo dangkal juga, ya.” Gadis itu menghembuskan napas panjang sebelum akhirnya melanjutkan ucapan yang sempat tertunda. “Fyi selama temenan sama kalian, gue nggak pernah beda-bedain.”
“Tapi, lo nggak pernah cerita ke gue. Itu artinya lo nggak percaya sama gue. Iya kan?”
Tania menggeleng. Benar-benar dangkal sekali pikiran temannya ini.
“Cerita apa? Gue emang nggak pernah cerita apa-apa. Maksudnya, kalau gue mau cerita, ya, ke lo dan Ninid. Nggak pernah nutup-nutupin salah satu dari kalian.”
Benar juga, Desya hanya berpikir, Tania bercerita hanya pada Nidya saja, di belakangnya.
“Lo beda, Tan.”
“Apanya?”
“Gue nggak tahu ini bener ataunggak, tapi semenjak balik dari kantin dan toilet ada hal lain yang lo pancarkan. I don't know what, tapi gue yakin lo lagi nyembunyiin sesuatu.”
Feeling seorang sahabat sejati tidak bisa dibohongi.
Tania tersenyum saat kembali mengingat kalimat yang pernah seseorang lontarkan. Katanya, kalau sebuah pertemanan sudah terjalin erat, tali penghubung perasaan pun akan saling terikat. Jika yang satu merasa bahagia yang lain juga akan merasakan hal yang sama. Begitu pun sebaliknya; jika salah satu dari mereka 'sakit' yang lain juga akan merasakannya. Aneh, tapi nyata. Terdengar konyol, tapi ada buktinya.
“Kalau ada masalah cerita aja kali, Tan,” ucap Desya kembali meminum es kopinya.
“Ya emang, kita nggak bisa menyelesaikan, tapi siapa tahu dengan bercerita, lo bisa sedikit lega. Temen itu nggak cuma diajak seneng aja. Saat susah juga harus ada. Kalau temen cuma datang di saat seneng itu namanya tambal butuh, doang! Banyak contohnya di luaran sana.”
“Gue mau cerita—”
“Ya, begitu seharusnya!” potong Desya cepat.
“Tapi nggak sekarang. Gue nggak mau cerita hal yang sama sampai dua kali. Jadi nanti malam ke rumah gue ya, nginep sekalian,” tukas Tania.
Desya mengangguk. Kebetulan, lagi malas di rumah. Nanti ia akan menginap di rumah Tania—Rumah yang akan menjadi saksi bisu terbukanya satu per satu cerita kelam seorang Natania Gabriella.
…
Desya mengantarkan Tania saat jarum jam berada di angka enam malam. Bolos yang—tidak tanggung-tanggung!
Desya langsung pamitan ketika mobilnya sampai di depan teras rumah Tania. Gadis—pencetus ide bolos itu tidak perlu repot mampir. Toh, mereka dan Ninid nanti akan menghabiskan malam bersama di rumah Tania.
Tania melenggak ke dalam rumah, dan seperti biasa, ada sepasang ibu-anak yang menyambut kepulangannya. Kadang, dia iri pada Mbok Jum dan Mbak Inten, kenapa dua orang itu selalu bersama? Tidak seperti dirinya yang sebatang kara. Kalau bisa Tania mau masuk ke dalam kartu keluarga Mbok Jum. Lebih baik diangkat anak oleh orang tidak mampu, tapi selalu dilimpahi kasih sayang. Daripada diangkat anak orang kaya, tapi tidak pernah diperhatikan.
Ah, lebih baik lagi Tania tetap tinggal di panti asuhan biar tak merasa kesepian.
“Ya ampun, Non! Non Tania dari mana aja? Tadi Nyonya besar telepon, nanyain Non Tania.” Panik, wanita berumur lima puluhan itu tergopoh mengikuti si nona muda menuju tangga.
Langkah Tania berhenti di depan tangga, membalik badan. “Oma telepon?” ucapnya balik nanya.
“Iya. Bukan Nyonya Juni aja, tapi Mas Tomy juga telepon,” jawab mbok Jum menghentikan langkah.
Dahi Tania berkerut. “Terus Mbok jawab apa?”
“Ya, Mbok bilang, kalau Non Tania belum pulang—”
“Mampus!” refleks Tania menepuk jidatnya. Kaki panjangnya menaiki anak tangga dengan tergesa, sampai di depan kamar, tangannya menempel di kenop pintu. Satu suara seseorang mengisi pendengarannya.
“Dari mana aja? Tadi kamu bolos sekolah ya?”
Suara itu ... Bisa membuat hari-hari Tania ke depan tidak akan menyenangkan.
Tbc.
#sasaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top