nine

Gadis itu berdiri di depan cermin toilet sekolah. Mencuci muka di wastafel lalu mengelapnya dengan beberapa lembar tisu. Wajahnya kini bersih tanpa ada riasan apa pun. Lebih segar.

Gadis itu memoles krim di wajah, dan membubuhkan bedak berwarna natural. Lalu, mengemas semua krim dan bedak itu ke dalam pouch. Lalu, langkahnya ringan menyusuri koridor kelas sebelas. Sebelumnya di mampir ke loker, dan samar terdengar suara dua orang—yang sepertinya dia kenal, salah satunya.

“Cabut ke mana, Wang?”

“Wang? Nawang?” tanya Tania dalam hati.

“Ke mana pun.”

Suara itu...

“Beneran Nawang!” pekik Tania dalam hati.

Nawang? Remaja itu ... Seharian ini, Tania tidak melihatnya sama sakali. Nawang juga sudah tidak menguntitnya lagi. Dia benar-benar menepati janjinya pada Tania. Bukankah itu bagus? Lalu kenapa ada perasaan lain menganggu Tania? Semacam kehilangan. Eum... Entahlah. Mungkin hanya perasaan Tania saja.

“Eh anterin gua cari kos-an aja, Zu,” Nawang masih terus berbicara entah apa. Tania tidak bisa mendengarnya karena Nawang dan temannya sudah menjauh.

Apa katanya? Mencari kos-kos-an?
Jadi, benar, ya, Nawang tidak punya orangtua atau sanak saudara di Jakarta? Kalaupun punya pasti mereka sedang ada masalah. Bukannya apa-apa, Tania berpikiran seperti itu karena ada alasannya. Kenapa Nawang tidak pulang ke rumahnya saja kalau benar tidak ada masalah. Iya 'kan?

Ah, bukannya Nawang orang Malang? Itu artinya ia jauh dari sanak saudara, dong? Kasihan juga ya? Ah, persetan! Kenapa Tania jadi merasa bersalah bersalah seperti ini? Bukannya ia sudah memutuskan ini semua. Tetapi, kenapa Tania merasa... “Ini salah! Nggak seharusnya gue mikirin cowok annoying itu!” ucapnya menggelengkan kepala.

...

“Tan, yakin lo nggak mau balik bareng gue?” tanya Nidya membuka kaca mobilnya.

Dengan yakin Tania menganggukan kepala. “Enggak, Nid. Bentar lagi Pak Ikin juga dateng.”

Lima belas menit sejak bel sekolah berbunyi, Pak Ikin sopir keluarga Tania belum juga tiba. Bahkan, Nidya ikut menunggu kehadiran pria dewasa itu. Sebenarnya masih ingin menunggui Tania sampai dijemput, tapi Nidya sudah telat, ia harus menghadiri rapat untuk lomba PBB yang seminggu lagi akan digelar. 

Desya, cewek itu sudah ngacir tepat disaat bel pulang berbunyi. Tanpa memberi pesan atau apa. Barulah, saat Tania dan Nidya duduk di gazebo sekolah, Desya mengirimi mereka pesan yang berbunyi; “Maaf, gue balik duluan. Nyokap gue udah nunggu!”

Ya, bagaimanapun, Desya adalah anak mama, tidak pernah bisa menolak atau membantah perintah mama. Hari ini, dia ada rencana pergi bersama mama.  Entah ke mana, untuk itu, dia tidak bisa ikut menemani Tania menunggu jemputannya.

“Ya, udah deh, Tan, sorry banget nggak bisa nungguin atau anterin lo balik. Ini gue udah telat pake banget,” ucap Nidya tak enak hati.

“Santai.”

“Gue balik sekarang ya?”

Nidya melajukan mobil, Tania pun sendirian, walau di mulut bilang santai, tetap, dalam hati, kesal. Gadis itu menghentakan kaki. Bukankah sudah diberitahu kalau hari ini pulang jam empat. Lalu kenapa Pak Ikin belum datang menjemput?

Tania membuka gawai. Mencari kontak nama Pak Ikin, dan berusaha menghubunginya. Hasilnya tetap sama; tidak ada jawaban. Kalau begini ia jadi berpikir yang tidak-tidak. Masa iya Pak Ikin kenapa-napa di jalan?

