Who's the Killer {Kel 3}
"Siti ...," panggil Wowo sembari mengurai siulan ketika melihat Siti yang melewati dirinya. "Aduhai cantiknya, Mak. Selamat pagi, Neng Geulis."
Tanpa adanya keinginan untuk menanggapi, Siti lantas memutar bola mata sebelum melanjutkan langkah menuju kelas. Namun, hal tersebut tidak membuat Wowo menyerah. Pemuda itu justru berlari hingga langkahnya sejajar dengan sang pujaan hati.
"Adinda Siti-ku, lihatlah Abang sekali saja."
"Nggak usah kebanyakan drama! Udah lebih dari sekali gue liatin. Enek kalau pakai N, kalau nggak pakai jadi eek."
"Aih, Neng. Ternyata perhatian juga."
"Perhatian gundulmu!" Siti mengibaskan tangan tanpa tujuan pasti, tapi tamparan keras berhasil mengenai lengan Wowo.
Bukannya jera, pemuda itu malah membuatnya semakin jengkel dengan satu kalimat memuakkan. Rela disakiti oleh sang pemikat hati? Yang benar saja! Apakah semua orang yang sedang dimabuk asmara akan bertransformasi menjadi sebodoh itu?
"Pengin banget sih lo disakitin," ucap Siti setelah melempar tatapan bingung ke arah Wowo.
"Iya, itu ngebuktiin kalau sayang di antara kita tinggi. Disingkat jadi sakitin, Yang."
"Dasar edan, pergi sana! Ganggu aja. Siapa yang kamu panggil 'Yang'? Ngaca, lo itu hitam! Kalau dikasih bedak jadi abu-abu! Malas banget."
Setelah mendengar makian tersebut, Wowo memegang dadanya sembari menunjukkan wajah memelas. Ceritanya sih sakit hati. Berharapnya mendapat rasa simpati, tapi Siti malah semakin muak melihatnya hingga mengepalkan tangan dan memberi pukulan secara membabi buta.
Tanpa sadar, pukulan tersebut berhasil membuatnya terkapar di lantai bak semut setelah ditimpa oleh gajah. Wowo mah apa atuh? Hanya buntelan plastik pop ice yang lemah dan tak berdaya. Harusnya gadis sekuat Siti melindunginya, bukan malah mendengus kemudian pergi. Menyedihkan.
***
Setelah sadar dari pingsan atau lebih tepatnya tidur panjang, Wowo merasa kepalanya pusing. Tidak hanya itu, badannya pun terasa remuk seperti mie yang pada zaman dulu menjadi makanan ringan di sekolah. Terlepas dari hal menyakitkan tersebut, ia senang karena dapat merasakan kembali pukulan cinta dari Siti setelah sekolah diliburkan. Ia rindu dengan pukulan cinta alias maut dari sang pujaan hati. Sebutlah ia masokis karena memang seperti itu kenyataannya.
"Udah bangun?"
Wowo lantas memojokkan diri di ujung kasur UKS ketika mendengar suara tanpa adanya sosok yang menjadi tersangka dalam pengucapan hal tersebut. Sembari membawa bantal sebagai senjata, ia berteriak dengan ketakutan yang melekat jelas. Senjata itu sebenarnya tidak berpengaruh banyak, tapi tak apa daripada melindungi diri dengan tangan kosong.
"Weh, lupa." Suara itu terdengar masih tanpa wujud sebelum sosok pemuda berwajah menawan muncul secara tiba-tiba di sebelah Wowo. "Hehe, gimana? Gue udah keliatan 'kan?"
"Setan!"
Wowo lantas melayangkan pukulan pada makhluk di depannya setelah menjerit. Harusnya sih tembus seperti yang ada dalam cerita atau film horor, tapi pukulannya malah mendarat mulus. Jadi, dapat dipastikan sosok tersebut merupakan hantu jadi-jadian atau mungkin ahli sihir yang menyamar.
