fifteen

“Kalau lo anak yang nggak diharapkan, gue adalah anak yang lebih nggak diharapkan.”

Tania masih bisa mengingat jelas getaran dalam suara Nawang.  Ia juga masih ingat ketika air bening si cowok yang biasa terlihat ceria, menetes membasahi pipi.

“Lo lebih beruntung dari gue. Harusnya, lo bersyukur karena Tuhan sudah berbaik hati, memberi kesempatan bisa ngerasain kasih sayang orang tua. Meski pun bukan kandung.”

“Sementara gue? Gue sama sekali nggak pernah ngerasain kasih sayang dari Ibu-Bapak.” Nawang mengatur napas. “Lo pasti bertanya-tanya kemana kedua orang tua gue? Kenapa gue nggak tinggal sama mereka dan pikiran lo beberapa saat lalu pasti berisi pertanyaan-pertanyaan lain seputar itu kan?”

Tania mengangguk. Isakannya berangsur mengendur, sambil menatap cowok yang ada di depannya itu.

“Kata Mas Melki, nyokap meninggal waktu on the way rumah sakit untuk melahirkan gue. Kehamilan Ibu dari awal udah beresiko, hamil diusia menopouse. Tetapi hebatnya, ibu tetap pertahanin gue sampai rela korbanin nyawanya.” Suara Nawang mulai memelan dan lambat. Ini sesuatu yang berat. Tak mudah baginya bercerita tentang kisah hidupnya.

Suasana mobil terasa menegangkan. Setiap kata yang diucapkan Nawang berhasil membuat Tania susah bernapas.

“Selama hamil Ibu ngerasain sakit, sempat nggak bisa apa-apa di usia kandungan enam bulan. Melihat itu, Bapak jadi nggak tega lihat Ibu terbaring lemah tak berdaya. For your information, dari awal kehamilan ibu, bapak udah minta untuk gugurin kandungannya. Sesuai saran dokter. Tapi tetap dengan keyakinan penuh, ibu pertahanin gue sampai lahir.”

“Waktu ibu nggak ada, bapak marah besar. Beliau sempat mau bunuh gue saat itu. Tapi untungnya, kedua kakak gue dengan sigap selamatin.”

Embusan napas berat Nawang kembali terdengar. Tania bisa melihat bagaimana kesakitan di wajah remaja itu.

“Bapak orang Bali asli. Karena itu pemakaman ibu ikut keyakinan yang Bapak anut. Jenazah Ibu dikremasi. Sebagian abunya dilarung di pantai yang ada di Malang sebagiannya di bawa Bapak ke Bali.”

Senyum di wajah Nawang mengembang. “Seumur hidup gue belum pernah ketemu sama bapak dan ibu. Ya gimana mau ketemu juga kalau mereka berdua tinggal di Bali. Semenjak ibu meninggal, bapak balik ke kampung halaman. Beliau bawa Kakak gue yang ketiga, cewek, dan katanya mirip ibu.”

“Bokap lo sama sekali nggak pernah berniat temuin lo?” tanya Tania, lama kelamaan simpatiknya tumbuh juga. Iba, dan juga kagum.

Nawang mengelengkan kepala. “Bahkan waktu bapak berkunjung buat tengok kedua mas gue serta cucu-cucunya, gue nggak pernah tahu. Mmh..., sebenarnya gue tahu, sih, tapi kura-kura dalam perahu aja. Gue tahu mereka nggak akan ajak untuk ketemu Bapak.”

“Terus, kenapa bisa lo di Jakarta? Dari mana lo kenal ayah dan mama?” Dan, ya, di kesempatan kali ini Tania tidak ingin menyia-nyiakan. Ia akan mengorek informasi tentang seorang Iverdo Nawang Paraduta.

“Nama gue dan Azu kena blacklist seluruh SMA Malang—"

“Nah iya! Itu kenapa bisa?” potong Tania cepat. .

“Gue bakalan ceritain semua. Lo cukup jadi pendengar aja,” kata Nawang, Tania mengangguk.

“Mas Andre—kakak pertama—punya anak seumuran sama gue. Kembar sepasang.” Nawang terdiam, kembali merasakan sesak di dada saat mengingat Varo dan Kara. “Semasa kecil gue tumbuh bareng sama mereka. Kita besar sama-sama, diperhatiin oleh orang sama, kasih sayang mas dan mbak ipar gue pun dibagi rata untuk kita bertiga. Tapi itu menurut gue, bukan kata Varo dan Kara.”