“Ck!” Tania mematikan sambungan telepon.

Sekarang harus apa? pesan kendaraan daring? Nanti kalau kendaraan daring datang, Pak Ikin juga datang. Tapi, kalau tidak pesan sekarang, keburu malam. Kalau begini Tania bimbang. Lalu, jemari gadis itu bergerak lagi, mencari kontak lain, Mbak Inten, anak Pak Ikin.

Ketemu! Tania langsung menekan tanda hijau, terdengar nada tunggu. Masih menempel di telinga, entah berapa lama, hingga terputus dari jaringan. Hasilnya tetap sama; tidak ada jawaban. Sial! Ke mana mereka semua?

Andaikan, Nawang masih mau mengantar Tania. Pasti, tidak akan menunggu sampai lima belas menit, dia selalu tepat waktu, tidak membiarkan seorang Tania menunggu. Cowok itu akan menunggu beberapa meter dari gedung sekolah sebelum bel pulang berbunyi.

Mengapa sekarang Nawang yang ada di pikiran Tania?

Tania mengembuskan napas panjang. Sudahlah, tidak ada harapan! Biarkan dia memesan ojek daring atau, taksi. Ya, Tania tidak mau menunggu Pak Ikin lebih lama lagi. Ia juga tak mungkin berharap untuk kehadiran Nawang. Tak mungkin kan tiba-tiba cowok itu datang lalu menawarinya sebuah tumpangan? Huh! Memangnya ini cerita mainstream apa?!

Tania membuka apilkasi kendaraan daring, namun dia terlonjak, tetiba suara klakson mobil yang tak asing di telinganya terdengar. Gadis itu mendengkus, masuk ke mobil dan bersiap marah, ini—yang ditunggunya!

“Ke mana aja, sih, Pak? Aku udah nunggu dari dua puluh menit yang lalu, tahu!” katanya menutup mobil. Kalau ditelepon tuh, angkat, jangan diemin. Kalau baterai habis inisiatif pinjem ponsel orang. Minimal kasih tahu kalau terlambat,” cerocos Tania bibirnya dia majukan.

“Iya, Non, Maaf,” tuturnya. Namun suaranya beda bukan suara si sopir.
Pendengaran Tania masih bagus. Tidak ada gangguan sama sekali. Suara yang didengarnya bukan suara supir yang biasa mengantar-jemputnya ke sekolah. Itu adalah suara …. “Ayah?

  ...

Sepanjang perjalanan senyum Tania terus mengembang. Ayah tercintanya kembali,  Gabriel Tomy Wardhana. Pria itu kembali ke Jakarta untuk menemui putri tercinta. Rasa rindu Tania belum terobati meskipun sedari tadi terus mengamati wajah ayah. Bukannya terobati malah semakin tinggi.

“Tan, jangan liatin ayah gitu, dong! Ayah jadi grogi,” ucap Tomy mencoba fokus mengemudi.

Walaupun berkata seperti itu, Tania tak menghiraukan ucapan ayah. Ini sudah kedua kali Tomy memperingati, tapi Tania tak berniat mengabulkan. Anak itu terlalu gembira, seperti mimpi, tetapi ini kenyataan.

“Tahu nggak seberapa kangennya Tania ke ayah?”

Bertepatan dengan lampu merah Tomy menolehkan kepala. “Seberapa?”

“Tak terhingga!” jawab Tania memeluk lengan kekar Tomy.

Sama dengan perasaan putri semata wayangnya, Tomy juga merindukannya setengah mati. Berjauhan dengan gadis itu bukan keinginannya.

“Maka-nya kita pindah ke Bali. Menetap dan tinggal di sana sama-sama."

Mendengar pulau Bali disebut membuat wajah Tania pias. Bukannya ia tidak suka tinggal di Bali atau suasananya. Tapi, dalam pikiran Tania, jika dia ikut tinggal di Bali, Septa akan satu rumah dengannya. Ayolah, ia belum bisa akur dengan istri ayahnya itu, entah apa sebabnya.

“Oma masih di sana?”

Tomy menganggukan kepala. “Masih urus berkas buat buka rumah persalinan di sana.”