"Woi, woi!" Pemuda itu berusaha menghalau serangan bertubi-tubi dari Wowo dengan memasang lengannya sebagai tameng. "Iya, elah! Tau kok gue setan, tapi ya nggak perlu digebukin juga kali!"
"Siapa lo, Setan!"
"Udah tau setan pakai nanya!" jerit pemuda itu karena kesal sekaligus sedih. Kenapa pula ia menjadi makhluk tak terlihat? Beruntungnya masih menawan. "Udahan mukul guenya, Rifqi!"
"Kok lo tau nama gue?" tanya Wowo dengan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan. Pasalnya, jarang ada manusia di sekolah ini yang memanggilnya dengan sebutan Rifqi. Kebanyakan pasti menyebut Wowo yang diambil dari Sujiwo.
"Ya tau, dong! Gue gitu, loh!"
"Mau apa lo dari gue?"
"Lo."
"Anjir! Ngapain lo mau gue? Gue bukan homo, njer!"
"Siapa juga yang mau lo sebagai pasangan mati gue?! Gue mau minta bantuan lo, Wo! Elah ...," ujar si hantu sebal. Ya iyalah sebal, Wowo itu enggak peka, enggak ngerti-ngerti pula.
"Minta bantuan apa sih? Gue bukan sukarelawan!" ujar Wowo ketus. Wowo memang paling malas kalau dimintai bantuan.
"Cariin siapa orang yang ngebunuh gue!" pintanya, "Dia cewek, dan di pahanya ada tompel gede. Kalo nggak salah waktu itu pake kancut warna biru."
"Sialan! Sempet-sempetnya lu, ya, liatin kancut tuh cewek yang ngebunuh lo," sindir Wowo.
"Gue salfok, bego!" kata hantu itu membela diri. "Pokoknya lo harus bantuin gue!" ucap setan itu memaksa.
Wowo menggeleng tegas dan berjalan meninggalkan si setan di UKS. "Udah, ah! Gue mau pulang aja."
"Gue ikut!"
***
Setan ini sungguh menyebalkan, tak tahu diri dan sangat mengganggu. Hingga membuat mood Wowo anjlok seharian ini.
Kejadian tadi pagi sungguh menyebalkan, itu semua terjadi di toilet sekolah. Ketika Wowo sedang memusatkan tenaganya untuk membuang hajat, tiba-tiba sosok kepala muncul menembus pintu toilet. Dengan wajah dan tatapan yang terlihat mesum, setan itu membuat Wowo hampir melepaskan nyawanya akibat terkejut.
Tak ada hujan dan tak ada petir tiba-tiba setan itu meminta pertolongan kepada Wowo, itu membuat ia bertanya-tanya mengapa setan menyebalkan itu meminta tolong kepadanya.
"Weh, gue laper nih," ujar setan itu sembari memegangi perutnya.
"Kalo laper tuh makan, bukan curhat," ucap Wowo ketus.
"Lo gak mau ngasih gue makan gitu?" tanya setan itu dengan wajah memelas.
"Gak, mending lu pergi jauh-jauh dari idup gue!" ucap Wowo sebal.
Wowo melempar tatapan aneh kepada hantu di depannya ini, bukankah tadi ia menyuruhnya pergi? Mengapa hantu ini malah duduk manis di hadapannya sambil tersenyum lebar?
Dengan muka masam, Wowo pun beranjak meninggalkan setan itu. Namun, setan itu tetap mengikuti kemanapun pemuda itu pergi. Terkadang setan itu memegang lengan Wowo seperti orang utan yang bergelayutan di dahan pohon.
"Tolong bantuin gue, bro," pinta setan itu lagi.
"Ogah, jijik bego, gue masih normal!" ucap Wowo sebal.
Setan itu kembali mengeratkan genggamannya di lengan Wowo, karena kekesalan yang sudah memuncak akhirnya pemuda itu mendorong setan tak tahu diri itu hingga jatuh terduduk di lantai.