“Gue nggak tahu kalau Varo dan Kara cemburu. Gue nggak tahu kalau perhatian Mas Andre dan Mbak Dina terfokus ke gue. Demi Tuhan, Tan, gue nggak ngerasa itu sama sekali. Tapi, mereka bilang kalau gue udah ngerebut perhatian Mas Andre-mbak Dina. Gara-gara gue mereka suka dibanding-bandingin juga.”

Tania menjadi pendengar yang baik.

“Waktu masuk SMP perubahan terjadi. Gue dan mereka berdua saling ngejauh. Varo dan Kara semakin berusaha menjatuhkan semenjak gue dapat ranking. Apalagi, saat gue bisa masuk SMA favorit di Malang dengan kemampuan. Semenjak itu mereka menghalalkan segala cara untuk menodai nama gue dihadapan Mas Andre.”

“Gue keluar—masuk ruang BK bahkan sampai dikeluarin dari sekolah karena mereka berdua. Gue selalu dijadiin kambing hitam. Bukan gue aja, tapi Azu yang nggak ngerti apa-apa juga ikut jadi sasaran.”

“Tunggu dulu.” Tania membenarkan posisi duduknya menghadap ke arah Nawang. “Gue sekalian mau tanya. Lo udah berapa kali pindah sekolah?”

“Tiga. Di Jakarta ke empat.”

“Itu yang di Malang lo dikeluarin?”

Nawang menganggukan kepala. “Gue dan Azu dijadiin kambing hitam, Tan. Emang gue udah nggak satu sekolah sama Varo-Kara, tapi asal lo tahu 'temen-temen' mereka tuh menyebar luas di seluruh SMA. Dan dengan mengatasnamakan kata 'teman' mereka bantu Varo-Kara ngejatuhin nama gue.”

Tania menggelengkan kepala. Tak menyangka jika Kara dan Varo licik. “Alasan mereka ngelakuin itu buat apa?”

“Supaya nama gue jelek dihadapan Mas Andre dan Mbak Dina. Alhasil mereka akan kecewa, terus, gue  enggak akan disayang dan diperhatiin lagi. Mungkin kasarnya,Varo dan Kara berusaha tendang gue dari rumah Mas Andre.” Senyum getir di wajah Nawang terukir. “Usaha mereka nggak sia-sia. Setelah gue dikeluarin di SMA yang ketiga, Mbak Dina kehilangan kesabarannya. Dia nggak tahan sama kenakalan yang nggak pernah gue lakuin. Mbak Dina akhirnya, mengusir gue dari rumahnya.”

Usir? Bahkan Nawang sudah sering mendapat usiran dari orang-orang terdekatnya.

“Lo nggak minat jelasin ke abang-kakak lo? Kenapa diam aja kalau lo nggak salah?” tanya Tania kesal sendiri. Kenapa Nawang mau diperlakukan seperti itu. Padahalkan ia tidak bersalah sama sekali.

“Lo kira gue bakal menang? Bukti udah banyak dan apa gunanya gue mengelak?” kata Nawang tersenyum kecut.

“Itu artinya lo salah!”

Nawang menggelengkan kepala. “Percuma gue ngelawan mereka, Tan. Lagian gue juga udah capek main kucing-kucingan sama Ka-Va. Jadi udahlah untuk kali ini biar gue yang mengalah.”

Jujur Tania kecewa mendengar jawaban terakhir Nawang. Bahu tegapnya mendadak merosot saat mendengar kata mengalah keluar dari mulut Nawang. Melihat raut kecewa dari wajah Tania membuat Nawang menyungingkan senyumannya. Ia juga mendongkakan wajah Tania untuk kembali menatapnya.

“Ngalah bukan berarti kalah,” katanya.

“Lo ngalah sebanyak tiga kali!” ucap Tania dengan nada tinggi.

“Ih, kenapa lo yang emosi?” tanya Nawang tak kalah sewot.

Tania mencebikan bibirnya. “Lo begonya nggak kira-kira. Udah ah jangan ceritain kebodohan lo. Sekarang cerita gimana bisa lo ke Jakarta dan tinggal di rumah gue—ralat, orang tua angkat gue.”

