HEKSA

Happy reading~

.
.
.

Aku memandangi figura dimeja belajarku. Sebuah foto lama menampilkan sepasang suami istri dan dua orang anak. Yang kecil dengan gaun putih berkilau itu adalah aku. Satu lagi anak laki-laki lebih tinggi, mengenakan setelah jadi berwarna senada dengan pria dewasa dalam foto adalah Ryan, kakakku.

Mama tampak cantik dengan gaun putihnya, duduk bersila kaki dan dibelakangnya Papa berdiri merangkul pundak Mama. Semua orang tersenyum.

Euforia itu masih terasa bahkan hanya dengan memandangi fotonya.

Waktu berlalu, membentuk peristiwa-peristiwa baru. Keluargaku pernah bahagia dan utuh. Sebelum pada akhirnya retakan hadir mematagkan hati kami. Begitu cepat dan kasar mata, aku bahkan tidak sempat menyadari.

Buku paket kimia masih terbuka manis menampilkan penjelasan gugus fungsi yang sedang aku pelajari. Tetapi kini teronggok tak ku jamah lagi.

Kepalaku memutar kembali memori lama yang sangat aku takuti. Selalu seperti itu saat aku kembali ke rumah ini, rumah Papa.

Seluruh ruangan punya ukiran memorinya sendiri. Aku tumbuh dan besar di sini. Sampai empat tahun lalu dengan terpaksa aku meniggalkan rumah ini. Sesuai hasil sidang, aku ikut dengan Mama dan Ryan dengan Papa.

Suara ketukan pintu menyapa telingaku di susul dengan panggilan lembut. “Mey, lbu ganggu?” tanyanya.

“Nggak, kok. Masuk aja.”

Seorang wanita mengintip dari celah pintu kamarku sebelum kemudian memasuki ruangan sambil tersenyum. “Hari ini ibu rencananya mau masak pindang ikan mas buat makan siang. Memey mau bantu ibu?”

Semenjak empat tahun pula aku selalu mendapat pemandangan ini setiap kali mampir. Ibu, menikah dengan Papa dua bulan setelah dengan pasti Mama meninggalkan rumah.

Perceraian ini terjadi karena Papa bermain api dengan wanita di depanku ini, yang sekarang menjadi ibu sambungku.

Tidak hanya Mama, aku juga merasa patah hati karena sosok Papa yang aku puja ternyata tidak sebaik yang aku kira. Bahkan kenyataan bahwa papa lebih memilih Ibu dibandingkan Mama masih membuat perasaanku sakit.

Ibu masih berdiri dengan senyum lembutnya. Air mukanya tampak begitu berharap. “Ibu masak duluan aja. Tinggal beberapa soal lagi, nanti Memey nyusul.”

Ibu mengusap pucuk kepalaku, “oke. Mau tambah apa lagi?”

“Tumis kangkung. Buatan Ibu yang paling enak soalnya.”

Setelah aku mengatakan itu, senyum ibu terlukis lebih cerah. Ibu dengan senang hati menyanggupi permintaanku.

Sungguh, aku tidak benar-benar serius mengatakan jika ada soal yang aku kerjakan. Minggu pertama masuk sekolah tentunya masih penyampaian materi. Tidak ada soal yang harus aku kerjakan.

Hanya saja, aku belum terbiasa menghabiskan waktu bersama Ibu. Luka itu masih ada, sesekali aku masih merasakan sakitnya.

Meskipun sudah menjadi ibuku, namun terdapat jurang yang terlanjur terbentuk.

Aku melakukan sedikit latihan pernapasan, kemudian beranjak dari kursiku untuk membantu Ibu.

Sesaat aku keluar kamar, hidungku langsung disapa wangi rempah-rempah. Semakin aku mendekati dapur, suara mendesis dari bumbu yang ditumis terdengar semakin jelas.

Punggung Ibu tampak bergerak kesana-kemari mengelilingi pantri. Tangannya cekatan menumis bumbu dan satinya lagi bergerak memasukan bumbu tambahan. Ibu tampak seperti Super Mom dikartun anak-anak yang tangannya mampu multitasking. Rasa-rasanya Ibu juga bisa mengeluarkan empat tangan lagi agar bisa menyelesaikan semua pekerjaannya sekaligus.

Ibu tidak bersalah, Papa yang membuat semuanya menjadi runyam.

“Aku bantuin apa, Bu?”

Ibu menoleh dengan cepat, memusatkan seluruh perhatiannya padaku, “oh, itu. Memey tolong potong bawang merah, bawang putih, sama cabe. Mau buat yang pedes? Sesuaikan aja jumlah cabenya.”

Aku mengambil talenan dari laci bawah, berlanjut memotong bahan yang diminta Ibu.