"Haha, rasain lo!" Hantu itu kesal setengah mati, eh emang bisa ya hantu kesel setengah mati? Kan udah mati, ngapain pake setengah-setengah?
Wowo berhenti tertawa saat dilihatnya hantu itu mulai berjalan mendekatinya seraya menyeringai.
Gila ini baru setan beneran?
"Anjir, sesek bego! Lepas, ih!" Hantu itu, masih terus memeluk Wowo, bahkan tak segan dirinya mengeratkan pelukannya kepada Wowo.
"Duh ampun, lepasin elah."
Wowo mendorong sang hantu agar menjauh darinya, namun nihil, yang ada, bukannya pelukan itu terlepas dari tubuhnya, justru malah sebaliknya.
"Makanya bantuin gue, geblek!"
Kembali dieratkan pelukannya hingga membuat Wowo mau tak mau harus membantu si hantu sialan ini.
"O-oke, mau lo apa sih setan?"
Wowo mendorong kasar hantu itu.
"Mau lo." hantu itu tersenyum jail saat melihat ekspresi Wowo yang enggak banget, bayangin deh wajah seorang Sujiwo Rifqi yang sedang menganga lebar, mata terbuka sepenuhnya, bola mata udah mau keluar, tampilan yang gak banget, bukan?
"Hahaha, seandainya gue masih hidup ya Wo, lo kalah ganteng sama gue, secara gitu. Gue mati aja masih ganteng apalagi kalo gue masih hidup?"
Wowo hanya bisa melotot menatap hantu itu. Ternyata selain nyebelin hantu ini juga PD-nya gila abis pake Z bukan S lagi. Gila aja seorang Sujiwo Rifqi dibandingin sama hantu transparan ini? Helow, masih cakepan Wowo ke mana-manalah.
"Percuma cakep kalo jomlo!" Ingin sekali Wowo timpuk hantu itu, tapi sayang, percuma saja. Ngapain coba ngeladenin hantu songong kaya nih orang, eh salah setan bukan orang.
"Bodo ah gue ngantuk mau tidur, bhay!" Hantu itu kembali memeluk Wowo yang akan berbaring di kasur, membuat Wowo terpaksa mengurungkan niatnya kembali.
"Bantuin gue dulu, Rifqi."
Wowo mengusap kepalanya kasar, lalu menatap hantu itu lelah.
"Iya gue bantu, kasih clue-nya yang bener, besok gue bantu."
Hantu itu tersenyum mendengar kalimat Wowo.
"Dia cewek, yang terakhir kali gue liat sebelum mati dia ada tompel besar di pahanya yang putih mulus kaya iklan di TV-TV gitu---"
"Plis deh, setan! Gue gak abis pikir sama lo, mas---" Hantu itu menempelkan satu jarinya ke depan mulut Wowo hingga menempel di bibirnya.
"Dengerin gue dulu sayang! Yang paling penting itu ...." Wowo penasaran setengah mati dengan kelanjutan dari kalimatnya.
"Cepet setan, gue capek mau tidur!" Wowo menggeplak kepala hantu itu yang sayangnya ia lupa bahwa yang berada di hadapannya ini adalah hantu yang tembus pandang dan enggak bisa disentuh.
"Ciee, mau pegang pegang gue, cie." Wowo menatap kesal hantu yang sok keren ini, apa-apaan coba, ia pikir ia manusia apa yang pantas berlagak sok keren gitu? Mana alis di naik turunin segala.
"Sekali lagi lo begitu ... gak bakal gue bantu!"
"Oke-oke, jadi ... daleman dia warna biru totol-totol." Wowo menahan napasnya sejenak sebelum akhirnya tersadar.
"SARAP!" Wowo mendorong hantu itu dan kembali berbaring di atas kasurnya yang empuk.
Suara berisik membuat tidur nyenyaknya terganggu, perlahan mata itu terbuka menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam indra pengelihatannya. Mata Wowo membulat ketika ia menyadari bahwa ada orang lain di ruangannya ini, terlebih saat ia lihat si hantu sialan itu mengobrak-abrik isi lemarinya dan memegang benda keramat miliknya.
