four
“Dari mana aja?” Wanita cantik berambut panjang itu mulai berjalan ke hadapan Tania. “Tadi kamu bolos sekolah ya?” tuduhnya. Menatap si gadis dengan satu alis terangkat.
Septania Deandra. Perempuan itu kembali ke hadapan Tania setelah sekian lama tidak bertemu. Inginnya memeluk anak itu, meluapkan semua kerinduan yang dipendamnya selama ini. Sayang, angannya tak akan terwujud. Septa sadar posisi; ia bukan siapa-siapa—bagi Tania—dan selamanya akan tetap seperti itu.
Hell, sejauh ini tidak ada perkembangan yang berarti atas hubungan Septa dan Tania. Mereka dekat, hanya di depan Juni dan Tomy. Mereka terlihat seperti anak-ibu yang serasi padahal, semua palsu.
Hubungan Septa dan Tania, bagai tembok Berlin. Mereka saling menjaga jarak satu sama lain, membangun tembok setinggi dan sekokoh mungkin, agar tak bisa ditembus; tak bisa tergapai. Gengsi keduanya super tinggi.
Lima tahun berlalu semenjak Tomy menikahi Septa, keadaan tidak berubah. Entah mengapa Tania tidak bisa menerima perempuan itu. Jangankan menerima, menggangapnya saja tidak. Pendekatan gencar dilakukan Septa—hanya diawal pernikahan. Walau terus berjuang sampai akhirnya memilih berhenti dipertengahan jalan.
Hal itulah yang dialami Septa.
Sepersekian detik setelah kalimat dari mulut Septa dilontarkan, Tania memilih untuk diam. Bukannya menjawab gadis itu malah membuka pintu kamar lalu masuk ke dalam. Malas juga berhadapan dengan orang yang mengajukan ide gila untuk merubah nama pemberian orang tua pertama Tania.
Ah, iya, soal nama. Mungkin itu masuk ke dalam salah satu alasan mengapa Tania membenci Septa.
“Mau sampai kapan kamu kayak gitu, Tan?” Septa seperti berbicara sendiri.
...
Bertemu Septa membuat malas, termasuk menerima teman-temannya menginap nanti. Jadi, Tania membatalkan acara menginap malam ini.
Desya Marissa: wasap gurl?
Nidya Caroline: ini gue udah masukin baju ke ransel, loh!
Nidya Caroline: Gak lucu kan kalau gue bongkar dan ngembaliin ke lemari lagi!
Gabriella Natania: Sorry, tapi seriusan jangan datang. Lagipula ini kan masih malam Jumat, ganti besok aja ya
Desya Marissa: Kenapa tetiba cancel, deh, Tan?
Nidya Caroline: Au, ah, gue ngambek!
Gabriella Natania: Ada something.
Gabriella Natania: I’m so sorry. Please jangan ngambek!
Desya Marissa: Ya, udah, sih, gpp.
Gabriella Natania: Gue jadi nggak enak.
Nidya Caroline: Cilok bandung di kantin enak, Tan!
Gabriella Natania: Gantinya, gue bakal traktir lo bedua makan cilok sepuasnya!
Nidya Caroline: Waduh, murah banget. Gue ngambek disogok cilok setusuk seribuan?
Gabriella Natania: Sama teh pucuk 350 ml deh.
Desya Marissa: Deal!
Nidya Caroline: Ah, siap!
“Non Tania!” panggilan Mbak Inten membuat Tania menghentikan aktivitasnya.
Tania tahu ini saatnya, waktunya makan malam. Tidak ada penolakan, tidak ada gadget, dan akan berlangsung sangat membosankan. Itu semua dikarenakan kehadiran Septania.
Ah, untuk pertama kali dalam hidupnya, Tania benci makan malam! Bisa nggak ya dia melarikan diri sekarang?
Dengan ogah-ogahan gadis itu beranjak dari ranjang. Tania membuka pintu kamar dan mendapati wajah sumringah Mbak Inten. “Waktunya makan malam, Non!”
“Udah tahu!” jawab Tania menutup pintu kamar lalu berjalan mendahului si asisten rumah tangga.
Sepanjang perjalanan menuju ruang makan Tania terus kepikiran Desya dan Nidya. Ia merasa tidak enak tiba-tiba membatalkan rencana sepihak. Padahal malam ini Tania akan membeberkan semua rahasia pada dua temannya. Tapi, karena kehadiran Septa semua rencananya gagal! Perempuan itu, benar-benar ... Pengacau besar!
Memang, selama menjalin pertemanan, Tania tidak pernah menceritakan kondisi keluarga kepada teman-temannya, gadis itu mengenalkan Juni sebagai ibunya. Tidak ada yang tahu soal Tomy atau Septa. Saat ditanya soal ayah, gadis itu selalu memberi alasan, ayahnya seorang pengusaha super sibuk, jadi tidak bisa menemui siapa pun yang main ke rumahnya. Ajaibnya semua teman-temannya percaya!
Tania menghentikan langkah, di anak tangga terakhir. Menatap nyalang meja makan persegi dengan hati berkecamuk. Dia tidak bisa ada dalam satu ruangan dengan Septa. Daripada moodnya hilang karena adu mulut. Lebih baik, tidak usak makan malam, begitu pikirnya.
Gadis itu membalik badan, namun langkahnya terhenti. Suara Septa menghentikan langkah.
“Mau ke mana? Ayo, makan malam!”
