seven
“Gue dapet titipan dari temen lo berdua. Nih,” Tania menyodorkan undangan ke hadapan Desya dan Nidya.
Tanpa berniat membaca—jangankan membaca, di sentuh pun tidak—dua gadis itu kompak memtuar kedua bola mata. Desya dan Nidya tidak mau peduli. Sebenarnya mereka sudah tahu undangan apa yang diberikan oleh Tania. Pasti undangan ulang tahun Amora.
Hell! Pesta sweet seventeen sang ketua geng sudah menyebar luas seantero sekolah.
Desya dan Nidya benar-benar tidak mau berhubungan lagi dengan Amora. Apapun alasannya, mereka berdua tidak akan mau.
Keduanya adalah tipe orang kalau sudah disakiti langsung memutuskan hubungan. Mereka tidak akan bertukar kabar, tak saling peduli dengan apa yang terjadi. Moto kedua gadis itu adalah; yang lalu biarlah berlalu. Untuk apa stuck disatu masa padahal, dilain waktu mungkin akan ada kebahagiaan—yang tak terduga.
Sebenarnya, apa yang terjadi di antara mereka semua adalah salah paham. Hal ini berawal ketika Tania membantu Rimba mendekati Amora, Lalu balasannya? Tania dituduh merebut cowok impian dari si ketua geng.
Gadis malang itu tak bersalah, tapi ia pula yang kena getah.
Akibat kesalahpahaman ini, Amora selalu melontarkan kata kasar juga sindiran yang ditujukan untuk Tania seorang. Satu dua kali, cewek berambut panjang itu mencoba sabar dengan menutup telinga. Bukannya berhenti, Amora malah gencar melancarkan segala fitnah dan juga sindiran.
Tania menyerah, memilih mundur. Bukannya menyurutkan prasangka, pengunduran diri Tania—yang diikuti Nidya, membuat Amora semakin yakin kalau Tania mengkhianatinya.
Paska-pengunduran diri, Amora selalu mempermalukan Tania di hadapan banyak orang. Tania masih tetap diam. Hingga, batas kesabarannya habis. Dengan amarah yang memuncak, gadis itu mencari Rimba. Ia meminta pemuda itu buka suara.
Rimba, akhirnya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada Amora. Semua penjelasan itu membuat Amora merasa bersalah. Tania terbukti tidak melakukan apa yang dituduhkan.
Ada pepatah yang berkata, wanita diciptakan dengan gengsi yang tinggi? Nah, karena itu Amora tak mau meminta maaf.
Tak kunjung meminta maaf, Amora semakin dihantui rasa bersalah. Masalah demi masalah juga datang menghampiri. Amora tak bisa diam lebih lama lagi. Ia berencana akan meminta maaf di acara ulang tahunnya. Ya. Amora akan meminta maaf di depan khalayak umum pada Tania.
Dan semoga gadis itu mau datang ke acara penting Amora.
Ya, semoga!
...
Sepasang remaja itu duduk berdampingan di bengkel motor. Kesialan kembali menimpa Tania, ban sepeda cowok yang memboncengnya tiba-tiba kempes di tengah jalan.
Bukan salah Nawang melainkan salah paku payung yang ditebar oleh si pemilik bengkel ini. Tania tak habis pikir dengan orang-orang seperti itu, demi keuntungan, melakukan trik yang licik dan klasik.
Dahulu, Tania tak percaya dengan hal-hal seperti ini. Tapi, setelah mendapati ban Nawang tertancap paku payung dan 'kebetulan'nya tak jauh dari TKP ada bengkel tambal ban, barulah, dirinya percaya bahwa ini semua nyata.
Ah, iya. Satu lagi yang harus kalian tahu. Sejak tinggal di rumah Tania, Nawang juga diperintahkan Septa untuk antar dan jemput anak tirinya itu. Walau awalnya keberatan, tetapi gadis—jutek itu luluh juga. Walau dirinya harus menempuh jarak yang lumayan jauh dari area parkir. Demi menyembunyikan kedekatan dengan Nawang.
Suara gemericik air hujan berhasil membuyarkan lamunan Tania.
“Hujan?” ucapnya, setengah hatinya khawatir. Tania berdecak saat mendapat jawaban pertanyaan retorisnya. “Shit!”