"Eh setan, ngapain lo?"
"Ternyata seorang Sujiwo Rifqi yang katanya keren mirip aw-aw siapa itulah, suka boxer yang begini, Hello Kity, kancut Batman, gak keren banget lo!"
Mata Sujiwo semakin melebar mendengar caci maki dari hantu songong itu.
"Taro gak! Udah gue mau mandi mau sekolah diem-diem lo di sini!"
***
"Hai, Yayang Shit. Jangan lupa tersenyum untuk Wowo yang ganteng ini." Wowo mensejajarkan langkah kakinya dengan Siti.
Siti masih terus berjalan tanpa menganggap kehadiran Wowo yang ada di sampingnya.
"Si Eneng meuni cuek pisan atuh sama Akang Wowo."
Siti mendelik kesal ke arah Wowo.
"Berisik, tau gak lo?"
Wowo tersenyum manis sekali kepada Siti yang jelas-jelas sudah menolaknya. Diikutinya lagi Siti hingga mereka masuk ke dalam kelas yang kebetulan itu mereka sekelas.
"Sujiwo inget misi lo, bantuin gue." Suara itu lagi. Sudah sangat jelas sekali suara siapa ini. Siapa lagi kalau bukan hantu songong itu?
Tanpa memedulikan sang hantu, Wowo kembali melancarkan godaan mautnya.
"Ah, Shit, gila gak tahan gue, coy!" Wowo melirik sedikit Siti yang mukanya sudah dipenuhi dengan warna merah padam.
"Shit, gila-gila ini mah beneran gak kuat." Siti bangkit dari duduknya dengan membawa buku tebal andalannya.
"Dududuh, sakit, Shit!" Siti semakin keras memukulkan bukunya ke badan Wowo yang terus mengeluh kesakitan.
"Bisa diem gak sih lo? Gila ya lo!" Siti, masih memukuli Wowo dengan buku tebalnya hingga Wowo terjatuh dan pingsan. Untung kedaan di kelas sepi karena masih pagi, jadi tidak ada yang mengetahui aksi kejamnya Siti.
Siti pun kembali duduk di kursinya tanpa perlu repot membantu Wowo yang pingsan.
***
Teriakan seseorang memaksa seorang pemuda terbangun di pagi hari, dengan rasa malas yang masih hinggap ia mencoba tuk kembali terlelap. Namun, sebuah jam weker tiba-tiba mendarat tepat ke wajah pemuda itu.
"Aduh, lo bisa gak sih gak usah ganggu tidur gue?" kata pemuda yang hanya mengenakan kaus singlet berwarna putih.
"Lo harus bangun, inget lo harus bantuin gue!" ujar seseorang yang tidak diketahui keberadaannya.
Akhirnya dengan terpaksa pemuda itu terbangun, dan mencoba melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Sosok bayangan pria transparan terlihat mengikuti pria dengan handuk di pundaknya.
"Lo gak usah ngikutin gue, bego!" bentak pemuda berambut keriting tersebut.
"Lo pikir gue homo? Gue tunggu di sini. Gue cuma mastiin kalo lo gak bakal kabur."
Bantingan pintu terdengar seiring pemuda itu memasuki kamar mandi. Sosok bayangan transparan itu memasang wajah masam, kemudian ia membuang napas kasar.
Suasana kelas terlihat cukup lengang siang ini, pemuda dengan name tag bertuliskan Rifqi mencoba mendekati seorang gadis. Dengan senyum yang terlihat menyebalkan, pria itu melontarkan kata-kata rayuan yang terdengar tolol.
"Siti," sapa pria itu dengan menaikan kedua alisnya.
"Ni anak kagak ada kapoknya ya, lo pengen gue gibeng lagi, ha?" sentak gadis bernama Siti dengan bibir yang merengut.
"Oh, adinda Siti, kamu terlihat makin cantik hari ini," ungkap Rifqi dengan nada genit.