Mendengar penjelesan Tomy, semakin membuat Tania bungkam. Jadi itu, alasan oma bolak-balik ke Bali. Kalau begini dia tidak bisa mengelak untuk tidak tinggal dengan Septa.

“Yah, boleh nggak Tania tetap tinggal di Jakarta aja?”

Tomy menekan gas, memajukan persenling. “Kamu mau tinggal sama siapa di Jakarta? Mbok, Mbak, dan Pak Iman ikut tinggal di Bali sama kita. Terus kamu?”

Skakmat!

Tania diam. Benar juga mau tinggal sama siapa? Sebenarnya soal kepindahan ke Bali, Tomy sudah sampaikan jauh-jauh hari. Seharusnya Tania sudah siap saat ini. Tetapi sekali lagi saat mendengar atau pun berhadapan dengan manusia bernama Septania membuatnya menggelengkan kepala, dia tidak pernah siap.

“Tan kamu harus ikut ayah ke Bali. Kamu harus ketemu sama si quadruplet. Mereka gemesin pake banget! Kamu pasti suka.”

Dahi Tania berkerut. Quadruplet? Kalau triplet berarti kembar tiga lalu quadruplet? Kembar empat? Atau lima? Ingatkan Tania untuk membuka google nanti. Namun, itu semua tak penting. Yang terpenting adalah si quadruplet anak siapa? Masa sih anak kedua orangtuanya? Kenapa Tania tak pernah tahu. Antara tak tahu dan nggak mau tahu sih.

“Quadruplet itu kembar empat. Itu artinya kamu punya adik kembar empat. Tiga cowok satu cewek.”

“Oh iya?” refleks, Tania antusias. Gadis itu, memang suka sekali sama anak kecil.

Tomy menganggukan kepala. “Mereka semua mirip sama mama kamu. Yang cowok apalagi, tapi mata Khansa mirip seperti manik kamu. Indah.”

Benarkah?

“Mereka umur berapa?” tanya Tania.

“Tiga setengah tahun.”

Tiga setengah?

“Mereka anak Ayah sama—?”

“Sssttt ….” Telunjuk Tomy menempel di bibirnya, meminta Tania agar diam. Bukan bermaksud tak mau mendengarkan, tetapi gawainya berbunyi.

Tomy mengangkat sambungan telefon dari seseorang. Sementara, sang ayah sedang berbicara dengan seseorang Tania memilih untuk tidak jadi pendengar. Dia lebih memilih menatap jalanan sampai Tomy menyelesaikan percakapan.

Bayangan sosok Nawang muncul ke dalam pikiran. Bagaimana nasib cowok itu ya? Sudahkah dapat tempat berteduh?

Terlalu asik memikirkan Nawang, Tania sampai tak sadar kalau Tomy sudah selesai berbincang. Bahkan gadis itu tak sadar kalau sang ayah sedang menatapnya.

“Tan!” panggil Tomy.

“Iya?”

“Itu tadi mama kamu tanya soal Edo.” Ekspresi keterkejutkan Tania terlalu kentara. “Tadi ayah sempat pulang dan nanya soal Edo ke si mbok. Katanya, Edo udah pergi tadi malam. Tadinya ayah udah lupa, tapi setelah diingatin mama kamu jadi ingat. Terus mana dia?"

“Ngapain ayah nanya aku?” ucap Tania balik nanya.

“Ya, kata mama kamu, kalian satu SMA. Terus, mama juga bilang kalau seharusnya berangkat dan pulang sama dia. Lalu kenapa minta anter-jemput Pak Ikin?"

Mendadak Tania kegerahan.  “Mm .... Ya, m-mana Tania tahu!”

Alis Tomy menyatu, matanya memicing. “Kamu nggak usir dia—”

“Eng, enggak,” potong Tania cepat.

Itu semakin membuat Tomy yakin pasti ada sesuatu yang terjadi. Pria itu menarik napas dalam lalu, dihembuskannya perlahan. “Asal kamu tahu, Edo itu yatim piatu.”

Tbc.

Yang mau tahu kisah Tomy dan Septa a.k.a orangtua Tania sokin baca cerita berjudul Antara. Di lapak itu juga ada asal-usul Tania dan juga alasan cewek itu 'nggak suka' Septa.

Gitu ja inponya.

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top