Gadis itu terlihat tidak menyukai kehadiran hujan. Berbeda dengan cowok di sebelahnya. Dengan tatapan penuh kagum, Nawang tersenyum menyaksikan rintik hujan turun. Siapa yang tak suka hujan? Mengakulah, dan Nawang akan menceritakan keajaiban-keajaiban air hujan.
Bagi cowok itu, hujan adalah kebahagiaan. Semua orang menyukainya. Bahkan bayi baru lahir pun juga suka. Nawang suka hujan, tapi tidak suka kenangan akan ribuan air yang datang. Ia suka melihat air, tapi benci melihat seseorang meneteskan air mata. Banyak kenangan tentang hujan mulai bermunculan di pikiran Nawang. Memori tentang kebersamaan, kehangatan, dan kebahagiaan terputar apik di kepalanya.
“Hujan,” ucap Nawang tersenyum pedih.
“Gue mau jadi air hujan yang sudah jatuh ke bawah, tapi nggak pernah kesakitan,” lanjut Nawang menatap penuh kagum air hujan.
Tania yang mendengar ucapan Nawang langsung menolehkan kepala. “Lo bilang apa? Mau jadi air hujan?”
Nawang menganggukan kepala membuat Tania tersenyum merendahkan. “Bikin sakit!”
Cowok yang tadi fokusnya ke depan sekarang menoleh. Menatap Tania dari samping. “Daripada sakit banyakan senengnya. Lo jangan berfokus ke satu sisi dong biar nggak menyimpulkan kayak gitu.”
“Apa manfaat hujan selain bikin susah orang?” balas Tania sengit.
Nawang menghembuskan napas panjang. Kambuh lagi nih roman-romannya. Dirasa tak ada faedahnya berdebat dengan Tania, Nawang hanya menganggukan kepala. “Suka-suka, lo, deh!”
“Ya, kan bener hujan itu cuma bisa bikin orang susah. Coba, deh pikir. Misal lo lagi melakukan sebuah perjalanan ke acara penting terus tetiba hujan datang. Bukannya sampe di TKP lo malah basah. Belum lagi kecelakaan akibat hujan, jalanan licin, nyebelin!”
“Ya kenapa itu orang nggak sedia payung? Eh bukan payung, njir! Tapi jas hujan. Lagian, kan udah tahu mendung ya kali nggak siap sedia. Terus kalau bawa mobil, masa iya kehujanan? Lo kenapa sensi banget sama hujan? Hujan bawa berkah, kali.”
Mereka berdebat seperti enggak ada habisnya.
“Hujan pembawa sial!”
“Lo yang pembawa sial!” celetuk Nawang.
Setelah kalimat tak terduga itu terlontar, Tania langsung diam. Sang gadis merasa tertampar karena ucapan tak sengaja Nawang.
Sementara, dalam hening, si cowok merasa bersalah. Nawang mengigit bibir bawah. “S-sorry gue salah ngomong,” ucapnya bersalah.
Tidak ada jawaban. Tania masih diam.
“Tan,” panggil Nawang.
“Udah deh, Wang! Gue nggak mau ribut sama lo.”
“T-Tapi,” Nawang mencoba menyelesaikan kalimatnya.
“Tong! Nih, pedah lu dah kelar,” potong abang-abang tambal ban.
Nawang mengembuskan napas panjang, dia bangkit dari duduk, untuk membayar ongkos ganti ban. Dipastikan perjalanan pulang akan membosankan. Tidak ada ocehan Tania yang memarahi Nawang sepanjang jalan.
Sayang, padahal, ini hari terakhir mereka bersama. Tetapi, tidak ada yang menyenangkan.
Akhir yang tak berkesan. Sial!
...
“Kalian berdua janji ya akan baik-baik aja. Yang akur juga,” ucap Septa sudah siap kembali ke Bali.
Akhirnya .... Hari yang dinantikan Tania datang juga. Setelah satu minggu menahan gondok, Septa akhirnya kembali ke habitat awal. Kesenangan Tania belum maksimal karena Nawang masih ada di sini.
Muncul niat dalam diri Tania, setelah Septa pergi, Tania akan segera mengusir remaja itu.
“Iya mbak,” jawab Nawang ramah, sedangkan Tania hanya diam saja.
Biarkan gadis itu berlaku sesukanya. Apapun asal Tania bahagia deh!
Tak kunjung mendapat jawaban dari Tania, Septa berdeham sembari melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kanan. “Dua jam lagi pesawat terbang. Ya udah deh mbak berangkat sekarang aja.”