"Makan nih cantik, dasar idiot," maki Siti sembari memasukan kertas ke mulut Rifqi, lalu melenggang pergi.
Pemuda itu akhirnya terduduk diam di bangku kebanggaannya, bagaimana tidak. Bangku tersebut terletak di belakang bangku sang pujaan hati. Kini Rifqi mulai masuk ke dalam imajinasinya sendiri, ia membayangkan dirinya sedang memangku Siti. Namun, tiba-tiba sosok bayangan Siti berubah menjadi pria yang menawan.
"Woy, bantuin gue bego!" ucap bayangan pria itu mengagetkan.
"Lo gak ada kerjaan laen selain gangguin gue?" tanya Rifqi dengan sewot.
"Eh, peak. Mana ada setan kerja," ungkap pria yang ternyata setan tersebut.
"Nuyul kek atau gak lo ngepet kek, yang penting jangan ganggu gue," ucap Rifqi sembari melangkahkan kakinya menjauh dari setan menyebalkan itu.
"Gue terlalu tampan buat ngelakuin itu, lagi pula gak ada tuyul yang punya rambut keren macam gue," kata setan itu sombong.
Dengan wajah cemberut, Rifqi yang juga biasa disapa Wowo itu melangkah keluar dari kelas. Niatnya adalah mencari Siti, dan menjauh dari setan pengganggu hidupnya itu. Namun, lagi-lagi dirinya dihadang oleh setan tak tahu diri tersebut.
"Ayolah bantuin gue," pinta si setan dengan wajah yang sengaja dibuat terlihat jelek dengan puppy eyes andalannya.
Tanpa memberikan respons, Wowo pun melanjutkan langkahnya meninggalkan setan tolol itu. Tapi, sang setan sepertinya tidak mengenal kata menyerah. Dengan cepat ia mencekal lengan panjang Wowo, hingga membuat pemuda itu merasa risih.
"Lepasin gak?" ucap Wowo dengan wajah serius.
"Kalo gue gak mau, lo mau apa?" tanya setan itu dengan wajah menantang.
"Gue bunuh lo di sini, sekarang juga," ancam Wowo sembari mengepalkan tangannya.
"Eh, udel gajah. Gue kan udah mati tolol," ejek setan itu dengan wajah datar.
"Oh, iya. Gue lupa kalo lo udah mati," ucap Wowo dengan wajah bego.
Jam pelajaran telah usai, semua murid pun bersiap meninggalkan sekolah. Berbeda dengan murid yang lain, Wowo malah terlihat sibuk mencari sosok sang pujaan hati. Akan terasa ada yang kurang di hari Wowo jika dirinya tidak melihat sosok Siti. Meskipun dirinya sering kali mendapat perlakuan tak mengenakkan, namun tetap saja ia cinta kepada gadis tomboy itu. Tak melihat sosok yang ia cinta, akhirnya pemuda itu memutuskan untuk melangkahkan kaki untuk pulang.
Di sepanjang jalan menuju pulang, setan menyebalkan itu terus membujuk Wowo agar ia bersedia untuk membantunya. Namun, tak ada respons yang ia dapatkan. Satu-satunya orang yang mampu melihatnya kini terlihat sangat cuek. Setan itu bertanya dalam hati, apakah pemuda ini sedang dalam keadaan sehat atau malah sedang sakit.
Suasana malam terasa sedikit mencekam bagi Wowo, aura mistis yang dipancarkan setan itu terasa sungguh kuat. Kedua mata itu menatap Wowo yang tengah menyantap makan malamnya, hingga membuat nafsu makannya menjadi hilang.
"Lo kagak usah natap gue begitu, jijik gue kampret." Semprot Wowo dengan bibir manyun.
"Lu kagak mau nawarin gue makan gitu? Gini-gini gue juga lapar tong," ungkap si setan dengan wajah memelas.
"Oh, jadi lo lapar? Bentar," ucap Wowo sembari melenggang menuju ke arah dapur.