“Oke.” Untuk kesekian kalinya Nawang menarik napas panjang lalu dihembuskan pelan. “Setelah gue diusir sama Mbak Dina, Mas Melki dateng. Dia dikasih kepercayaan sama Mas Andre buat gantiin jaga gue. Singkat cerita diajaklah gue ke apartemennya. Gue kira masalah akan selesai setelah pindah ke apartemen Mas Melki. Tapi gua salah besar! Belum genap satu jam gua udah dapet usiran dari istri mas Melki.”

Dahi Tania berkerut. “Lo diusir lagi?”

“Iya. Kalau mbak ipar gue yang satu ini emang paling nggak demen sejak awal. Dia pernah bilang kalau gue adalah penghancur rumah tangga orang. Ya lo pikir aja Tan, mana mungkin gue ngehancurin rumah tangga Mas Melki. Gue masih normal gini disangka mau ngerebut suaminya. Gila kali!”

“Seriusan kakak ipar lo mikir gitu?”
Kekehan Nawang mulai terdengar. “Ya kagak lah, njir.” Lalu, detik selanjutnya senyumnya kembali pudar. “Semua orang cemburu karena saat ada gue perhatian dan kasih sayang Mas Andre dan Mas Melki terfokus ke gue. Padahal demi Tuhan, Tan, gue sama nggak pernah menginginkan hal itu.”

Tangan Tania terulur untuk mengusap telapak tangan Nawang. Benar. Beban hidup remaja itu lebih berat darinya.

“Setelah mendapat usiran kedua, gue bertekat untuk nggak ngerepotin semuanya lagi. Gue pengen lepas dari tanggungjawab mereka, tapi mereka berdua nggak mau ngelepasin gue. Dan setelah berdiskusi panjang kali lebar gue mau dikirim ke Bali.”

“Tinggal sama bokap lo?"

Nawang menggeleng lemas. “Nggak ada harapan buat tinggal sama bapak. Awalnya memang Mas Andre nyuruh gue tinggal di sana supaya bisa dekat sama bapak. Kebetulan juga Mas Melki punya temen yang nggak lain adalah Mbak Septa.”

“Terus, gue dititipin di orangtua lo. Sebelum pindah ke Jakarta, gue pernah ke Bali dan tinggal di sana. Untuk pertama kalinya, ketemu sama Bapak. Ya meskipun nggak berhadapan langsung, tapi seenggaknya gue udah pernah ngelihat dengan mata kepala sendiri.”

“Balik ke topik kenapa gue bisa ke Jakarta ya? Mbak Septa udah daftarin gue ke beberapa sekolah di Bali, tapi nggak ada yang tembus satupun. Eh, ada ding, yang mau nerima. Tapi itu sekolah namanya udah 'tercemar'."

“Gue udah pasrah mampus saat itu, masa bodo amat mau masuk manapun,terserah—yang  penting sekolah. Bertepatan dengan keputusasaan kita semua tiba-tiba Azu ngasih kabar kalau dia bisa bantuin gue. Berkat Bapak tiri Azu, gue bisa sekolah di SMAGLO."

“Jadi bener ya bokapnya Azu salah satu orang berjasa di SMAGLO?”

Nawang mengangguk. “Bisa dibilang gitu.”

“Terus, terus?”

“Ya, udah gue pindah ke Jakarta. Sekalian juga kata Mbak Septa, gue jagain lo kan. Tapi, akhirnya apa? Gue dapet usiran untuk kesekian kalinya!”
Tania hanya nyengir kuda.“Lo kenapa bisa sekuat itu sih, Wang?” tanyanya mengalihkan topik tentang usir-mengusir.

“Sebenernya, dulu gue mau nyerah, Tan. Gue juga sempat berpikiran mau kabur dari rumah bahkan beberapa kali pengen bunuh diri. Tapi, semuanya urung ketika gue ingat perjuangan ibu.”

Jawaban itu ....

“Sepanjang sisa hidupnya, ibu berjuang untuk mempertahanin gue.  Rela tukar hidupnya demi lahirin gue.” Nawang menatap langit-langit. “Dari situ gue mikir;  bego banget kalau gue berniat bunuh diri hanya karena segelintir orang yang menaruh iri dengki terhadap gue.”

“Setidaknya, itu alasan gue bertahan, enggak mau menodai perjuangan ibu. Dan, di saat gue down pun gue mencoba ingat Ibu.  Hasilnya bisa dilihat sekarang. Gue bisa kuat, bisa bertahan karena seorang ibu.”

“Kalau itu alasan dasar lo memilih bertahan lalu apa alasan gue, Wang?”

Tbc

#sasaji

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top