TRI

Happy reading~

.
.
.

Tahun ajaran baru dimulai hari ini. Siswa dan siswi datang dengan harapan dan semangat yang baru.

Aku ingat, saat aku datang kesini masih mengenakan seragam putih-biru. Begitu lugu dan semangatku masih seratus persen. Waktu berlalu begitu cepat. Sekarang aku resmi menjadi siswi kelas sebelas dan punya adik kelas.

Tapi apa yang baru selain itu? Tidak ada. Tidak ada orang yang kutunggu untuk jadi semangatku di sekolah.

Aku juga tidak butuh itu, sih.

Jika teman-temanku datang dan pergi dengan seseorang yang dianggap pacar. Atau membanggakan diri, jika adanya pacar atau gebetan membuat semangat belajar mereka meningkat. Aku pikir mereka sudah salah menaruh harapan.

Bagaimana ketika mereka putus atau gebetan mereka punya pacar? Lantas kemana mereka menggantungkan semangat belajar? Mereka hanya akan menyesali ketika nilai rapot mereka anjlok karena cinta.

Aku lihat Mira berjaga tidak jauh dari gerbang sekolah. Ia sedang mengarahkan para siswa baru untuk menuju lapangan. Yang aku ingat, biasanya akan ada upacara penyambutan siswa baru.

“Mira!”

“Hai, Line.” Mira mengusap keningnya yang banjir keringat dengan sapu tangan.

“Jam berapa lo dateng? Lo bisa kucel duluan sebelum acara mulai.”

“Setengah enam. Namanya resiko, gue juga udah tahu.” Mira mendengus sebal.

“Sayangnnya kita nggak sekelas lagi. Padahal gue mau duduk sebangku sama lo.”

“Plis deh, Line. Lo nggak se-no life itu sampe nggak ada satupun orang yang mau duduk sama lo. Bilang ‘Hai!’, terus tanya apa dia mau duduk sama lo. Meskipun ditolak, kalian tetep jadi teman sekelas, kok.”

Benar, sih.

Hanya saja, kelas baru dan orang-orang baru. Hal yang agak sulit kutangani adalah kekhawatiran setiap ada perubahan lingkungan. Walaupun tidak pernah mendapat masalah serius, tetapi energiku terkuras banyak untuk menenangkan diri.

Mira pamit saat Kak Laras si ketua OSIS memintanya untuk berkumpul di lapangan karena upacara akan segera dimulai.

“Inget, Line. Kelas lo XI MIPA 7. Lo tau ruangannya, kan?”

Aku pergi mencari ruang kelasku selepas kepergian Mira. Seingatku, XI MIPA 7 ada dilantai dua. Aku perlu sedikit usaha menerobos untuk menaiki tangga. Tepat di sebelah kanan ada mading, siswa angkatanku sedang sibuk  mencari nama mereka di pembagian kelas.

Untungnya Mira adah anggota OSIS yang loyal. Dengan jabatannya dia mendapatkan daftar nama itu duluan dan membagikannya ke grup yang berisikan kami bertujuh.

Entah apa untungnya staf sekolah baru memberitahu pembagian kelas saat hari pertama masuk sekolah. Aku tidak begitu peduli, yang penting aku tidak perlu berdesakkan terlalu lama.

Aku memasuki ruang kelas. Hampir sebagian besar siswa sudah menempati tempat duduk mereka masing-masing.

Tidak banyak yang kukenal sampai aku mendapati Siska teman sekelasku di kelas sepuluh kemarin. Aku melihatnya tenggelam dalam buku yang tidak bisa aku baca judulnya.

Ia penggila novel garis keras. Satu-satunya hal yang mungkin membuat kita terkoneksi, senang membaca walaupun berbeda aliran. Setidaknya, yang kutahu Siska orang yang cukup tenang dan aku membutuhkan itu untuk bisa berkonsentrasi saat pelajaran.

Tarik napas. Ayo lakukan.

Aku berharap dia belum punya teman sebangku.

“Emm. Hai, Siska.”

Sial, aku benar-benar menduplikasi saran Mira tanpa terkecuali. Kenapa sih otakku tidak bisa bekerja disaat-saat begini?

Siska mengalihkan pandangan dari Novelnya. Aku bisa melihat bulatnya yang cerah, “Hai, Celine! Lo di kelas ini juga ternyata.”

Aku terkejut saat Siska tiba-tiba menepuk dahinya. Dia kenapa?

“Sorry, gue lupa lo juara paralel angkatan kita. Emang seharusnya lo dikelas MIPA 7.”