"Lo pikir gue apaan dikasih beginian?" tanya setan itu sembari menangkap sekaleng makanan kucing yang dilempar oleh Wowo.
"Lo kan udah jadi setan, biasanya juga setan makannya kotoran," ungkap Wowo dengan wajah datar.
"Gue itu setan terhormat, gue gak mau ginian. Gue mau spaghetti."
"Eh, gading mamot gue aja makan cuma pake mie instan. Lo sok-sokan pengen pake spaghetti," omel Wowo dengan wajah yang ditekuk macam dompet di tanggal tua.
Ia kemudian meninggalkan setan itu di ruang makan, dan menuju ke toilet. Sesampainya di toilet ia terkejut melihat setan itu tengah terduduk di closet. Dengan wajah cemberut, Wowo kemudian membanting pintu toilet kemudian beranjak pergi dari tempat itu.
Malam semakin larut, namun pemuda bernetra hitam itu masih belum mampu memejamkan kedua matanya. Setan itu selalu mengikuti dan mengganggu Wowo, seperti halnya saat ini. Tanpa merasa berdosa setan itu tertidur di samping Wowo. Desah napas kasar dan dengkuran mulai terdengar.
"Gila, setan bisa ngorok juga ternyata," ucap Wowo sembari menengok ke arah setan itu tertidur.
Dan ketika Wowo membalikkan tengokannya, ia melihat setan itu menatapnya sembari menebar senyum yang terlihat menyebalkan. Seketika Wowo pun terkejut melihat itu, dan memukulnya menggunakan guling yang sedari tadi dipeluknya.
"Lo bisa ga si berenti gangguin gue?" tanya Wowo dengan amarah memuncak.
"Gue cuma pengen lo bantuin gue, Wo," ucap setan itu dengan wajah sedih.
"Emang gak ada petunjuk laen? Masa cuma tompel di paha doang?" tanya Wowo dengan penasaran.
"Yang gue inget cuma itu, kampret tompel di paha," ujar si setan sebal.
"Masa gue harus nyibakin rok para cewek, asal lo tau ye, tan. Gini-gini gue cowok alim," kata Wowo sembari menaikan kedua alisnya.
***
"Cewek," rayu Wowo pada siti.
"Bisa diem gak? Gue sobek mulut lo ntar," ujar Siti ketus.
"Aku kangen sama kamu Siti," ucap Wowo dengan mata genit.
"Pergi lu sono, jangan ganggu gue piket," bentak Siti masih ketus.
Tanpa mendengarkan kata-kata Siti, Wowo tetap melancarkan gombalannya. Hingga akhirnya kedua tangan gadis tomboy itu menyudutkan pemuda kurus tersebut ke tembok kelas. Dengan cepat diambilnya gagang sapu yang telah patah dan lancip, lalu gadis itu menusukannya ke paha dan lengan Wowo sembari terkekeh geli. Spontan pemuda polos itu mengaduh sakit, lalu mendorong Siti hingga jatuh terduduk di lantai.
Ketika terjatuh, rok Siti sedikit tersingkap hingga memperlihatkan kedua pahanya. Namun, Wowo terkejut ketika melihat sesuatu yang bulat dan berwarna hitam. Ia memandangi sesuatu yang mirip dengan noda di pantat panci itu dengan teliti, dan Wowo langsung berlari ketika mengetahui itu adalah sebuah tompel.
Di perjalanan pulang hati Wowo terus bertanya-tanya, apa mungkin Siti yang membunuh si setan kampret itu? Dan sesampainya di rumah, pemuda itu telah disambut oleh sang setan yang terduduk di meja ruang tamu.
"Weh, jangan duduk di meja bego. Banyak utang lu ntar," ujar Wowo sembari menaruh tasnya di kursi.
Setan itu tak melontarkan ocehan apapun, ia hanya terduduk di meja itu sembari menatap ke arah halaman depan.
"Eh, gak usah ngelamun lu. Ntar kesurupan jadi repot gue," canda Wowo sembari terkekeh geli.