“Mau Edo anter nggak, Mbak?” tawar Nawang.
Septa menggeleng. “Nggak usah, Do. Mbak dianter Pak Ikin aja.”
“Cih, pencitraan!” batin Tania berbicara.
Hati Septa sesak sebenarnya, anak tirinya itu tidak mau memeluk apa lagi menciumnya, sekadar syarat perpisahan. Mereka, saling terdiam. Hanya Nawang mengucap perpisahan.
Melihat ada hal yang tak wajar membuat Nawang bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya terjadi pada sepasang anak-ibu itu? Kenapa mereka terlihat seperti menjaga jarak? Apa yang dikatakan Tania tadi siang benar? Kenapa Nawang berpikiran seperti ini? Seharusnya ia tidak ikut campur karena ini bukan urusannya. Daripada mengurusi urusan orang, lebih baik menyelesaikan urusannya sendiri. Lebih berfaedah.
Singkat cerita dua remaja itu mengantarkan Septa sampai depan pintu. Hanya Tania saja sih yang sampai depan pintu, Nawang mah lanjut sampai mobil. Remaja itu hanya sekedar memastikan bahwa teman kakaknya sudah duduk di mobil dengan aman dan nyaman.
“Save flight ya, Mbak! Semoga sampai di tujuan dengan selamat. Jangan lupa berdoa juga sebelum terbang.”
Septa meraih pucuk kepala Nawang. Lalu mengacak rambutnya pelan. “Iya. Mbak minta tolong jaga Tania, ya?"
Dengan ragu Nawang menganggukan kepala. “Iya mbak.”
“Nanti, kalau Mas Tomy pulang kamu setor laporan aja ke dia. Kalaupun belum pulang kamu tetap jagain Tania ya.”
Senyum di wajah Nawang mengembang. “Iya mbak pasti Edo jagain Tania sekuat jiwa dan raga.”
“Ya, udah, kalau gitu, mbak pergi sekarang ya. Kamu sama Tania baik-baik di Jakarta,” mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah.
Sepeninggal Septa, Nawang membalikan badan, berjalan melewati Tania—yang berdiri di ambang pintu. Gadis itu menyambutnya dengan senyuman penuh arti. Dan, Nawang tahu apa arti dari senyuman itu. Tak perlu menunggu diusir oleh anak pemilik rumah, Nawang memilih masuk untuk mengambil barang-barangnya.
Tugasnya telah usai. Septa sudah pergi dan sesuai janji, Nawang segera angkat kaki. Tak banyak baju-baju dan barang miliknya. Hanya perlu satu tas ransel—yang dia sandang di bahu. Dan sekarang, dia siap meninggalkan rumah yang memberikan kenyamanan selama satu minggu ini.
“Tan, gue cabut,” Nawang pamit, kepada Tania, yang dia jumpai ada di ruang tamu.
Mendengar suara Nawang membuat Tania menegapkan badan. “E-eh udah mau pergi ya?” responnya pura-pura kaget.
Nawang menyungingkan senyum. “Iya. Gue pamit, ya,” ulangnya sekali lagi.
“Iya. Hati-hati, deh,” jawab Tania senang hati.
Remaja yang mengenakan hoodie hijau gelap dan sepatu sneaker itu menganggukan kepala. Nawang, berjalan pelan, berharap Tania akan menyusul, menghentikan langkahnya. Namun, semua itu hanya sia-sia karena sampai ambang pintu rumah tidak ada tanda-tanda Tania mencegah kepergiaannya.
Hingga tubuh Nawang benar-benar menghilang dari pandangan.
Itu artinya …. Tania bebas!
Bebas dari mata-mata Nawang!
Sekarang tak ada lagi orang yang melaporkan tingkah lakunya pada Septa. Dan juga tidak akan ada lagi orang yang menceramahi Tania panjang lebar.
Dua biang kesialannya sudah pergi. Itu artinya setelah ini tak akan ada lagi kesialan-kesialan yang datang menghampiri.
“YES!!! AAAAA~” teriak Tania naik ke sofa.
Gadis itu jingkrak-jingkrak tak karuan. Demi Tuhan ia senang. Senang karena kembali mendapatkan kebebasan.
“Goodbye my mood breaker! Selamat datang kebebasan!” Tania memekik-pekik, suara renyahnya menggema ke seluruh ruangan besar rumahnya.
Tbc.
#sasaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top