PENTA

Happy reading~

.
.
.

Hidupmu dapat dinilai dari teman-teman yang mengelilingimu.

Aku mengenal kalimat itu dari buku self improvement yang aku beli sekitar tujuh bulan lalu. Memang bukan jenis buku kesukaanku. Dorongan untuk membeli buku itu sepenuhnya didasari perasaan khawatir.

Mira baru dilantik sebagai anggota OSIS saat itu. Dia akan menjadi manusia super sibuk, dan akan lebih sering meninggalkanku sendiri di kelas. Bukan berarti tidak punya teman. Aku punya, hanya saja tidak dekat.

Aku bukanlah orang yang akan bertanya duluan tentang film kesukaan atau hobi mereka. Aku tidak bisa berhenti berpikir, untuk membicarakan hal-hal kecil seperti itu hanya dilakukan apa bila kita sudah dekat. Untuk menjadi dekat, dimulai dengan basa-basi.

Akan lebih mudah untukku jika sejak awal aku dilibatkan dalam situasi khusus seperti kerja kelompok. Topik yang dibicarakan sudah jelas, poinnya sudah tertata. Makanya, aku lebih lancar bicara saat presentasi dari pada saat basa-basi.

Mira menyebutku Menhir'¹' berjalan.

“Line, es jeruknya lagi kosong. Air putih aja nggak apa-apa? Atau mau es teh tawar?”

“Es teh aja.”

Ya, itu dulu. Sebelum kami bertujuh akhirnya mulai nongkrong bareng.

Aku mulai bisa memahami mengapa penulis buku itu mengatakan jika teman terdekatmu mempengaruhi hidupmu.

Terbukti saat ini aku malah ikut mangkir di DPR dengan enam mangkuk soto ayam lengkap dengan minumannya. Padahal agenda awalnya mau beli Mie ayam Mang Usep.

Ya, cuma karena lihat DPR (Di bawah Pohon Rindang) ini kosong makanya jadi berubah haluan. Kantin Soto ayam yang paling dekat dengan DPR soalnya. Abas, Lino dan Isan bagian membeli makanan, sedangkan Aku, Zian, dan Anggi bertugas menjaga DPR biar nggak diserobot orang.

Sudah rahasia umum, DPR adalah spot paling strategis di SMA BASWARA. Kita bisa melihat aktivitas seluruh sekolah dari sini. Waktu masih kelas sepuluh, setiap aku mau jalan ke kantin, tempat ini selalu terisi. Biasanya dari anak-anak kelas tinggi. Kami anak kelas sepuluh mana punya daya. Paling-paling kena usir.

Enam porsi soto ayam beserta minumannya sudah tersaji.

“Kapan SMA kita berhenti pakai sistem rimba kayak gini? Gue dapet MIPA 1 apa-apan?!” Abas berceloteh, mulutnya bahkan masih penuh sama nasi dan soto.

“Bas, lo udah ngomongin ini sejuta kali hari ini. Panas kuping gue,” omel Anggi.

Aku tidak tahu kalau Abas akan mempermasalahkan pembagian kelas ini.

“Lo emang targetnya mau masuk kelas mana?” tanyaku.

“MIPA 5.”

“Ngarep, lo!” Lino tiba-tiba menimpali, “nilai mapel peminata lo masih do-re-mi. Paling nggak belajar Bas kalo mau ujian. Jangan ngebasket doang taunya.”

Selain Zian, manusia yang banyak mengukir prestasi untuk sekolah itu Abas. Pecinta olahraga akut, apalagi basket. Dinding kamarnya penuh dengan poster-poster pemain basket internasional yang ia idolakan. 

Tidak seperti aku yang masuk dengan jalur reguler, yang harus bersaing dua ribu peserta, Abas berhasil lolos dengan bantuan sertifikat basket yang ia dapatkan saat turnamen di SMP. Kuota jalur prestasi jauh lebih sedikit, dan harus melalui tes kembali. Tentu sepak terjang Abas sudah banyak, bukan perkara sulit.