Tidak ada kendala sama sekali. Selama empat tahun tinggal bersama Mama, aku membiasakan diri untuk memasak. Mama akan pergi bekerja dari pagi sampai sore. Siapa lagi yang akan mengusrusku jika bukan diriku sendiri?

Dulu sih waktu masih tinggal sama Papa, ada ada Bi Inah yang akan mengurus rumah dan memasak. iya, aku dari kecil diasuh Bi Inah karena Papa sama Mama bekerja. Tetapi sekarang Mama hanya mampu memangil orang untuk mengerjakan pekerjaan rumah, yang menyita waktu seperti membersikan rumah dan mencuci. Perpisahan itu membuat kita bekerja lebih keras.

Ibu selesai menumis bumbu, dan kini ikan mas sedang proses ungkep. Ibu mengambil kanggung kemudian mencucinya, “Angel apa kabar, Mey?”

“Mama baik. Cuma belakangan ini sering lembur.”

“Ya, ampun. Bilangin buat istirahat yang cukup. Ibu stok vitamin lumayan banyak, nanti kalo pulang ikamu bawa, ya. Sampe jam berapa biasanya?”

See. Ibu memang baik hati.

“Jam delapan atau jam sembilan, sih. Nggak tentu juga.”

Semua bumbu sudah kupotong. Ketika aku hendak mengambil wajan dan menumis bumbu, Ibu menahannya lebih duku, “biar Ibu aja. Kamu tata meja, sebentar lagi Papa nyampe. Terima kasih sudah bantu Ibu.”

Aku ‘kan cuma potong bumbu, bukan menyelamatkan dunia. Mengapa Ibu membuatnya seperti aku ini malaikatnya?

Aku hanya mengangguk saja, tidak tahu ingin membalas apa lagi.

Suara deru mobil memasuki garasi, itu pasti Papa. Kantornya memang tidak jauh dari rumah ini.

“Papa pulang,” serunya.

Ibu menyambut kedatangan Papa selepas meletakkan piring berisi ikan pindang.

Papa tersenyum melihat istrinya tampak tergesa untuk menyambutnya pulang. Papa menghadiahi Ibu rangkulan kemudian mengecup bibirnya. Mereka tampak bahagia di dunia sendiri.

Ayolah, aku bukan mikroba, mereka tidak perlu mikroskop untuk melihat keberadaanku yang mematung. Setidaknya cari tempat lain!

“Hai, Memey. Kamu mampir rupanya.” Papa mengelus kepalaku.

“Hmm.”

Aku bete sekali. Abaikan saja aku seperti tadi.

Papa dan Ibu akhirnya bergabung di meja makan. Kami siap untuk menyantap makanan. Setidaknya ada ikan pindang dan tumis kangkung perasaanku akan menjadi lebih baik.

“Ryan masih kuliah, Sayang?”

Pah! Suapan pertamaku bahkan belum mendarat sempurna di mulutku. Papa tadi menegurku hanya seperti formalitas, ini malah mempertanyakan Ryan yang tidak ada. Kita nggak bisa fokus maka aja?

Tentu semua sumpah serapah ini hanya aku lontarkan dalam hati. Aku menelan suapan ikan pindang dengan perasaan yang masih dongkol.

Oh, God, rasa rempah-rempah itu memeluk papila lidahku dengan baik. Ibu memang paling jago masak. Akan kuberi rating seratus dari sepuluh untuk masakan ibu.

“Gimana sekolahmu, Mey?” Itu Papa yang bertanya. Masih sadar keberadaanku rupanya.

“Biasa aja.”

“Ibu dengar kamu dapat peringkat satu, ya? Keren sekali.”

“Iya, satu paralel.”

“Wow, kok Papa nggak tau?”

Kenapa harus?

“Kamu mau apa? Untuk apresiasi usahamu selama ini. Kamu bilang aja, nanti Papa belikan.”

Usaha yang bagus untuk menyenangkan perasaanku. Aku hanya ingin papa lihat aku, itu pun kalau bisa.

Bukan.

Kalau Papa mau.

“Nggak usah repot-repot. Aku bukan anak kecil lagi.”

Aku tertegun saat sebuah tangan meletakan tambahan daging ikan ke piring milikku. Itu Ibu, “makan yang banyak. Ambilnya jangan setengah-setengah gitu. Lauknya masih banyak, kok.”

Heran, deh. Sudah empat tahun tinggal sama Ibu kok Papa nggak pernah bisa menenangkanku sebaik yang Ibu lakukan?

“Setah ini aku pulang, ya. Ada janji sama temanku.”

Papa menatapku, “apa bisa dibatalkan?”

“Kenapa?”

“Temani Ibu dulu. Papa hari ini lembur. Nanti papa antar pulang kalo sudah selesai.”

Tuh, kan. Kayaknya dari seluruh daftar penting Papa, namun tidak ada di sana.

.
.
.

To be continued~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top