Namun, lagi-lagi tak ada ocehan yang terucap dari mulut si setan, Wowo merasa bahwa ia ngambek.
"Yaelah, jadi setan kok demen ngambek. Yaudah, gue siap bantuin lo," tutur Wowo sambil tersenyum.
"Beneran lo mau bantuin gue?" tanya si setan dengan antusias, lalu dibalas dengan anggukan dari Wowo yang menandakan ia mengiyakan.
"Jadi, gue udah punya tersangka satu cewek dan dia itu gebetan gue." Wowo menerangkan ke hantu tersebut.
"Ya udah kita mulai penyelidikannya sekarang," ujar hantu tersebut
"Besok lah pinter, lu mau nyelidikin siapa? orang yang kita jadiin tersangka aja ada di rumahnya," ucap Wowo dengan lembut.
***
Wowo terpaksa membuka matanya di tengah malam ini, bukan karena ia ngompol atau mimpi basah. Melainkan karena setan itu kembali melemparkan jam weker tepat di wajahnya.
"Lu ngapain sih bangunin gue jam segini? Mana banguninnya kasar banget lagi," omel Wowo kesal.
"Gue cuma mau ngingetin, jangan lupa buat besok," ucap setan itu sembari tertawa kecil.
"Ha?" Kemudian Wowo kembali memejamkan matanya.
***
Dandanan Wowo sudah terlihat cukup rapi, pemuda itu berdiskusi bersama si setan sembari menyantap mie instan yang menjadi menu sarapannya pagi ini. Diskusi itu terdengar begitu serius, tak ada sedikitpun candaan di dalamnya.
"Lu punya ide gak, tan?"
"Lu ngomong sama gue?" Bukannya menjawab, hantu tersebut malah balik bertanya.
Untung Wowo yang ganteng ini sabar kalau tidak ia sudah melakukan niatnya untuk menenggelamkan kepala hantu tersebut ke jamban.
"Iyalah, emang gue ngomong sama siapa lagi?"
"Oke, gue mau lu ikutin si gebetan yang lu taksir," ujar setan tersebut yang dijawab anggukan oleh Wowo.
***
Wowo mulai mengikuti Siti tidak lupa melakukan PDKT. Dalam pikirannya, siapa tahu ia mengungkapkan pelaku yang membunuh hantu tersebut dan mendapatkan hati Siti. Wowo mengikuti ke mana pun Siti pergi bahkan saat ke kamar mandi. yang melihat itu pun jengah.
"Lu ngapain ngikutin gue?!"
"Karena aku ingin selalu bersamamu, Adinda Shit-ku," gombal Wowo dengan senyum yang menurut Siti menyebalkan.
"Mending lu pergi deh ,Wo, gue lagi gak mood buat ngajar orang."
"Tapi—" Belum selesai Wowo berbicara Siti sudah meninggalkannya.
"Siti, tunggu Abang Wowo."
Wowo mengikuti Siti sampai ke depan rumah, tentunya dengan cara sembunyi-sembunyi. Ia belum menemukan bukti bahwa Siti yang membunuh hantu tersebut, ia memutuskan untuk pulang sebelum sempat berbalik ia mendengar Siti menelepon seseorang.
Karena penasaran, Wowo akhirnya memutuskan untuk menguping pembicaraan Siti dengan seseorang di ujung telepon sana.
"Gue mau lu ikutin orang itu!"
"...."
"Gue gak mau gagal lagi!"
"...."
"Gue gak mau tau, kalau lu gak bisa jangan salahin gue kalau besok kepala lu gak ada di tempatnya. Setelah mendengar pembicaraan tersebut Wowo memutuskan untuk pulang.
"Kayaknya emang Siti deh yang ngebunuh si setan kampret itu. Ya Allah apa salah Wowo sampe naksir psikopat cantik itu?"
***
Wowo mengacak frustrasi rambutnya. Terjebak dalam cinta yang bertepuk sebelah tangan dan arwah gentayangan membuatnya pusing setengah mati. Apalagi setelah mengetahui orang yang dicintainya adalah seorang pembunuh.