Sudahlah, pikir Tania, sudah terlanjur tercebur. Mau tidak mau, dia mengikuti langkah Septa yang sudah jauh melangkah di depannya.
Dalam hati Tania berdoa semoga nanti Septa tidak bertanya. Intinya, berharap, Septa akan diam. Malas mendengar celotehannya. Namun, harapan selalu bertentangan dengan kenyataan. Apa yang diinginkan Tania tidak terwujud. Baru saja, duduk di kursi meja makan, Septa sudah menanyainya;
“Kamu mau makan pake apa?”
Tania sangat tahu trik begini yang biasa Septa lakukan mengambil hatinya. Pendekatan klasik.
“Pake sambal goreng kentang aja,” jawab Tania seadanya. Melihat tangan Septa—yang menyendok lauk, dia lantas berujar, “dikit aja. Ya, segitu,” lanjutnya.
“Apa lagi?”
“Udah itu aja,” balas Tania.
Setelah itu hening. Tania mulai menyuap makanan ke dalam mulut sementara Septa yang tidak makan asyik dengan alat komunikasi di tangan. Ini pelanggaran! Juni dan Tomy tidak membiarkan siapapun menyentuh gadget saat di meja makan.
Tania geram bukan kepalang. Ingin memaki. Tapi, tidak! Dia tidak ingin ribut malam ini. Biar saja Septa berlaku sesukanya. Dongkol, Tania hanya merutuk-rutuk dalam hati.
Ah, persetan! Tania ingin segera menyudahi makan malam ini. Namun, perkataan Tomy yang mengatakan pantang membiarkan nasi tersisa kembali memenuhi pikirannya. Sial! Andai bisa berlari.
Tubuh Septa mulai beranjak, pandangan matanya masih tertuju pada layar gawai. Tetapi, mulutnya melontarkan titah untuk Tania menghabiskan nasi berserta lauk yang ada di piringnya. Tania bersorak dalam hati, ketika ibu tirinya itu menghilang dari pandangan. Sekarang dia bisa makan dengan aman dan tenang. Tidak takut tersedak dan dipastikan kenyang.
Huh... Kenapa wanita itu baru pergi sekarang setelah nasi di piring Tania tinggal setengah?
Seusai makan dan minum, Tania bersiap untuk kembali ke kamar. Masih menginjak anak tangga kedua tiba-tiba, suara Septa kembali mengintrupsi langkah Tania.
“Kenapa sih ini orang suka banget ganggu kebahagiaan orang lain? Heran!” makinya dalam hati.
“Apa?!” tanya Tania membalikan badan.
“Sini, mama mau kenalin kamu sama seseorang,” ucap Septa memerintahkan Tania untuk mendekat.
Apa? Dia menyebut dirinya mama? Menggelikan!
“Aku mau ngerjain tugas—”
“Lima menit,” potong Septa cepat.
Sial!
Mau tidak mau Tania harus menuruti perintah. Gadis itu berjalan mendekat—mengikuti langkah kaki Septa menuju ruang tamu. Dari tempat Tania berdiri, ia bisa melihat satu cowok dengan bahu kokoh sedang duduk di sofa ruang tamu. Entah siapa, tapi kalau dilihat dari bahu dan pakaian yang dipakainya; cowok itu masih remaja. Ah, entahlah! Karena duduk membelakangi Tania membuatnya tidak tahu siapa sosok itu.
Septa lebih dulu sampai di hadapan cowok berhoodie merah itu. Sementara Tania memilih menghentikan langkah di belakang si cowok, tidak lama, cowok itu berdiri dan menoleh.
“Do, kenalin ini Tania, dan Tania kenalin ini Iverdo.”
Tania membelalakan mata, cowok yang ada di hadapan, adalah orang—yang tak sengaja dia tabrak sekaligus ditinggalkan di koridor sekolah. Nawang tak kalah terkejut dari si gadis.
Suara Septa menyentak keheningan yang terjadi.
“Kalian satu sekolah kan? Sudah pernah bertemu ya?”
“Belum!” jawab Tania.
“Sudah!” seru Nawang.
Mereka menjawab dalam waktu bersamaan.
Jawaban yang berbeda itu semakin membuat Septa curiga. Pasti sudah terjadi sesuatu antara mereka berdua.
“Sudah pernah kenalan?”
“Belum!” kali ini keduanya kompak.
Nawang menetralisir kegugupannya. Di detik selanjutnya ia mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri.
“Iverdo Nawang Paraduta. Panggil Nawang atau Edo juga bisa,” ucapnya tersenyum sumringah.
Tipe cowok percaya diri. Tania menjabat tangan cowok yang ada di hadapannya.
“Gabriella Natania.”
“Nama yang bagus untuk gadis yang cantik.” Uwuwuwu, puji Nawang dalam hati, masih terus tersenyum.
Mereka masih saling berjabat tangan sampai akhirnya dehaman Septa terlontar. Sontak membuat keduanya melepas kaitan tangan.
“By the way, mulai hari ini Edo akan tinggal bareng di rumah kita—”
Gadis itu mengerjap, “apa?”
Tania nggak salah dengar kan?
Tbc.
Gue saranin sebelum lo baca cerita ini mending baca cerita berjudul Antara dulu deh. Di sana ada asal-usul terciptanya seorang Tania. Kenapa tania ngga cocok sama Septa, dll.
Biar afdol dan nggak bingung, sekali lagi gua saranin baca cerita berjudul antara.
Seqian.
#sasaji
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top