TETRA

Happy reading~

.
.
.

“Lo pacaran sama Zian, ya?”

Gila!

Berpikir mau punya pacar saja tidak, ini malah di tuduh punya hubungan. Mana sama Zian lagi.

Setelah diserbu  pertanyaan tentang hubunganku dan Zian, dengan final kunyatakan jika kita hanya teman. Memang kenyataannya demikian.

Mulanya mereka tidak percaya. Tanpa alasan yang jelas Zian mengusap kepalaku, tentu bukan suatu hal yang normal dilakukan. Apa lagi, kita saling menantang dan sepakat menjadi rival.

“NGGAK ADA RIVAL YANG ELUS-ELUS KEPALA!”

Monic yang paling kukuh menolak pernyataanku.

Ya, dia adalah anak yang menyukai Zian. Sudah sejak kelas sepuluh katanya. Mereka berada dalam satu ekstrakulikuler yang sama. Tetapi tidak serta-merta membuat mereka jadi dekat.

Zian adalah anak yang sejak kehadiranmya dalam ekskul, langsung menjadi sorotan. Tahun lalu ekskul multimedia memenangkan projek film pendek yang diselenggarakan Kemendikbud, dan Zian adalah orang yang menyutradarai projek tersebut.

Berkat kepiawaiannya, Zian lantas diangkat menjadi anggota inti ekskul. Monic hanya bisa melihat Zian dari jauh karena dia hanyalah anggota biasa.

“Emangnya Zian sepopuler itu?”

“Lo nggak tau?!” Nabila memukul meja, matanya tutup membulat, “si Monic nggak jadi ngenes kayak gini kalo Zian bisa dia gapai. Anak kesayangan sekolah, tuh.”

Aku tidak benar-benar asing dengan fakta yang mereka sebutkan. Tentang prestasinya itu, Zian bahkan membanggakannya dan mengungkit topik itu terus selama sebulan penuh.

Rasanya aku hapal adegan favoritnya: Pemeran utama siswi yang pulang membawa piala, setelah menang lomba dan membuat orang tuanya menangis haru. Ya, Zian menyukai itu, karena dia berhasil membuat Pak Heru menangis karena memerankan tokoh orang tua. Siapa sangka Wakasek kesiswaan galak itu punya sisi melankolis juga.

Tapi sepertinya aku melewatkan bagian tentang Zian. Rupanya prestasi yang diraihnya sangat berpengaruh untuk popularitas sekolah dan juga dirinya.

Aku menatap Monic. Dia tampak cantik. Rambutnya digerai dengan sisi tepinya dijepit tengah. Ah, rambutku tidak bisa begitu. Aku pikir Monic juga terlihat seperti anak yang baik. Tentu selain permintaan maaf yang tidak ikhlas tadi, bagian itu akan kuabaikan saja.

Bukankah Monic telah melakukan penantian yang sia-sia? Untuk apa masih mengharapkan Zian jika dia saja tidak melirik keberadaan Monic? Buang-buang waktu.

“Monic, lo kayaknya harus Move on, deh.”

Aku bisa melihat warna wajahnya semakin meredup, “lo tau nggak, sih? Kalo suka seseorang rasanya deg-degan terus padahal crush lo cuma nongol sedetik doang. Gue juga udah coba move on, tapi nggak segampang itu.”

Aku tidak bisa mengerti. Sekuat itu perasaan saat orang jatuh cinta? Monic bisa terus sakit hati hanya karena berharap pada anak tengil seperti Zian.

“Jatuh cinta emang kompleks, Line,” kata Siska.

“Tahu dari mana?”

“Novel.” Siska mengangkat novel yang tadi dibacanya. Judul buku tertera paling besar memenuhi sampul.

'Magical Love’

Wah, yang benar saja. Novel kan karya fikis, mana mungkin bisa dijadikan landasan informasi begitu.

Tanpa disadari, Rupanya bel masuk sudah berbunyi sejak tadi.

Seorang guru muncul di ambang pintu. Wanita muda dengan seragam dinas coklat memangku map biru. Ia kemudian berhenti di tengah kelas. Mata dari balik lensa kacamatanya memperhatikan murid satu-persatu.

“Selamat Pagi, anak-anak.” Sapaan itu terdengar begitu datar di telingaku. Bahkan ia tak repot-repot untuk menerbitkan senyum demi membuat kesan pertama yang baik.