"Dari awal gue emang curiga sama cewek itu."
Wowo mendongak, matanya mengikuti hantu—yang belakangan ini telah resmi sebagai penguntitnya—melayang-layang di hadapannya.
"Apa alasan lo ngomong gitu?" tanya Wowo yang udah kecewa sekaligus bingung.
"Lo bego jangan kebangetan lah, Ki. Dari cara nyiksa lo kentara banget. Setiap manusia punya hati, tapi mungkin dia enggak. Pikir aja, berapa kali lo pingsan gara-gara di—"
Wowo mengernyit saat hantu itu menggantung ucapannya. Lalu sedetik kemudian Wowo terkejut saat si hantu berteriak histeris.
"SETAN!" Gerutu Wowo sambil mengelus dadanya, berusaha untuk tidak menimpuk hantu itu dengan ponsel yang digenggamnya.
"GUE INGAT!"
"INGAT APA SETAN?"
"Sssshh ... kenapa lo teriak-teriak?" protes hantu itu mendelik ke arah Wowo.
"Lo duluan yang teriak, setan," ucap Wowo.
Hantu itu cengengesan. "Udah gausah dibahas," katanya sambil mengibaskan tangan.
"Lo ingat apaan?" tanya Wowo untuk pertama kalinya, dia merasa penasaran terhadap hantu itu.
"Gue ingat kalau cewek yang bunuh gue dulu itu punya trauma berat sama laki-laki. Terus ...." Hantu itu menggaruk tengkuknya. Wowo heran.
"Terus kenapa?"
"Sabar, gue ingat-ingat dulu. Maklumlah, gue mati udah lumayan lama. Jadi ingatan gue udah terhapus gitu, nama aja gue lupa."
Wowo menepuk jidatnya lalu mencibir, "Bilang aja lo bego."
"Lebih bego lo lah! Jatuh cinta kok sama pembunuh?" cecar hantu itu tak mau kalah.
"Mana gue tau kalau Siti itu pembunuh," ucap Wowo. Lalu dia men-dial sebuah nomor dari ponselnya.
"Eh, lo nelepon siapa?" tanya hantu itu.
"Polisi, biar Siti bisa cepat ditangkap. Bahaya kalau dibiarin keliaran." Tepat disaat Wowo menyelesaikan ucapannya, pintu kamar terbuka dengan brutal sampai menimbulkan bunyi yang tidak bisa dikategorikan pelan.
"SITI?"
Mendadak Wowo sesak pipis. Dia menoleh pada hantu yang melayang menghampiri Siti yang masih berdiri di ambang pintu.
"LARI, KI! DIA BAWA PISAU!" teriak hantu itu kemudian.
Wowo terbelalak di tempatnya. Astaga, demi apa?
Wowo menelan salivanya lamat-lamat. Pandangannya tak lepas dari Siti yang perlahan masuk ke kamarnya.
"Gue ingat, Ki. Cewek itu trauma sama laki-laki karena Ibu kandungnya meninggal sebab dibunuh oleh seorang laki-laki dan itu Ayahnya sendiri. Sayangnya, traumanya membuat sebuah dendam muncul di hatinya. Dan gue dibunuh karena dendamnya itu."
Hantu itu seperti mencoba mengingat lagi. "Bukan cuma gue aja, Wo. Murid-murid cowok yang selama ini dikira hilang, mereka semua itu mati dibunuh sama Siti."
Wowo mencoba mencerna ucapan hantu itu sebelum akhirnya dia menegang karena Siti bersuara.
"Hai, Ki. Ada ucapan terakhir?" Siti mengangkat pisaunya.
"Gue anggap gak ada."
Wowo menahan napasnya saat pisau itu menancap tepat di perutnya. Sakit itu menjalar hingga ke seluruh tubuhnya. Kini ia tahu, dalang dari semua ini adalah Siti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top