Setiap pilihan yang dibuat pasti ada resiko. Ssiswa yang masuk SMA baswara melalui jalur prestasi haris terus bertahan dibidang yang sama saat mereka masuk ke sini. Basket sepeti cinta sehidup tidak sematinya Abas. Semenjak di angkat menjadi pemain utama, ia hanya fokus untuk bermain basket. Makanya nilai akademiknya anjlok.

“Anak MIPA 1 itu dominan dari anak olahraga. Yang senasib sama lo di kelas itu banyak. Nggak apa-apa lah.” Isan menyeruput Es teh miliknya, “Vio, Angger, Putra, juga di sana, kan?”

Benar. MIPA 1 yang paling cocok dengan Abas.

Kalimat Isan menyadarkanku. Di antara kami, Isan sosok yang punya *positif vibe.* Part time sebagai barista di cafe milik kakaknya membentuk Isan yang lebih peka pada orang lain.

Jika dihitung jaraknya dari sekolah, cafe itu hanya sekitar tiga menit. Di jam pulang sekolah pasti ramai dengan siswa SMA Baswara. Karena itu juga dia kenal banyak orang di sekolah.

Sebenarnya yang mempertemukanku dengan mereka semua adalah Mira. Mana mungkin aku bisa membangun koneksi dengan baik pada orang-orang populer. Apalagi Abel dan Anggi.

Abel itu anak Band, fansnya dimana-mana. Dan Anggi adalah Model kesayangan ekskul Multimedia. Dia yang memerankan tokoh utama dalam projek film pendek tahun lalu.

Semua itu dimulai di cafe Isan. Aku dan Mira suka mampir untuk mengobrol, walaupun kita sekelas. Hanya untuk menghabiskan waktu selagi bisa. yang membuatku berak adalah nuansa cafe dan Americano milik mereka sangat enak.

Aku dan Mira lebih dulu akrab dengan Isan. Kemudian Isan mengenalkan Lino dan Abas, terus berlanjut sampai akhirnya Zian dan Anggi turut bergabung.

Aku merasa tanganku mengenai sesuatu. Aku melirik ke arah kananku. Aku mendapati Zian memisahkan tauge dari soto untuk di pindahkan ke mangkuk milikku.

“Zi, astaga! Taugenya dimakan jangan dipindahin ke punya gue.”

Dia terkekeh menampilkan deret giginya, “nggak doyan, Line. Buat lo aja. Tauge tuh bergizi mampu membantu pertumbuhan tulang. Biar lo tambah tinggi.”

Kurang ajar.

“Tauge nggak punya zat besi sama kalsium. Makan tauge sekarung juga nggak bikin gue tambah tinggi.” Aku memberinya tatapan sinis, “lagian peduli amat gue pendek.”

“Habisnya kalo jalan sama kita lo tenggelem. Rawan ketendang.”

Tunggiku itu 153 cm, masih tergolong tinggi yang normal untuk anak tujuh belas tahun. Memang di antara kami bertujuh aku paling pendek. Itu, sih, mereka saja yang kelebihan kalsium.

Lagipula aku mensyukuri tinggi badanku. Aku bisa bersmereka dibalik tubuh mereka ketika sedang jalan bersama. Aku merasa diriku bukan apa-apa dibandingkan mereka semua.

Mereka tampak seperti tunas siap tumbuh menjadi pohon yang bagus dan sehat, sedangkan aku hanya kecambah. Walaupun sama bakal pohon, hanya saja pertumbuhanku lebih lama. Mereka semua populer, lebih banyak sorotan. Tentu saja pohon tumbuh dengan baik jika mendapat sinar matahari yang cukup. Mereka mendapatkan itu.

Aku tidak bodoh. Aku menyadari sejak tadi banyak yang melirik ke sini sejak DPR kami isi. Kebanyak di antaranya adalah kakak kelas. Mereka memandang dengan sinis.

Sudah cukup lama kami di sini. Jika dulu aku melihat kakak kelas sering kari mengusir adik kelas mereka yang menempati DPR, saat ini tidak ada yang berani menegur untuk mengusir kami.  Tentu bukan bualan, teman-temanku telah membentuk power untuk mempertahankan posisi tanpa mereka sadari.

Berteman dengan mereka memberiku banyak pandangan baru yang tidak pernah aku dapatkan ketika aku sendirian.

.
.
.

To Be Continued~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top