Aku tidak mengenal guru ini. Auranya begitu berbeda dengan guru kelas sepuluh yang lebih cerah dan ramah. Ia mungkin memang di khususkan menjadi guru kelas tinggi.

“Bagaimana rasanya masuk kelas unggulan? Senang?” Dibandingkan basa-basi guru ini justru melontarkan pertanyaan retoris.

Keheningan melingkupi ruang kelas, tidak ada satupun yang buka suara. Dari sinia ku bisa melihat temanku yang duduk paling depan, berhadapan langsung dengan guru tersebut, ritme napasnya tercekat.

“Saya ucapkan selamat. Usaha keras selama di kelas sepuluh untuk jadi lima orang teratas, mengumpulkan kalian di sini.” Guru itu berhenti sejenak untuk meletakkan map, “Saya Karisa, guru mata pelajaran Kimia. Saya biasanya mengajar kelas 12, tapi tahun ini saya akan mengajar dan mendampingi kalian.”

Sudah kuduga ia pasti guru kelas tinggi, dan Bu Karisa mengajar kimia. Mata pelajaran yang paling kusuka. Mau segalak apapun gurunya tidak akan mengurangi kecintaanku pada kimia.

Bu Karisa kembali berbicara, “saya harap kalian tidak terlena karena berhasil masuk ‘kelas unggulan’. Artinya, bersaing lah. Kalian mendapatkan lawan yang setara.”

Aku tahu prinsip SMA BASWARA adalah melahirkan siswa-siswi yang kompetitif. Tidak kuduga Bu Karisa bahkan secara nyata mengibarkan bendera perang untuk siswanya.

Tubuhku merinding, hatiku berdesir. Entah dari mana antusias mengalir ke seluruh sendiku. Demi Avogadro dan segala teorinya, dadaku terasa hendak meledak saat melihat Bu Karisa menerbitkan senyumnya setelah menyelesaikan kalimat.

Tipis sekali.

***
Karena sekarang baru haru haru pertama, jadi sistem pembelajaran masih belum efektif. Sekolahku mungkin terlihat begitu ambisius dalam mendidik murid, tetapi ada saat dimana siswa punya kebebasan. Seperti hari ini.

Tidak banyak yang Bu Karisa sampaikan. Hanya mengulas peraturan sekolah, dan ya, dia menetapkan aturan dalam kelasnya. Aku mengetahui bahwa selain tegas, Bu Karisa adalah orang yang menjunjung tinggi ketepatan waktu. Hukuman bagi mereka setiap kali terlambat adalah mentraktir teman-teman kelas jajanan di kantin.

Jam pelajaran Bu Karisa selalu bertepatan dengan waktu yang memungkin kita terlambat; jam pertama di hari Selasa-Rabu dan setelah istirahat pertama pada hari Kamis.

Aku tidak mempermasalahkan itu. Toh, selama sepuluh tahun sekolah aku tidak pernah terlambat.

Kesamaan prinsip ini yang membuatku begitu menyukai Bu Karisa. Sepertinya, dibandingkan pacar atau gebetan, aku lebih membutuhkan sosok seperti Bu Karisa untuk menaruh semangat belajarku.

Oke, aku mulai terdengar seperti gadis ambisius yang menyebalkan.

Ponselku berdenting menampilkan notifikasi dari grup.

Aku melihat sekitar setelah membalas pesan grup. Siska masih sibuk dengan dunia novel Magical Love miliknya.

“Sis, lo mau ke kantin nggak?” tanyaku.

“Gue udah makan, Line.”

Aku mengangguk untuk membalas ucapan Siska.

Saat melirik ke belakang, Zian tampak masih asik mengobrol dengan teman-teman lain. Ajak bareng tidak, ya? Aku sebenarnya sungkan untuk mengganggu.

Aku pergi sendiri saja, deh.

Sebelum aku melangkah, Zian sudah berseru. “Celine ikut!”

Lantas aku hampir terjerembab karena Zian tiba-tiba merangkul pundakku. Tidak bisakah anak ini santai sedikit? Jika dia tidak menahanku mungkin lututku sudah mencium lantai.

Aku menatap nyalang padanya. Menahan setan dalam diriku agar tidak mengikut perutnya. “Pelan-pelan, kek!”

Deja vu. Saat aku mendongak sambil membanahi tatanan rambutku, mataku bersitatap dengan Monic.

Sial, aku merasa seperti penjahat dalam cerita cinta Monic.

.
.
.

To Be Continued~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top