“Iya,” aku tersenyum kikuk.

Apa libur dua Minggu merubah Siska jadi lebih cerewet? Tidak tahu, deh. Aku hanya harus mendapat partner sebangku. Cuma Siska pilihanku saat ini.

“Lo udah ada temen sebangku? Boleh gue duduk sama lo?”

“Boleh, dong. Belum ada yang nempatin juga.”

Syukurlah.

Kursi yang Siska ambil berada tepat di tengah. Aku bisa melihat papan tulis dengan jelas. Sejak awal aku juga mengincar kursi ini, Siska beruntung mendapatkannya.

“Aduh.”

Aku mengusap lututku yang terbentur meja karena dua orang di depanku bercanda satu sama lain.

“Eh, sory. Nggak sengaja,” sambar salah satunya. Ia rupanya duduk tepat di hadapanku.

Tanpa menunggu balasan dariku, ia dan temannya langsung duduk di kursi. Kembali berbicara, kemudian tertawa terhadap topik yang mereka bahas. Suara mereka begitu lantang.

Sepertinya aku akan melewati semester yang panjang.

Pembicaraan mereka berhenti saat segerombolan siswa memasuki kelas.

“Eh, sumpah Zian di kelas ini juga?”

“Iya. Dia peringkat satu waktu kelas sepuluh. Emang calon-calon MIPA 7.”

Zian?

Aku tidak membaca daftar nama dengan benar. Aku tidak tahu Zian di kelas ini juga. 

Gerombolan itu berjalan mengisi deret kursi dibagikan belakang. Hoodie hitam dengan garis horizontal kuning. Aku bisa mengenalinya dalam sekali lihat. Ia tampak lebih mencolok dari yang lain yang hanya mengenakan seragam SMA tanpa tambahan apapun.

Aku tahu sih itu Hoodie kesayangannya. Tapi Bekasi itu panas. Dia tidak tampak seperti orang yang terserang demam sampai harus mengenakan pakaian berlapis.

“Beruntung lo bisa sekelas sama crush lo.”

“Bil, justru kalo sekelas malah nggak akan jadi. Yang ada kena classmate zone gue.”

Dia orang didepanku kembali berbicara.

Wow, hari pertamaku sudah disuguhi orang jatuh cinta.

“Hai, Celine. Kita sekelas,” sapa Zian.

Aku bisa merasakan tatapan dari seluruh orang yang ada dikelas. Tubuhku meremang. Anak ini apa-apaan sih?!

Energiku terkuras banyak untuk menenangkan diri sebelum masuk ke kelas ini. Dia malah membuatnya semakin buruk. Fakta bahwa seseorang di bangku depanku menyukainya, membuatku berpikir mereka akan siap marah padaku kapan saja.

Aku bahkan belum berkenalan dengan mereka.

“Iya. Gue malah gatau lo dapet kelas ini juga.”

Zian berjalan menghampiriku kemudian berhenti tepat di sebelah kursiku. Tubuhnya menjulang sampai membuatku harus mendongak untuk menatap wajahnya.

“Kita sama-sama masuk kelas unggulan, ya? Bagus. Bersaingnya jadi lebih gampang. Semester ini gue yang peringkat pertama.”

Seringai tengilnya adalah isyarat tanda perang.

Menarik.

Aku sudah berteman dengan Zian sejak kelas sepuluh. Puluhan cangkir kopi, puluhan jam dan banyak cerita. Kuakui, Zian punya ambisi paling kuat dibandingkan Isan, Lino, dan Abas. Karena itu juga yang membuatku tetap berteman dengannya.

Zian tetap diposisinya. Dia yang menatapku sambil berdiri. Aku tahu teknik ini dari buku-buku yang kubaca. Tetapi sayang, tidak cukup ampuh untuk membuatku merasa terintimidasi. Zian yang malang. Dia harus belajar lagi.

Aku tersenyum padanya, “seberapa jauh jarak lo dari yang terbaik, Zi? Selamat berjuang.”

Ia tertawa mendengar ucapanku, “senang punya saingan kayak lo.”

Zian mengusap pucuk kepalaku, lalu berlalu untuk duduk di kursinya yang berjarak dua baris di belakangku.

Ketika aku menghadap ke depan sambil membenahi tatanan rambutku, aku diserbu tatapan tanya dari orang di sekeliling yang mendengar pembicaraanku.

Siska tidak bisa menahan rasa penasarannya, akhirnya berbisik padaku, “lo pacaran ya sama Zian?”

.
.
.

To Be Continued~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top